Kamis, 14 Februari 2013

ANTARA IJTIHAD DAN TAKLID


Kategori Aktual
Antara Ijtihad Dan Taklid
Selasa, 28 Juni 2011 21:56:08 WIB

ANTARA IJTIHAD DAN TAKLID


 oleh : Ustadz Azhar Robani
editor : Ustadz M.Sakti Rangkuti

Sudah kita maklumi, dalam beragama, kita wajib mengikuti apa yang telah diturunkan Allah kepada RasulNya. Yang semuanya, secara sempurna telah disampaikan dan dijelaskan Rasulullah kepada kita. Tidak ada sedikitpun yang tertinggal. Sehingga wajib bagi kita untuk mentaati Allah dan RasulNya, serta mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada keduanya. Dan kita harus berpaling dari apa yang menyelisihi Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, meskipun hal itu datang dari seorang imam mujtahid.


Dalam perkara agama, terdapat masalah masalah agama yang ditetapkan hukumnya dengan nash yang qath’i, baik tsubut dan dalalahnya, ada yang ditetapkan dengan ijma’ ulama; dan ada yang ditetapkan dengan nash yang tidak qath’i dalam tsubut atau dalalahnya, atau tidak ada nash dalam masalah tersebut, serta para ulama berbeda-beda pendapatnya.

Pada kelompok masalah pertama dan kelompok masalah kedua, persoalannya mudah. Semua orang wajib menerima dan mengikutinya, serta tidak boleh menyelisihinya, baik dia seorang ulama atau seorang awam.

Bagaimana bila tidak ada nash dalam suatu masalah dan para ulama berbeda pendapat? Apa yang harus dilakukan seseorang? Apakah dia harus berijtihad untuk mengetahui hukum masalah tersebut, ataukah bertaklid kepada ijtihad orang lain? Untuk bisa memahami persoalan ini, berikut ini kami angkat penjelasan mengenai ijtihad dan taklid, sehingga seorang muslim bisa menempatkan dirinya berkaitan dengan permasalahan hukum yang dihadapinya. Apakah seseorang harus berijtihad ataukah bertaklid kepada suatu pendapat tertentu? Makalah ini ditulis berdasarkan kitab Syarhul Ushul Min Ilmil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, dan Ad Durrat Al Bahiyyah Fi At Taqlid Al Madzabiyyah, Muhammad Syakir Asy Syarif. Semoga bermafaat.

IJTIHAD
Pengertian Ijtihad, menurut makna leksikal berarti mencurahkan semua kemampuan untuk menghasilkan perkara yang besar. Adapun menurut istilah, ijtihad ialah, mencurahkan semua kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i. Adapun seorang yang mencurahkan semua kemampuannya untuk mengetahui hukum syar’i, disebut mujtahid.

Dengan demikian, seorang yang mengambil sebuah kitab, melihat kandungannya, dan menghukumi dengan hukum yang sesuai dengan kitab tersebut, maka dia tidak bisa dikatakan sebagai mujtahid, karena dia hanya mengikuti penulis kitab. Adapun orang yang meruju‘ kepada kitab-kitab dan mengkajinya bersama ulama untuk merumuskan hukum dalam suatu masalah sehingga berhasil menyimpulkan suatu hukum tertentu, maka orang ini dinamakan mujtahid, karena telah mencurahkan semua kemampuan untuk mengetahuinya.

Syarat-Syarat Berijtihad
1. Mengetahui Dalil-Dalil Syar’i Yang Diperlukan Dalam Berijtihad.
Apabila seorang berijtihad dalam masalah ahkam (hukum-hukum), maka dia harus mengetahui ayat-ayat dan hadits-hadits hukum. Sedangkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah aqidah, tidak harus diketahui karena hal itu tidak berkait dengan ijtihadnya.

2. Mengetahui Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Keshahihan Hadits Dan Kelemahannya.
Bila seseorang tidak mengetahui hal-hal yang berkait dengan keshahihan hadits dan kelemahannya, maka ia bukan seorang mujtahid. Sebab, bisa jadi, dia menetapkan hukum berdasarkan hadits dha’if dengan menolak hadits yang shahih. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus memiliki ilmu hadits dan rijalnya.

3. Mengetahui Nasikh Dan Mansukh Dan Perkara - Perkara Yang Sudah Disepakati Ulama.
Seorang mujtahid harus mengetahui nasikh dan mansukh. Karena, jika tidak mengetahuinya, maka terkadang dia menghukumi berdasarkan ayat atau hadits yang telah dimansukh. Padahal sudah dimaklumi, hadits yang telah dimansukh tidak boleh digunakan dalam penetapan hukum, karena kandungan hukumnya telah dihapus.

Demikian juga masalah-masalah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama, seorang mujtahid, harus mengetahuinya agar tidak menghukumi dengan sesuatu yang menyalahi ijma’. Oleh karena itu, sebagian ulama muhaqqiq, apabila mereka menyatakan suatu pendapat dan belum mengetahui keberadaan pendapat yang menyelisihinya, mereka menggantungkan penetapan hukumnya dengan “bila tidak ada ijma”. Seperti halnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang masuk kategori ulama yang paling luas penguasaannya tentang khilaf, kadang-kadang dia mengatakan “pendapat ini benar, jika ada ulama yang mengatakannya”. Artinya, jika tidak ada orang yang mengatakannya, maka perkataan tersebut tertolak karena menyelisihi ijma’.

4. Mengetahui Substansi Dalil-Dalil, Yang Menyebabkan Terjadinya Perbedaan Hukum.
Seorang mujtahid harus mengetahui substansi yang tersimpan dalam dalil-dalil, yang mengakibatkan munculnya hukum yang berbedabeda, misalnya seperti takhshish (pengkhususan), taqyid (pembatasan), dan lain-lain. Sebab, kalau ia buta tentang itu, maka mungkin menghukumi dengan keumuman kandungan dalil, padahal ada dalil lain yang mengkhususkannya atau terpaku pada kemutlakan dalil, sementara terdapat dalil lain yang mentaqyidkannya.

Sebagai contoh, seseorang membaca hadits “Di dalam panenan yang diairi dengan air hujan zakatnya sepersepuluh”.[Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 1412]

Di dalam hadits ini terdapat dua keumuman. Yaitu keumuman dalam ukurannya, dan keumuman dalam jenisnya. Ukurannya, mencakup ukuran sedikit dan banyak. Dan jenisnya, mencakup setiap jenis yang diairi oleh air hujan. Lalu dia memegangi hadits ini dan berkata “Zakat wajib dikeluarkan dari hasil panenan yang keluar dari bumi dari jenis apa saja, dan dengan ukuran berapa saja”. Ini adalah keliru, karena dia harus mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan hukum yang berupa takhshish yang terdapat dalam dalil lain. Yang benar, dua keumuman tersebut ditakhshish oleh sabda Nabi “Tidak ada (kewajiban) shadaqah (zakat) dalam panenan yang kurang dari lima wasaq”. (Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 1541 dan Muslim no. 1541) Dengan demikian, maka tidak wajib zakat kecuali jika hasil panenan bisa diukur dengan wasaq (nama takaran) dari jenis makanan, dan ukurannya sudah mencapai lima wasaq.

5. Mengetahui Dalalah Lafazh-Lafazh (Karakter Petunjuk Kata) Dalam Bahasa Arab Dan Ushul Fiqih.
Seorang mujtahid harus mengetahui dalalah lafazh-lafazh, seperti ‘amm, khas, mutlaq, muqayyad, mujmal, mubayyan dan lain-lainnya. Dengan demikian, dia bisa menghukumi sesuai dengan dalalah-dalalah tersebut. Seseorang, apabila tidak mengetahui apa yang dinamakan ‘amm – misalnya- maka ia tidak tahu bahwa lafazh ini berarti umum atau khusus, sehingga tidak mungkin bisa beristimbat hukum secara benar. Karena bisa jadi, lafazh yang tidak umum dianggap umum, dan dia tidak mengetahuinya. Seperti itu juga pada dalalah lafazhlafazh lainnya.

6. Memiliki Kemampuan Untuk Beristimbat Hukum Melalui Dalil-Dalilnya.
Pada hakikatnya, syarat ini adalah sebagai output (buah) dari syarat-syarat sebelumnya. Terkadang seseorang memiliki syarat-syarat di atas, tetapi tidak bisa beristimbat dan justru bertaklid kepada orang lain. Dia berpendapat dengan pendapat yang dikatakan oleh orang lain. Maka seorang mujtahid, harus memiliki kemampuan untuk beristimbat (menarik kesimpulan) hukum dari dalil-dalilnya.

BOLEHKAH BERIJTIHAD DALAM SATU BAB ATAU SATU MASALAH SAJA?
Ijtihad itu terklasifikasi. Maksudnya, seseorang dapat melakukan ijtihad dalam sub pembahasan tertentu dalam suatu bab atau dalam masalah tertentu dari masalahmasalah ilmu, tetapi dia tidak dikatakan mujtahid pada selain bab atau masalah tersebut.

Contohnya, seseorang ingin meneliti masalah mengusap dua sepatu, lalu dia merujuk perkataan-perkataan ulama dan dalil-dalil, sehingga sampai bisa menguatkan pendapat yang rajih dan membantah pendapat yang lemah. Maka orang itu bisa dikatakan mujtahid, tapi dalam bab ini saja, bukan dalam bab lainnya.

APA YANG HARUS DILAKUKAN MUJTAHID?
Seorang muqallid tidak perlu bersusah payah. Cukup baginya bertanya kepada seseorang atau mengambil sebuah kitab, lalu dia menghukumi dengan hukum yang ada di dalamnya. Tetapi seorang mujtahid harus mencurahkan semua kemampuannya untuk mengetahui kebenaran. Apabila dia telah mencurahkan semua kemampuannya dan merujuk dalil-dalil dan perkataanperkatan ulama, lalu kebenaran nampak jelas baginya, maka wajib baginya untuk menghukumi dengan hukum maka dia mendapatkan satu pahala. [Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 6919 dan Muslim no. 1716]

Hadits ini secara tegas menjelaskan, jika seorang mujtahid salah dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala, karena telah optimal dan bersungguhsungguh untuk mengetahui kebenaran, akan tetapi belum mandapatkan taufik sampai kepada kebenaran, maka dia mendapatkan pahala bersusah payah.

Sedangkan pahala dalam menepati kebenaran, maka dia tidak mendapatkannya, lantaran hasil ijtihadnya belum bersesuaian dengan kebenaran. Adapun apabila dia berijtihad dan hasil ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Pahala yang pertama, karena bersusah payah dalam ijtihad dan mencari dalil. Sedangkan pahala kedua, karena mencocoki kebenaran, yang berarti menampakkan kebenaran.

Apabila seorang mujtahid telah berijtihad dan mengkaji dalil-dalil dan perkataan-perkataan ulama, tetapi kebenaran tidak nampak jelas baginya, maka dia wajib tawaquf (tidak mengambil sikap) dan jangan menghukumi dengan ijtihadnya. Dalam keadaan seperti ini, dia diperbolehkan bertaklid karena terpaksa (darurat). Allah berfirman, artinya : Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. [Al Anbiya‘ : 7].

TAKLID
Pengertian Para ulama hampir sepakat dalam mendefisikan taklid. Yaitu, menerima perkataan orang lain tanpa hujah. Berdasarkan pengertian ini, orang yang mengambil perkataan orang tanpa dasar hujjah, maka dia muqallid. Sedangkan orang yang mengambil perkataan orang lain dengan dasar hujjah, maka bukan muqallid.

Kemudian hujjah itu berbeda-beda antara satu orang dengan lainnya. Bagi seorang mujtahid atau orang yang belum sampai tingkatan ijtihad, tetapi dia bisa memahami dalil dan mentarjih dengan cara yang benar, maka hujjah baginya adalah dalil khusus; dan dia tidak boleh menerima perkataan orang, kecuali dengan dalil khusus yang membenarkannya. Adapun bagi orang yang awam tidak bisa memahami makna-makna nash (dalil), maka hujjah baginya adalah dalil umum, yaitu kembali kepada ahlul ilmi yang menguasai Al Kitab dan Sunnah.

Hanya saja, ada sebagian ulama yang mendefinisikan taklid dengan pengertian lain. Yaitu, menerima perkataan orang dan kamu tidak mengetahui dari mana orang itu mengatakannya (mengambilnya). Jadi, orang yang mengambil perkataan orang lain tanpa mengetahui dalil khusus yang membenarkannya, disebut muqallid, meskipun dia mengambilnya berdasarkan hujjah dalil umum.

Kalau yang dimaksudkan oleh pengertian yang kedua itu adalah taklid yang tercela, maka pengertian ini tidak benar, sebab tanpa mengetahui dalil khusus yang menunjukkan perkataan tersebut tidaklah tercela. Tetapi jika yang dimaksudkan taklid itu ada dua macam, yaitu tersebut. Jika dia benar dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan jika dia salah dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala, dan kesalahannya diampuni. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya : Apabila seorang hakim menghukumi lalu berijtihad dan benar, maka dia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia menghukumi lalu berijtihad dan salah, taklid yang tercela sebagaimana pada pengertian yang pertama, dan tidak tercela sebagaimana pada pengertian yang kedua, maka pengertian tersebut dapat diterima.

Disamping itu, sebagian ulama yang mendefinisikan taklid dengan pengertian pertama, menamakan taklid pada macam yang kedua. Padahal sebaiknya, jenis taklid ini diberi nama tersendiri yang membedakannya dengan taklid yang tercela, sehingga tidak terjadi campur-aduk dalam penggunaan istilah.

Ada juga ulama yang tetap mencela taklid secara umum, dan memberikan nama pada jenis yang kedua dengan nama yang berbeda.

Abu Abdullah bin Khuwaiz Mandad Al Bashri Al Maliki dalam menjelaskan hal itu mengatakan : “Setiap yang kamu ikuti perkataanya tanpa wajib bagimu untuk mengikutinya, karena adanya suatu dalil, maka berarti kamu bertaklid kepadanya. Taklid dalam agama Allah tidak benar. Dan setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk menerima perkataanya, maka berarti kamu berittiba’ kepadanya. Ittiba` di dalam agama itu benar, dan taklid dilarang.

Dalam hal ini Asy Syaukani mengatakan: “…Persoalannya tidak seperti yang mereka sebutkan, karena di sana masih ada perantara lain di antara ijtihad dan taklid, yaitu bertanyanya orang yang jahil kepada orang ‘alim (berilmu) tentang masalah agama yang dihadapinya, bukan dari semata-mata pendapatnya dan ijtihadnya”.

Sedangkan Ibnu Hazm menamakan bertanyanya orang jahil kepada orang ‘alim dengan nama ijtihad. Dia mengatakan: “Dan ijtihadnya orang awam, (yaitu) apabila dia bertanya kepada orang ‘alim tentang urusanurusan agamanya”.

KAPAN SESEORANG BERTAKLID?
Taklid bisa dilakukan oleh seseorang karena adanya salah satu di antara dua keadaan.

Pertama. Orang awam yang tidak bisa mengetahui hukum dengan dirinya sendiri. Maka dia wajib bertaklid dengan bertanya kepada ulama. Karena Allah berfirman, artinya: Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. [Al Anbiya‘:7]

Orang awam seperti ini dianjurkan untuk memilih orang yang lebih utama keilmuannya dan kewara’annya. Kalau menurutnya ada dua orang yang sama dalam keilmuan dan kewara’annya, maka dia boleh memilih di antara keduanya.

Sebagai contoh, ada seorang awam mendengarkan seorang alim mengatakan “perhiasan itu wajib dizakati”. Kemudian ia juga mendengar ada seorang alim lainnya mengatakan “perhiasan itu tidak ada zakatnya”. Di sini, dia dihadapkan kepada dua pendapat. Maka dia boleh memilih salah satunya, tetapi hendaknya bertaklid kepada yang lebih dekat kepada kebenaran karena keilmuan dan kewara`annya.

Kedua. Seorang mujtahid yang menghadapi persoalan yang harus segera dijawab, tetapi ia tidak memiliki kelonggaran waktu untuk berijtihad. Ia juga tidak mungkin merujuk kitab-kitab, dalil-dalil ataupun menelaah perkataan-perkataan ulama, maka dia boleh bertaklid.

Syaikh Utsaimin mencontohkan, apabila beliau tidak mampu mengetahui hukum suatu masalah dan hal itu melelahkannya. Maka biasanya beliau bertaklid kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Menurut Syaikh Utsaimin, perkataan Syaikhul Islam lebih dekat kepada kebenaran dari pada ulama lain. Tetapi dalam hal ini, bukan berarti tidak boleh bertaklid kepada yang lain, karena pendapat yang rajih ialah, apabila ada dua orang ‘alim, salah satunya lebih utama dari pada yang lain, maka tidak mesti wajib bertaklid kepada yang lebih utama, tapi boleh juga bertaklid kepada yang tingkatannya di bawahnya.

MACAM-MACAM TAKLID
1. Taklid Umum.
Yaitu berpegang kepada madzhab tertentu, mengambil rukhshah-rukhshah dan azimahazimahnya dalam semua perkara-perkara agamanya. Sebagai contoh, seseorang bermadzhab Hambali. Dia berpegang kepada madzhab ini dan mengambil rukhshah-rukhshah dan azimah-azimahnya. Azimah ialah, masalah-masalah yang wajib atau haram. Dan rukhshah ialah, masalah selain itu.

Misalnya, dia mengatakan “Saya seorang Hambali (pengikut madzhab Hambali), dan saya akan mengikuti madzhab Hambali di dalam semua hal”. Seperti itu juga yang dilakukan oleh orang bermadzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, atau lainnya. Itulah yang dinamakan dengan taklid umum. Yaitu seseorang bertaklid kepada madzhab, mengambil rukhshah-rukhshah dan azimah-azimahnya, serta tidak melihat kepada madzhab-madzhab lain atau kepada perkataan Nabi.

Tentang taklid ini, para ulama berbeda pendapat. Di antara para ulama ada yang mewajibkannya, karena pintu ijtihad telah ditutup untuk mutaakhirin. Ini adalah pendapat yang sangat batil, karena mengharuskan makna-makna Kitab dan Sunnah telah terkunci rapat. Padahal Al Qur‘an dan Sunnah merupakan petunjuk dan penjelasan bagi manusia sejak terutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai datangnya hari Kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya: Sungguh aku tinggalkan kepada kalian sesuatu, yang jika kalian berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan sesat sesudahku, yaitu Kitab Allah [Shahih diriwayatkan oleh Muslim no. 1218]

Dan di antara mereka ada yang mengharamkannya, karena berpegang teguh secara mutlak dalam mengikuti (ittiba) kepada selain Rasulullah. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah: “Sesungguhnya pada pendapat yang mengatakan wajib, terdapat ketaatan kepada selain Nabi dalam setiap perintah dan larangan. Hal itu menyelisihi ‘ijma. Dan diperbolehkannya terdapat hal yang sama”.

2. Taklid Khusus.
Yaitu mengambil perkataan tertentu dalam persoalan tertentu. Syaikh Utsaimin menjelaskan perihal taklid khusus ini dengan mencontohkan tentang dirinya. Beliau bertaklid kepada Imam Ahmad dalam masalah yang dalilnya tidak jelas baginya. Umpamanya ada suatu permasalahan dan waktunya sempit, sehingga beliau tidak mungkin meneliti masalah tersebut dengan dalil-dalilnya, kemudian beliau memutuskan untuk bertaklid kepada Imam Ahmad dalam masalah ini secara khusus.

Taklid khusus ini diperbolehkan, apabila seseorang tidak mampu mengetahui kebenaran dengan berijtihad, baik karena benar-benar tidak mampu, atau mampu tetapi sangat berat melakukannya.

PENUTUP
Dari pemaparan uraian ini, kita bisa mengetahui, bahwa itjihad merupakan perkara yang memiliki konsekwensi. Tidak sembarang orang bisa melakukan ijtihad, karena untuk bisa berijtihad, seseorang harus memiliki dan menguasi seperangkat ilmu pendukungnya. Begitu pula bagi seorang alim yang memiliki kemampuan, namun manakala telah berijtihad dan mengkaji dalil-dalil dan perkataan ulama, tetapi kebenaran tidak nampak jelas baginya, maka ia wajib tawaquf (tidak mengambil sikap) dan jangan menghukumi dengan ijtihadnya. Dalam keadaan seperti ini, dia diperbolehkan bertaklid karena terpaksa (darurat). Terlebih lagi dengan diri kita sebagai orang awam, atau orang yang baru mempelajari masalah din, tentu tidak memiliki kapasitas untuk berijtihad.

Dalam masalah taklid, terbagi menjadi dua macam, yang terpuji dan tercela. Taklid yang terpuji ialah, mengambil perkataan orang lain dengan hujjah. Taklid terpuji juga mempunyai nama lain, yaitu: ittiba’, su‘alul ‘alim (bertanya kepada ulama), dan ijtihad orang awam. Adapun taklid yang tercela ialah, mengambil perkataan orang lain tanpa hujjah. Tentu di dalam berijtihad ataupun bertaklid, seseorang harus menimbangnya berdasarkan Kitabullah, Sunnah Nabi n dan Ijma’.





Hakikat Islam
Senin, 23 Mei 2011 23:13:18 WIB

HAKIKAT ISLAM

Pagi itu pukul 10.00 WIB, hari Kamis tanggal 9 Desember 2004, saya bersama dua ikhwan turut menemani Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi yang akan memberikah ceramah di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam perjalanan, disela-sela kesibukan Syaikh membolak-balik lembaran koran berbahasa Arab terbitan Yordania itu, kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan memberikan informasi-informasi penting seputar IAIN dan pergolakan pemikiran yang terjadi di dalamnya. Sebuah dialog yang membuat Syaikh terperanjat dan terperangah, sehingga Syaikh menyuruh saya untuk menuliskan poin-poin yang dianggap urgen untuk ditanggapi. Sayapun menulis 10 poin dan menyodorkan kepada beliau.

Tidak terasa waktupun menunjukkan pukul 11.40 WIB dan kamipun sampai di halaman Masjid Kampus IAIN Surabaya. Ternyata shalat jama’ah telah selesai. Acara langsung dimulai. Salah seorang dosen IAIN memberikan sambutan singkat dalam Bahasa Indonesia yang isinya menyambut kedatangan Syaikh, berterima kasih kepada Allah atas kedatangan seorang ulama ahli hadits dari Yordania, dan mengharapkan kepada hadirin untuk menyimak ceramah ilmiah yang akan disampaikan Fadhilah Asy Syaikh.

Saya yang bertindak selaku penerjemah mengawali tabligh itu memperkenalkan Syaikh kepada hadirin yang berjumlah sekitar seratusan orang. Saya katakana, bahwa tamu kita ini adalah Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi, merupakan salah satu murid senior Syaikh Nashiruddin Al Albani, seorang ahli hadits terkemuka di dunia Islam yang meninggal 3 tahun yang lalu. Beliau menyertai Syaikh Al Albani selama 25 tahun, dan kini telah menulis lebih dari 150 kitab; baik ta’lif, ta’liq, tahqiq maupun Syarah.

Berikut ini ceramah Syaikh Ali Ibnu Al Hasan Al Halabi yang disampaikan di Masjid Kampus IAIN Surabaya, yang telah kami transkrip dengan memberikan sub-sub judul. Semoga bermanfaat. (Redaksi).
_______________________________________________________________________

Setelah khutbah hajah, Syaikh mengatakan:
Amma ba’du,
Sungguh saya bersyukur kepada Allah atas kesempatan yang luar biasa ini; kesempatan bertemu dan bertatap muka dengan saudara-saudaraku seagama di Perguruan Tinggi yang baik ini, Insya Allah. Kesempatan untuk berdialog, saling berwasiat dan saling memberi nasihat. Ini semua manakala kita mengetahui bahwa yang hadir di sini adalah para penuntut ilmu dan para mahasiswa yang mana kondisinya mengatakan “Ya, Allah. Tambahkanlah ilmu kepadaku”. Saya mohon kepada Allah tambahan ilmu untuk mereka.

Saya tidak ingin pertemuan ini hanya basa-basi, akan tetapi sebuah pertemuan serius yang jelas-jelas memfokuskan pada beberapa poin ilmiah yang dapat mencerahkan akal dan mengokohkan naql (wahyu) dengan pemahaman yang benar. Dengan harapan agar syubhat-syubhat (kerancuan pikiran) yang mengacaukan cara mencari ilmu di Perguruan Tinggi maupun di lembaga pendidikan lainnya dapat dilenyapkan.

Imam Adz Dzahabi (w. 748 H) mengatakan: “Hati ini lemah, sedang syubhat-syubhat ganas merajalela”. Apabila imam ini mengatakan demikian pada ratusan tahun yang lalu sementara para ulama masih banyak dan lingkungan global masih religius Islami, maka bagaimana lagi dengan kita pada hari ini, dengan kondisi kebodohan merajalela, ulama telah langka dan metodologi keilmuan menjadi tidak karuan, maka tentunya hati kita lebih lemah dan syubhat sangat kuat dan berkuasa.

Oleh karena itu, pembahasan ini akan kita tekankan pada masalah-masalah ilmiah yang amat mendasar.

HAKIKAT ISLAM
Tentang hakikat agama Islam, agama yang dengan bangga kita menisbatkan diri kepadanya, berdakwah kepadanya dan berkumpul karenanya. Dialah agama Islam yang difirmankan oleh Allah:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. [Ali Imran : 19].

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali Imran : 85].

Ayat ini merupakan dustur (undang-undang dasar) bagi setiap muslim dan merupakan syari’at yang paling agung. Islam adalah agama Allah, agama yang haq, agama yang diterima dan agama penutup. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada Nabi lagi sesudahku”.

Islam memiliki dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Pengertian khusus adalah apabila Islam digunakan secara mutlak atau lepas maka maksudnya adalah agama Nabi Muhammad n . Sedangkan makna umumnya, yaitu agama semua nabi yang mengajarkan tauhid, tunduk patuh hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firman Allah.

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” [Al An’am : 162-163].

Pasrah, menyerahkan diri kepada Allah melalui ajaran masing-masing nabi adalah makna Islam secara umum. Sedangkan makna Islam secara khusus, yang karenanya Al Qur'an diturunkan, yaitu tunduk patuh kepada Allah dan taat kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga hari kiamat.

Di dalam Al Qur'an, Al Fatihah, surat terbesar dalam Al Qur'an, yang menjadi rukun shalat, dan tidak sah shalat tanpanya, sebagaimana hadits: “Tidak ada shalat tanpa Fatihah”; surat yang dihapal oleh anak-anak kecil apalagi oleh orang dewasa, di dalamnya Allah berfirman: “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka”. Jalan yang lurus di sini, ialah agama yang dianut oleh para nabi, para shiddiq, syuhada dan kaum shalih, seperti firman Allah.

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. [An Nisa’: 69].

Telah shahih di dalam As Sunnah, bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut ayat ini “bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”, Beliau mengatakan, yang dimurkai adalah Yahudi dan yang sesat adalah Nasrani.

Seandainya ada orang yang merubah-rubah makna Islam dengan mengatakan bahwa Islam bukanlah nama agama yang diterima, tetapi sifat agama, maka ini tertolak dan batil. Yang Pertama, ia tertolak oleh Al Qur’an surat Ali Imran ayat 85:
«
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ »

Dalam ayat ini, kata Islam terkait dengan nama dan sebutan, bukan dengan sifat dan sikap. Yang Kedua, hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menafsiri surat Al Fatihah tadi.

Seandainya kita katakan bahwa setiap agama yang mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan adalah diterima, tentu tidak ada bedanya antara agama Islam, Yahudi, Nasraniyah dan agama keberhalaan, sebab para penyembah berhala itupun berniat menyembah Allah. Bukankah mereka mengatakan.

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى

Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. [Az Zumar : 3].

Jadi, mereka mengaku bertaqarrub (mendekatkan) kepada Allah. Tetapi ucapan mereka ini batil dan rusak, kesesatan yang nyata yang sangat jelas di depan mata, dan tidak memerlukan bantahan. Namun demikian kami telah membantahnya.

Guna menguatkan yang haq dan menumbangkan yang batil, Allah telah berfirman.

بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ وَلَكُمُ الْوَيْلُ مِمَّا تَصِفُونَ

Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil, lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagiNya).[Al Anbiya’ : 18].

Maka berikut ini kami sebutkan satu ayat dan dua hadits.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. [Al Baqarah:120].

Jika Islam hanya diartikan pasrah kepada Tuhan melalui agama apapun, maka apa artinya ayat yang telah membedakan satu agama dari yang lain ini?!

Adapun haditsnya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada bayi yang lahir, melainkan dia dilahirkan di atas fitrah (tauhid, Islam). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani atau Majusi”. [HR Bukhari Muslim].

Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, yang jiwa Muhammad ada di tanganNya. Tidak ada seorangpun dari umat ini, baik Yahudi atau Nasrani yang mendengar tentang aku kemudian ia mati dan tidak beriman kepada agama yang aku bawa, melainkan ia menjadi penghuni neraka”. [HR Muslim].

Lalu bagaimana ucapan mereka yang mengatakan bahwa semua agama sama saja? Bagaimana mereka menyamakan antara yang haq dengan yang batil?

SUMBER ISLAM BUKAN PRODUK BUDAYA
Apabila kita telah mengenal Islam, makna, sifat dan hakikatnya, bahwa ia merupakan agama yang diterima oleh Allah dan tidak ada lagi sesudahnya atau bersamanya agama lain yang diterima, maka kita harus mengetahui sumber-sumber agama Islam ini berikut penjelasannya. Sumber agama ini ialah Al Qur'an dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman.

إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus. [Al Isra’: 9].

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci? [Muhammad : 24].

Inilah Al Qur'an yang telah dinyatakan oleh Allah.

لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. [Fushshilat : 42].

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ

Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. [At Taubah : 6].

Sungguh kalam (firman Allah) seluruhnya sempurna, tidak ada cela, cacat atau kurang. Kalam Allah adalah sifat Allah. Bila Allah Yang Pemilik sifat adalah Maha sempurna, maka sifatnya adalah sempurna, tidak ada kekurangan sedikitpun di dalamnya.

Orang-orang yang tidak memahami hakikat Al Qur'an itu, entah karena bodohnya atau sikap sok pintarnya mengatakan bahwa Al Qur'an adalah muntaj tsaqafi (produk budaya). Sungguh, yang muncul dari mulut mereka adalah kebohongan besar. Bagaimana mungkin Al Qur'an disamakan dengan buku-buku lain yang dikarang oleh manusia, sedangkan Allah berfirman.

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? [Al Mulk : 14].

Al Qur'an diturunkan Allah melalui Jibril Alaihissallam kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

وَبِالْحَقِّ أَنْزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا

Dan Kami turunkan Al Qur'an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur'an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. [Al Isra’ : 105].

Bagaimana mungkin Al Qur'an yang sempurna keseluruhannya sejajar dengan produk manusia yang penuh dengan kekurangan? Seandainya ucapan ini keluar dari orang yang telah ditegakkan hujjah atasnya, tentu ia menjadi kafir; akan tetapi kita memakluminya, yang dikarenakan kebodohannya. Kami nasihatkan kepada orang-orang seperti ini agar bertaqwa kepada Allah, ingat kematian, kebangkitan, pertemuannya dengan Allah Penguasa alam semesta, hisab, pahala dan siksa.

Maka wajib mengimani bahwa Al Qur'an adalah Kalam Allah (bukan makhluk dan bukan produk budaya), tidak mengandung kebatilan dan kekurangan, semuanya merupakan kebaikan, agama dan kebenaran, dan selainnya adalah batil dan rusak. Sehingga, selama-lamanya tidak boleh mengatakan bila Al Qur'an sebagai produk budaya. Ucapan seperti ini sesat menyesatkan.

Al Qur'an, sebagaimana saya katakan tadi, adalah sempurna keseluruhannya, sebagaimana firman Allah tentang ucapan jin yang mendengarkan Al Qur'an.

فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْءَانًا عَجَبًا(1)يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا

Lalu mereka berkata: "Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Qur'an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami. [Al Jin : 1-2].

Al Qur'an adalah kitab hidayah, petunjuk kepada jalan yang benar. Semua bagian Al Qur'an menunjukkan kepada jalan yang benar. Anggapan ayat-ayat Makkiyyah bersifat universal, sedangkan ayat-ayat Madaniyyah adalah tipikal dan lokal adalah batil dan rusak. (Mengapa?) Pertama : Karena nash Al Qur'an dalam ayat tadi –misalnya- bersifat umum menyeluruh: “Sesungguhnya Al Qur'an ini menunjukkan kepada jalan yang lurus” mencakup ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah. Kedua : Ucapan ini merupakan tafsir yang semena-mena, pendapat belaka, dugaan dan nafsu, tidak ada dasar rasional dan tidak pula dasar syar’i: “Datangkanlah bukti-buktimu jika kamu benar”. Ketiga : seluruh ulama telah bersepakat bahwa pelajaran itu didasarkan pada keumuman lafazh, bukan pada kekhususan sebab.

Bila ayat itu jelas makna dan petunjuknya, maka ia mencakup semuanya. Sebab nuzulnya ayat tidak membatasi berlakunya ayat, (tetapi memperjelas dan mempertegas makna yang dimaksud oleh ayat). Jadi ucapan mereka ini batil dan rusak, dan dimaksudkan untuk meragukan Al Qur'an dan mengingkarinya.

AS SUNNAH SEBAGAI SUMBER KEDUA
Al Qur'an ini adalah firman Allah yang telah menunjukkan agar kita berhujjah dengan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman:

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. [Al Hasyr : 7].

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. [An Nur : 54].

Seandainya yang diterima di sini hanya Al Qur'an, tentu ayat-ayat Al Qur'an ini tidak ada maknanya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang dikatakan oleh Allah sebagai orang yang tidak berbicara kecuali dengan wahyu

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَ

dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya [An Najm : 3]

(Beliau) bersabda : Ingatlah, sesungguhnya aku diberi Al Qur’an dan yang semisalnya bersamanya. Yang semisal dengan Al Qur'an adalah As Sunnah. Permisalan di sini bukanlah dalam kedudukan dan kesucian. Kalam Allah sesuai dengan kesucian Dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala, sedangkan kalam RasulNya sesuai dengan diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kesamaannya di sini adalah dalam bidang hukum; hukum-hukum As Sunnah sama dengan hukum-hukum Al Qur'an, karena ia adalah wahyu seperti Al Qur'an.

Abdullah Ibn Umar Ibn Al Ash Radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Ya, Rasulullah! Engkau berbicara pada waktu ridha dan pada waktu marah. Maka apakah aku menulisnya?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, yang jiwaku ada di tanganNya. Tidak ada yang keluar dari lisanku, melainkan kebenaran, maka tulislah!”

Barangsiapa mencela Sunnah, sebenarnya pukulan itu mengenai Al Qur'an sebelum As Sunnah itu sendiri. Maka hendaklah ia bertaubat, kembali kepada akal sehatnya dan kembali kepada kebenaran. Sebelum datang waktu penyesalan; penyesalan yang tidak lagi berguna dan tidak pula didengar.

Kondisi mereka benar-benar mengingatkan pada sebuah hadits: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari dada para ulama, akan tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut nyawa para ulama hingga tidak tersisa satu orang alimpun. Maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu (satu riwayat: dengan ra’yu mereka), maka mereka sesat dan menyesatkan”. Ini adalah berkata dusta atas Allah. Satu dosa besar yang terbesar, karena Allah berfirman tentang beberapa dosa besar, dan yang terakhir adalah berkata tentang Allah tanpa ilmu.

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. [Al A’raf : 33].

SYUBHAT PENOLAK HADITS
Orang-orang yang mencela hadits, logika mereka sangat rendah dan rapuh. Syubhat-syubhat mereka yang paling penting ada dua macam.

Syubhat Pertama. Mengandalkan akal untuk membatalkan naql (wahyu Al Qur'an dan Sunnah). Mereka menjadikan akal sebagai asas (pondasi). Hal ini lemah, karena akal itu berbeda-beda; ada akal orang awam, ada akal orang terpelajar, ada akal sarjana, ada akal bukan sarjana, ada akal orang kota, ada akal orang desa, dan seterusnya. Lalu akal siapakah yang harus kita ikuti? Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An Nisa’ : 59].

Allah mengajarkan, jika akal kalian berselisih dan pemahaman berbeda-beda dan jika terdapat sengketa, maka kembalikanlah kepada Al Qur'an dan As Sunnah. Inilah solusi bagi perselisihan. Bagaimana mungkin mengembalikan perselisihan kepada akal, yang ia menjadi penyebabnya, lalu kita jadikan sebagai hukum atas Al Qur'an dan As Sunnah?!

Kemudian, akal itu sendiri berkembang, sedangkan agama Islam ini tetap. Karena ia (Islam) menjadi timbangan yang berfungsi untuk memperbaiki keadaan. Dinamika kehidupan dan kemajuan dapat bertemu dengan agama, bukan agama yang harus berjalan di belakang perkembangan jaman. Agama adalah guru dan pengawal bagi kebudayaan. Kebudayaan itu ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang bermanfaat dan ada pula yang membayakan, ada yang lurus dan ada pula yang sesat. Untuk memilah-milah ini semua, (maka) harus kembali kepada agama.

Sebagai ilustrasi bahwa akal itu berkembang, saya sebutkan satu contoh sederhana. Lima tahun yang lalu, tidak lebih dari itu, kalau ada orang yang mengatakan di sakuku ada kitab Shahih Bukhari, ada Tafsir Ibn Katsir dan ada Majmu’ Nawawi. Tentu seorang akan mengatakan: “Kamu sudah gila. Mana mungkin Shahih Bukhari yang 4 jilid, Tafsir Ibn Katsir yang 4 jilid dan Majmu’ Nawawi yang 20 jilid itu masuk dalam saku yang kecil? Sekarang, akal yang sama akan mempercayainya, sebab CD yang beratnya sekitar 5 gram itu dapat memuat kitab-kitab tadi, bahkan lebih. Oleh karena itu, jangkauan akal amat terbatas. Dia tidak akan memahami apa yang belum dijangkaunya.

Sementara syara’ (Al Qur'an dan Sunnah) adalah sempurna dan terjaga dari kesalahan, berada di atas akal. Dan akal, tidak disebut mukmin sebelum (ia) tunduk patuh kepada ketentuan syara’. Allah berfirman.

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [An Nisa’: 65].

Dengan demikian jika akal berseberangan dengan syara’, maka tuduhlah akal, karena akallah yang belum dapat memahami kebenaran wahyu. Kitab Allah adalah wahyu yang sempurna, sementara akal selalu memerlukan bimbingan wahyu untuk menyempurnakan dan menutupi kekurangannya. Menjadikan akal sejajar dengan wahyu atau setingkat di atas wahyu, demikian ini merupakan pemahaman yang batil. Mereka adalah orang-orang yang lancang, angkuh dan sombong. Lalu dengan akal siapakah dan yang manakah kita harus menghukumi dan berhukum?!

Allah berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [Al Ahzab : 36].

Anda tidak memiliki pilihan lain di hadapan Kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala, kecuali menerima, mengimani, mengikuti, ridha dan istiqamah di atasnya. Inilah sifat orang yang cerdas, bijak, mendapat petunjuk di dunia dan bahagia di akhirat.

Syubhat logika yang rusak tadi, akal sendiripun memvonisnya sebagai cara berpikir yang tidak logis.

Syubhat Kedua : Kemudian syubhat kedua sama dengan yang pertama, jauh dari nilai ilmiah, yaitu mencela para rawi hadits. Di antaranya dengan membuat keragu-raguan seputar sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, sahabat yang terbanyak dalam meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang yang melakukan ini, sepertinya tidak mengetahui semua hadits atau sebagian besar hadits. Sebab, sebagian besar hadits itu diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Cukuplah keutamaan Abu Hurairah dalam dua riwayat berikut ini; yang pertama dari Abu Hurairah dan yang kedua tentang Abu Hurairah.

Riwayat dari Abu Hurairah, dia berkata: “Saya menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan mengisi perut seadanya. Aku tidak menginginkan harta dan dunia. Aku hanya ingin menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam"

Jadi Abu Hurairah meninggalkan dunia seisinya dan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di sinilah letak kekayaan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.

Riwayat yang kedua, Abu Hurairah datang kepada Rasul Shallallahu 'alaihi melaporkan perihal hafalannya. Maka Rasul Shallallahu
wa sallam  'alaihi wa sallam bersabda: “Angkat pakaianmu”. Abu Hurairah lalu mengangkatnya. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meniup pada pakaiannya. Abu Hurairah lalu berkata: “Semenjak itu, aku tidak pernah lupa satu haditspun yang telah aku hafal dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam"

Begitulah kecintaan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu kepada Rasul dan kecintaan Rasul kepada Abu Hurairah. Kemudian tiba-tiba mereka datang lalu mencela dan mencaci maki Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Sungguh mereka adalah orang-orang yang jauh dari kitab Allah dan Sunnah RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

HARAPAN SYAIKH
Akhirnya, saya akan menutup (muhadharah ini) dengan dua perkara. Yang satu bersifat umum, (yaitu) berkaitan dengan ceramah kita. Dan yang kedua bersifat khusus, berkaitan dengan Perguruan Tinggi Sunan Ampel.

Setelah kami menjelaskan hakikat Islam –tidak ada satu agama yang diterima setelahnya dan bersamaan dengannya- setelah kami jelaskan sumber-sumber agama Islam, yaitu kitab Allah yang berisi hukum, hidayah dan syari'at. Kemudian kami jelaskan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan wahyu yang sama dengan Al Qur'an, lalu kami jelaskan tentang akal dan kedudukannya yang amat tinggi dalam Islam untuk memahami Al Qur'an dan Sunnah, bukan untuk menghakimi dan menolak Al Qur'an dan Sunnah. Berikutnya menjelaskan tentang Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, kedudukan dan keutamaannya. Dia adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. (maka setelah saya jelasakan hal-hal di atas), saya katakan: “Di antara manhaj ilmi yang benar yang wajib diketahui, bahwa Al Qur'an dan Sunnah harus kita pahami sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih. Secara ringkas saya sebutkan dua dalil berikut ini.

Allah berfirman.

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An Nisa’: 115].

Ini sebagai isyarat kepada pemahaman lurus yang terdapat pada diri para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Karena itu, wajib memahami Al Qur'an dan Sunnah berdasarkan pemahaman para salafush shalih, dan tidak boleh memahaminya dengan pemahaman yang menyimpang dari pemahaman mereka.

(Yang) kedua, hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Sebaik-baik generasi manusia adalah generasiku kemudian generasi berikutnya kemudian berikutnya.”

Tidak mungkin khairiyyah (nilai kebaikan) di sini dikaitkan dengan jaman, tempat, orang atau fisik. Akan tetapi, kebaikan yang dimaksud ialah kebaikan iman, kepatuhan, pemahaman, ilmu dan amal. Dan kebaikan ini terdapat pada tiga kurun yang utama tersebut agar menjadi pelita bagi generasi sesudahnya.

Terakhir, perkara yang khusus, bahwa saya memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah memudahkan adanya muhadharah ini. Namun saya sangat terheran-heran dan tidak habis pikir, Perguruan Tinggi yang dengan bangga menyematkan label Islam di belakangnya ini, yaitu Al Jami’ah Al Islamiyyah (Universitas Islam) bukan Al Jami’ah Al Mukhalifah Lil Islam (Universitas Penolak Islam), tetapi saya menemukan di dalamnya tiga fenomena yang memprihatinkan:

Pertama. Banyak akhwat, Mahasiswi yang tidak mengenakan pakaian syar’i atau hijab Islami. Hijab yang dimaksud bukan hanya menutup kepala, tetapi menutup seluruh tubuh dan seluruh badan, tidak menampakkan bentuk tubuh dan perhiasan.

Kedua. Banyak pemuda, Mahasiswa yang duduk-duduk dengan fatayat (mahasiswi). Tidak mungkin pemuda itu ayahnya, saudaranya, atau suaminya. Kalaupun ada, paling satu di antara seratus, sedangkan sisanya apa yang mereka lakukan di Perguruan Tinggi Islam ini?!

Ketiga. Kita sekarang berada di rumah Allah, berdzikir kepada Allah menuntut ilmu Allah. Saya sendiri datang dari jauh, dari balik Samudra Hindia, sementara saudara-saudara kita dengan santai ada yang duduk-duduk di pinggir jalan, ada yang di atas tangga, ada yang di halaman, ada yang di pojok sana dan pojok sini; mengapa tidak berkumpul di sini, di rumah Allah ini, mendengarkan dan mengikuti majelis ilmu, sesuai dengan do’a: “Ya Rabb, tambahkan ilmu kepadaku”?

Harapan saya pada Perguruan Tinggi Sunan Ampel ini, semoga pada kunjungan saya yang akan datang, fenomena yang “menakjubkan” ini dapat dihilangkan atau dapat diminimalisir semaksimal mungkin.

وَالْعَصْرِ(1)إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. [Al Ashr : 1-3].

Sikap Islam Terhadap Perbudakan
Minggu, 8 Mei 2011 22:15:42 WIB

SIKAP ISLAM TERHADAP PERBUDAKAN

Oleh
Syaikh Abdullah Ali Bassam dan Syaikh Abu Bakar al-Jazairi


Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Bin Shalih Ali Bassam berkata di dalam kitab Taisir ‘Allam juz 2 halaman 567-571 : Beberapa musuh Islam mencela keras pelegalan perbudakan dalam Syari’at Islam, yang menurut pandangan mereka termasuk tindakan biadab. Karena itu saya ingin menjelaskan permasalahan perbudakan di dalam pandangan Islam dan ajaran-ajaran lain, serta secara ringkas akan saya jelaskan sikap Islam terhadap perbudakan.

Sebenarnya perbudakan dahulu telah tersebar ke seluruh penjuru dunia/bumi, tidak hanya pada zaman Islam. Bangsa Romawi, Persia, Babilonia, dan Yunani, seluruhnya mengenal perbudakan. Dan para tokoh Yunani, seperti Plato dan Aristoteles pun hanya mendiamkan tindakan ini. Bahkan mereka memiliki banyak sebab untuk memperbudak seseorang seperti adanya perang, tawanan, penculikan atau karena menjadi pencuri. Tidak hanya itu, mereka pun menjual anak-anak yang menjadi tanggungan mereka untuk dijadikan budak, bahkan sebagian mereka menganggap para petani sebagai budak belian.

Mereka memandang hina terhadap para budak, karena itu para budak diperkerjakan untuk mengurusi pekerjaan-pekerjaan kotor dan berat. Dan karena itu pula Aristoteles menganggap para budak hidupnya tidak kekal di akherat, baik mereka di Surga atau di Neraka, jadi para budak tidak bedanya dengan hewan. Fir’aun pun memperbudak Bani Israil dengan perlakuan yang paling keji, sehingga dengan tega ia membunuh anak laki-laki Bani Israil dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Orang-orang Eropa pun ketika menemukan benua Amerika, mereka memberikan sikap yang paling buruk terhadap penduduk asli. Inilah perbudakan, sebab, pengaruh dan bentuknya di dalam ajaran selain Islam. Contoh yang baru saja kami sampaikan baru sedikit dari sekian banyak perlakuan keji merek kepada para budak.

Sekarang marilah kita perhatikan pandangan Islam terhadap perbudakan.

1. Islam Mempersempit Sebab-Sebab Perbudakan.
Islam menyatakan bahwa seluruh manusia adalah merdeka dan tidak bisa menjadi budak kecuali dengan satu sebab saja, yaitu orang kafir yang menjadi tawanan dalam pertempuran. Dan Panglima perang memiliki kewajiban memberikan perlakuan yang tepat terhadap para tawanan, bisa dijadikan budak, meminta tebusan atau melepaskan mereka tanpa tebusan. Itu semua dipilih dengan tetap melihat kemaslahatan umum.

Inilah satu-satunya sebab perbudakan di dalam Islam berdasarkan dalil naqli yang shahih yang sesuai dengan dalil aqli yang shahih. Karena sesungguhnya orang yang berdiri menghalangi aqidah dan jalan da’wah, ingin mengikat dan membatasi kemerdekaan serta ingin memerangi maka balasan yang tepat adalah ia harus ditahan dan dijadikan budak supaya memperluas jalannya da’wah.

Inilah satu-satunya sebab perbudakan didalam Islam, bukan dengan cara perampasan manusia, ataupun menjual orang merdeka dan memperbudak mereka sebagaimana umat-umat yang lain.

2. Islam Menyikapi Para Budak Dengan Lemah Lembut Dan Penuh Kasih Sayang.
Karena itu Islam mengancam dan memperingatkan orang yang memberikan beban berlebihan kepada para budak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

اتَّقُوا اللهَ وَ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“Bertaqwalah kalian kepada Allah dan perhatikanlah budak-budak yang kalian miliki” [1]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ مَا لاَ يُطِيقُ

Budak memiliki hak makan/lauk dan makanan pokok, dan tidak boleh dibebani pekerjaan yang diluar kemampuannya. [2]

Bahkan Islam mengangkat derajat mereka, dari sekedar budak menjadi saudara bagi tuan mereka sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِنَّ إِخْوَانَكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَأَعِينُوهُمْ

”Mereka (para budak) adalah saudara dan pembantu kalian yang Allah jadikan di bawah kekuasaan kalian, maka barang siapa yang memiliki saudara yang ada dibawah kekuasaannya, hendaklah dia memberikan kepada saudaranya makanan seperti yang ia makan, pakaian seperti yang ia pakai. Dan janganlah kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang memberatkan mereka. Jika kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang berat, hendaklah kamu membantu mereka. [3]

Islam tidak hanya meninggikan derajat mereka dalam masalah sikap yang harus diberikan, akan tetapi juga di dalam berbicara dengan mereka, sehingga mereka tidak merasa rendah diri, karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَلاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ عَبْدِي وَ أَمَتِي وَلْيَقُلْ فَتَايَ وَفَتَاتِي

Janganlah salah seorang diantara kalian mengatakan: Hai hamba laki-lakiku, hai hamba perempuanku, akan tetapi katakanlah : Hai pembantu laki-lakiku, hai pembantu perempuanku. [4]

Bukan hanya itu, Islam bahkan tidak menjadikan nasab atau jasad/tubuh sebagai standard kemuliaan seseorang di dunia dan di akhirat, namun kecakapan dan nilai maknawilah standar kemuliaan manusia.

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah orang-orang yang paling bertaqwa. [Al-Hujurat:13]

Karena itu, berbekal ilmu dan kemampuan yang dimiliki, beberapa bekas budak bisa menyamai kedudukan tuannya, baik dengan menjadi penglima tentara, pemimpin umat, hakim atau jabatan-jabatan agung yang lainnya. Ini semua karena kemampuan mereka yang merupakan sumber kemuliaan.

Disamping mengangkat derajat mereka, syari’at juga mengawasi dan memperhatikan pembebasan dengan cara mendorong perbuatan tersebut dan menjanjikan keselamatan dari neraka serta keberuntungan dengan masuk syurga bagi seorang yang membebaskan budak. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim :

مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ الهُأ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّارِ حَتَّى يُعْتِقَ فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ

Barang siapa membebaskan budak yang muslim niscaya Allah akan membebaskan setiap anggota badannya dengan sebab anggota badan budak tersebut, sehingga kemaluan dengan kemaluannya. [5]

Cukuplah didalam keutamaan membebaskan budak, hadits shohih diatas dan sebuah hadits yang diriwayat oleh Tirmidzi dari Abu Umamah dan shahabat yang lain.

أَيُّمَا امْرِئٍ مُسْلِمٍ أَعْتَقَ امْرَأً مُسْلِمًا كَانَ فِكَاكَهُ مِنَ النَّارِ

Siapa saja seorang muslim yang membebaskan seorang budak yang muslim, maka perbuatannya itu akan menjadi pembebas dirinya dari api neraka.[6]

Hadits dan atsar yang mendorong untuk membebaskan budak banyak sekali, dan tidak ada perbuatan baik yang lebih besar daripada membebaskan seorang muslim dari perbudakan. Karena dengan kemerdekaan dirinya sempurnalah derajat kemanusiaan yang ia miliki setelah dahulunya berstatus seperti hewan.

Kemudian Islam memiliki beberapa sebab kemerdekaan seorang budak, baik merdeka secara terpaksa atau merdeka secara ikhtiari. Jalan merdeka secara paksa adalah.

1. Barang siapa melukai tubuh budaknya maka ia wajib membebaskan budaknya tersebut. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang mengisahkan adanya seorang tuan yang memotong hidung budaknya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada budak itu.

اذْهَبْ فَأَنْتَ حُرٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ الهِن فَمَوْلَى مَنْ أَنَا ؟ قَالَ : مَوْلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ

Pergilah engkau karena sekarang engkau orang yang merdeka, maka budak itu berkata: “Ya Rasulullah saya ini maula (budak) siapa”, Beliau menjawab : “Maula Allah dan RasulNya. [7]

2. Seorang budak dimiliki oleh beberapa orang, lalu salah seorang pemilik membebaskan bagiannya, maka pemilik tadi harus membebaskan bagian sekutunya secara paksa. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي مَمْلُوكٍ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعْتِقَ كُلَّهُ

Barangsiapa membebaskan bagiannya dari seorang budak, maka ia wajib membebaskan seluruhnya. [8]

Dalam hal ini perlu ada rincian yang memerlukan pembahasan tersendiri.

3. Barang siapa memiliki budak yang ternyata masih kerabat dekatnya (mahramnya) maka wajib atas pemiliknya untuk membebaskan secara terpaksa. Berdasarkan hadits :

مَنْ مَلَكَ ذَا رَحِمٍ مَحْرَمٍ فَهُوَ حُرٌّ

Barang siapa memiliki budak yang termasuk kerabatnya bahkan mahromnya maka budak itu merdeka. [9]

Inilah sebab-sebab secara terpaksa yang menghilangkan hak milik tuan terhadap budaknya. Sebab-sebab terpaksa ini di syari’atkan karena adanya rahasia syar’iyah dan pengaruh khusus sehingga syari’at tidak menjadikannya sebagai sebab pilihan atau sebab yang bisa dirujuk/di batalkan.

Disamping mendorong untuk membebaskan budak, syari’at juga menjadikan pembebasan budak sebagai kafarah pertama untuk selamat dari dosa-dosa, pembebasan budak sebagai alternatif pertama untuk kafarah bersetubuh di siang bulan Ramadlan, zhihar (seorang suami mengatakan kepada istrinya bahwa punggungnya seperti punggung ibunya, yakni suami tidak mau menggauli istrinya-red) dan membunuh secara tidak sengaja.

ISLAM AGAMA KEMULIAAN, KEAGUNGAN DAN KEADILAN.
Setelah keterangan diatas, bagaimana mungkin orang-orang Barat atau orang yang kebarat-baratan mencela sikap Islam terhadap masalah perbudakan. Kemudian mereka membuka mulut lebar-lebar seraya meneriakkan kemerdekaan dan hak asasi manusia, sedangkan merekalah yang memperbudak rakyat dan menghinakan banyak bangsa. Mereka memperbudak bangsa lain di tengah-tengah bangsa itu sendiri, merampas harta benda dan menghalalkan negeri untuk dijajah. Mereka mengangkat kepala untuk meneriakkan HAM, sedangkan mereka sendiri menyikapi golongan masyarakat di dalam negeri mereka lebih rendah dari pada cara bergaul dengan budak.

Dimanakah keadilan Islam dibandingkan dengan sikap orang-orang Amerika terhadap orang-orang Negro dengan adanya larangan masuk sekolah, menjabat atau bekerja sebagai pegawai negeri. Seolah-olah mereka menganggap orang-orang Negro sama dengan hewan.

Dan dimanakah “Ihsan” dan rasa santun Islam dibandingkan dengan tindakan orang-orang Barat kepada para tahanan yang kini masih terdapat di dalam penjara yang gelap, padang belantara dan tempat-tempat yang tidak dikenal (di pembuangan)

Dimanakah negeri Isam yang penuh cinta kasih sayang yang memberikan keadilan kepada seluruh penduduknya dari berbagai jenis strata sosial, agama dan ras sebagai bangsa dalam hak dan kewajiban, bila dibandingkan dengan perbuatan kriminil orang-orang Prancis terhadap manusia-manusia merdeka di Aljazair (dahulu Aljazair dijajah Prancis), di tengah-tengah negeri mereka sendiri dan di tengah-tengah bangsa mereka sendiri. Nyatalah sudah bahwa tuduhan yang mereka kumandangkan adalah tuduhan palsu/batil.

Setelah keterangan ini, apakah belum tiba saatnya bagi para reformis dan pecinta kedamaian untuk membuka mata mereka kemudian kembali kepada ajaran Islam dengan penuh perenungan dan kesadaran, sehingga mereka menjadi sadar akan kebahagiaan manusia dalam ajaran Islam, baik untuk saat ini atau masa yang akan datang.

TAMBAHAN
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarh al-Aqidah al Washithiyah juz 1 hal 229-230 takhrij Sa’ad bin Fawwaz ash Shomil cet. II Dar Ibnu Jauzi : “Disini kami wajib mengingatkan perbuatan sebagian orang yang menggantkan (istilah) keadilan dengan dengan persamaan. Ini merupakan kesalahan, keadilan tidak boleh dikatakan persamaan, karena kata persamaan terkadang menuntut adanya persamaan antara dua hal yang seharusnya dibedakan.

Karena seruan yang tidak adil ini (ajakan kepada persamaan) mereka berkata: “Apakah perbedaan laki-laki dengan perempuan? Samakanlah laki-laki dengan perempuan!”. Sampai-sampai orang-orang Komunis mengatakan: “Apakah perbedaan antara pemerintah dengan rakyat, tidak mungkin orang bisa menguasai orang lain meskipun orang tua dengan anak, orang tua tidak mungkin mempunyai kekuasaan terhadap anak”, demikian seterusnya!

Akan tetapi jika kita mengatakan “keadilan” yang maknanya memberikan hak kepada setiap orang yang memiliki hak tersebut, niscaya hilanglah bahaya (dari istilah persamaan) ini dan (kalimat yang) diungkapkan akan menjadi selamat dari makna yang batil. Karena itu selamanya tidak ada di dalam al-Qur’an ayat yang berbunyi : "Sesungguhnya Allah memerintahkan persamaan". Tetapi yang ada adalah :

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ

Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan. [An-Nahl :90]

وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

Dan jika engkau menghukumi manusia maka hukumilah dengan adil. [An-Nisa’ : 58]

Maka orang yang mengatakan "Islam adalah agama persamaan" telah salah, akan tetapi yang benar adalah "Islam adalah agama keadilan", yang bermakna: menyamakan perkara yang sama dan memisahkan perkara yang berbeda. Jika yang dia maksudkan dengan persamaan adalah makna keadilan di atas tetapi dia menggunakan istilah persamaan, maka orang ini salah dalam memilih kata/istilah walaupun yang dimaksudkan benar.

Karena ini mayoritas ayat al-Qur’an meniadakan persamaan seperti :

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Adakah orang yang mengetahui sama dengan orang tidak mengetahui? [Az-Zumar : 9]

هَلْ يَسْتَوِي اْلأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ

Orang Awam : Antara Taklid Dan Ijtihad
Rabu, 4 Mei 2011 21:48:04 WIB

ORANG AWAM : ANTARA TAKLID DAN IJTIHAD


Membicarakan orang awam, maka tidak terlepas dari salah satu persoalan yang berhubungan dengan masalah taklid. Atau bagaimana cara melaksanakan dan memandang perkara-perkara keagamaan yang belum dipahami, sehingga memerlukan rujukan untuk mengetahui ilmunya.

Karena pada umumnya orang awam, memang kebanyakan tidak menguasai permasalahan. Kadang ada yang terlampau eksplosif melakukan aksi dalam bentuk perbincangan adu argumentasi, bahkan fisik ataupun aksi lainnya yang mungkin justeru menjauhkannya dari kaidah syariat.

Barangkali ada yang berdalih, bukankah setiap muslim mempunyai kewajiban yang sama untuk saling menyampaikan kebenaran? Pernyataan ini tidak keliru. Akan tetapi, hendaklah setiap muslim juga harus memahami terhadap kemampuan dan posisi dirinya. Apakah sebagai ulama, penguasa, qadhi, penuntut ilmu atau sebagai orang awam (rakyat biasa)? Sebab, masing-masing memiliki tugas, kewajiban dan kewenangan yang berbeda. Dan setiap amal perbuatan itu harus dilandasi dengan hujjah. Lantas bagaimana seseorang harus mengambil hujjah? Terlebih bagi seorang awam; bertaklid ataukah mendasarkan kepada ilmu ‘sebatas’ yang diketahuinya?

Berikut kami nukilkan dari kitab Ad Durratul Bahiyah Fi Taqlid Wal Madzhabiyah Min Kalamil Syeikhul Islam Ahmad Abdul Halim bin Taimiyah, yang disusun oleh Muhammad Syakir Asy Syarif, sehingga kita -sebagai orang awam- dapat memetik pelajaran, hubungannya dengan para ‘alim yang menguasai ilmu. Semoga bermanfaat. (Redaksi)

SIAPAKAH YANG DILARANG DAN DIPERBOLEHKAN BERTAKLID?
• Adapun seperti Malik, Asy Syafi’i, Sufyan, Ishak bin Rahaweh dan Abu ‘Ubaid, maka Imam Ahmad telah mengatakan di berbagai tempat, bahwa tidak dibolehkan bagi seorang yang ‘alim (yang mampu berdalil) bertaklid kepada mereka….Dan dia melarang ulama dari murid-muridnya seperti Abu Dawud, Utsman bin Sa’id, Ibrahim Al Harbi, Abu Bakar Al Atsram, Abu Zur’ah, Abu Hatim As Sajastani, Muslim dan lain-lainnya,”(Melarang) bertaklid kepada seseorang, pun di antara ulama.” Dan dia mengatakan,“Berpeganglah kalian dengan sumber Al Quran dan As Sunnah.“

• Sedangkan bagi seseorang yang mampu berijtihad, apakah boleh bertaklid? Tentang masalah ini terdapat khilaf. Pendapat yang benar ialah boleh bertaklid bila tidak mampu berijtihad yang dikarenakan takafu’ (adanya dalil yang memiliki derajat sama kuatnya), sempitnya waktu untuk berijtihad, atau tidak jelas dalilnya. Maka, tatkala ia tidak mampu; gugurlah yang menjadi kewajiban (berijtihad), sehingga dibolehkan untuk bertaklid.

• Bagi orang yang tidak mampu untuk mengetahui hukum Allah dan RasulNya, sehingga menyebabkannya mengikuti seseorang yang ahli ilmu agama, serta tidak mendapatkan pendapat yang lebih rajih dari pendapat orang tersebut, maka hal itu terpuji dan mendapatkan pahala. Tidak tercela dan tidak disiksa.

• Sedangkan pendapat jumhur umat ini ada yang memperbolehkan ijtihad ataupun taklid (secara umum). Mereka tidak mewajibkan ijtihad bagi setiap orang dan mengharamkan taklid. Tidak mewajibkan taklid untuk setiap orang dan mengharamkan ijtihad. Tetapi ijtihad diperbolehkan untuk yang mampu berijtihad. Serta taklid diperbolehkan untuk yang tidak mampu berijtihad.

• Menurut jumhur, bagi orang yang tidak mampu berijtihad diperbolehkan taklid kepada orang ‘alim.

SIAPAKAH YANG DIMINTAI FATWA OLEH ORANG AWAM?
• Apabila seorang muslim menghadapi suatu masalah (nazilah), maka dia menanyakan fatwa kepada orang (‘alim ) yang diyakini akan berfatwa sesuai dengan syari’at Allah dan RasulNya dari madzhab manapun.

• Bilamana dalam masalah-masalah yang sulit, memungkinkannya dapat mengetahui petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, maka wajib mengikutinya. Jika tidak memungkinkan, karena sempitnya waktu, tidak mampu mencarinya, dalilnya takafu’ -menurut pendapatnya-, atau sebab lainnya, maka ia boleh bertaklid kepada orang yang diridhai ilmu dan agamanya.

YANG TIDAK BOLEH DILANGGAR OLEH ORANG YANG BERTAKLID
• Barangsiapa yang bertaklid, maka ia harus menetapi hukum taklid. Tidak boleh merajihkan, meneliti, membenarkan, dan menyalahkan.

APABILA SESEORANG HARUS BERTAKLID, MAKA SIAPAKAH YANG HARUS DIIKUTI?
• Jika seseorang harus bertaklid, maka hendaknya bertaklid kepada orang yang dipandang lebih dekat dengan kebenaran.

DIPERBOLEHKAN MENGIKUTI MADZHAB TERTENTU APABILA TIDAK MAMPU MEMAHAMI SYARA’ (AGAMA), KECUALI DENGAN MENEMPUH CARA TERSEBUT
Diperbolehkan bagi seseorang mengikuti madzhab tertentu karena ketidakmampuannya dalam memahami agama, kecuali melalui madzhab tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi seseorang yang mampu memahami agama tanpa melalui cara tersebut. Dan setiap orang wajib bertakwa kepada Allah menurut kemampuannya. Berusaha mengetahui perintah Allah dan RasulNya. Kemudian mengerjakan perintah dan meninggalkan laranganNya. Wallhu ‘alam.

Dan barangsiapa mengetahui petunjuk tanpa dengan mengikuti syeikh tertentu, maka tidak perlu mengikuti kepada satu syeikh (tertentu) dan tidak disunatkan, bahkan dimakruhkan (dibenci).

Adapun jika tidak memungkinkan untuk beribadah kepada Allah yang bersesuaian dengan perintahNya, kecuali dengan cara mengikuti madzhab orang tertentu, seperti apabila bertempat-tinggal di lingkungan yang lemah pengenalannya kepada petunjuk, ilmu, dan iman; serta orang–orang yang mengajari dan mendidiknya tidak mau memberikan ilmu kecuali dengan menisbatkan kepada syeikh mereka, atau penisbatan kepada syeikhnya itu akan menambah agama dan ilmu, maka ia melakukan yang lebih maslahat untuk agamanya. Tetapi pada umumnya hal itu tidak terjadi, kecuali karena kelalaiannya (tidak mempelajari ilmu). Sebab kalau tidak demikian, andaikata ia mau mencari petunjuk sesuai dengan apa yang diperintahkan, pasti akan mendapatkannya.

TETAPI TIDAK DIPERBOLEHKAN MEMBERIKAN PEMBELAAN DAN MEMUSUHI ATAS DASAR PENISBATAN KEPADA MADZHAB. BARANGSIAPA MELAKUKAN HAL ITU, MAKA IA TERMASUK AHLI BID’AH
• Di dalam Al Qur’an dan As Sunnah, tidak ada pembedakan diantara imam-imam mujtahidin, antara yang satu dengan seorang lainnya. Malik, Al Laits bin Sa’d, Al Auza’i, dan Ats Tsauri, adalah imam–imam pada zamannya, bertaklid kepada sebagian mereka seperti bertaklid kepada lainnya. Dan tidak ada seorang muslim yang mengatakan,“Sesungguhnya boleh bertaklid kepada imam ini dan tidak boleh kepada imam itu.”

• Orang yang beranggapan lebih kuat (tepat) bertaklid kepada Asy Syafi’i, tidak boleh mengingkari orang lain yang beranggapan lebih kuat bertaklid kepada Malik Dan orang yang beranggapan lebih tepat bertaklid kepada Ahmad, tidak boleh mengingkari orang yang beranggapan lebih tepat bertaklid kepada Asy Syafi’i dan seterusnya.

• Barangsiapa menjadikan seseorang untuk diikuti, sehingga ia membela dan memusuhi atas dasar kesesuaian dan tidaknya dengan orang tersebut, maka ia termasuk (dalam ayat, peny.).

مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا . الآية

Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. [Ar Rum : 32].

Apabila seseorang itu belajar dan beradab sebagaimana cara orang-orang yang beriman, seperti mengikuti imam–imam dan syeikh-syeikh, maka tidak boleh menjadikan panutannya atau sahabat–sahabatnya menjadi ukuran. Membela orang yang menyetujuinya dan membenci orang yang menyelisihinya….(sesungguhnya) tidaklah boleh bagi siapapun untuk menyeru kepada perkataan atau meyakininya, berdasarkan perkataan sahabat–sahabatnya. Tidak boleh pula memerangi dengan dasar tersebut. Tetapi harus didasarkan kepada perintah atau berita Allah dan RasulNya, sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan RasulNya.

• Tidak boleh bagi siapapun menjadikan seseorang selain Nabi untuk diikuti umat, dia menyeru kepada jalannya serta mencintai dan membenci karenanya. Tidak boleh membuat perkataan selain perkataan Allah, perkataan RasulNya, dan Ijma’ umat untuk menjadi pegangan ummat, membela dan memusuhi karenanya. Termasuk perbuatan ahlu bid’ah, apabila menjadikan seseorang atau perkataannya untuk memecah belah umat, membela dan memusuhi atas dasar perkataan atau penisbatan kepada orang tersebut.

• Barangsiapa fanatik kepada seorang tertentu diantara imam-imam, tanpa fanatik kepada lainnya, maka ia seperti orang yang fanatik kepada salah seorang sahabat, tanpa fanatik kepada sahabat-sahabat lainnya. Seperti, seorang Rafidhi yang fanatik kepada Ali (tetapi) tidak kepada tiga khalifah lainnya dan mayoritas Sahabat. Atau Khawarij yang mencela Utsman dan Ali. Ini adalah cara–cara ahlu bid’ah dan pengikut hawa nafsu, yang telah ditetapkan di dalam Al Kitab dan As Sunnah sebagai orang-orang yang tercela. Mereka keluar dari syari'at dan jalan yang diperintahkan oleh Allah untuk diikuti melalui Rasulullah. Barangsiapa yang fanatik kepada salah seorang di antara imam-imam, maka ada kesamaan dengan mereka. Baik fanatik kepada Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad , dan lain-lain. Batas akhir orang yang fanatik kepada salah seorang di antara imam-imam adalah tidak mengetahui kemampuan imam yang diikutinya dan kemampuan imam-imam lain di dalam ilmu dan agama. Maka dia menjadi bodoh dan dzalim. Padahal Allah memerintah supaya berilmu dan berbuat adil, melarang kebodohan dan kedzaliman.

• Adapun penisbatan yang memecah-belah antara kaum muslimin, berarti keluar dari jamaah dan persatuan. Mereka menuju kepada perpecahan dan mengikuti jalan kebid’ahan, serta menyelisihi sunnah dan ittiba’. Hal ini merupakan perkara yang dilarang. Pelakunya berdosa dan keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya .

DARURAT YANG MENYEBABKAN MENYELISIHI HUKUM ASHL (PRINSIP) TIDAK BOLEH DILAKUKAN SECARA TERUS-MENERUS, TETAPI WAJIB BERUSAHA UNTUK MENGHILANGKAN SEBAB-MUSABABNYA
Meskipun diperbolehkan mengangkat seseorang yang tidak memiliki keahlian karena darurat; tatkala orang tersebut yang paling baik diantara mereka, akan tetapi tetap wajib berusaha untuk memperbaiki keadaan sehingga terwujud kemaslahatan yang sempurna bagi umat berupa persoalan–persoalan kepemerintahan, pendelegasian dan lain–lain. Sebagaimana wajib bagi orang miskin untuk berusaha melunasi hutangnya. Meskipun saat itu tidak dituntut, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana wajib bersiaga berjihad dengan menyiapkan kekuatan dan kendaran pada waktu kalah akibat kelemahannya. Karena sesuatu yang melengkapi terlaksananya kewajiban, hukumnya wajib. Berbeda dengan kemampuan dalam berhaji dan sejenisnya. Hal itu tidak wajib diusahakan secara khusus karena kewa
jibannya tergantung kepada kemampuan itu sendiri. (Ibnu Ramli)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar