HUKUM
MEMAKAN BINATANG BURUAN
OLEH :
DRS.H.M.SAKTI RANGKUTI,MA
GURU AGAMA
ISLAM SMAN 1 GALANG KECAMATAN GALANG
KA.MTS.ALWASHLIYAH
PULAU GAMBAR KECAMATAN SERBA JADI
SERDANG BEDAGAI
PENGURUS
KBIH SHAFA WAL MARWAH KABUPATEN DELI SERDANG
Firman
Allah SWT. Dalam surah al-Maidah ayat
: 4
“
Yasaluunaka maazaa uhilla lahum qul
uhilla lakum al-thayyibaatu wa maa ‘allamtum min al-jawaarihi mukallibiina
tu’allimuunahunna mimmaa ‘allamakumullahu fakuluu mimmaa amsakna ‘alaikum
wazkuruusmallahi ‘alaihi wattaqullaha
innallaha sarii’u al hisaabi”.
Artinya :
Mereka bertanya kepadamu : “Apakah yang dihalalkan bagi
mereka?” Katakanlah : “Ddihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan) oleh
binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu. Kamu
mengajar mereka menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kamu, maka
makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas
binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. “
Pada ayat sebelumnya (al-Maidah ayat : 3) dijelaskan izin
untuk berburu dan larangan memakan bangkai, dan di sisi lain ada binatang
buruan yang mati terbunuh oleh anjing yang terlatih, maka para sahabat bertanya
masalah hal tersebut. Maka, turunlah ayat ini (al-Maidah ayat : 4) menjelaskan
bahwa: Mereka bertanya kepadamu (Muhammad): “Apakah yang dihalalkan bagi
mereka? “ Katakanlah: “Dihalalkan bagi kamu segala yang baik-baik, yaitu yang
sesuai dengan pedoman agama dan atau yang sejalan dengan selera kamu- selama
tidak ada ketentuan agama yang melarangnya, termasuk binatang halal yang kamu
sembelih sebagaimana diajarkan oleh Rasul SAW. dan dihalalkan juga buat kamu
binatang yang halal hasil buruan oleh binatang buas seprti anjing, singa, harimau,
burung yang telah kamu ajar dengan melatihnya dengan bersungguh-sungguh untuk
berburu, yakni menangkap binatang dan memperolehnya guna diberikan kepada
kamu,bukan untuk diri mereka.
Kamu mengajar mereka, yakni binatang-binatang itu, menurut
apa yang telah diajarkan Allah kepada kamu tentang tata cara melatih binatang. Jika demikian itu
yang kamu lakukan, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kamu, dan
sebutlah nama Allah atas binatang buas itu sewaktu kamu melepasnya untuk
berburu. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya,
yakni perhitungan-Nya.”
Kata
“al-thayyiibaatu “ adalah bentuk jamak dari kata “thayyibun”. Dari segi bahasa,
berarti “ baik, lezat,menenteramkan, paling utama, dan sehat “. Kita dapat
mengatakan bahwa makna kata tersebut dalam konteks ini adalah “makanan yang
tidak kotor dari segi zatnya, atau rusak (kadaluarsa), atau tercampur najis”.
Dapat juga dikatakan bahwa yang “thayyib” dari makanan adalah “yang mengundang
selera bagi yang memakannya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya.” Ia
adalah “makanan yang sehat, proporsional, dan aman.” Tentu saja, iapun harus
halal. Karena itu, perintah makan jika menyebut kata “thayyib” sering
dirangkaikan dengan kata yang menggunakan kata “halal”.
Makanan
yang “sehat” adalah yang memiliki zat gizi yang cukup dan seimbang. Yang
“proporsional”, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pemakan, tidak berlebih dan
tidak berkurang. Ada makanan untuk anak, ada juga untuk orang dewasa. Sedang
“aman” adalah yang mengakibatkan rasa aman jiwa dan kesehatan pemakannya karena
ada makanan yang sesuai untuk kondisi si A dan ada juga yang tidak. Disisi
lain, kata “aman” juga disamping mencakup rasa aman dalam kehidupan dunia, juga
aman dalam kehidupan akhirat. Dari sini lahir anjuran untuk meninggalkan
makanan-makanan yang mengandung “ syubhat “ (keraguan tentang kehalalannya).
Kata
“mukallibiina” berasal dari kata “kalb”, yang berarti “anjing”. “Mukallabiin”
artinya anjing-anjing yang sengaja yang telah diajar dan terlatih. Pemilihan
kata yang terambil dari kata itu karena anjing adalah binatang terlatih yang
populer.
Kata yang
mengandung makna “kamu ajar dengan melatihnya”
itu agaknya sengaja ditekankan di sini,walau sesudah kalimat itu
disebutkan lagi kalimat “kamu mengajar mereka” untuk mengisyaratkan bahwa
pengajaran binatang-binatang itu hendaknya dilakukan melalui pelatihan yang
sungguh-sungguh yang dilakukan oleh mereka yang memiliki keahlian dan pengalaman
dalam bidang tersebut.
Tanda-tanda
yang menunjukkan bahwa binatang pemburu dimaksud benar-benar telah terlatih
adalah apabila ia diperintah pergi ia pergi, bila dilarang ia tunduk, bila
dicegah ia menurut. Ia menangkap binatang buruan, tidak memakannya, bahkan
kembali pada tuannya membawa buruan saat ia dipanggil.
Firman
Allah : “fakuluu mimmaa amsakna ‘alaikum” yang artinya “maka makanlah dari apa
yang ditangkapnya untuk kamu” dipahami oleh ulama-ulama yang bermazhab Syafi’I
dan Hanbali bahwa, jika binatang pemburu itu memakan buruan yang ditangkapnya,
binatang tersebut haram hukumnya dimakan karena ia tidak menangkapnya “untuk kamu” tetapi “untuk dirinya”. Mazhab
Imam Malik menilai tidak haram hukumnya walau binatang pemburu memakan sebagian
selama ia membawa sebagian yang lain kepada tuannya.
Firman
Allah : “ wazkuruu ismallahi ‘alaihi” artinya “sebutlah nama Allah atas
binatang buas itu” ketika melepasnya, ada ulama yang memahaminya sebagai perintah wajib, ada juga
yang memahaminya sebagai perintah sunnah. Ada lagi yang menyatakan jika dengan
sengaja tidak membaca “Basmalah”, maka hasil buruan tersebut menjadi “haram” hukumnya. Persoalan membaca
“Basmalah”, insya Allah akan dibahas lebi h terperinci ketika nanti menafsirkan
QS. Al-An’am surah ke enam ayat 121.
Ayat ini
ditutup dengan firman Allah yang artinya : “ Dan bertaqwalah kepada Allah
sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya (perhitungan-Nya), antara lain untuk
mengisyaratkan agar dalam berburu kiranya ketentuan Allah selalu diperhatikan.
Jangan sampai terjadi pelampauan batas dalam pembunuhan, jangan sampai pula
terjadi pembunuhan terhadap jenis binatang buruan, jangan juga berburu untuk
mencari sekedar kesenangan dan menghabiskan waktu karena, jika demikian, Allah
akan menjatuhkan sanksi-Nya dengan cepat di dunia sebelum di akhirat nanti.
Memang,
ayat ini tidak melarang perburuan . Allah juga tidak melarang penyembelihan
binatang. Tetapi, yang perlu diingat agar pemburu dan penyembelih tidak hampa
rasa sehingga mengakibatkan binatang tersiksa, atau punah, atau sia-sia
hidupnya.
Binatang
yang disembelih atau yang diperoleh melalui pemburuan untuk dimakan, atau dipelihara dengan
tujuan-tujuan yang benar, tidak bertentangan dengan rahmat dan kasih sayang.
Karena, memang Allah telah menjadikan hidup dan kehidupan ini demikian. Tidak
sesuatupun dalam hidup makhluk ini yang tidak berubah dan beralih, atau
katakanlah tidak makan dan dimakan. Demikian juga halnya dunia materi.
Tumbuh-tumbuhan memakan tanah atau apa
yang terdapat dalam tanah, selanjutnya tanahpun memakan tumbuh-tumbuhan, dan
mengalihkan kembali ke unsur-unsur
pertama tumbuhan itu. Binatang memakan tumbuhan, menghirup udara, bahkan memburu memakan satu
sama lain. Demikian hidup ini, tetapi manusia diberi tuntunan.Tidak semua boleh
dimakan karena ada makanan yang berdampak buruk terhadap kesehatan jasmani dan
ruhaninya. Di sisi lain, semua tidak boleh disia-siakan, bukan saja karena masih
ada selain manusia atau generasi masa kini yang membutuhkannya, tetapi juga
karena setiap yang diciptakan Allah mempunyai tujuan. Tujuan itu adalah “haq”,
antara lain bahwa binatang dapat diburu dan disembelih untuk dimakan, tetapi
rahmat dan kasih sayang terhadapnya ketika diburu dan disembelih harus tetap menghiasi
penyembelih dan pemburu. Kalau tidak, hati-hatilah karena Allah Maha Cepat
perhitungan-Nya.
PERSOALAN
MEMBACA BASMALLAH.
Firman
Allah swt. Surah al- an’am ayat 121 :
“Wa laa
ta’kuluu mimmaa lam yuzkari ismullahi
‘alaihi wa innahuu lafisqun wa
inna al-syayaathiina layuuhuuna ilaa auliyaaihim liyujaadiluukum wa in
itha’tumuuhum innakum lamusyrikuuna”.
Artinya :
“Dan
janganlah kamu memakan dari apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, dan
sesungguhnya ia sungguh adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syetan-syetan
membisikkan kepada kawan-kawan mereka agar mereka membantah kamu; dan jika kamu
menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”
Setelah
kita memperhatikan ayat yang lalu yakni
ayat 4 surah al-Maidah Allah SWT. Memerintahkan untuk memakan apa yang
bermanfaat buat mereka di dunia dan akhirat, sambil mengingatkan untuk menjauhi
segala macam dosa, yakni sembelihan yang tidak disebut nama Allah, sekaligus
menjelaskan sebab larangan tersebut dan sebab keterjerumusan manusia dalam
larangan itu. Ayat ini menegaskan bahwa, “Dan janganlah”juga “ kamu memakan
dari apa”, yakni walau sedikitpun dari binatang-binatang yang halal “yang tidak
disebut nama Allah atasnya” ketika menyembelihnya. “Dan sesungguhnya ia “,
yakni memakannya dan atau sembelihan itu, “sungguh adalah” – demikian ayat ini
sekali lagi menguatkan kesungguhan pesannya – “suatu kefasikan”, yakni sikap
dan perbuatan yang mengatur keluarnya seseorang dari koridor agama.
Selanjutnya, ayat ini mengingatkan setiap orang yang boleh
jadi terpengaruh secara negatif oleh satu dan lain hal bahwa : “sesungguhnya
syetan-syetan” itu “membisikkan” dengan merayu “kepada kawan-kawannya”, yakni
pemuka-pemuka kaum musyrikin, “agar mereka membantah kamu” antara lain
menyangkut bangkai dan memakan sesuatu yang disembelih atas nama berhala; “dan
jika kamu menuruti mereka” dalam pandangan mereka,yakni ikut menghalalkan
makanan yang diharamkan Allah atau meragukan kebenaran hukum Allah, maka
“sesungguhnysa kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” karena, dengan
demikian, kamu mengabaikan syariat Allah dan menggantinya dengan kesesatan
penyembah berhala.
Kata
“musyrikun” pada penutup ayat ini dapat juga dipahami dalam arti pada suatu
ketika “akan menjadi musyrik”. Ayat ini merupakan peringatan buat mereka bahwa,
jika mereka mengikuti pandangan orang
musyrik itu, ini adalah langkah pertama dari tipu daya syetan yang akan disusul
oleh langkah-langkah yang lain sehingga pada akhirnya, jika kamu terus menerus memperturutkannya, “tentulah kamu akan
menjadi musyrik”.
Ayat ini
mengundang diskusi para ulama tentang halal tidaknya memakan
sembelihan yang tidak disebut nama Allah SWT. Ketika menyembelihnya, walau yang
menyembelihnya seorang muslim. Dalam hal ini, kita temukan tiga pendapat yang
populer;
1.
Menyatakan bahwa tidak halal memakan
sembelihan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, baik dengan
sengaja maupun lupa. Mereka berpegang
antara lain pada teks ayat 121
surah al-an’am ini.
Pendapat ini anatara lain dianut oleh pakar hukum Dawud azh-Zhahiri.
2.
Menyatakan bahwa menyebut nama Allah
ketika menyembelih bukanlah suatu yang wajib tetapi anjuran. Tidak
menyebut nama Allah, baik dengan sengaja
apalagi lupa, tidak mengakibatkan haramnya sembelihan binatang yang halal itu.
Ini adalah pendapatnya Imam Syafi’I, Imam Malik , Imam Ahmad bin Hanbal,
menurut satu riwayat. Penganut pandangan atau pendapat ini menyatakan bahwa larangan ayat di atas adalah dalam konteks penyembelihan untuk selain
Allah SWT. , misalnya dengan menyebut nama berhala sebagaimana yang dilakukan
oleh orang-orang musyrik. Mereka juga berpegang kepada keterangan sahabat Nabi
SAW., Ibnu Abbas yang berkata : “ Kalau seorang muslim menyembelih dan dia
tidak membaca Basmallah, hendaklah ia
memakannya karena dalam diri muslim ada nama dari nama-nama Allah”. H.R. ad-
Daruquthni.
3.
Menyatakan bahwa tidak terlarang memakannya bila lupa, tetapi
haram memakannya bila meninggalkan penyebutan nama Allah dengan sengaja.
Pendapat ini dianut antara lain oleh mazhab Ahmad bin Hanbal dan Abu
Hanifah.
Mereka berpegang pada salah satu prinsip dasar pertanggungjawaban yakni
sabda Rasulullah SAW.” Sesungguhnya
Allah telah menggugurkan pertanggungjawaban dari siapa yang keliru
(bukan karena kecerobohan), yang lupa serta apa yang dipaksakan atasnya”.
Perlu digarisbawahi yang dikmaksud dengan
menyebut nama Allah, tidak mutlak
dalam arti membaca Basmalah, tetapi cukup dengan menyebut salah satu nama-Nya. Bahkan, kata “dzikir” oleh
ayat ini menurut pandangan Prof.DR.Quraish shihab menterjemahkannya dengan kata
“menyebut” yang dapat mengandung
makna-makna yang berbeda.
Mutawalli asy-Sya’rawi beliau
menulis dalam tafsirnya bahwa yang menimbulkan perbedaan pendapat adalah tidak
dibatasinya apa yang dimaksud dengan “dzikir” dalam firman Allah (yudzkar ismu
Allah) yang artinya “disebut nama Allah”. Asy-Sya’rawi bertanya apakah yang
dimaksud dengan “dzikir” adalah menyebut nama Allah dengan lidah atau sekedar
terlintas dalam hati? Ulama Mesir kontemporer ini cenderung memahami kata
“dzikir” dalam arti ” terlintas dalam hati “ dengan alasan bahwa Rasulullah
SAW. dalam hadits beliau menggunakan kata itu untuk sesuatu yang terlintas
dalam hati. Karena itu, asy-Sya’rawi mengokohkan pendapat Imam Syafi’I di atas.
Seorang muslim – tulisnya – boleh jadi enggan menyembelih seekor binatang yang
bentuk penampilannya lebih indah daripada binatang halal yang lain. Ini karena
dalam hati seorang muslim, ketika akan tampil menyembelih, selalu terlintas apa
yang dihalalkan dan apa yang diharamkan Allah SWT. Dan ini menunjukkan bahwa
ketika itu dia mengingat Allah SWT. Yang berwenang menghalalkan dan
mengharamkan. Pemilihan binatang halal -
oleh seorang muslim – telah merupakan bukti dia mengingat atau dalam istilah
ayat ini “ berdzikir” kepada Allah. Hal ini telah cukup untuk menilai
sembelihannya halal, baik ia mengucapkan dzikir itu dengan lidahnya, maupun
tidak. Demikian pandangan asy-Sya’rawi
dalam konteks menguatkan pendapat Imam Syafi’i.
Apa yang dikemukakan di atas adalah tinjauan hukum, ada baiknya
menyinggung pula pandangan yang memahami ayat 121 ini dari tinjauan lain.
Syeikh Abdul Halim Mahmud, mantan Pemimpin Tertinggi al-Azhar, menulis dalam bukunya yang berjudul, “al-Islam wa al-‘Aql”, tentang
perintah membaca yang terdapat dalam surah al-Alaq, yakni : “iqra’ bismi
Rabbika” dengan mengaitkannya dengan
larangan ayat ini : “wa laa ta’kuluu mimmaa lam yudzkarismullah ‘alaihi wa
innahuu lafiskun” yang artinya “dan
janganlah kamu memakan dari apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, dan
sesungguhnya ia sungguh adalah suatu kepasikan”.
Menurut beliau, Allah SWT. Tidak memaksudkan dari perintah “iqra” sekedar
perintah “membaca” saja, tetapi membaca
adalah lambing dari segala kegiatan manusia yang bersifat aktif dan apa yang
ditinggalkan manusia dari segi pasif. Kalimat itu bermaksud mengatakan dari segi kandungan
pesan dan jiwanya bahwa : Bacalah demi nama Tuhanmu, bergeraklah demi nama
Tuhanmu, berbicaralah demi nama Tuhanmu,
bekerjalah demi nama Tuhanmu.Adapun jika engkau enggan melakukan gerak atau
aktivitas, hendaknya hal itu juga demi karena Tuhanmu dan, dengan demikian,
pada akhirnya makna ayat itu adalah jadikan hidupmu secara keseluruhan,
eksistensimu semuanya, baik sebab maupun tujuannya adalah untuk Allah Yang Maha
Suci lagi Maha Tinggi. Selanjutnya, ulama besar itu menulis : “Kalau ayat mulia
ini jelas maknanya dari sisi aktif yang mendorong untuk menjadikan bacaan
dengan nama Allah”, sisi pasif – turun juga kemudian- ayat-ayat yang sangat tegas
petunjuknya serta jelas maknanya yang menyatakan : “Dan janganlah kamu memakan
dari apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, dan sesungguhnya ia sungguh
adalah suatu kefasikan.” Apa yang disembelih di atas berhala atau atas namanya,
bukanlah sesuatu yang dimaksudkan untuk
wajah Ilahi. Dengan demikian, ia juga suatu kefasikan karena ketika itu
tidak disebut nama Allah, itu berarti apa yang tidak disebut nama Allah atasnya
haruslah dihindari. Melakukannya ketika itu adalah kefasikan yang berbeda-beda tingkatannya
dalam kekejian – tinggi atau rendah, sedikit atau banyak .” Demikian, pandangan
Syeikh Abdul Halim Mahmud.
SUMBER
BACAAN :
1.
Tafsir al-Misbah jilid. 3, M.QURAISH
SHIHAB.PROF.DR.
2.
Mukjizat al-Qur’an, M.QURAISH SHIHAB.PROF.DR.
3.
Qur’an dan Terjemahannya, KEMENTERIAN
AGAMA RI.
4.
Fiqih Sunnah, SYEIKH SAYYID SABI’.
5.
Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, SYEIKH
SAYYID KUTUB.
6.
Fiqih Indonesia, M.HAMDAN RASYID,
DR,MA.KH.
7. IBNU TAIMIYAH,
Dalam Pembaruan Salafi & Dakwah Reformasi, SYEIKH SAID ABDUL AZHIM,DR.
8. Shahih Bukhari.
9. Kumpulan
Hadits-hadits Shahih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar