Rabu, 17 April 2013

SANTET DALAM PROSFEKTIF ISLAM


Santet Dalam  Prosfektif  Islam

Oleh : drs.HM.SAKTI RANGKUTI,MA.


Kita tidak menafikkan dizaman teknologi serba canggih dan kehidupan modern dewasa ini kejahatan sihir santet, teluh, guna-guna masih berkembang di Indonesia, tidak terkecuali juga di daerah perkotaan, desa dan pedalaman-pedalam di negeri yang kita yang kita cintai ini. Banyak penyakit yang ditimbulan akibat guna-guna tidak bisa dibuktikan dengan cara medis, sementara  untuk memastikan santet dengan bantuan orang pintar dan secara  hukum positif  kejahatan santet tidak bisa dibuktikan sehingga polisi tidak bisa menidak dan menangkap pelaku santet. Hal ini yang menyebabkan aksi massa sering terjadi.
Dari sisi sejarah tidak bisa dipastikan kapan awal mula datang dan berkembangnya santet itu. Namun sebagian para pakar berpendapat santet mulai berkembang pada zaman mesir kono terutama di daerah Babylonia. Santet itu pada mulanya  mulai dipraktekkan adalah untuk pengobatan dan sebagian menggunakan untuk mengadu ilmu sihir. Namun  terlepas dari  praktek perdukunan dan santet  sangat berbahaya bagi umat Islam, haram hukumnya bagi umat Islam  melanggar atau melangkahi kuasa Allah SWT. Membuat penderitaan atau kematian pada orang lain hal ini adalah  perbuatan dosa besar, menyantet adalah perbuatan syirik, dan termasuk dosa paling besar karena telah melakukan penyekutuan terhadap Allah SWT.

Sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah SWT:
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.( Al-Baqarah ayat 102)
Sementara itu banyak hadist Rasul yang mengungkapkan tentang hal santet tersebut:
“Siapa yang datang kepada paranormal, kemudian bertanya tentang sesuatu dan membenarkan/meyakini apa yang dikatakannya, maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 hari.”(HR. Bukhari)

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS 4:48)
Sihir merupakan sesuatu yang sangat dilarang karena semua yang berhubungan dengan sihir dikategorikan sebagai perbuatan syirik. Pelaku yang menekuni sihir (dukun/para normal/”orang pintar”) maupun orang yang datang untuk meminta bantuan ke “ahli’ sihir adalah tergolong orang musyrik. Allah tidak akan mengampuni dosa syirik jika terbawa mati.
Terkait tafsir Al-Baqarah ayat 102. Para mufassir berpendapat bahwa pada intinya penyelewengan yang dilakukan oleh syaithan, dengan mengklaim bahwa dia mengajari Nabi Sulaiman AS terhadapa ilmu sihir, sehingga Nabi Sulaiman menjadi sangat sukses. Ilmu yang dikuasai syaithan tersebut adalah ilmu sihir yang dapat menyebabkan “pasangan suami isteri menjadi cerai”.
Dari  di Babylon, ilmu santet terus berkembang terus diajarkan dari generasi ke generasi berikutnya hingga kesuluruh dunia dan termasuk  juga di Indonesia. Namun selaku muslim yang beriman kita tidak perlu takut dengan pengaruh santet atau guna-guna. Kita hanya berserah diri pada Allah SWT dan hanya kepada-NYAlah kita meminta pertolongangan. Kita berharap kedepan tidak ada aksi main  hakim sendiri apalagi  sampai menghilangkan nyawa orang lain yang sangat dimurkai Allah.
Syariat Islam melarang terhadap pembunuhan

Islam mengharamkan setiap aksi pembunuhan dilakukan dalam bentuk apapun baik dengan sengaja atau tidak, terkecuali dalam keadaan perang, meskipun begitu perempuan dan anak-anak tidak boleh dibunuh, dalam hal ini penulis akan mengutip beberapa dalil Al-quran yang menjelaskan terkait dengan  pembunuhan :
Misalnya firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(QS An-Nisaa : 29).

Sementara ganjaran bagi orang yang melakukan pembunuhan sangat berat hukumnya, kecuali sikeluarga korban dapat memaafkanya.
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan) atau memaafkan/menyedekahkan.
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak), (Al-Maliki, 1990: 113).
Kententuan pemberian diyat sebagai ganti rugi, sangat mustahil bisa dipenuhi karana sangat besar nilainya, oleh karenanya pelaku pembunuhan baik yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan membiarkan aksi pembunuhan sama hukumnya dimata Allah SWT.
Hendaknya ini menjadi pelajaran berharga karena sederetan aksi pembunuhan di Indonesia sangat sadis, tampa mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan. Ini disebabkan karena  watak sebahagian orang Indonesia  yang dikenal keras atau sebab lainnya.
Wallahu a’lam bishshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar