Hukum
Seputar Qurban
Oleh : M. Shiddiq Al Jawi
Pengertian Qurban
Kata
kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata : qaruba
(fi’il madhi) - yaqrabu (fi’il mudhari’) - qurban wa qurbânan
(mashdar).Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984).
Menurut istilah, qurban adalah
segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa
hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972). Dalam bahasa
Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah,
dengan bentuk jamaknya al-adhâhi. Kata
ini diambil dari kata dhuhâ,
yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan
penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 - 10.00 (Ash Shan’ani,
Subulus Salam IV/89).
Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta,
sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq
sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah
XIII/155; Al Jabari, 1994).
Hukum
Qurban
Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib.
Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu
Hazm dan lainnya berkata,”Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu
(kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam
perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)
Sebagian mujtahidin -seperti Abu
Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan sebagian pengikut Imam Malik- mengatakan
qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah) (Matdawam, 1984).
Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya
sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang)
setelah terpenuhinya kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) -yaitu sandang,
pangan, dan papan– dan kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim
bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban
(Al Jabari, 1994) .
Dasar kesunnahan qurban antara lain,
firman Allah SWT :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikan (kerjakan) shalat
karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (TQS Al Kautsar : 2).
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang
qurban itu bagi kamu adalah sunnah.”(HR.At-Tirmidzi)
“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW)
qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” (HR. Ad Daruquthni)
Dua hadits di atas merupakan qarinah
(indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi
“wanhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan
untuk melakukan qurban (thalabul fi’li). Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu
bi an nahri wa huwa sunnatun lakum” (aku diperintahkan untuk menyembelih
qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni “kutiba
‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku
qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li
yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan
keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah
wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i
et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).
Orang yang mampu berqurban tapi
tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ
مُصَلَّانَا
“Barangsiapa yang mempunyai
kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri
tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu
Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam
IV/91)
Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna
musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami)
adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang -yang tak berqurban
padahal mampu– untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan
celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’) seperti halnya predikat fahisyah
(keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan
jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat
Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan
tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn Khalil, Taysir
Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).
Namun hukum qurban dapat menjadi
wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib sesuai
hadits Nabi SAW :
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ
أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernadzar untuk
ketaatan kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya. Barangsiapa yang
bernadzar untuk kemaksiatan kepada Allah, maka janganlah ia tidak
melaksanakannya.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud,
al-Tirmidzi).
Qurban juga menjadi wajib, jika
seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata,”Ini milik Allah,” atau
“Ini binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).
Keutamaan
Qurban
Berqurban merupakan amal yang paling
dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW
مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ
إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ
“Tidak ada suatu amal anak Adam pada
hari raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain menyembelih qurban.” (HR. At
Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)
Berdasarkan hadits itu Imam Ahmad
bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat,”Menyembelih hewan pada
hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat anak), dan hadyu (ketika haji),
lebih utama daripada shadaqah yang nilainya sama.” (Al Jabari, 1994).
Tetesan darah hewan qurban akan
memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang berqurban. Sabda Nabi SAW :
يا فاطمة قومي فاشهدي اضحيتك فانه يغفر لك باول قطرة تقطر من
من دمها كل ذنب عملته
“Hai Fathimah, bangunlah dan
saksikanlah qurbanmu. Karena setiap tetes darahnya akan memohon ampunan dari
setiap dosa yang telah kaulakukan…” (HR al-Baihaqi, lihat Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah XIII/165)
Waktu
dan Tempat Qurban
a.Waktu
Qurban dilaksanakan setelah sholat
Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga akhir hari Tasyriq (sebelum maghrib),
yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila disembelih sebelum sholat
Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ
وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ
“Barangsiapa menyembelih qurban
sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah) maka sesungguhnya ia menyembelih
untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih qurban sesudah sholat Idul
Adh-ha dan dua khutbahnya, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya
(berqurban) dan telah sesuai dengan sunnah (ketentuan) Islam.” (HR. Bukhari)
Sabda Nabi SAW :
كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ
“Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12,
dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih qurban.” (HR. Ahmad dan Ibnu
Hibban)
Menyembelih qurban sebaiknya pada
siang hari, bukan malam hari pada tanggal-tanggal yang telah ditentukan itu.
Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, tetapi makruh. Demikianlah pendapat
para imam seperti Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan jumhur
ulama (Matdawam, 1984).
Perlu dipahami, bahwa penentuan
tanggal 10 Zulhijjah adalah berdasarkan ru`yat yang dilakukan oleh Amir
(penguasa) Makkah, sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Husain bin Harits Al
Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadits no.1991). Jadi, penetapan 10
Zulhijjah tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia saja misalnya),
tetapi mengikuti ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah waktu para jamaah
haji melakukan wukuf di Padang Arafah (9 Zulhijjah), maka keesokan harinya
berarti 10 Zulhijjah bagi kaum muslimin di seluruh dunia.
b.Tempat
Diutamakan, tempat penyembelihan
qurban adalah di dekat tempat sholat Idul Adh-ha dimana kita sholat (misalnya
lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat demikian (HR. Bukhari).
Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di
rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin Umar RA menyembelih qurban di
manhar, yaitu pejagalan atau rumah pemotongan hewan (Abdurrahman, 1990).
Hewan
Qurban
a.Jenis
Hewan
Hewan yang boleh dijadikan qurban
adalah : unta, sapi, dan kambing (atau domba). Selain tiga hewan tersebut,
misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak boleh dijadikan qurban (Sayyid Sabiq,
1987; Al Jabari, 1994). Allah SWT berfirman:
لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ
بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
“…supaya mereka menyebut nama Allah
terhadap hewan ternak (bahimatul an’am) yang telah direzekikan Allah kepada
mereka.” (TQS Al Hajj : 34)
Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an’aam
(binatang ternak) hanya mencakup unta, sapi, dan kambing, bukan yang lain (Al
Jabari, 1994).
Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al
Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban dengan kerbau (jamus), sebab
disamakan dengan sapi.
b.Jenis
Kelamin
Dalam berqurban boleh menyembelih
hewan jantan atau betina, tidak ada perbedaan, sesuai hadits-hadits Nabi SAW
yang bersifat umum mencakup kebolehan berqurban dengan jenis jantan dan betina,
dan tidak melarang salah satu jenis kelamin (Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman,
1990)
c.Umur
Sesuai hadits-hadits Nabi SAW,
dianggap mencukupi, berqurban dengan kambing/domba berumur satu tahun masuk
tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur dua tahun masuk tahun ketiga, dan unta
berumur lima tahun (Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud Yunus, 1936).
d.Kondisi
Hewan yang dikurbankan haruslah
mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat atau cedera pada tubuhnya. Sudah
dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada Allah. Maka usahakan hewannya
berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan (Rifa’i et.al, 1978)
Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW,
tidak dibenarkan berkurban dengan hewan :
- yang nyata-nyata buta sebelah,
- yang nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan
sakit),
- yang nyata-nyata pincang jalannya,
- yang nyata-nyata lemah kakinya serta kurus,
- yang tidak ada sebagian tanduknya,
- yang tidak ada sebagian kupingnya,
- yang terpotong hidungnya,
- yang pendek ekornya (karena terpotong/putus),
- yang rabun matanya. (Abdurrahman, 1990; Al Jabari,
1994; Sayyid Sabiq. 1987).
Hewan yang dikebiri boleh dijadikan
qurban. Sebab Rasulullah pernah berkurban dengan dua ekor kibasy yang gemuk,
bertanduk, dan telah dikebiri (al maujuu’ain) (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
(Abdurrahman, 1990)
Qurban
Sendiri dan Patungan
Seekor kambing berlaku untuk satu
orang. Tak ada qurban patungan (berserikat) untuk satu ekor kambing. Sedangkan
seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang (HR. Muslim). Lebih
utama, satu orang berqurban satu ekor unta atau sapi.
Jika murid-murid sebuah sekolah,
atau para anggota sebuah jamaah pengajian iuran uang lalu dibelikan kambing,
dapatkah dianggap telah berqurban ? Menurut pemahaman kami, belum dapat
dikategorikan qurban, tapi hanya latihan qurban. Sembelihannya sah, jika
memenuhi syarat-syarat penyembelihan, namun tidak mendapat pahala qurban.
Wallahu a’lam. Lebih baik, pihak sekolah atau pimpinan pengajian mencari siapa
yang kaya dan mampu berqurban, lalu dari merekalah hewan qurban berasal, bukan
berasal dari iuran semua murid tanpa memandang kaya dan miskin. Islam sangat
adil, sebab orang yang tidak mampu memang tidak dipaksa untuk berqurban.
Perlu ditambahkan, bahwa dalam satu
keluarga (rumah), bagaimana pun besarnya keluarga itu, dianjurkan ada seorang
yang berkurban dengan seekor kambing. Itu sudah memadai dan syiar Islam telah
ditegakkan, meskipun yang mendapat pahala hanya satu orang, yaitu yang
berkurban itu sendiri. Hadits Nabi SAW:
إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةً
“Dianjurkan bagi setiap keluarga
dalam setiap tahun menyembelih qurban.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An
Nasa`i, dan Ibnu Majah)
Teknis
Penyembelihan
Teknis penyembelihan adalah sebagai
berikut :
Hewan yang akan dikurbankan
dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya menghadap ke
arah kiblat, diiringi dengan membaca doa “Robbanaa taqabbal minnaa innaka
antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya : Ya Tuhan kami, terimalah kiranya qurban
kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)
Penyembelih meletakkan kakinya yang
sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya
atau meronta.
Penyembelih melakukan penyembelihan,
sambil membaca : “Bismillaahi Allaahu akbar.” (Artinya : Dengan nama
Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan shalawat atas Nabi
SAW. Para penonton pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir “Allahu
akbar!”)
Kemudian penyembelih membaca doa
kabul (doa supaya qurban diterima Allah) yaitu : “Allahumma minka wa ilayka.
Allahumma taqabbal min …” (sebut nama orang yang berkurban). (Artinya : Ya
Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah, terimalah
dari…. ) (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984; Rifa’i et.al., 1978; Rasjid,
1990)
Penyembelihan, yang afdhol dilakukan
oleh yang berqurban itu sendiri, sekali pun dia seorang perempuan. Namun boleh
diwakilkan kepada orang lain, dan sunnah yang berqurban menyaksikan
penyembelihan itu (Matdawam, 1984; Al Jabari, 1994).
Dalam
penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :
Adz Dzaabih (penyembelih), yaitu setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus yang
mumayyiz (sekitar 7 tahun). Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan
Nashrani), menurut mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut
mazhab Maliki, tidak sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya
penyembelihnya muslim. (Al Jabari, 1994).
Adz Dzabiih, yaitu hewan yang disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.
Al Aalah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih hewan,
seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya. Tidak boleh menyembelih dengan gigi,
kuku, dan tulang hewan (HR. Bukhari dan Muslim).
Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya
itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan
hulqum (saluran nafas) dan mari` (saluran makanan). (Mahmud Yunus, 1936)
Pemanfaatan
Daging Qurban
Sesudah hewan disembelih, sebaiknya
penanganan hewan qurban (pengulitan dan pemotongan) baru dilakukan setelah
hewan diyakini telah mati. Hukumnya makruh menguliti hewan sebelum nafasnya
habis dan aliran darahnya berhenti (Al Jabari, 1994). Dari segi fakta, hewan
yang sudah disembelih tapi belum mati, otot-ototnya sedang berkontraksi karena
stress. Jika dalam kondisi demikian dilakukan pengulitan dan pemotongan,
dagingnya akan alot alias tidak empuk. Sedang hewan yang sudah mati
otot-ototnya akan mengalami relaksasi sehingga dagingnya akan empuk.
Setelah penanganan hewan qurban
selesai, bagaimana pemanfaatan daging hewan qurban tersebut ? Ketentuannya,
disunnahkan bagi orang yang berqurban, untuk memakan daging qurban, dan
menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, dan menghadiahkan kepada karib
kerabat. Nabi SAW bersabda :
فَكُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُو
“Makanlah daging qurban itu, dan
berikanlah kepada fakir-miskin, dan simpanlah.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi,
hadits shahih)
Berdasarkan hadits itu, pemanfaatan
daging qurban dilakukan menjadi tiga bagian/cara, yaitu : makanlah, berikanlah
kepada fakir miskin, dan simpanlah. Namun pembagian ini sifatnya tidak wajib,
tapi mubah (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352; Al Jabari, 1994; Sayyid
Sabiq, 1987).
Orang yang berqurban, disunnahkan
turut memakan daging qurbannya sesuai hadits di atas. Boleh pula mengambil
seluruhnya untuk dirinya sendiri. Jika diberikan semua kepada fakir-miskin,
menurut Imam Al Ghazali, lebih baik. Dianjurkan pula untuk menyimpan untuk diri
sendiri, atau untuk keluarga, tetangga, dan teman karib (Al Jabari, 1994;
Rifa’i et.al, 1978).
Akan tetapi jika daging qurban
sebagai nadzar, maka wajib diberikan semua kepada fakir-miskin dan yang
berqurban diharamkan memakannya, atau menjualnya (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam,
1984)
Pembagian daging qurban kepada fakir
dan miskin, boleh dilakukan hingga di luar desa/ tempat dari tempat
penyembelihan (Al Jabari, 1994).
Bolehkah memberikan daging qurban
kepada non-muslim ? Ibnu Qudamah (mazhab Hambali) dan yang lainnya (Al Hasan
dan Abu Tsaur, dan segolongan ulama Hanafiyah) mengatakan boleh. Namun menurut
Imam Malik dan Al Laits, lebih utama diberikan kepada muslim (Al Jabari, 1994).
Penyembelih (jagal), tidak boleh
diberi upah dari qurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah berasal dari orang
yang berqurban dan bukan dari qurban (Abdurrahman, 1990). Hal itu sesuai hadits
Nabi SAW dari sahabat Ali bin Abi Thalib RA :
وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَازِرَ مِنْهَا شَيْئًا
“…(Rasulullah memerintahkan
kepadaku) untuk tidak memberikan kepada penyembelih sesuatu daripadanya (hewan
qurban).” (HR. Bukhari dan Muslim) (Al Jabari, 1994)
Tapi jika jagal termasuk orang fakir
atau miskin, dia berhak diberi daging qurban. Namun pemberian ini bukan upah
karena dia jagal, melainkan sedekah karena dia miskin atau fakir (Al Jabari,
19984).
Menjual kulit hewan adalah haram,
demikianlah pendapat jumhur ulama (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352).
Dalilnya sabda Nabi SAW:
وَلَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْيِ وَالْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا
وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلَا تَبِيعُوهَا
“Dan janganlah kalian menjual daging
hadyu (qurban orang haji) dan daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah
dagingnya itu, ambillah manfaat kulitnya, dan jangan kamu menjualnya…” HR.
Ahmad) (Matdawam, 1984).
Sebagian ulama seperti segolongan
penganut mazhab Hanafi, Al Hasan, dan Al Auza’i membolehkannya. Tapi pendapat
yang lebih kuat, dan berhati-hati (ihtiyath), adalah janganlah orang yang
berqurban menjual kulit hewan qurban. Imam Ahmad bin Hambal sampai
berkata,”Subhanallah ! Bagaimana harus menjual kulit hewan qurban, padahal ia
telah dijadikan sebagai milik Allah ?” (Al Jabari, 1994).
Kulit hewan dapat dihibahkan atau
disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Jika kemudian orang fakir dan
miskin itu menjualnya, hukumnya boleh. Sebab -menurut pemahaman kami– larangan
menjual kulit hewan qurban tertuju kepada orang yang berqurban saja, tidak
mencakup orang fakir atau miskin yang diberi sedekah kulit hewan oleh orang
yang berqurban. Dapat juga kulit hewan itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan
bersama, misalnya dibuat alas duduk dan sajadah di masjid, kaligrafi Islami,
dan sebagainya.
Penutup
Kami ingin menutup risalah sederhana
ini, dengan sebuah amanah penting : hendaklah orang yang berqurban melaksanakan
qurban karena Allah semata. Jadi niatnya haruslah ikhlas lillahi ta’ala, yang
lahir dari ketaqwaan yang mendalam dalam dada kita. Bukan berqurban karena
riya` agar dipuji-puji sebagai orang kaya, orang dermawan, atau politisi yang
peduli rakyat, dan sebagainya. Sesungguhnya yang sampai kepada Allah SWT adalah
taqwa kita, bukan daging dan darah qurban kita. Allah SWT berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ
يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu
sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada
kamulah yang mencapainya.” (TQS Al Hajj : 37) [ ]
DAFTAR
PUSTAKA
- Abdurrahman. 1990. Hukum Qurban, ‘Aqiqah, dan
Sembelihan. Cetakan Pertama. Bandung : Sinar Baru. 52 hal.
- Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i.
1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan
oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al
Ikhlas. 554 hal.
- Al Jabari, Abdul Muta’al. 1994. Cara Berkurban (Al
Udh-hiyah Ahkamuha wa Falsafatuha At Tarbawiyah). Terjemahan oleh Ainul
Haris. Cetakan Pertama. Jakarta : Gema Insani Press. 83 hal.
- Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al Mu’jam Al Wasith. Kairo :
Tanpa Penerbit. 547 hal.
- Ash Shan’ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz IV.
Bandung : Maktabah Dahlan.
- Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taysir Al Wushul Ila Al
Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.
- Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid. Beirut : Daarul Fikr. 404 hal.
- Matdawam, M. Noor. 1984. Pelaksanaan Qurban dalam Hukum
Islam. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Yayasan Bina Karier. 41 hal.
- Rasjid, H.Sulaiman. 1990. Fiqh Islam. Cetakan
Keduapuluhtiga. Bandung : Sinar Baru. 468 hal.
- Rifa’i, Moh. et.al. 1978. Terjemah Khulashah Kifayatul
Akhyar. Semarang : Toha Putra 468 hal.
- Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah).
Jilid 13. Cetakan Kedelapan. Terjemahan oleh Kamaluddin A. Marzuki.
Bandung : Al Ma’arif. 229 hal
- Yunus, Mahmud. 1936. Al Fiqh Al Wadhih. Juz III.
Jakarta : Maktabah Sa’adiyah Putera. 48 hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar