EDITOR : drs.HM.Sakti Rangkuti.MA.
Hari raya yang kita peringati/kita
rayakan setiap tanggal 10 Dzul Hijjah itu disebut Idul Adlha, Idun Nahri atau
Idul Qurban. Dikatakan demikian, karena pada hari itu kaum muslimin yang
mempunyai kemampuan/kelebihan rizki dianjurkan (disunnahkan) untuk menyembelih
ternak berupa kambing, sapi atau unta dengan niat bertaqarrub/mendekatkan diri
atau beribadah kepada Allah SWT.
Waktu
penyembelihannya yaitu sejak tanggal 10 Dzul Hijjah setelah kaum muslimin
selesai melaksanakan shalat id sampai dengan akhir hari tasyriq/tanggal 13 Dzul
Hijjah, dengan ketentuan seekor ternak berupa kambing hanya cukup untuk
qurbannya seorang, sedangkan sapi atau unta cukup untuk qurbannya tujuh orang.
Dalam riwayat sahabat Jabir bin Abdillah disebutkan :
نَحَرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَّةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ
سَبْعَةٍ. رواه مسلم
Artinya
:
“Kita para sahabat bersama Rasulullah SAW. pada tahun Hudaibiyah
menyembelih qurban berupa seekor unta untuk qurbannya tujuh orang dan seekor
sapi juga untuk qurbannya tujuh orang”. (HR. Muslim)
Ketentuan
lain : menurut sunnah rasul, sebaiknya ternak qurban itu di sembellih sendiri
oleh orang yang berqurban jika ia mampu, apabila tidak mampu maka dia boleh
mewakilkan kepada orang lain. Selanjutnya mengenai persyaratan untuk ternak
yang disembelih, cara menyembelih, aturan membagi-bagi dagingnya serta hikmah
berqurban itu semua sudah sangat jelas bagi kita.
Namun
menurut pengamatan penulis, warga nahdliyin yang umumnya awam itu masih perlu
diberi penjelasan tentang hukum yang terkait dengan masalah-masalah sampingan
seputar pelaksanaan penyembelihan qurban. Masalah-masalah itu antara lain :
-
Menyembelih qurban
untuk orang yang telah meninggal (jawa: ngorbani wong mati);
-
Mengqadla qurban;
-
Daging qurban
digunakan untuk walimahan;
-
Perbedaan antara
qurban dan aqiqah;
-
Ternak betina untuk
qurban atau aqiqah.
1. Qurban untuk Orang
yang Sudah Meninggal.
Sebagian
umat muslim, ketika menyembelih ternak qurban pada saat Idul Adlha itu ada yang
berniat qurban untuk dirinya, untuk isterinya, atau untuk anak-anaknya yang
semuanya masih hidup. Namun banyak juga dari mereka yang berniat qurban untuk
sanak keluarganya yang sudah meninggal. Untuk masalah ini, masih dipertanyakan
tentang sah atau tidaknya.
Sehubungan
dengan hal tersebut agar warga kita lebih mantap dalam melaksanakan ibadah
qurbannya, perlu diberi penjelasan bahwa memang ada ulama yang mengesahkan
berqurban untuk orang yang sudah meninggal yaitu Imam Rofi’i. Keterangan hukum
demikian ini bisa kita fahami dari keterangan kitab Qolyubi juz IV hal. 255 :
(وَلاَ تَضْحِيَةَ عَنِ الْغَيْرِ)
الْحَيِّ (بِغَيْرِ إذْنِهِ) وَبِإِذْنِهِ تَقَدَّمَ (وَلاَ عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ
يُوصِ بِهَا) وَبِإِيصَائِهِ تَقَعُ لَهُ. (قوله وَبِإِيصَائِهِ) ... إلى أن قال:
وَقَالَ الرَّافِعِيُّ: فَيَنْبَغِي أَنْ يَقَعَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يُوصِ لأَنَّهَا
ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ.
Artinya :
“Imam
Nawawi berpendapat bahwa tidak sah berqurban untuk orang lain yang masih hidup
tanpa mendapat izin dari yang bersangkutan, tidak sah juga berqurban untuk
mayit, apabila tidak berwasiat untuk diqurbani. Sementara itu Imam Rafi’i
berpendapat boleh dan sah berqurban untuk mayit walaupun dia tidak berwasiat, karena ibadah qurban adalah salah satu
jenis shadaqah”.
2. Mengqadla Qurban.
Di sebagian daerah kita, sewaktu ada
warga muslim yang meninggal dunia dan ahli warisnya mampu, biasanya mereka
menyembelih ternak dengan niat shadaqah anil mayit. Ada oknum kiyai atau mbah
modin setempat yang memberi saran kepada ahli waris agar ternak yang disembelih
pada saat kematian keuarganya itu diniati untuk qurbannya si mayit. Dengan
alasan :
ini sebagai qurban diqadla’ padahal hari kematiannya bukan pada hari raya Idul Adlha/hari-hari tasyriq.
Sebagaimana disebut di awal bahwa
qurban ‘anil mayit walaupun tanpa adanya wasiat adalah sah menurut pendapat
Imam Rafi’i, akan tetapi jangan terus langsung difahami bahwa hal tersebut
boleh dilakukan setiap saat, walaupun dengan niat mengqadla, karena qurban itu
salah satu ibadah yang dikaitkan dengan waktu, yakni Idul Adlha dan hari-hari
tasyriq. Sebagaimana yang di sebut dalam kitab Mustashfa juz II hal. 9
(وَلاَ تَقِسْ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى
الصَّوْمِ (الْجُمْعَةَ وَلاَ اْلأُضْحِيَّةَ) فَإِنَّهُمَا لاَيُقْضَيَانِ فِيْ
غَيْرِ وَقْتِهِمَا.
Artinya :
“Jangan
anda mengqiyaskan/menyamakan puasa dengan shalat Jum’at dan penyembelihan
qurban, keduanya (Jum’atan dan menyembelih qurban) tidak boleh diqadla’ pada
saat-saat yang bukan waktunya”.
Dalam kitab “ats-tsimarul yani’ah” hal.
80 juga disebutkan :
(فَمَنْ ذَبَحَ ضَحِيَّتَهُ قَبْلَ
دُخُوْلِ وَقْتِهَا) بِأَنْ لَمْ يَمْضِ مِنَ الطَّلُوْعِ أَقَلُّ مَا يُجْزِئُ
مِنَ الصَّلاَةِ وَالْخُطْبَةِ (لَمْ تَقَعْ ضَحِيَّةً، وَكَذَا مَنْ ذَبَحَهَا
بَعْدَ خُرُوْجِ وَقْتِهَا إِلاَّ إِذَا نَذَرَ ضَحِيَّةً مُعَيَّنَةً)
Artinya :
“Barang siapa menyembelih ternak qurban, sebelum tiba
waktunya yakni saat matahari sudah terbit dan setelah pelaksanaan shalat id
(dua rakaat) beserta khotbahnya, maka tidak sah qurbannya. Demikian pula tidak
sah seseorang yang menyembelih qurban setelah keluar waktunya (10 Dzul Hijjah
dan tiga hari tasyriq), kecuali karena nadzar qurban mu’ayyan”.
3. Daging Qurban Digunakan untuk Walimahan.
Sebagaimana yang dilakukan oleh
kebanyakan umat muslim, bahwa pada hari raya Idul Adlha mereka menyembelih
ternak qurban dan di antara mereka banyak pula -pada hari-hari itu- yang
mempunyai hajat (menantu, khitan, memperingati seribu hari wafatnya mayit dll).
Maka sebagian dari mereka pada waktu menyembelih ternaknya ada yang berniat
qurban, namun dalam praktiknya daging ternak tersebut tidak dibagi-bagikan
kepada mustahiq tetapi digunakan untuk menjamu para tamu yang mendatangi
hajatan mereka pada waktu itu, atau digunakan untuk walimahan.
Apa yang dilakukan oleh sebagian kaum
muslimin di daerah kita tersebut hukumnya boleh, namun tidak secara mutlak,
artinya ada beberapa syarat yang harus diperhatikannya, yaitu :
a. Qurbannya itu qurban sunnat. Jadi qurban wajib atau qurban nadzar tidak
boleh digunakan untuk keperluan seperti itu.
b. Sebagian dagingnya harus dibagi-bagikan kepada fakir miskin
dalam keadaan mentah. Jadi tidak boleh dimasak semuanya.
c. Jika si penyembelih itu sebagai wakil, dia harus meminta kerelaan orang
yang mewakilkan tentang digunakannya daging qurban untuk keperluan tersebut.
Syarat-syarat tadi secara rinci telah
diterangkan dalam beberapa kitab :
a. Kitab Bughyah hal. 258 :
يَجِبُ التَّصَدُّقُ فِي اْلأُضْحِيَةِ الْمُتَطَوَّعِ بِهَا
بِمَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اْلاِسْمُ مِنَ اللَّحْمِ، فَلاَ يُجْزِئُ نَحْوُ
شَحْمٍ وَكَبِدٍ وَكَرْشٍ وَجِلْدٍ، وَلِلْفَقِيْرِ التَّصَرُّفُ فِي
الْمَأْخُوْذِ وَلَوْ بِنَحْوِ بَيْعِ الْمُسْلَمِ لِمِلْكِهِ مَا يُعْطَاهُ،
بِخِلاَفِ الْغَنِيِّ فَلَيْسَ لَهُ نَحْوُ الْبَيْعِ بَلْ لَهُ التَّصَرُّفُ فِي
الْمَهْدَى لَهُ بِنَحْوِ أَكْلٍ وَتَصَدُّقٍ وَضِيَافَةٍ وَلَوْ لِغَنِيٍّ،
لأَنَّ غَايَتَهُ أَنَّهُ كَالْمُضَحِّي نَفْسِهِ.
Artinya :
“Qurban
sunat wajib dishadaqahkan berupa daging, tidak cukup jika berupa lemak, hati
babat atau kulit ternak. Bagi orang fakir boleh mentasarufkan -untuk apa saja-
daging yang diberikan kepadanya walaupun untuk dijual, karena daging itu sudah
menjadi miliknya. Berbeda dengan orang kaya, dia tidak boleh menjual daging
qurban akan tetapi boleh mamakannya, menyedekahkannya dan menyuguhkannya kepada
para tamu, karena pada prinsipnya orang kaya yang menerima bagian daging qurban
itu sama dengan orang yang berqurban sendiri”.
b. Kitab Qolyubi juz IV hal. 254 :
(وَاْلأَصَحُّ وُجُوبُ تَصَدُّقٍ
بِبَعْضِهَا) وَهُوَ مَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ الاِسْمُ مِنْ اللَّحْمِ وَلاَ
يَكْفِي عِنْهُ الْجِلْدُ وَيَكْفِي تَمْلِيكُهُ لِمِسْكِينٍ وَاحِدٍ، وَيَكُونُ
نِيئًا لاَ مَطْبُوخًا.
Artinya :
“Menurut
pendapat yang paling shahih, qurban itu wajib disedekahkan sebagiannya berupa
daging, tidak boleh berupa kulitnya. Sudah mencukupi walaupun diberikan
kepada seorang miskin, dan yang diberikan itu harus berupa daging mentah tidak
dimasak”.
c. Kitab Bajuri juz I hal. 286
(قَوْلُهُ وَتَفْرِقَةُ الزَّكَاةِ
مَثَلاً) أَيْ وَكَذَبْحِ أُضْحِيَةٍ وَعَقِيْقَةٍ وَتَفْرِقَةِ كَفَّارَةٍ
وَمَنْذُوْرٍ وَلاَ يَجُوْزُ لَهُ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْهَا إِلاَّ إِنْ عَيَّنَ لَهُ
الْمُوَكِّلُ قَدْرًا مِنْهَا.
Artinya :
“Kata-kata
kiyai mushonnif : boleh mewakilkan kepada orang lain dalam hal membagi-bagi
zakat, demikian pula dalam hal menyembelih qurban dan aqiqah serta membagi-bagi
kaffarat dan nadzar. Dan bagi si wakil tidak boleh mengambil bagian sedikit pun
dari apa yang dibagikan itu kecuali jika orang yang mewakilkan menyatakan boleh
mengambil bagian tertentu dari benda tersebut”.
4. Perbedaan dan Persamaan Antara Qurban dan Aqiqah.
Walaupun dua hal ini sudah cukup jelas
hukum dan aturannya, namun masih saja kita melihat adanya kerancuan antara
keduanya di kalangan kaum muslimin khususnya yang ada di pedesaan. Sebagian
dari mereka ada yang punya pendirian kalau qurban untuk orang yang meninggal
diperbolehkan, begitu pula aqiqah untuk orang yang meninggal seharusnya
diperbolehkan juga.
Perlu diketahui, bahwa diantara qurban
dan aqiqah in di satu sisi ada banyak persamaan, antara lain persyaratan ternak
yang disembelih dan hukum keduanya sama-sama sunnat, namun di sisi lain
antara keduanya juga ada perbedaan-perbedaan. Antara lain : tentang waktu
menyembelih dan cara membagi-bagi dagingnya. Perbedaan lain antara keduanya
yaitu bahwa qurban untuk orang yang meninggal adalah sah seperti penjelasan di
atas, sedangkan aqiqah untuk orang yang meninggal (jawa : ngaqiqohi wong mati)
tidak sah, kecuali untuk si anak yang masih kecil yang belum sempat diaqiqahi
sudah meninggal, maka dalam hal ini walinya/ayahnya masih disunnatkan
mengaqiqahi anak tersebut.
Disebutkan dalam kitab Kifayatul Akhyar
juz II hal. 243 :
وَقَال الرَّافِعِي وَغَيْرُهُ: وَلاَ تَفُوْتُ بِفَوَاتِ
السَّابِعِ، وَفِي الْعِدَّةِ وَالْحَاوِيْ لِلْمَاوَرْدِيْ، أَنَّهَا بَعْدَ
السَّابِعِ تَكُوْنُ قَضَاءً، وَالْمُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا
النِّفَاسُ فَإِنْ تَجَاوَزَتْهُ فَيُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا
الرَّضَاعُ، فَإِنْ تَجَاوَزَ فَيُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا سَبْعُ
سِنِيْنَ فَإِنْ تَجَاوَزَهَا فَيُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا
الْبُلُوْغُ، فَإِنْ تَجَاوَزَهُ سَقَطَتْ عَنْ غَيْرِهِ وَهُوَ الْمُخَيَّرُ فِي
الْعَقِّ عَنْ نَفْسِهِ فِي الْكِبَرِ، وَاحْتَجَّ لَهُ الرَّافِعِي بِأَنَّهُ
عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ،
وَاحْتَجَّ غَيْرُهُ بِهِ.
Artinya :
“Imam
Rafi’i dan ulama lain berpendapat bahwa menyembelih aqiqah yang dilaksanakan
setelah hari ketujuh dari kelahiran bayi itu bukan qadla’. Sementara Imam
Mawardi mengatakan hal itu adalah sebagi aqiqah yang diqadla’. Boleh juga
ditunda sampai saat sebelum tuntasnya nifas (60 hari), boleh sampai saat
sebelum lewatnya waktu menyusui (2 tahun) boleh sampai anak belum berusia 7
tahun dan boleh juga sampai saat sebelum usia baligh. Maka kalau sudah melewati
usia baligh, wali atau orang lain sudah gugur kesunatan untuk mengaqiqahi
dirinya sendiri. Dalilnya -menurut Imam Rafi’i dan ulama lain- adalah bahwa
Nabi SAW. Mengaqiqahi pribadinya sendiri setelah beliau menjadi rasul (setelah
usia 40 tahun).
Dari keterangan
tersebut, jelas bahwa tidak ada anjuran menurut syari’at untuk mengaqiqahi
orang lain yang sudah dewasa, apalagi sang anak kok dianjurkan mengaqiqahi
orang tuanya yang sudah meninggal, itu tidak ada aturan syari’atnya.
5. Ternak Betina untuk Qurban dan Aqiqah.
Ada satu lagi masalah sampingan yang
terkait dengan ternak untuk qurban atau aqiqah, masalah itu sumbernya dari
methos jawa tanpa adanya alasan yang jelas baik secara syar’i (tuntunan agama)
atau secara aqli (rasio), orang-orang jawa itu sangat anti pati (jawa :
sirikan) menyembelih ternak betina untuk qurban atau aqiqah, seakan-akan hal
yang demikian itu merupakan suatu amalan yang haram.
Padahal para
fuqaha’ telah memberikan fatwa, bahwa boleh dan sah menyembelih ternak betina
untk qurban atau aqiqah. Mari kita simak keterangan yang tercantum dalam kitab
Kifayatul Akhyar juz II hal. 236 :
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ فَرْقَ فِي
اْلإِجْزَاءِ بَيْنَ اْلأُنْثَى وَالذَّكَرِ إِذَا وُجِدَ السِّنُّ الْمُعْتَبَرُ،
نَعَمْ الذَّكَرُ أَفْضَلُ عَلَى الرَّاجِحِ، لأَنَّهُ أَطْيَبُ لَحْماً.
Artinya :
“Ketahuilah,
bahwa dalam kebolehan dan keabsahan qurban/aqiqah tidak ada perbedaan antara
ternak betina dan ternak jantan apabila umurnya telah mencukupi. Dalam hal ini
memang ternak jantan lebih utama dari pada ternak betina karena jantan itu
lebih lezat dagingnya”.
Berdasarkan fatwa tersebut, kita
mengerti bahwa ternak betina dan ternak jantan itu sama-sama boleh dan sah
digunakan untuk qurban atau aqiqah. Hanya saja jika dipandang dari segi
afdlaliyahnya ternak jantan lebih afdlal dari pada ternak betina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar