HIJRAH DALAM KEIKHLASAN
بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh:drs.HM.Sakti Rangkuti.MA.
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ
بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ
مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ (متفق
عليه)
Dari Abdullah
bin Amru bin Ash ra, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, 'Soerang muslim adalah
orang yang menjadikan muslim lainnya merasa selamat dari lisan dan tangan
(perbuatannya). Sedangkan muhajir (orang yang hijrah) adalah orang yang
meninggalkan segala yang dilarang Allah SWT. (Muttafaqun Alaih).
Hadits ini merupakan hadits sahih yang diriwayatkan oleh hampir seluruh Imam Hadits, yaitu Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Turmudzi, Imam Abu Daud, Imam Ahmad bin Hambal, dsb. Dalam Imam-Imam kitab hadits yang enam (baca ; kutubus sittah), hanya Imam Ibnu Majah yang tidak meriwayatkan hadits ini. Dan hampir semua Imam ahli hadits sepakat akan kesahihan hadits ini.
Secara umum
hadits di atas menggambarkan tentang dua hal besar; pertama karakter orang
beriman, dan kedua makna hijrah. Kedua hal tersebut dirangkai dalam satu
penjelasan singkat dari Rasulullah SAW melalui hadits di atas. Penjelasan
pertama adalah bahwa karakter mendasar orang yang beriman (muslim), yaitu
sebagai orang yang keberadaannya menetramkan orang lain. Artinya orang lain
tidak merasa 'terganggu' dengan kehadirannya, baik secara lisan maupun
perbuatannya. Bahkan kehadirannya selalu dinantikan dan 'dielu-elukan' oleh
orang lain. Sikapnya terjaga, perilakunya terkontrol, ucapannya menyejukkan,
ungkapannya menentramkan dan statementnya memajukan umat.
Sementara hal
yang kedua, yaitu hakekat hijrah. Bahwa hijrah yang hakiki sesungguhnya
bermakna meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Baik yang
lahir (terlihat/ nyata/ rii) maupun yang batin (tidak nyata, perkara hati,
ghaib). Namun untuk merealisasikan tujuan hijrah tersebut, seseorang dapat meninggalkan
sebuah tempat (teritorial) menuju tempat yang lainnya jika di tempat yang awal
ia tidak dapat melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT. Hijrah yang seperti ini
dinamakan juga dengan hijrah makani. Sedangkan hijrah dalam arti yang lebih
luas sebagaimana digambarkan dalam hadits di atas, sering disebut juga dengan
hijrah ma'nawi.
Dalam hijrah, komponen yang terpenting adalah 'niat'. Hal ini dapat kita lihat dari kisah muhajir Ummu Qais. Dimana terdapat seorang shahabiah yang bernama Ummu Qais, yang ingin hijrah melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya dari Mekah ke Madinah. Namun pada saat yang bersamaan, terdapat seseroang yang 'menyukai' Ummu Qais ini. Dan singkat cerita berhijrahlah pula orang tadi, namun dengan harapan dan tujuan untuk mendapatkan 'cintanya' Ummu Qais.
Dalam hijrah, komponen yang terpenting adalah 'niat'. Hal ini dapat kita lihat dari kisah muhajir Ummu Qais. Dimana terdapat seorang shahabiah yang bernama Ummu Qais, yang ingin hijrah melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya dari Mekah ke Madinah. Namun pada saat yang bersamaan, terdapat seseroang yang 'menyukai' Ummu Qais ini. Dan singkat cerita berhijrahlah pula orang tadi, namun dengan harapan dan tujuan untuk mendapatkan 'cintanya' Ummu Qais.
Akhirnya
Rasulullah SAW bersabda dengan sebuah hadits yang cukup masyhur, yaitu hadits
tentang niat; 'Bahwasanya segala amal perbuatan tergantung niatnya. Dan
bahwasanya bagi setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Barang
siapa yang berhijrah karena mengharapkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya tersebut akan mendapatkan pahala keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Dan
barang siapa yang berhijrah karena kepentingan dunia, atau karena wanita yang
ingin dinikahinya, maka hijrahnya tersebut akan mendapatkan apa yang telah
diniatkannya'. (Muttfaqun Alaih)
Makna
Keikhlasan
Ikhlas berasal
dari bahasa Arab, yang sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Dari
bahasa asalnya, ikhlas berasal dari kata "akhlasha", yang berarti
bersih, murni dan jernih. Dari kata dasar ini, membentuk infinitifnya (masdar)
menjadi "ikhlasan". Sedangkan orang yang ikhlas adalah
"mukhlis":
أخلص - يخلص - إخلاصا - وهو مخلص
أخلص - يخلص - إخلاصا - وهو مخلص
Adapun dari segi istilahnya, para ulama memberikan ekspresi bahasa yang beragam, sesuai dengan kecendrungan dan spesialisasi mereka masing-masing.
• Al-Imam
Al-Mar'asyi umpamanya, beliau mengemukakan bahwa ikhlas adalah kesamaan amalan
seorang hamba yang dilakukannya secara dzahir dan bathin.
• Imam Abu
Qasim al-Qusyairi membahasakannya dengan, "memaksudkan amalan dengan
mensatukan tujuan dalam ketaatannya kepada Allah SWT.
• Sedangkan
Imam al-Susy, mendefinisikannya dengan, "hilangnya rasa keikhlasan dalam
amalan yang dilakukannya, karena orang yang merasa terdapat keikhlasan pada
keikhlasannya, maka sesungguhnya keikhlasannya itu membutuhkan
keikhlasan."
• Dan seorang
ulama kontemporer, yaitu Ali Abdul Halim Mahmud, mengemukakan bahwa hakekat
keikhlasan adalah berlepas diri dari sesuatu selain Allah SWT, yaitu bersihnya
perkataan, perbuatan, atau meninggalkan sesuatu hal dengan tujuan mencari ridha
Allah dan pahala dari-Nya.
Apapun ungkapan
yang mereka bahasakan dengan definisi yang mereka berikan, pada hakekatnya
mereka semua memiliki kesamaan pandangan bahwa keikhlasan merupakan menfokuskan
tujuan suatu amalan, hanya semata-mata untuk Allah dan kepada Allah, dengan
menjauhkan diri dari tujuan-tujuan lain yang bukan kepada Allah.
Urgensi Keikhlasan
Dalam kehidupan
yang dijalani oleh manusia, kiekhlasan memiliki posisi yang sangat penting.
Karena tanpa keikhlasan, maka amalan seseorang diibaratkan seperti jasad yang
tidak memiliki ruh lagi. Berikut adalah beberapa urgensi keikhlasan:
1. Ikhlas
merupakan suatu perintah/ kewajiban dari Allah. (QS.98: 5) "Padahal mereka
tidaklah disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan keikhlasan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus."
2. Keikhlasan
merupakan bukti dan sarana ketaqwaan seseorang.
3. Kehidupan dan kematian akan dipersembahkan kepada Allah SWT. Dan bagaimana persembahan akan diterima, jika tidak dibarengi dengan keikhlasan?
4. Keikhlasan
merupakan hal yang sangat diperlukan guna menjadi hamba yang terbaik amalannya,
sebagai perealisasian cobaan yang Allah berikan pada insan. (QS.67: 2)
"Yang menjadikan kamu mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa
diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun."
5. Ikhlas merupakan syarat pertemuan antara seorang hamba dengan Rab-nya baik di dunia maupun di akhirat. (QS.18 : 110) "Dan barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan jenganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya."
Ikhlas dan
Riya'
Ketika mengkaji
tentang keikhlasan, muncullah sebuah persepsi pentingnya menghindarkan amalan
dari riya. Karena riya merupakan lawan kata dari ikhlas. Dan riya ini pulalah
yang dapat menghancurkan keikhlasan seorang hamba yang telah sekian lama
diusahakannya. Memahami riya meruapakan hal yang cukup urgen, guna membantu
dalam peningkatan keikhlasan.
Berbeda dengan
ikhlas, maka riya adalah memaksudkan amalan yang dilakukan seseorang guna
mendapatkan keridhoan manusia, baik berupa pujian, ketenaran, atau sesuatu yang
diinginkannya selain Allah SWT. Dr. Sayid Muhammad Nuh, menggambarkan adanya
tiga sebab yang memotori timbulnya riya: Pertama karena ingin mendapatkan
pujian dan nama baik di masyarakat. Kedua, kekhawatiran mendapat celaan
manusia, dan ketiga, menginginkan sesuatu yang dimiliki orang lain (tamak).
Ketiga hal ini didasari dari hadits, yang diriwayatkan Imam Bukhari:
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ
أَعْرَابِيًّا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهٌ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا
رَسُوْلَ اللهِ، الرَّجُلُ يُقَاتِلُ حَمِيَّةً، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى
مَكَانُهُ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةَ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ
فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
"Dari Abu
Musa al-Asyari ra, mengatakan bahwa seorang Badui bertanya kepada Rasulullah
SAW, "Wahai Rasulullah SAW, seseorang berperang karena kekesatriaaan,
seseorang berperang supaya posisinya dilihat oleh orang, dan seseorang berperang
karena ingin mendapatkan pujian? Rasulullah SAW menjawab "Barang siapa
yang berperang karena ingin menegakkan kalimatullah, maka dia fi
sabilillah." (HR. Bukhari)
Kemudian,
hadits riwayat An-Nasai:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: مَنْ غَزَا لاَ يَبْغِيَ إِلاَّ عِقَالاً فَلَهُ مَا نَوَى
"Barang
siapa yang berperang hanya kerena kekang hewan, maka ia hanya akan mendapatkan
apa yang diniatkannya." (HR. Nasa'i)
Ungkapan dalam
hadits pertama, tentang seseorang yang berperang supaya posisinya dilihat orang
dan seseorang yang berperang supaya mendapatkan pujian, adalah sebagai indikasi
penyebab riya yang pertama, yaitu ingin mendapatkan pujian dan nama baik di
masyarakat. Kemudian ungkapan dalam hadits tentang seseorang yang berperang karena
kekesatriaan, adalah indikasi dari penyebab yang kedua, yaitu kekhwatiran
mendapatkan celaan manusia. Adapun dalam hadits yang kedua, adalah indikasi
dari penyebab yang terakhir, yaitu menginginkan sesuatu yang dimiliki orang
lain. Meninggalkan ketiga hal di atas adalah merupakan salah satu upaya guna
menghadirkan keikhlasan dalam beramal, sekaligus menghindari dir dari sifat
riya.
Riya Adalah
Syirik Kecil
Riya' adalah
syirik kecil; demikianlah ungkapan yang dikemukakan Rasulullah SAW dalam salah
satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ
اْلأَصْغَرُ، قَالُوْا وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ
الرِّيَاءُ، يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ اذْهَبُوْا إِلَى الَّذِيْ تُرَاءُوْنَ فِي الدُّنْيَا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمُ الْجَزَاءَ (رواه أحمد)
يَوْمَ الْقِيَامَةِ اذْهَبُوْا إِلَى الَّذِيْ تُرَاءُوْنَ فِي الدُّنْيَا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمُ الْجَزَاءَ (رواه أحمد)
"Sesungguhnya
sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik kecil."
Para sahabat bertanya, "Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah SAW?",
Beliau menjawab, "Riya.! Dan Allah akan berkata pada hari kiamat, terhadap
mereka-meeka yang riya, 'pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu di
dunia kalian rya'i, apakah kalian mendapatkan ganjaran dari mereka?" (HR.
Ahmad)
Meskipun kecil, riya tetaplah bagian dari syirik yang harus disingkirkan jauh-jauh dari hati kaum mu'minin. Sesuatu yang kecil, bila dibiarkan tumbuh berkembang, maka lambat laun akan menjadi besar. Dan alangkah meruginya, jika sesuatu yang negatif yang demikian besarnya, ternyata bercokol di dalam hati orang mu'min. Sedangkan syirik merupakan dosa yang tidak akan mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
Meskipun kecil, riya tetaplah bagian dari syirik yang harus disingkirkan jauh-jauh dari hati kaum mu'minin. Sesuatu yang kecil, bila dibiarkan tumbuh berkembang, maka lambat laun akan menjadi besar. Dan alangkah meruginya, jika sesuatu yang negatif yang demikian besarnya, ternyata bercokol di dalam hati orang mu'min. Sedangkan syirik merupakan dosa yang tidak akan mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
Ciri-ciri Riya'
dan Ikhlas
Terdapat sebuah ungkapan yang dikemukakan oleh seorang sahabat Rasulullah SAW yang sangat zuhud kehidupannya, beliau juga termasuk salah seorang dari empat khulafa' rasydin, yang juga mendapatkan berita gembira untuk masuk dalam surga Allah kelak. Beliau adalah Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib mengemukakan, tentang ciri-ciri riya' yang terdapat dalam jiwa seseorang:
Terdapat sebuah ungkapan yang dikemukakan oleh seorang sahabat Rasulullah SAW yang sangat zuhud kehidupannya, beliau juga termasuk salah seorang dari empat khulafa' rasydin, yang juga mendapatkan berita gembira untuk masuk dalam surga Allah kelak. Beliau adalah Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib mengemukakan, tentang ciri-ciri riya' yang terdapat dalam jiwa seseorang:
قَالَ عَلِيٌّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ،
لِلْمُرَائِيْ عَلاَمَاتٌ، يَكْسُلُ إِذَا كَانَ وَحْدَهُ، وَيَنْشَطُ إِذَا كَانَ
فِي النَّاسِ، وَيَزِيْدُ فِي الْعَمَلِ إِذَا أُثْنَى، وَيَنْقُصُ إِذَا ذُمَّ
"Orang
yang riya, terdapat beberapa ciri, (1) malas, jika seorang diri, (2) giat jika
di tengah-tengah orang banyak, (3) bertambah semangat beramal jika mendapatkan
pujian, (4) berkurang frekwensi amalnya jika mendapatkan celaan."
Sedangkan orang
yang ikhlas adalah kebalikan dari hal tersebut diatas. Adapun ciri-cirinya,
diantaranya adalah;
1. Istiqamah/
istimrar dalam beribadah, baik ketika mendapatkan pujian ataupun ketika
mendapatkan celaan atas perbuatannya tersebut.
2. Membenci
atau menghindari diri dari popularitas. Karena amalnya semata-mata hanya karena
ingin mendapatkan keridhaan Allah SWT.
3. Menyembunyikan amalan, dalam arti tidak menyengaja dalam mengerjakan suatu amalan agar dilihat orang lain.
4. Su'udzon
terhadap diri sendiri, hingga tidak membanggakan amal pribadi. Artinya dirinya
senantiasa merasa kurang sempurna dalam beramal. Sehingga ia selalu memperbaiki
dengan amalan yang lebih baik lagi.
Assidqu fil
Ikhlas
Pada intinya,
keikhlasan menginginkan bagaimana seorang hamba mampu memberikan porsi
ketawazunan (baca; keseimbangan) dalam amalannya antara yang dzahir dan bathin.
Karena yang diinginkan dari ikhlas adalah adanya kesamaan dalam kedua amalan
ini, baik yang dzhir (amalan yang terlihat oleh orang lain), maupun yang bathin
(yang hanya diketahui sendiri oleh dirinya). Jika amalan dzahirnya melebihi
amalan bathinnya, berarti terdapat indikasi keriyaan. Contoh amalan yang
dilakukan secara bathin adalah senantiasa hati seseorang "basah"
dengan dzikir kepada Allah, dimanapun dan kapanpun dia berada. Demikian juga
dalam kesendirian-kesendiriannya, ia justru memperbanyak dzikir dan melakukan
aktivitas ibadah, bukan malah merupakan kesempatan untuk berlaku maksiat.
Jika seseorang
telah mampu menyeimbangkan antara kedua hal di atas, ini berarti telah terdapat
indikasi keikhlasan dalam dirinya. Apalagi jika seseorang yang memiliki amalan
bathin, jauh lebih banyak dan lebih besar frekwensinya daripada amalan
dzahirnya, maka ia telah mencapai assidqu fil ikhlas (keikhlasan yang
sebenar-benarnya).
Cara
Menghadirkan Keikhlasan dan Menghindari Riya'
Para ulama
berupaya memberikan berbagai jalan guna menemukan kiat-kiat agar terhindar dari
keriyaan serta mampu menghadirkan keikhlasan dalam jiwa. Diantara cara yang
mereka tawarkan adalah:
1. Menghadirkan
sikap muraqabatullah, yaitu sikap yang menghayati bahwa Allah senantiasa
mengetahui segala gerak-gerik kita hingga yang sekecil-kecilnya, bahkan yang
tergores dan terlintas dalam hati sekalipun yang tidak pernah diketahui oleh
siapapun. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengungkapkan, "..dan
sempurnakanlah amal, karena Sang Pengawas (Allah) Maha Melihat.,
وَأَتْقِنِ الْعَمَلَ فَإِنَّ النَّاقِدَ
بَصِيْرٌ
2. Seseorang
perlu menyadari dan meyakini, bahwa dengan riya, seluruh amalannya akan tidak
memiliki arti sama sekali. Amalannya akan hilang sia-sia dan akan musnah. Serta
dirinya tidak akan pernah mendapatkan apapun dari usahanya sendiri.
3. Dirinya pun
perlu menyadari, bahwa lambat launpun manusia akan mengetahui apa yang terdapat
di balik amalan-amalan baik yang dilakukannya, baik di dunia apalagi di akhirat
kelak.
4. Dirinya juga perlu meyadari pula bahwa dengan riya, seseorang dapat diharamkan dari surga Allah. Dalam hadits digambarkan, bahwa Rasulullah SAW menangis, karena takut umatnya berbuat riya'. Kemudian beliau berkata, "Barang siapa yang belajar ilmu pengetahuan bukan kerena mencari keridhoan Allah tapi karena keinginan duniawi, maka dia tidak akan mencium baunya surga."
5. Banyak
berdzikir kapada Allah SWT, terutama manakala sedang menjalankan suatu amalan,
yang tiba-tiba muncul pula niatan riya. Hal ini sebaiknya segera diterapi
dengan dzikir.
Inilah
sekelumit hal mengenai keikhlasan, yang patut dihadirkan dan dijaga dalam diri
tiap insan. Keikhlasan bukan hanya monopoli mereka-mereka yang pakar dalam ilmu
keagamaan, atau mereka-mereka yang berkecimpung dalam keilmuan syar'iyah. Namun
keikhlasan adalah potensi setiap insan dalam melakukan amalan ibadah kepada
Allah. Bahkan tidak sedikit mereka-mereka yang dianggap biasa-biasa saja,
ternyata memiliki keluarbiasaan dalam keimanannya kepada Allah.
Jika demikian
halnya, marilah memulai dari diri pribadi masing-masing, untuk menghadirkan
keikhlasan, meningkatkan kualitasnya dan menjaganya hingga ajal kelak menjemput
kita.
Wallahu A'lam
bis Shawab
By:drs.HM.Sakti Rangkuti,MA.
By:drs.HM.Sakti Rangkuti,MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar