PENGERTIAN HAJI MABRUR.
Oleh : drs.HM.Sakti Rangkuti,MA.
Pendahuluan
Salah seorang ulama hadis al-Hafidh Ibn Hajar al-Asqalani
dalam kitab Fathul Bari: Syarah Bukhori Muslim menjelaskan: “Haji
mabrur adalah haji yang makbul yakni haji yang diterima oleh Alah SWT.” Pendapat
lain yang saling menguatkan dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim:
“Haji mabrur itu ialah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang
diterima Allah SWT, yang tidak ada riyanya, tidak ada sum’ah tidak rafats dan
tidak fusuq.” Selanjutnya, Abu Bakar Jabir al-Jazari dalam kitab, Minhajul
Muslimin mengungkapkan bahwa: “Haji mabrur itu ialah haji yang bersih
dari segala dosa, penuh dengan amal shaleh dan kebajikan-kebajikan.”
Berdasarkan rumusan yang diberikan oleh para ulama di atas
tentang pengertian haji mabrur ini, maka dapat kita simpulkan bahwa haji mabrur
adalah haji yang dapat disempurnakan segala hukum-hukum berdasarkan perintah
Allah SWT. dan Rasulullah SAW. Sebuah predikat haji yang tidak mendatangkan
perasaan riya’ bersih dari dosa senantiasa diikuti dengan peningkatan amal-amal
saleh, tidak ingin disanjung dan tidak melakukan perbuatan keji dan merusak.
Petunjuk Rasulullah SAW Dalam Menggapai Haji Mabrur.
Meskipun pada hakikatnya, bahwa hanya Allah SWT yang menentukan
dan mengetahui apakah diterima dan tidaknya haji yang kita tunaikan, melalui
penjelasan yang bersumber dari Rasulullah SAW, setidaknya menjadi penguat bagi
kita untuk lebih berharap kepada Allah SWT agar ibadah haji yang kita tunaikan
menjadi haji mabrur. Petunjuk Rasulullah SAW sebagaimana dijelaskan dalam
hadisnya dalam menggapai haji mabrur antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama, tunaikanlah ibadah haji dengan benar-benar
berangkat dari motivasi dan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Kedudukan niat
dalam setiap ibadah dalam Islam menempati posisi yang sangat penting, bahkan
niat menjadi penilaian dari setiap arah dan tujuan ibadah yang kita yang
tunaikan. Begitu juga halnya dengan pelaksanaan ibadah yang memerlukan
kesanggupan materil dan sprituil ini. Penegasan dan pelurusan niat yang
benar-benar harus ditujukan dalam rangka mencapai ridha Allah SWT secara
ekplisit dijelaskan dalam firman-Nya: “Dan tidaklah mereka disuruh kecuali
melainkan untuk menyembah Allah SWT dan mengikhlaskan agama (semata-mata)
karena Allah.” (QS. al-Bayyinah: 5)
Penegasan niat di atas dikuatkan lagi oleh Rasulullah SAW,
yang dijelaskan dalam sabdanya: “Sesungguh setiap perbuatan tergantung dari
niatnya dan masing-masing mendapat pahala dari niatnya itu.” (Muttafaq’
Alaihi). Oleh karena haji harus benar-benar diniatkan karena Allah SWT. Apalagi
haji ini, sangat sarat dengan perasaan riya’ dan sum’ah, mengingat tidak semua
orang dapat menunaikan ibadah ini, seperti halnya ibadah-ibadah lainnya. Tidak
sedikit orang menunaikan ibadah haji lantaran ingin mendapat prestise “haji”
sehingga dijadikan sebagai alat memperkuat status sosialnya, khususnya untuk
mendapatkan legitimasi sosial dari masyarakat.
Kedua, segala biaya dan nafkah yang digunakan untuk
menunaikan ibadah haji haruslah benar-benar bersumber dari yang halal. Apa
sebenarnya yang ingin kita capai dari pelaksanaan haji ini? Tidak lain adalah
ingin menyempurnakan sesuatu yang prinsipil terhadap keislaman kita, sehingga
kita termasuk orang-orang yang dekat kepada-Nya. Jadi, apa artinya haji yang
akan kita tunaikan, jika ternyata bukan mendekatkan diri kita kepada Allah.
Setiap ibadah yang kita tunaikan dengan biaya yang bersumberkan dari yang
haram, tidak akan bernilai di sisi Allah SWT dengan kata lain ibadah hajinya
akan ditolak (ma’zur).
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW: ”Jika seseorang
pergi menunaikan haji dengan biaya dari harta yang halal dan kemudian
diucapkannya, “Labbaikallaahumma labbaik (ya Allah, inilah aku datang memenuhi
panggilan-Mu). Maka berkata penyeru dari langit: “Allah menyambut dan menerima
kedatanganmu dan semoga kamu berbahagia. Pembekalanmu halal, pengangkutanmu
juga halal, maka hajimu mabrur, tidak dicampuri dosa.” Sebaliknya, jika
ia pergi dengan harta yang haram, dan ia mengucapkan: “Labbaik”. Maka penyeru
dari langit berseru: “Tidak diterima kunjunganmu dan engkau tidak berbahagia.
Pembekalanmu haram, pembelanjaanmu juga haram, maka hajimu ma’zur (mendatangkan
dosa) atau tidak diterima.” (HR. Tabrani).
Meskipun terdapat perbedaan tentang sah tidaknya haji
dengan biaya yang haram, akan tetapi berdasarkan hadis Rasulullah SAW dan
logika/ akal sehat kita sendiri, bagaimana mungkin haji kita berkenan di sisi
Allah SWT sedangkan biaya pelaksanaannya bersumber dari yang tidak diridhai
Allah SWT.
Ketiga, Melakukan manasik hajinya dengan meneladani dan
mempedomani manasik haji Rasulullah SAW. Ini sudah pasti dan dapat dipahami,
karena ibadah haji merupapakan ibadah mahdhah yang cara pelaksanaanya
mutlak harus mempedomani Rasulullah SAW. Jadi, manasik haji yang kita lakukan
harus benar-benar sesuai dengan manasik haji yag dilakukan oleh Rasulullah SAW,
sebagaimana sabdanya: “Hendaklah kamu mengambil manasik hajimu dari aku.”
(HR. Muslim). Alangkah baiknya, jika setiap kita yang ingin menunaikan ibadah
haji ini, terlebih dahulu mempelajari dengan sebaik-baiknya manasik haji
Rasulullah SAW. Manasik haji ini sangat menentukan mabrurnya haji kita atau
tidak, dan manasik haji yang tepat dan benar adalah manasik hajinya Rasulullah
SAW.
Keempat, Ibadah haji yang ditunaikan harus mampu
memperbaiki akhlak dan tingkah laku. Sesudah kembali dari tanah suci, dan dapat
menyelesaikan manasik hajinya secara sempurna, mulai dari berihram di miqat
yang telah ditentukan, tawaf di keliling baitullah, sa’i antara Shafa dan
Marwah, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah. Melontar jumrah dan bermalam di
Mina, tawaf ifadhah dan akhirnya tawaf wada’ ketika kembali ke tanah
air, sesuai dengan Alquran dan petunjuk Rasulullah SAW (tidak rafats,
tidak fusuq dan tidak bertengkar/bermusuhan), maka itu semua menjadi
sarana untuk merefungsionalisasikan tujuan hidup kita agar kembali kepada
fitrah yang sebenarnya, yakni menjadi manusia yang memiliki akhlak yang
terpuji. Kita harus mengingat bahwa tujuan ibadah dalam Islam, tidak terkecuali
ibadah haji adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Upaya pendekatan ini sekaligus mensucikan jiwa kita
menjadi jiwa bersih sehingga dengan jiwa yang bersih ini melahirkan perilaku
dan akhlak yang mulia (manusia sejati). Ibadah haji yang membentuk perilaku
akhlak terpuji dan mulia ini diukur dengan peningkatan amal-amal kebajikan yang
kita lakukan, baik terhadap Allah SWT secara vertikal dan hubungan sesama
manusia secara horizontal.
Kesimpulan
Tidak satu pun diantara kita yang menginginkan setiap
ibadah yang kita lakukan tidak diterima Allah SWT. Pelaksanaan ibadah haji
merupakan pelaksanaan yang memerlukan kesanggupan yang lebih besar daripada
ibadah lainnya dalam sistem ajaran Islam.
Di samping ibadah ini merupakan ibadah yang berdimensi
spiritualitas yang tinggi, juga sangat sarat dengan nilai-nilai sejarah dalam
tradisi kenabian yang mengagungkan. Dengan berangkat dari niat yang suci dan
ikhlas semata-mata berharap ridha Allah SWT, dengan biaya haji yang halal,
mengikuti manasik haji yang dipraktikkan Rasul SAW dan menghiasi dirinya dengan
amal-amal saleh dan akhlakul karimah, merupakan indikator ibadah haji diterima
Allah SWT. Semoga.
------------
Materi ini
disampaikan pada Bimbingan Manasik Haji Shafa Wal Marwah Kecamatan Galang di
Masjid Raya Syuhada Kecamatan Galang, Sabtu 25 Februari 2012 oleh Drs. H. M. Sakti Rangkuti, M.A.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar