9 Kesesatan Syi’ah Imamiyah Menurut
Syaikh Al Qardhawi
7 JANUARI 2013
OLEH :
USTADZ.DRS.HM.SAKTI RANGKUTI,MA.
GURU AGAMA ISLAM SMAN 1 GALANG-DELI
SERDANG
voai
DR Yusuf Al Qardhawi dalam
Fatawa Mu’ashirah, menjelaskan 9 perbedaan tajam antara Ahlus Sunnah yang
moderat dengan Syi’ah Imamiyah Itsna Asy’ariah/12 Imam. Berikut ini fatwa
beliau:
1. Sikap Syi’ah terhadap Al Qur`an.
Sikap
mereka terhadap Al Qur`an seperti yang telah saya jelaskan berulang-ulang kali
bahwa mereka tetap percaya dengan Al Qur`an yang kita hafal. Mereka
berkeyakinan bahwa Al Qur`an adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mushaf
yang dicetak di Iran dengan mushaf yang dicetak di Mekah, Madinah dan Kairo
adalah sama. Al Qur`an ini dihafal oleh anak-anak Iran di sekolah-sekolah agama
(madrasah/pesantren) di sana. Para ulama Iran juga mengutip dalil-dalil Al
Qur`an di dalam masalah pokok-pokok dan furu di dalam ajaran Syi’ah yang telah
ditafsirkan oleh para ulama mereka di dalam kitab-kitabnya. Namun masih
tetap ada di antara mereka yang berkata, “Sesungguhnya Al Qur`an ini tidak lengkap. Karena ada
beberapa surat dan ayat yang dihilangkan dan akan dibawa oleh Al Mahdi pada
saat dia muncul dari persembunyiannya.
”
Mungkin
saja sebagian besar ulama mereka tidak mempercayai hal
ini. Sayangnya mereka tidak mengkafirkan orang
yang telahmengatakan hal di atas. Inilah sikap yang sangat berbeda
dengan sikap Ahlu Sunnah, yaitu barangsiapa yang meyakini telah terjadi
penambahan dan pengurangan terhadap Al Qur`an, maka dengan tidak ragu lagi,
kami akan cap dia sebagai orang kafir.
Padahal
keyakinan seperti ini terdapat di dalam kitab-kitab rujukan mereka, seperti Al Kaafiy yang sebanding dengan
kitab Shahih Al Bukhari bagi
Ahlu Sunnah. Kitab ini telah dicetak dan diterjemahkan laludidistribusikan
ke seluruh dunia tanpa ada penjelasan apa-apa di dalamnya. Ada pepatah di
masyarakat, “Orang yang diam terhadap
kebatilan, sama dengan orang yang membicarakannya.”
2. Sikap Syi’ah terhadap As
Sunnah
Definisi
As Sunnah menurut Ahlu Sunnah adalah sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam yang telah dimaksum oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Dia perintahkan
umat Islam untuk menaati beliau di samping taat kepada-Nya.
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah, “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul (Muhammad) itu hanyalah apa yang
dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan kepadamu.
Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk,” (QS
An Nur [24]: 54). ”dan taatlah kepada Rasul
(Muhammad), agar kamu diberi rahmat,”(QS An Nur [24]: 56). “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),”(QS An Nisa [04]:
59). “Katakanlah (Muhammad),
“Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak
menyukai orang-orang kafir,” (QS Ali Imran [03]:
32). “Barangsiapa menaati Rasul
(Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa
berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu
(Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka,” (QS An Nisa [04]:
80). “Dan tidaklah yang
diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al Qur’an itu)
adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS An Najm [53]:
3-4) dan ayat-ayat yang lainnya.
Akan
tetapi batasan As Sunnah menurut Syi’ah adalah sunnah Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para imam mereka yang maksum.
Maksudnya,sunnah mencakup bukan hanya sunnah Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam melainkan jugasunnah kedua belas imam mereka. Imam mereka
yang 12 orang tersebut wajib ditaati sebagaimana taat kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan rasul-Nya yang dikuatkan dengan wahyu. Mereka telah menambahkan
perintah Al Qur`an untuk taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan rasul-Nya
yaitu agar taat kepada makhluk yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala sendiri tidak
memerintahkannya. Lebih dari itu, kita mengkritik Syi’ah karena telah
meriwayatkan sunnah dari orang-orang yang tidak tsiqah (terpercaya) karena
tidak memenuhi unsur keadilan dan kesempurnaan hafalan.
Oleh
karena itu, kitab-kitab rujukan Ahlu Sunnah tidak diterima oleh mereka. Mereka
tidak mau menerima kitab Shahih
Bukhari, Muslimdan Kutub Sittah lainnya, tidak mau menerima kitab AlMuwatha,Musnad Ahmad dan
kitab-kitab yang lainnya.
3. Sikap Syi’ah terhadap Para Sahabat
Pandangan negatif mereka
terhadap para sahabat merupakan pokok dan dasar ajaran Syi’ah. Sikap mereka itu
adalah turunan dari pokok ajaran mereka yang meyakini bahwa, Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berwasiat jika beliau wafat, maka Ali bin
Abi Thalib adalah pengganti beliau. Akan tetapi para sahabat menyembunyikan
wasiat ini dan mereka merampas hak Ali ini secara zalim dan
terang-terangan. Para sahabat telah berkhianat terhadap Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam yang menjadi wasilah mereka mendapatkan petunjuk dan mereka
hidup di zaman beliau untuk menolongnya walaupun dengan nyawa dan segala yang
mereka miliki.
Yang mengherankan, apakah
mungkin para sahabat bersekongkol untuk melakukan hal ini, sementara Ali
Radhiyallahu ‘Anh –sang pemberani- hanya bisa diam saja tidak berani
mengumumkan haknya ini. Justru Ali malah ikut membaiat Abu Bakar,
Umar dan kemudian Utsman. Ali tidak berkata kepada salah seorang dari mereka
itu, ”Sesungguhnya aku mempunyai
wasiat dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Akan tetapi, mengapa
kalian bersikap seolah-olah tidak tahu? Mengapa kalian hanya bermusyawarah
dengan enam orang saja dan kalian menyibukkan diri kalian sendiri? Siapakah
orangnya yang harus memilih sedangkan umat Islam telah menetapkan hal ini
dengan wasiat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam?” Mengapa
Ali tidak mau menjelaskan hal ini? Kemudian, jika memang Al Hasan bin Ali
benar-benar telah tercatat sebagai khalifah setelah Ali karena ada wasiat
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, tapi mengapa justru Al Hasan mengalah
dan memberikan jabatan khalifah ini kepada Mu’awiyah? Mengapa Al Hasan
melakukan hal ini, padahal ini merupakan perintah dari Allah Subhanahu Wa
Ta’ala? Dan mengapa justru Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam
haditsnya (hadits ramalan Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wa Sallam) memuji sikap Al Hasan ini?
Pertanyaan
ini tidak bisa dijawab sama sekali oleh mereka.
Inilah
tuduhan palsu mereka terhadap para sahabat yang tidak terbukti. Keterangan
mereka ini sangat bertentangan dengan keterangan yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala
sebutkan di dalam beberapa surat Al Qur`an. Seperti di akhir surat Al Anfal,
surat At Taubah, surat Al Fath di pertengahan di akhirnya, surat Al Hasyr dan
surat-surat lainnya.
Demikian
pula As Sunnah telah memuji para sahabat baik secara umum maupun secara
khusus. Juga zaman mereka itu dianggap sebagai sebaik-baik zaman setelah
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Juga apa
yang dicatat oleh sejarah tentang mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah
menghafal Al Qur`an dan dari mereka lah umat menukilnya. Mereka juga adalah
orang-orang yang telah menukil As Sunnah dan menyampaikan apa yang mereka nukil
dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam baik perkataan, perbuatan maupun
persetujuan beliau kepada umat ini.
Mereka
juga adalah orang-orang yang telah melakukan futuh (pembebasan negeri lain dengan damai) dan
membimbing umat ini menuju tauhid Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan
risalah Islam. Mereka juga telah mempersembahkan kepada bangsa-bangsa yang
dibebaskannya contoh-contoh teladan Qur’ani yang dijadikan sebagai petunjuk.
4.Imamah Ali dan Keturunannya yang Berjumlah
12 Imam Adalah Pokok Ajaran Syi’ah. Barangsiapa
yang Menolak, maka Dia Dicap Kafir.
Di antara
masalah akidah Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyah yang bertentangan dengan Ahlu
Sunnah adalah, keyakinan Syi’ah bahwa kepemimpinan Ali dan keturunannya dari
garis Husein merupakan pokok-pokok keimanan, seperti beriman kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, beriman kepada para malaikat-Nya, beriman kepada
kitab-kitab-Nya, beriman kepada para rasul-Nya dan beriman kepada hari akhir.
Tidak sah dan tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala iman seorang
muslim, jika dia tidak beriman bahwa Ali adalah khalifah yang ditunjuk oleh
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Demikian juga halnya dengan 11 imam keturunan Ali
bin Abi Thalib. Barangsiapa yang berani menolak hal ini atau meragukannya, maka
dia adalah kafir yang akan kekal di neraka. Seperti inilah riwayat-riwayat yang
tercantum di dalam Al Kaafiy dan
kitab-kitab lainnya yang mengupas masalah akidah mereka.
Atas
dasar inilah, sebagian besar kaum Syi’ah mengkafirkan Ahlu Sunnah
secara umum. Hal ini dikarenakan akidah Ahlu Sunnah berbeda dengan akidah
mereka (Syi’ah). Bahkan Ahlu Sunnah tidak mengakui akidah seperti ini dan
menganggap bahwa akidah ini adalah batil dan dusta atas nama Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan rasul-Nya.
Bahkan Syi’ah juga
mengkafirkan para sahabat yang tidak mengakui imamah Ali Radhiyallahu ‘Anh.
Mereka juga mengkafirkan tiga orang khulafa rasyidin sebelum Ali yaitu Abu
Bakar, Umar dan Utsman dan para sahabat lain yang mendukung ketiga orang
khalifah ini. Kita ketahui bahwa semua para sahabat telah meridhai tiga khulafa
rasyidin, termasuk Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu Ali lah orang terakhir
membaiat Abu Bakar. Kemudian Ali berkata, ”Sesungguhnya kami tidak mengingkari keutamaan dan kedudukan Anda
wahai Abu Bakar. Akan tetapi kami dalam hal ini mempunyai hak karena kami
adalah kerabat (keluarga) Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” Akan
tetapi Ali tidak menyebutkan bahwa diamempunyai nash wasiat dari
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Sedangkan
kami Ahlu Sunnah menganggap bahwa masalah imamah dan yang berkaitan dengannya
termasuk ke dalam furu’ dan bukan termasuk pokok-pokok akidah Islam. Masalah
ini lebih baik dikaji di dalam kitab-kitab fiqih dan muamalah dan bukan dikaji
di dalam kitab-kitab akidah dan pokok-pokok agama. Walaupun dengan sangat
terpaksa para ulama Ahlu Sunnah membicarakan masalah ini di dalam kitab-kitab
akidah untuk membantah seluruh ajaran Syi’ah di dalam masalah ini.
Syaikh
Muhammad ‘Arfah, seorang anggota Lembaga Ulama Senior Al Azhar pada zamannya,
telah menukil dari kitab-kitab akidah milik Syi’ah Imammiyah Itsna ’Asyariyyah
sebagai penguat apa yang kami ucapkan tentang mereka. Beliau berkata,
”Jika
kita mau mengkaji kitab-kitab akidah milik orang-orang Syi’ah, maka kita akan
menemukan adanya kesesuaian atas riwayat-riwayat yang mereka sampaikan. Kita
pun bisa langsung menukil ajaran mereka yang kita anggap sebagai ajaran yang
sangat berbahaya yaitu masalah imamah, ajaran mengkafirkan para sahabat dan
tiga orang khulafa rasyidin. Mereka terus mengkafirkan kaum muslimin sejak
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat sampai hari ini. Hal ini
disebabkan kaum muslimin tidak pernah mengakui imamah Ali dan 12 imam mereka.
Hal ini seperti yang kami kutip dari penghulu ahli hadits Abi Ja’far Ash-Shaduq
Muhammad bin Ali bin Husein bin Babawaih Al Qummi yang meninggal dunia pada
tahun 381 Hijriyah yang merupakan ahli hadits kedua dari tiga ahli hadits
(Syi’ah) yang juga dia itu adalah pengarang kitab yang berjudul, “Man La Yahdhuruh Al Faqih”, salah satu kitab dari
empat kitab rujukan Syi’ah di dalam masalah pokok-pokok ajaran mereka. Dia
berkata, ”Kami berkeyakinan pada
orang-orang yang menolak imamah Ali bin Abi Thalib dan seluruh imam setelah
beliau adalah seperti orang-orang yang menolak nubuwah (kenabian) para nabi.
Kami juga berkeyakinan bahwa orang-orang yang mengakui imamah Ali dan menolak
satu dari imam setelah Ali adalah seperti orang-orang yang mengakui/beriman
kepada para nabi akan tetapi mereka menolak Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa
Sallam.”Dia juga berkata di dalam “Risalat
Al I’tiqadat”, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ”Barangsiapa yang menolak imamah Ali setelah aku
(Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam), artinya dia telah menolak kenabianku
dan barangsiapa yang menolak kenabianku, artinya dia telah menolak rububiyah
Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda, ”Wahai Ali, Sesungguhnya
kelak setelah aku wafat, engkau itu akan dizhalimi. Barangsiapa yang
menzhalimimu, sama dengan dia telah menzhalimi aku; barangsiapa yang bersikap
adil terhadapmu, sama dengan dia telah bersikap adil terhadap aku; dan
barangsiapa yang menolakmu, sama dengan menolak aku.”
Imam
Shadiq AS berkata, ”Orang yang menolak imam
terakhir kami, sama dengan menolak imam pertama kami.”
Nabi
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ”Para imam setelah aku ini ada berjumlah dua belas orang.
Imam yang pertama adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS, dan imam yang
terakhir adalah Al Mahdi. Menaati mereka sama dengan menaati aku dan bermaksiat
kepada mereka sama dengan bermaksiat kepada aku. Barangsiapa yang menolak salah
seorang dari mereka, sama dengan menolak aku.” Imam
Shadiq berkata, ”Barangsiapa yang meragukan
tentang kekufuran musuh-musuh kami dan sikap zhalim mereka terhadap kami, maka
dia dianggap telah kafir.”[1]
5. Dakwaan Wasiat dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam untuk Ali
Dakwaan
adanya wasiat dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Ali menjadi
khalifah setelah beliau wafat –seperti keyakinan Syi’ah- sungguh telah merampas
hak kaum muslimin untuk memilih pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Itulah
wujud pengamalan terhadap perintah musyawarah yang telah dijadikan oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala sebagai ciri khas kaum muslimin,”Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka,” (QS Asy Syura [42]: 38).
Seolah-olah dengan
adanya wasiat itu, umat Islam terbelakang selamanya, sehingga Allah
Subhanahu Wa Ta’ala harus menentukan siapa orangnya yang berhak mengurusi dan
memimpin umat Islam. Juga diharuskan orang yang memimpin umat Islam ini datang
dari rumah tertentu dan dari keturunan tertentu dari keluarga rumah ini.
Padahal semua manusia adalah sama. Yang jelas bahwa yang berhak memimpin umat
Islam adalah orang yang diterima (diridhai) oleh umat Islam dan dia mampu untuk
memikul amanah ini dan menakhodai umat ini.
Saya
yakin jika Negara Islam yang dipersepsikan oleh Ahlu Sunnah adalah
bentuk Negara Islam ideal yang telah digambarkan oleh Al Qur`an dan
As Sunnah yang shahih. Yaitu sangat sesuai dengan yang diinginkan oleh
masyarakat dunia pada saat ini bahwa rakyat berhak menentukan nasibnya sendiri,
tidak menganut teori negara Teokrasi atau sebuah sistem yang mana negara
dikuasai oleh pemerintahan berasaskan agama (tertentu) atas nama Pemerintahan
Langit yang membelenggu leher masyarakat dan hati nurani mereka. Semua lapisan
masyarakat tidak kuasa atas diri mereka sendiri kecuali harus mengatakan, ”Kami
mendengar dan kami taat!”
Keyakinan
Syi’ah ini dibantah oleh takdir Allah, di mana Imam yang ke-12 mereka
sedang bersembunyi, seperti yang mereka yakini. Akhirnya, umat manusia
ditinggalkan tanpa imam maksum lebih dari 11 abad. Bagaimana mungkin Allah
Subhanahu Wa Ta’ala akan membiarkan umat manusia tanpa imam yang akan
membimbing mereka? Ternyata mereka (orang-orang Syi’ah) berkata, ”Kami masih mempunyai Al Qur`an dan As Sunnahuntuk membimbing
kami” ketahuilah, justru kami (Ahlu Sunnah) sejak dahulu sudah
mengatakan hal ini.
6. Superioritas Kelompok Tertentu
atas Seluruh Umat Manusia
Keyakinan
orang-orang Syi’ah dibangun atas dasar rasa superioritas (merasa paling lebih)
dari seluruh makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Mereka merasa mempunyai karunia yang sangat besar jika dilihat dari
penciptaannya. Mereka ini berhak untuk mengatur orang lain walaupun
mereka tidak memilihnya. Hal ini dikarenakan telah menjadi keputusan
langit.
Pemikiran
seperti ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam secara umum. Hal ini
disebabkan seluruh manusia adalah sama seperti deretan sisir. Hanya ada satu
Rabb bagi seluruh umat manusia dan memiliki nenek moyang yang sama yaitu Adam
‘Alaihis Salam. Mereka semua diciptakan dari bahan yang sama, yaitu sperma.
Oleh karena itu, tidak ada rasa superioritas seorang manusia atas manusia yang
lain kecuali dengan taqwanya. Hal ini seperti yang telah dijelaskan di dalam Al
Qur`an, “Wahai manusia! Sungguh,
Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti,” (QS
Al Hujurat [49]: 13).
Sesungguhnya
manusia itu diutamakan atas yang lainnya hanya karena amal perbuatan,
dan bukan karena faktor keturunan. Sebab siapa yang amalnya lambat, maka
nasabnya tidak akan mempercepat langkahnya meraih ridha-Nya. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, ”Apabila
sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada
hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya,” (QS
Al Mu`minun [23]: 101). Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan bahwa
yang akan menghukumi umat manusia di hari Kiamat adalah Al Mizan yang tidak
akan menzhalimi seorang pun. Manusia lah yang memilih para pemimpin dalam
bingkai musyawarah. Manusia berbaiat kepada para pemimpin dengan syarat jangan
melanggar batasan-batasan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hak-hak manusia.
Hanya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam saja satu-satunya orang yang dipilih
oleh wahyu, ”Allah lebih mengetahui di
mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya,” (QS Al An’am [06]:
124). Selain beliau, hanya manusia biasa dan tidak dipilih oleh
wahyu.
Kemudian
kenyataan sejarah menunjukkan bahwa orang-orang yang mengaku berhak menduduki
sebuah jabatan pemerintahan atas dasar nash (Al Qur`an/As Sunnah), ternyata
mereka itu tidak menduduki jabatan apa-apa. Justru mereka hidup seperti manusia
pada umumnya (rakyat biasa), mendapatkan persamaan di dalam hukum. Kecuali Ali
bin Abi Thalib yang dibaiat oleh kaum muslimin menjadi khalifah. Karena
jika dilihat dari sisi keilmuan, beberapa imam ‘maksum’ keturunan Ali tidak
dikenal sebagai orang yang unggul kecerdasannya dan layak menjadi
imam. Namun ada sebagian dari keturunan Ali termasuk ke dalam tokoh
besar di bidang fiqih, seperti Muhammad Al Baqir
dan Ja’far Ash-Shadiqseperti imam-imam fiqih lainnya.
7. Penyebaran Bid’ah di Kalangan Syi’ah
Di antara
yang harus diperhatikan dari Syi’ah yaitu terjadinya penyebaran bid’ah yang
mengandung kemusyrikan di kalangan para pengikut Syi’ah. Mereka menyembah
kuburan dan situs-situs para imam dan syaikh mereka. Mereka berani bersujud ke
kuburan, meminta pertolongan kepada ahli kubur dan berdoa meminta kebaikan
untuk para peziarahnya dan supaya terbebas dari segala macam marabahaya.
Menurut mereka bahwa para ahli kubur tersebut bisa mendatangkan manfaat dan
bahaya, bisa membuat miskin dan kaya seseorang dan bisa membuat seseorang
senang maupun sengsara.
Saya
(Syaikh Yusuf Al Qardhawi) pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana
para peziarah kuburan Imam Ridha bersujud sambil merangkak ke arah kuburan
beliau dari jarak sepuluh meteran. Tentu hal ini bisa terjadi dikarenakan
kerelaan dan anjuran dari para ulama Syi’ah.
Hal ini
berbeda dengan perilaku orang-orang awam Ahlu Sunnah pada saat mereka melakukan
ziarah ke kuburan para wali dan Ahlul Bait yang kedapatan berperilaku
menyimpang dan bid’ah. Akan tetapi, perilaku ini ditolak keras oleh para ulama
Ahlu Sunnah. Inilah perbedaan yang mendasar antara kami (para ulama Ahlu
Sunnah) dengan mereka (para ulama Syi’ah). Yaitu para ulama Ahlu Sunnah
mengecam perilaku munkar yang dilakukan oleh orang-orang awam. Bahkan ada
sebagian para ulama Ahlu Sunnah yang mengafirkan perilaku orang-orang awam
ini. Akan tetapi perilaku munkar dan syirik yang dilakukan oleh
orang-orang awam Syi’ah adalah diridhai dan mendapat dukungan dari para ulama
mereka.
8. Syi’ah Melakukan Distorsi Sejarah
Sesungguhnya
Syi’ah telah menjelek-jelekkan para sahabat, tabiin, dan para
pengikut mereka. Juga mereka berani merubah alur sejarah umat Islam sejak
zaman yang paling baik (zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para
sahabatnya dan generasi setelah ini). Yaitu zaman terjadinyafutuh (pembebasan negeri dengan cara damai) dan kemenangan gilang
gemilang serta berbondong-bondongnya umat manusia masuk Islam. Juga
terbangunnya kebudayaan yang mengacu kepada ilmu pengetahuan, iman dan akhlaq
juga umat Islam ini mempunyai sejarah yang sangat gemilang. Sekarang umat Islam
mencoba untuk bangkit kembali dengan cara berkaca kepada sejarahnya,
menyambungkan masa sekarang dengan zaman dahulu. Menjadikan kemuliaan para
pendahulu umat Islam sebagai figur untuk mendorong generasi
muda kini untuk maju dan jaya.
Sedangkan
sejarah orang-orang Syi’ah dipenuhi dengan kegelapan. Inilah yang mendorong
saya untuk menulis sebuah buku berjudul, “Tarikhuna
Al Muftara ‘Alayhi” -Sejarah Kita yang Diselewengkan-. Buku
ini mengupas sejarah yang benar dan membantah seluruh tuduhan busuk orang-orang
Syi’ah. Buku saya ini membuat orang-orang Syi’ah gerah. Kemudian salah seorang
Syi’ah menulis sebuah buku membantah buku saya ini. Dia berkata, ”Yusuf Al Qardhawi ini Wakil Allah Subhanahu Wa Ta’ala atau
Wakil Bani Umayyah?”[2]
9. Ajaran Taqiyyah
Di antara
ajaran Syi’ah yang menyangkut akhlaq adalah menjadikan Taqiyyah sebagai dasar
dan pokok ajaran di dalam berinteraksi dengan orang lain. Mereka selalu
melakukan Taqiyyah, yaitu menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang ada di
dalam hati. Mereka itu mempunyai dua wajah. Wajah yang pertama dihadapkan ke
sekelompok orang dan wajah yang lainnya dihadapkan ke kelompok yang satunya
lagi. Mereka juga mempunyai dua lidah.
Mereka
berdalih dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ”Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai
pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya
dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga
diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka,” (QS
Ali Imran [03]: 28). Akan tetapi, dengan sangat jelas ayat menerangkan bahwa dibolehkannya
Taqiyyah adalah pada saat darurat yang memaksa seorang muslim harus melakukan
hal ini (Taqiyyah) karena takut dibunuh atau ada bahaya besar yang
mengancamnya. Keadaan seperti ini masuk ke dalam pengecualian, seperti firman
Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ”Barangsiapa
kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman,” (QS
An Nahl [16]: 106).
Pengecualian
ini tidak bisa dijadikan sebagai acuan di dalam bermuamalah. Hal ini (Taqiyyah)
boleh dilakukan pada saat darurat, yang mana keadaan darurat bisa menghalalkan
sesuatu yang terlarang. Akan tetapi tetap harus dihitung secara cermat. Untuk
orang lain yang tidak terpaksa, tidak boleh melakukan hal ini. Karena sesuatu
yang terjadi atas dasar pengecualian tidak bisa dikiaskan.
Akan
tetapi Syi’ah Imamiyah menjadikan Taqiyyah ini sebagai dasar di dalam muamalah
mereka karena para imam mereka membolehkan hal tersebut. Dari Ja’far Ash Shadiq
bahwasanya dia telah berkata ”Taqiyyah
adalah agamaku dan agama leluhurku.” Ibnu Taimiyyah berkata
mengomentari ucapan ini, ”Allah
Subhanahu Wa Ta’ala telah menyucikan Ahlul Bait dari hal ini dan mereka tidak
memerlukan Taqiyyah. Karena mereka adalah orang-orang yang paling jujur dan
paling beriman. Oleh karena itu, agama mereka adalah Taqwa dan bukan
Taqiyyah.”[3]
__________________________________
[1] Padahal
semua ini adalah hadits-hadits palsu yang dibuat oleh mereka sendiri.
[2] Buku ini
ditulis oleh seorang Syi’ah asal Mesir yang bernama Dr. Ahmad Rasim An Nafis.
[3] Lihat
kitab Al Muntaqa min Minhajil
I’tidal, karya Imam Adz Dzahabi hal. 68.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar