Selasa, 12 Februari 2013

KAIDAH KAIDAH HUKUM ISLAM


                                                                                                                
                                                                                                               


Kamis, 3 Januari 2013
KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM

Editor : Drs.HM.Sakti Rangkuti,MA.
Oleh : Drs. H. Ahmad Supardi Hasibuan, MA.

Pendahuluan

Untuk menetapkan hukum atas sebuah persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam maka jalan yang ditempuh oleh para ulama untuk menetapkannya adalah dengan melihatnya dalam al-Qur’an, kalau hal tersebut telah diatur dalam al-Qur’an, maka ditetapkanlah hukumnya sesuai dengan ketetapan al-Qur’an. Dan apabila dalam al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama mencarinya dalam-Al-Hadis. Apabila dalam al-Hadis telah diatur, maka para ulama menetapkan hukumnya sesuai dengan ketentuan al-Hadis.
Persoalan baru muncul adalah manakala hukum atas persoalan tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan juga dalam al-Hadis, sebab al-Qur’an dan al-Hadis adalah merupakan sumber hukum pokok (primer) dalam ketentuan hukum Islam.
 Dalam menghadapi kondisi yang seperti ini maka para ulama mencari sumber hukum lain yang dapat dijadikan patokan dan pegangan dalam memberikan hukum atas persoalan yang timbul, sebab sebagaimana diketahui bahwa agama Islam itu telah sempurna dan tidak akan ada lagi penambahan hukum yang bersifat Syar’iyyah, hanya saja untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang timbul di kemudian hari telah diberikan rambu-rambu dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam rangka memberikan hukum atas persoalan baru yang timbul.

Sumber hukum baru sebagaimana dimaksudkan di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkannya. Ada yang berpendapat bahwa apabila suatu persoalan baru timbul dan itu tidak diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis, maka dikembalikan kepada Ijma’. Dalam hal kembali kepada Ijma’ ini, para ulama nampaknya sepakat, hanya saja yang disepakati secara utuh dalam rangka Ijma’ adalah Ijma’ yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis, sedangkan Ijma’ yang bersumber di luar al-Qur’an dan al-Hadis, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Yang setuju dengan Ijma’ berpendapat bahwa sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa, “UmmatKu tidak akan bersepakat dalam hal kesesatan”. Yang tidak setuju dengan Ijma’ berpendapat bahwa Ijma’ itu adalah hasil pemikiran dan pendapat dari para Ulama, yang namanya hasil pemikiran dan pendapat bisa salah dan juga bisa benar, oleh karena itu tidak bisa dijadikan sebagai hukum yang pasti.

Apabila dalam ketiga hal tersebut di atas tidak juga ditemukan maka para ulama mengembalikannya kepada sumber-sumber hukum yang lain seperti Qiyas, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah dan Syar’u man Qablana. Untuk menetapkan sumber-sumber hukum Islam ini, selain para ulama berbeda pendapat, mereka (para ulama) juga berbeda pendapat dalam menetapkan kaidah-kaidahnya. Perbedaan dalam kaidah-kaidah ini secara otomatis akan menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam bidang produk hukum, sebab kaidah sangat menentukan produk hukum. Namun satu hal yang pasti adalah kaidah-kaidah sangat menentukan dan sangat membantu seseorang dalam mengistimbathkan hukum.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka penulis merasa berkepentingan untuk membahas tentang Kaidah-Kaidah Fiqhiyah (Hukum) sebagai suatu alat bantu dalam mengistimbathkan hukum Islam. Kaidah-Kaidah ini ditelorkan oleh para ulama-ulama mujtahid pelopor mazhab-mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali dan imam-imam lainnya yang cukup banyak, hanya saja mazhab-mazhabnya tidak berkembang lagi pada masa sekarang ini. Para imam-imam ini mempunyai kaidah-kaidah tersendiri di dalam menetapkan ataupun mengistinbathkan hukum atas suatu persoalan yang timbul.

Pengertian Qaidah Fiqhiyah

Qaidah dalam bahan Indonesia dikenal dengan istilah kaidah (sesuai dengan judul makalah) yang berarti aturan atau patokan. Secara terminologis, kaidah mempunyai beberapa arti. Dr. Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i, dalam bukunya Ushul Fiqh Islami menyatakan bahwa kaidah adalah :

 Artinya : Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak.

 Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul fiqh sebagaimana disebutkan oleh Drs. H. Muchlis Usman, MA. mendefinisikan kaidah sebagai berikut :

Artinya : Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya.

Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh lebih dekat kepada ilmu sebagaimana yang banya dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah :

Artinya : Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.
 Dan sabda Nabi Muhammad SAW :

Artinya : Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman agama.

Sedangkan dalam arti istilah sebagaimana disebutkan Al-Jurjani Al-Hanafi, fiqh berarti :

Artinya : Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang tafshili (terperinci), dan diistinbathkan lewat ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan.

Dan masih banyak lagi definisi lain yang dikemukan oleh para ulama tentang definisi daripada fiqh. Dari definisi-definisi tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa makna fiqh itu adalah berkisar pada rumusan sebagai berikut :

1. Fiqh merupakan bahagian dari syari’ah.
 2. Hukum yang dibahas mencakup hukum yang amali.
 3. Obyek hukum pada orang-orang mukallaf.
 4. Sumber hukum berdasarkan al-Qur’an atau As-Sunnah atau dalil lain yang bersumber pada kedua sumber utama tersebut.
 5. Dilakukan dengan jalan istinbath atau ijtihad sehingga kebenarannya kondisional dan temporer adanya.

Dari ulasan tersebut di atas, baik poengertian kaidah maupun pengertian fiqh, maka yang dimaksud dengan Kaidah Fiqhiyah adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Tajuddin As-Subki, sebagai berikut :

Artinya : Suatu perkara yang kulli yang bersesuaian dengan juz’iyah yang banyak yang daripadanya diketahui hukum-hukum juz’iyat itu.

Ataupun pengertian Kaidah Fiqhiyah itu adalah sebagaimana disebutkan oleh Dr. Mustafa Ahmad Az-Zarqa’ sebagai berikut :

Artinya : Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencakup (sebahagian besar bahagian-bahagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.

Kaidah Fiqhiyah sebagaimana tersebut dalam pembahasan di atas adalah berfungsi untuk memudahkan para mujtahid atau para fuqoha’ yang ingin mengistinbathkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia. Oleh karena itulah maka sangat tepat apabila pembahasan tentang Kaidah Fiqhiyah ataupun Kaidah Hukum termasuk dalam pembahasan Filsafat Hukum Islam, sebab Filsafat Hukum Islam adalah sebuah metode berpikir untuk menetapkan hukum Islam dan sekaligus mencari jawaban ada apa yang terkandung dibalik hukum Islam itu sendiri.

Selain dikenal adanya istilah Kaidah Fiqh, dikenal juga istilah Kaidah Ushul Fiqh. Para ulama membedakan pengertian dari kedua istilah ini, sebab Kaidah Fiqh adalah satu ilmu yang berdiri sendiri pada satu pihak dan Kaidah Ushul Fiqh juga adalah merupakan satu ilmu yang berdiri sendiri di lain pihak. Ibnu Taimiyah membedakan di antara kedua ilmu ini yaitu, Kaidah Ushul Fiqh adalah dalil-dalil yang umum (ad-Dilalatu al-Ammah), sedangkan Kaidah Fiqh adalah patokan hukum secara umum (Ibaratu ‘an ahkam al-ammah).

Sejarah Perkembangan

Beberapa peneliti menjelaskan sejarah Kaidah Fiqh dengan menentukan priodisasinya menjadi tiga priode, yaitu :

1. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan (1-3 H)

Fase pertumbuhan dan pembentukan ini berlangsung selama tiga abad lebih, dari zaman kerasulan hingga abad ketiga hijriyah. Priode ini, dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga dekade yaitu : Pertama Zaman Nabi Muhammad SAW yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 M / 12 SH-10 H), Kedua Masa Sahabat yang dimulai sejak wafat Nabi hingga tahun 100 H. dan ketiga Zaman Tabi’in serta tabi’ttabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H dianggap sebagai zaman kejumudan karena tidak ada lagi pendiri mazhab (351 H/974 M). Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H/734 M) yang mendirikan mazhab Jaririah. Dengan demikian maka ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaannya (keemasan), kaidah fiqh baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri Kaidah yang dominan adalah jawamil kalim (kalimatnya ringkas tapi cakupan maknanya luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadis yang mempunyai ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh . Oleh karena itulah maka priodisasi kaidah fiqh dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

2. Fase Perkembangan dan Kodifikasi (4 – X H)

Dalam sejarah hukum Islam, abad ke 4 H. dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih pendapat imam mazhabnya masing-masing. Yang dilakukan ulama pengikut mazhab adalah ilhaq (melakukan analogi atau qiyas). Menurut Ibnu Khaldun , ketika mazhab tiap imam fiqh menjadi ilmu khusus bagi penganutnya dan tidak ada jalan untuk melakukan ijtihad , ulama melakukan tandzir (penyamaan) masalah-masalah untuk dihubungkan serta memilahnya ketika terjadi ketidak jelasan setelah menyederhanakannya kepada dasar-dasar tertentu dari mazhab mereka. Dengan cara tandzir dan isytibab (dipilah), fiqh dikembangkan. Kemudian para ulama meletakkan cara-cara baru dalam bidang ilmu fiqh ini yang disebut dengan al-Qawa’id. Mazhab Hanafi dikenal sebagai aliran pertama yang memperkenalkan ilmu ini.

Pada abad ke IV Hijriyah telah ada dua kitab Kaidah Fiqh yaitu Ushul al-Karkhi karya al-Karkhi yang beraliran hukum Hanafi dan Ushul Futiya yang disusun oleh Muhammad ibnu Harits al-Husyni yang beraliran Maliki. Sedangkan pada abad ke V hijriyah telah ada pula buku kaidah fiqh yang berjudul Ta’sis al-Nazhar karya Ibju Zaid al-Dabusi al-Hanafi. Sedangkan buku abad ke VI hijriyah adalah Idhah al-Qawa’id karya ‘Ala ad-Din Muhammad ibn Ahmad al-Samarqandi. Puncak perkembangan Kaidah Fiqh adalah abad ke VII hijriyah dengan terbitnya tiga buku besar, yaitu Al-Qawa’id fi al-Furu’ al-Syafi’iyyat karya Muhammad ibnu Ibrahim al-Jajarmi al-Sahlaki (w.613 H); Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Izz al-Din ibn Abdu al-Salam (w.660 H); Al-Mudzhab fi Dhabith Qawa’id al-Mazhab karya Muhammad Ibn Abdullah Ibn Al-Rasyid al-Bakri al-Qafsi (w.685 H).

3. Fase Kematangan dan Penyempurnaan (XI – H-Kini)

Fase ini hanyalah bersifat pematangan dan penyempurnaan sebab hampir tidak ditemukan lagi adanya penerbitan buku khusus kecuali hanya sekedar melakukan pengumpulan dan penyempurnaan saja. Di Indonesia kaidah fiqh semakin dikenal khususnya setelah menjadi disiplin tersendiri di Program Pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun perlu diingat bahwa pelajaran Kaidah Fiqh adalah merupakan salah satu mata pelajaran khusus di Pondok-Pondok Pesantren Tradisional dengan Kitab Utama Al-Asybah wa al-Nadza’ir karya As-Suyuthi.

Kegunaan Kaidah Fiqh

Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibn Abbas Salam menyatakan bahwa Kaidah Fiqhiyah mempunyai kegunaan sebagai suatu jalan untuk mendapat suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut. Sedangkan Al-Qarafi dalam al-Furu’nya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak bertentangan dan berbeda antara furu-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’-furu’nya.

Lebih lanjut berbicara tentang kegunaan Kaidah Fiqhiyah ini adalah sebagaimana disebutkan oleh Ali Ahmad al-Nadwi sebagai berikut :

1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum karena kaidah telah dijadikan patokan yang mencakup banyak persoalan.
 2. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan, karena kaidah dapat mengelompokkan persoalan-persoalan berdasarkan illat yang dikandungnya.
 3. Mendidik orang yang berbakat fiqih dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk mengetahui hukum permasalahan-permasalahan baru.
 4. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari thema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu.
 5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar.
 6. Pengetahuan tentang kaidah merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.

Demikian kegunaan kaidah yang disampaikan oleh Ali Ahmad al-Nadwi. Secara sederhana, kegunaan kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap beberapa persoalan fiqh. Menguasai suatu kaidah berarti menguasai sekian bab fiqh. Oleh karena itu, mempelajari kaidah dapat memudahkan orang yang berbakat fiqh dalam menguasai persoalan-persoalan yang menjadi cakupan fiqh.

Pembagian Kaidah Fiqh

Kaidah Fiqh sebagaimana dijelaskan di atas dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu :

1. Pembagian Kaidah Fiqh dari Segi Fungsi
 Dari segi fungsi Kaidah Fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Kaidah Fiqh Inti dan Kaidah Fiqh Pokok. Disebut Kaidah Fiqh Inti karena Kaidah Fiqh tersebut memiliki cakupan yang begitu luas sehingga banyak furu’ yang dihadapkan kepadanya. Kaidah ini dikenal sebagai Qawa’idul Kubra al-Asasiyah, sebagai berikut :

Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum.
 Kaidah ini mempunyai beberapa kaidah turunan yang berperan pokok, di antaranya adalah :

Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan di kalangan pedagang seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat.

Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan nash.

Sesuatu yang diketahui oleh pedagang berdasarkan kebiasaan seperti telah disyaratkan di antara mereka.

Tidak diingkari bahwa perubahan hukum terjadi karena perubahan zaman.
 Dengan demikian, Kaidah Hukum yang berfungsi marginal adalah kaidah hukum yang cakupannya kecil atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan kepada banyak furu’.

2. Pembagian Kaidah Fiqh dari Segi Mustasnayat

Dari sumber pengecualian, Kaidah Hukum dapat dibedakan menjadi dua : yaitu Kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan kaidah yang memiliki pengecualian. Kaidah Hukum yang tidak memiliki pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad saw (dalil hukum kedua) yang dianggap sebagai Kaidah Fiqh, sebagai contoh :

Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat.
 Disamping itu, Kaidah Fiqh yang hampir tidak memiliki pengecualian, karena menurut sifatnya, ia bersifat pada umumnya, tapi hakikat kaidah fiqh tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan adanya pengecualian sangat kecil. Sebagai contoh adalah :

Keyakinan tidak hilang dengan keraguan.
 Kaidah tersebut merupakan inti dari sabda Nabi Muhammad saw :

Artinya : Apabila seseorang mendapat sesuatu di dalam perutnya kemudian ia ragu; apakah sudah keluar sesuatu atau belum, orang tersebut tidak boleh keluar dari masjid sebelum mendapat suara angin (kentut) dan mendapatkan baunya.

Kaidah Fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian. Kaidah yang tergolong pada kelompok ini adalah kaidah yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.

3. Pembagian Kaidah Fiqh dari Segi Kualitas

Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi lima, yaitu :
 a. Kaidah Kunci
 Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya dapat dikembangkan kepada satu kaidah, yaitu :

Menolak kemafsadatan dan mendapatkan kemaslahatan.
 Kaidah ini adalah merupakan kaidah kunci karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya, ia mendapatkan maslahat. Nilai kebenaran syari’ah (dan kaidah fiqh adalah salah satu media untuk berupaya agar mencapai kebenaran tersebut), menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, adalah keadilan, rahmat, maslahat, dan mengandung hikmah. Kaidah asasi atau yang lebih dikenal dengan Kaidah Kubra merupakan penyederhanaan (penjelasan yang lebih mendetail) dari kaidah inti tersebut.
 b. Kaidah Asasi
 Kaidah Fiqh Asasi adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum Islam. Kaidah Fiqh tersebut adalah sebagai berikut :

Perbuatan atau perkara itu bergantung pada niatnya.

Keyakinan tidak hilang dengan keraguan.

Kesulitan mendatangkan kemudahan.

Kesulitan harus dihilangkan.

Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan menerapkan hukum.

Lima kaidah fiqh tersebut adalah merupakan kaidah pokok yang menurut penulis, semua masalah fiqh dapat dikembalikan kepada lima kaidah tersebut.
 c. Kaidah yang diterima oleh semua aliran Sunni
 Kaidah Fiqh yang diterima oleh seluruh aliran hukum Sunni sebagaimana disebutkan oleh Ali Ahmad An Nadwi adalah Majallatul Ahkam al-Adliyyah. Kaidah ini dibuat pada abad XIX M oleh Lajnah Fuqaha’ Utsmaniyah. Di antara Kaidah Fiqh yang terdapat dalam Majallatul Ahkam al-Adaliyyah tersebut sebagaimana diinformasikan oleh Subhi Mahmashshanni adalah sebagai berikut :

Pengikut (tetap berkedudukan sebagai) pengikut.

Hukum yang mengikut (pengikut) tidak dapat berdiri sendiri.

Siapa saja yang memiliki sesuatu (dengan sendirinya), ia memiliki bagian yang penting darinya.

Apabila pokok telah jatuh (tiada) cabang ikut jatuh pula.

Pengikut dengan sendirinya akan jatuh dengan jatuhnya yang diikut.

Cabang-cabang kadang-kadang tetap karena ketiadaan pokok.

Apabila sesuatu batal, maka yang dikandungnyapun ikut batal.

Meneruskan lebih mudah daripada memulai.

Orang yang berhak memperoleh keuntungan, berkewajiban juga menanggung kerugian.

Keuntungan sepadan dengan kerugian; dan kerugian sepadan dengan keuntungan.

Sesuatu yang haram diambil, haram pula diberikan (kepada yang lain)

Sesuatu yang haram dikerjakan, haram pula mencarinya.

Apabila terjadinya pertentangan antara cegahan dan tuntutan, yang diutamakan adalah yang mencegah; yang menggadaikan tidak (boleh) menjual benda yang telah digadaikan selama benda tersebut berada di tangan yang menggadai.

Penggantian sebab kepemilikan menempati tempat pergantian zat.

Siapa saja yang tergesa-gesa (mengerjakan sesuatu) sebelum tiba waktunya, mendapatkan sanksi karena pekerjaan itu.

Pegangan dalam transaksi adalah maksud dan maknanya, bukan lafazh dan bentuknya.

Tidak (boleh) menyulitkan (orang lain) dan juga tidak boleh dipersulit (oleh orang lain)

Kesulitan harus dihilangkan.

Kesulitan tidak dihilangkan dengan kesulitan pula.

Apabila pokok batal, ia dikembalikan kepada pengganti.

Transaksi belum sempurna sebelum (benda yang diakadkan) dikuasai.

Kebijakan pemimpin atas rakyat (harus) mempertimbangkan maslahat.

Kekuasaan yang bersifat khusus lebih kuat daripada kekuasaan yang bersifat umum.

Perkataan tidak disandarkan kepada yang diam, tetapi diam bagi sikap penolakan kebutuhan adalah penjelasan.

Tulisan (surat) sepadan dengan pesan (lisan).

Kedudukan isyarat dari orang-orang yang bisu sepadan dengan penjelasan dengan lisan.

Sesuatu yang didasarkan pada perkiraan yang jelas salahnya, tidak dianggap (tidak diperhitungkan).

Sesuatu yang dihubungkan dengan syarat, ia wajib ada ketika syarat itu terpenuhi.

Pemeliharaan syarat diwajibkan selama memungkinkan.

Sewa dan penggantian (kerusakan) tidak dapat disatukan.

Pekerjaan disandarkan (dibebankan) kepada pelakunya, bukan kepada yang memerintahkan, selama tidak dipaksa.

Apabila berkumpul antara pelaksana langsung dan pelaksana secara tidak langsung, sanksi dibebankan kepada pelaksana langsung.

Kebolehan berdasarkan syara’ bertentangan dengan keharusan penggantian kerugian.

Pelaku secara langsung (harus) bertanggungjawab meskipun tidak disengaja.

Pihak yang berbuat secara tidak langsung (tidak dapat dimintai) pertanggungjawab kecuali (pekerjaan) dilakukan dengan sengaja.

Tindakan binatang tidak dapat diminta penggantian kerugian kepada pemiliknya.

Perintah untuk mengelola harta milik orang lain adalah batal.

Seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin (dari pemiliknya).

Seseorang tidak dibolehkan mengambil harta orang lain tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’.

d. Kaidah yang diikhtilafkan di Kalangan Sunni

Kaidah ada yang diterima oleh mazhab tertentu tapi ditolak oleh mazhab yang lain. Ikhtilaf tersebut dapat dilihat pada kasus sewa dan pembayaran kerusakan bagi Hanafiyah dan Jumhuriyah. Menurut Hanafiyah, sewa dan pembayaran kerusakan tidak pernah dapat disatukan, masing-masing berdiri sendiri. Oleh karena itu, hanafiyah mengatakan bahwa :

Sewa dan pembayaran kerusakan tidak (bisa) digabungkan.
 Berbeda dengan Hanafiyah, Syafi’iyah mengatakan bahwa antara upah dan penggantian kerusakan dapat digabungkan. Oleh karenanya Syafi’iyah mengatakan :

Sewa dan penggantian kerusakan (dapat) digabungkan.

e. Kaidah yang diikhtilafkan Ulama yang Sealiran

Di dalam Kaidah Fiqh terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama yang selairan. Sebagai contoh adanya perbedaan antara Muhammad dengan Abu Yusuf yang sama-sama mazhab Hanafi. Perbedaan tersebut adalah mengenai wangi-wangian sebelum berihram. Menurut Muhammad wangi-wangian yang digunakan sebelum berihram – dan ketika berihram wangi-wangiannya masih tercium – adalah boleh, karena wangi-wangian itu dipakai sebelum berihram dan wangi-wangian yang dilarang oleh Rasul adalah wangi-wangian ketika berihram. Oleh karena itu Muhammad berpendapat :

Sesuatu yang terjadi (dan kekal) sebelumnya, boleh dilakukan untuk memulai yang lain.
 Abu Yusuf berbeda pendapat dengan Muhammad. Menurut Abu Yusuf, menggunakan wangi-wangian ketika berihram dilarang oleh Rasul. Oleh karena itu, menggunakan wangi-wangian sebelum berihram – dan wanginya masih tercium ketika berihram – tidak dibolehkan. Atas dasar itu, Abu Yusuf membuat kaidah :

Sesuatu yang terjadi (dan kekal) sebelumnya tidak boleh dilakukan untuk memulai yang lain

Kesimpulan

1. Kaidah Fiqhiyah (hukum) adalah dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencakup (sebahagian besar bahagian-bahagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.

2. Sejarah Perkembangan Kaidah Fiqhiyah mengalami tiga fase, yaitu Fase Pertumbuhan dan Pembentukan (1-3 H); Fase Perkembangan dan Kodifikasi (4 – X H); dan Fase Kematangan dan Penyempurnaan (XI – H-Kini).

3. Kaidah Fiqhiyah memiliki kegunaan yang sangat besar bagi ahli fiqh sebab kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap beberapa persoalan fiqh. Menguasain suatu kaidah berarti menguasai sekian bab fiqh.

4. Kaidah Fiqhiyah dapat dibagi kepada tiga bahagian besar, yaitu Kaidah Fiqh dari segi fungsinya; Kaidah Fiqh dari segi Mustasnayatnya (pengecualaiannya); dan Kaidah Fiqh dari segi Kualitasnya.

Penutup

Demikianlah makalah ini kami sampaikan sebaaagai bahan bagi kita untuk berdiskusi lebih lanjut dalam rangka meningkatkan pemahaman dalam bidang Filsafat Hukum Islam.***

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Asjmuni, Prof. Drs. H., Qawa’id Fiqhiyah : Arti, Sejarah dan Beberapa Qaidah Kulliyah, (Yogyakarta : Suara Muahammadiyah, 2003).
 Al-Jauziyyah, Ibnu Qoyyim, I’lamu al-Muwaqqi’ien ‘An Rabbi al-‘Alamien, (Beirut : Darul Jail, t.t), III.
 An-Nadwi, Ali Ahmad, Al-Qowa’idul Fiqhiyah, Mafhumuha, Nisya’atuha, Tathowwuruha, dirasatu Muallifatiha, adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqatuha, (Damaskus, Daru al-Qalam, 1414 H / 1994 M).
 Mahmashshanni, Subhi, Falsafatu al-Tasyri’ al-Islami, (Beirut : Darul ‘Ilmi Lil Malayin, 1961).
 Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002).
 Mujib, Abdul, Drs. H., Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih : Al-Qawa’idul Fiqhiyyah, (Jakarta : Kalam Mulia, 2004).
 Usman, Muchlis, Drs. MA. H., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah : Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002).
                                         











Tidak ada komentar:

Posting Komentar