Kamis, 3 Januari 2013
KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM
Editor : Drs.HM.Sakti Rangkuti,MA.
Oleh : Drs. H. Ahmad Supardi
Hasibuan, MA.
Pendahuluan
Untuk
menetapkan hukum atas sebuah persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam maka
jalan yang ditempuh oleh para ulama untuk menetapkannya adalah dengan
melihatnya dalam al-Qur’an, kalau hal tersebut telah diatur dalam al-Qur’an,
maka ditetapkanlah hukumnya sesuai dengan ketetapan al-Qur’an. Dan apabila
dalam al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama mencarinya
dalam-Al-Hadis. Apabila dalam al-Hadis telah diatur, maka para ulama menetapkan
hukumnya sesuai dengan ketentuan al-Hadis.
Persoalan baru muncul adalah
manakala hukum atas persoalan tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan juga
dalam al-Hadis, sebab al-Qur’an dan al-Hadis adalah merupakan sumber hukum
pokok (primer) dalam ketentuan hukum Islam.
Dalam menghadapi kondisi yang seperti ini maka
para ulama mencari sumber hukum lain yang dapat dijadikan patokan dan pegangan
dalam memberikan hukum atas persoalan yang timbul, sebab sebagaimana diketahui
bahwa agama Islam itu telah sempurna dan tidak akan ada lagi penambahan hukum
yang bersifat Syar’iyyah, hanya saja untuk menjawab persoalan-persoalan hukum
yang timbul di kemudian hari telah diberikan rambu-rambu dan
ketentuan-ketentuan lainnya dalam rangka memberikan hukum atas persoalan baru
yang timbul.
Sumber hukum
baru sebagaimana dimaksudkan di atas, para ulama berbeda pendapat dalam
menetapkannya. Ada yang berpendapat bahwa apabila suatu persoalan baru timbul
dan itu tidak diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis, maka dikembalikan kepada
Ijma’. Dalam hal kembali kepada Ijma’ ini, para ulama nampaknya sepakat, hanya
saja yang disepakati secara utuh dalam rangka Ijma’ adalah Ijma’ yang bersumber
dari al-Qur’an dan al-Hadis, sedangkan Ijma’ yang bersumber di luar al-Qur’an
dan al-Hadis, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang setuju
dan ada juga yang tidak setuju. Yang setuju dengan Ijma’ berpendapat bahwa
sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa, “UmmatKu tidak akan bersepakat
dalam hal kesesatan”. Yang tidak setuju dengan Ijma’ berpendapat bahwa Ijma’
itu adalah hasil pemikiran dan pendapat dari para Ulama, yang namanya hasil
pemikiran dan pendapat bisa salah dan juga bisa benar, oleh karena itu tidak
bisa dijadikan sebagai hukum yang pasti.
Apabila
dalam ketiga hal tersebut di atas tidak juga ditemukan maka para ulama
mengembalikannya kepada sumber-sumber hukum yang lain seperti Qiyas, Istihsan,
Istishab, Maslahah Mursalah dan Syar’u man Qablana. Untuk menetapkan
sumber-sumber hukum Islam ini, selain para ulama berbeda pendapat, mereka (para
ulama) juga berbeda pendapat dalam menetapkan kaidah-kaidahnya. Perbedaan dalam
kaidah-kaidah ini secara otomatis akan menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam
bidang produk hukum, sebab kaidah sangat menentukan produk hukum. Namun satu
hal yang pasti adalah kaidah-kaidah sangat menentukan dan sangat membantu
seseorang dalam mengistimbathkan hukum.
Atas dasar
hal-hal tersebut di atas, maka penulis merasa berkepentingan untuk membahas
tentang Kaidah-Kaidah Fiqhiyah (Hukum) sebagai suatu alat bantu dalam
mengistimbathkan hukum Islam. Kaidah-Kaidah ini ditelorkan oleh para
ulama-ulama mujtahid pelopor mazhab-mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Maliki,
Imam Syafi’i, Imam Hambali dan imam-imam lainnya yang cukup banyak, hanya saja
mazhab-mazhabnya tidak berkembang lagi pada masa sekarang ini. Para imam-imam
ini mempunyai kaidah-kaidah tersendiri di dalam menetapkan ataupun
mengistinbathkan hukum atas suatu persoalan yang timbul.
Pengertian
Qaidah Fiqhiyah
Qaidah dalam
bahan Indonesia dikenal dengan istilah kaidah (sesuai dengan judul makalah)
yang berarti aturan atau patokan. Secara terminologis, kaidah mempunyai
beberapa arti. Dr. Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i, dalam bukunya Ushul Fiqh Islami
menyatakan bahwa kaidah adalah :
Artinya : Hukum yang bersifat universal
(kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak.
Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul fiqh
sebagaimana disebutkan oleh Drs. H. Muchlis Usman, MA. mendefinisikan kaidah
sebagai berikut :
Artinya :
Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar
bagian-bagiannya.
Sedangkan
arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah yang
berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh
lebih dekat kepada ilmu sebagaimana yang banya dipahami oleh para sahabat,
makna tersebut diambil dari firman Allah :
Artinya :
Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.
Dan sabda Nabi Muhammad SAW :
Artinya :
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya
kepahaman agama.
Sedangkan
dalam arti istilah sebagaimana disebutkan Al-Jurjani Al-Hanafi, fiqh berarti :
Artinya :
Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amaliyah yang diambil dari
dalil-dalil yang tafshili (terperinci), dan diistinbathkan lewat ijtihad yang
memerlukan analisa dan perenungan.
Dan masih
banyak lagi definisi lain yang dikemukan oleh para ulama tentang definisi
daripada fiqh. Dari definisi-definisi tersebut, secara umum dapat disimpulkan
bahwa makna fiqh itu adalah berkisar pada rumusan sebagai berikut :
1. Fiqh
merupakan bahagian dari syari’ah.
2. Hukum yang dibahas mencakup hukum yang
amali.
3. Obyek hukum pada orang-orang mukallaf.
4. Sumber hukum berdasarkan al-Qur’an atau
As-Sunnah atau dalil lain yang bersumber pada kedua sumber utama tersebut.
5. Dilakukan dengan jalan istinbath atau
ijtihad sehingga kebenarannya kondisional dan temporer adanya.
Dari ulasan
tersebut di atas, baik poengertian kaidah maupun pengertian fiqh, maka yang
dimaksud dengan Kaidah Fiqhiyah adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam
Tajuddin As-Subki, sebagai berikut :
Artinya :
Suatu perkara yang kulli yang bersesuaian dengan juz’iyah yang banyak yang
daripadanya diketahui hukum-hukum juz’iyat itu.
Ataupun
pengertian Kaidah Fiqhiyah itu adalah sebagaimana disebutkan oleh Dr. Mustafa
Ahmad Az-Zarqa’ sebagai berikut :
Artinya :
Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencakup
(sebahagian besar bahagian-bahagiannya) dalam bentuk teks-teks
perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan
hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada
permasalahannya.
Kaidah
Fiqhiyah sebagaimana tersebut dalam pembahasan di atas adalah berfungsi untuk
memudahkan para mujtahid atau para fuqoha’ yang ingin mengistinbathkan hukum
yang bersesuaian dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia. Oleh karena
itulah maka sangat tepat apabila pembahasan tentang Kaidah Fiqhiyah ataupun
Kaidah Hukum termasuk dalam pembahasan Filsafat Hukum Islam, sebab Filsafat
Hukum Islam adalah sebuah metode berpikir untuk menetapkan hukum Islam dan sekaligus
mencari jawaban ada apa yang terkandung dibalik hukum Islam itu sendiri.
Selain
dikenal adanya istilah Kaidah Fiqh, dikenal juga istilah Kaidah Ushul Fiqh.
Para ulama membedakan pengertian dari kedua istilah ini, sebab Kaidah Fiqh
adalah satu ilmu yang berdiri sendiri pada satu pihak dan Kaidah Ushul Fiqh
juga adalah merupakan satu ilmu yang berdiri sendiri di lain pihak. Ibnu
Taimiyah membedakan di antara kedua ilmu ini yaitu, Kaidah Ushul Fiqh adalah
dalil-dalil yang umum (ad-Dilalatu al-Ammah), sedangkan Kaidah Fiqh adalah
patokan hukum secara umum (Ibaratu ‘an ahkam al-ammah).
Sejarah
Perkembangan
Beberapa
peneliti menjelaskan sejarah Kaidah Fiqh dengan menentukan priodisasinya
menjadi tiga priode, yaitu :
1. Fase
Pertumbuhan dan Pembentukan (1-3 H)
Fase
pertumbuhan dan pembentukan ini berlangsung selama tiga abad lebih, dari zaman
kerasulan hingga abad ketiga hijriyah. Priode ini, dari segi fase sejarah hukum
Islam, dapat dibagi menjadi tiga dekade yaitu : Pertama Zaman Nabi Muhammad SAW
yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 M / 12 SH-10 H), Kedua Masa
Sahabat yang dimulai sejak wafat Nabi hingga tahun 100 H. dan ketiga Zaman
Tabi’in serta tabi’ttabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M /
100-351 H). Tahun 351 H dianggap sebagai zaman kejumudan karena tidak ada lagi
pendiri mazhab (351 H/974 M). Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibnu Jarir
al-Thabari (w.310 H/734 M) yang mendirikan mazhab Jaririah. Dengan demikian
maka ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaannya (keemasan), kaidah fiqh baru
dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri Kaidah yang dominan adalah jawamil kalim
(kalimatnya ringkas tapi cakupan maknanya luas). Atas dasar ciri dominan
tersebut, ulama menetapkan bahwa hadis yang mempunyai ciri tersebut dapat
dijadikan kaidah fiqh . Oleh karena itulah maka priodisasi kaidah fiqh dimulai
sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
2. Fase
Perkembangan dan Kodifikasi (4 – X H)
Dalam
sejarah hukum Islam, abad ke 4 H. dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini,
sebagian besar ulama melakukan tarjih pendapat imam mazhabnya masing-masing.
Yang dilakukan ulama pengikut mazhab adalah ilhaq (melakukan analogi atau
qiyas). Menurut Ibnu Khaldun , ketika mazhab tiap imam fiqh menjadi ilmu khusus
bagi penganutnya dan tidak ada jalan untuk melakukan ijtihad , ulama melakukan
tandzir (penyamaan) masalah-masalah untuk dihubungkan serta memilahnya ketika
terjadi ketidak jelasan setelah menyederhanakannya kepada dasar-dasar tertentu
dari mazhab mereka. Dengan cara tandzir dan isytibab (dipilah), fiqh
dikembangkan. Kemudian para ulama meletakkan cara-cara baru dalam bidang ilmu
fiqh ini yang disebut dengan al-Qawa’id. Mazhab Hanafi dikenal sebagai aliran
pertama yang memperkenalkan ilmu ini.
Pada abad ke
IV Hijriyah telah ada dua kitab Kaidah Fiqh yaitu Ushul al-Karkhi karya
al-Karkhi yang beraliran hukum Hanafi dan Ushul Futiya yang disusun oleh
Muhammad ibnu Harits al-Husyni yang beraliran Maliki. Sedangkan pada abad ke V
hijriyah telah ada pula buku kaidah fiqh yang berjudul Ta’sis al-Nazhar karya Ibju
Zaid al-Dabusi al-Hanafi. Sedangkan buku abad ke VI hijriyah adalah Idhah
al-Qawa’id karya ‘Ala ad-Din Muhammad ibn Ahmad al-Samarqandi. Puncak
perkembangan Kaidah Fiqh adalah abad ke VII hijriyah dengan terbitnya tiga buku
besar, yaitu Al-Qawa’id fi al-Furu’ al-Syafi’iyyat karya Muhammad ibnu Ibrahim
al-Jajarmi al-Sahlaki (w.613 H); Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Izz
al-Din ibn Abdu al-Salam (w.660 H); Al-Mudzhab fi Dhabith Qawa’id al-Mazhab
karya Muhammad Ibn Abdullah Ibn Al-Rasyid al-Bakri al-Qafsi (w.685 H).
3. Fase
Kematangan dan Penyempurnaan (XI – H-Kini)
Fase ini
hanyalah bersifat pematangan dan penyempurnaan sebab hampir tidak ditemukan
lagi adanya penerbitan buku khusus kecuali hanya sekedar melakukan pengumpulan
dan penyempurnaan saja. Di Indonesia kaidah fiqh semakin dikenal khususnya
setelah menjadi disiplin tersendiri di Program Pasca sarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Namun perlu diingat bahwa pelajaran Kaidah Fiqh adalah
merupakan salah satu mata pelajaran khusus di Pondok-Pondok Pesantren
Tradisional dengan Kitab Utama Al-Asybah wa al-Nadza’ir karya As-Suyuthi.
Kegunaan
Kaidah Fiqh
Imam Abu
Muhammad Izzuddin Ibn Abbas Salam menyatakan bahwa Kaidah Fiqhiyah mempunyai
kegunaan sebagai suatu jalan untuk mendapat suatu kemaslahatan dan menolak
kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut. Sedangkan
Al-Qarafi dalam al-Furu’nya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar
pengaruhnya tanpa berpegang kepada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang
pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak bertentangan dan berbeda antara
furu-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai
furu’-furu’nya.
Lebih lanjut
berbicara tentang kegunaan Kaidah Fiqhiyah ini adalah sebagaimana disebutkan
oleh Ali Ahmad al-Nadwi sebagai berikut :
1.
Mempermudah dalam menguasai materi hukum karena kaidah telah dijadikan patokan
yang mencakup banyak persoalan.
2. Kaidah membantu menjaga dan menguasai
persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan, karena kaidah dapat
mengelompokkan persoalan-persoalan berdasarkan illat yang dikandungnya.
3. Mendidik orang yang berbakat fiqih dalam
melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk mengetahui hukum
permasalahan-permasalahan baru.
4. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam
mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari thema yang
berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu.
5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu
ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling
berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar.
6. Pengetahuan tentang kaidah merupakan
kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.
Demikian
kegunaan kaidah yang disampaikan oleh Ali Ahmad al-Nadwi. Secara sederhana,
kegunaan kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap beberapa
persoalan fiqh. Menguasai suatu kaidah berarti menguasai sekian bab fiqh. Oleh
karena itu, mempelajari kaidah dapat memudahkan orang yang berbakat fiqh dalam
menguasai persoalan-persoalan yang menjadi cakupan fiqh.
Pembagian
Kaidah Fiqh
Kaidah Fiqh
sebagaimana dijelaskan di atas dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu :
1. Pembagian
Kaidah Fiqh dari Segi Fungsi
Dari segi fungsi Kaidah Fiqh dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu Kaidah Fiqh Inti dan Kaidah Fiqh Pokok. Disebut Kaidah Fiqh
Inti karena Kaidah Fiqh tersebut memiliki cakupan yang begitu luas sehingga
banyak furu’ yang dihadapkan kepadanya. Kaidah ini dikenal sebagai Qawa’idul
Kubra al-Asasiyah, sebagai berikut :
Adat dapat
dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum.
Kaidah ini mempunyai beberapa kaidah turunan
yang berperan pokok, di antaranya adalah :
Sesuatu yang
dikenal secara kebiasaan di kalangan pedagang seperti sesuatu yang telah
ditentukan sebagai syarat.
Sesuatu yang
ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan nash.
Sesuatu yang
diketahui oleh pedagang berdasarkan kebiasaan seperti telah disyaratkan di
antara mereka.
Tidak
diingkari bahwa perubahan hukum terjadi karena perubahan zaman.
Dengan demikian, Kaidah Hukum yang berfungsi
marginal adalah kaidah hukum yang cakupannya kecil atau bahkan sangat sempit
sehingga tidak dihadapkan kepada banyak furu’.
2. Pembagian
Kaidah Fiqh dari Segi Mustasnayat
Dari sumber
pengecualian, Kaidah Hukum dapat dibedakan menjadi dua : yaitu Kaidah yang
tidak memiliki pengecualian dan kaidah yang memiliki pengecualian. Kaidah Hukum
yang tidak memiliki pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad saw (dalil hukum
kedua) yang dianggap sebagai Kaidah Fiqh, sebagai contoh :
Bukti
dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat.
Disamping itu, Kaidah Fiqh yang hampir tidak
memiliki pengecualian, karena menurut sifatnya, ia bersifat pada umumnya, tapi
hakikat kaidah fiqh tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan adanya pengecualian
sangat kecil. Sebagai contoh adalah :
Keyakinan
tidak hilang dengan keraguan.
Kaidah tersebut merupakan inti dari sabda Nabi
Muhammad saw :
Artinya :
Apabila seseorang mendapat sesuatu di dalam perutnya kemudian ia ragu; apakah
sudah keluar sesuatu atau belum, orang tersebut tidak boleh keluar dari masjid
sebelum mendapat suara angin (kentut) dan mendapatkan baunya.
Kaidah Fiqh
lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian. Kaidah yang tergolong pada
kelompok ini adalah kaidah yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
3. Pembagian
Kaidah Fiqh dari Segi Kualitas
Dari segi
kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi lima, yaitu :
a. Kaidah Kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa
seluruh kaidah fiqh pada dasarnya dapat dikembangkan kepada satu kaidah, yaitu
:
Menolak
kemafsadatan dan mendapatkan kemaslahatan.
Kaidah ini adalah merupakan kaidah kunci karena
pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan
dengan sendirinya, ia mendapatkan maslahat. Nilai kebenaran syari’ah (dan
kaidah fiqh adalah salah satu media untuk berupaya agar mencapai kebenaran
tersebut), menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, adalah keadilan, rahmat, maslahat,
dan mengandung hikmah. Kaidah asasi atau yang lebih dikenal dengan Kaidah Kubra
merupakan penyederhanaan (penjelasan yang lebih mendetail) dari kaidah inti
tersebut.
b. Kaidah Asasi
Kaidah Fiqh Asasi adalah kaidah fiqh yang
tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum Islam. Kaidah Fiqh
tersebut adalah sebagai berikut :
Perbuatan
atau perkara itu bergantung pada niatnya.
Keyakinan
tidak hilang dengan keraguan.
Kesulitan
mendatangkan kemudahan.
Kesulitan
harus dihilangkan.
Adat dapat
dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan menerapkan hukum.
Lima kaidah
fiqh tersebut adalah merupakan kaidah pokok yang menurut penulis, semua masalah
fiqh dapat dikembalikan kepada lima kaidah tersebut.
c. Kaidah yang diterima oleh semua aliran
Sunni
Kaidah Fiqh yang diterima oleh seluruh aliran
hukum Sunni sebagaimana disebutkan oleh Ali Ahmad An Nadwi adalah Majallatul
Ahkam al-Adliyyah. Kaidah ini dibuat pada abad XIX M oleh Lajnah Fuqaha’ Utsmaniyah.
Di antara Kaidah Fiqh yang terdapat dalam Majallatul Ahkam al-Adaliyyah
tersebut sebagaimana diinformasikan oleh Subhi Mahmashshanni adalah sebagai
berikut :
Pengikut
(tetap berkedudukan sebagai) pengikut.
Hukum yang
mengikut (pengikut) tidak dapat berdiri sendiri.
Siapa saja
yang memiliki sesuatu (dengan sendirinya), ia memiliki bagian yang penting
darinya.
Apabila
pokok telah jatuh (tiada) cabang ikut jatuh pula.
Pengikut
dengan sendirinya akan jatuh dengan jatuhnya yang diikut.
Cabang-cabang
kadang-kadang tetap karena ketiadaan pokok.
Apabila
sesuatu batal, maka yang dikandungnyapun ikut batal.
Meneruskan
lebih mudah daripada memulai.
Orang yang
berhak memperoleh keuntungan, berkewajiban juga menanggung kerugian.
Keuntungan
sepadan dengan kerugian; dan kerugian sepadan dengan keuntungan.
Sesuatu yang
haram diambil, haram pula diberikan (kepada yang lain)
Sesuatu yang
haram dikerjakan, haram pula mencarinya.
Apabila
terjadinya pertentangan antara cegahan dan tuntutan, yang diutamakan adalah
yang mencegah; yang menggadaikan tidak (boleh) menjual benda yang telah
digadaikan selama benda tersebut berada di tangan yang menggadai.
Penggantian
sebab kepemilikan menempati tempat pergantian zat.
Siapa saja
yang tergesa-gesa (mengerjakan sesuatu) sebelum tiba waktunya, mendapatkan
sanksi karena pekerjaan itu.
Pegangan
dalam transaksi adalah maksud dan maknanya, bukan lafazh dan bentuknya.
Tidak
(boleh) menyulitkan (orang lain) dan juga tidak boleh dipersulit (oleh orang
lain)
Kesulitan harus
dihilangkan.
Kesulitan
tidak dihilangkan dengan kesulitan pula.
Apabila
pokok batal, ia dikembalikan kepada pengganti.
Transaksi
belum sempurna sebelum (benda yang diakadkan) dikuasai.
Kebijakan
pemimpin atas rakyat (harus) mempertimbangkan maslahat.
Kekuasaan
yang bersifat khusus lebih kuat daripada kekuasaan yang bersifat umum.
Perkataan
tidak disandarkan kepada yang diam, tetapi diam bagi sikap penolakan kebutuhan
adalah penjelasan.
Tulisan
(surat) sepadan dengan pesan (lisan).
Kedudukan isyarat
dari orang-orang yang bisu sepadan dengan penjelasan dengan lisan.
Sesuatu yang
didasarkan pada perkiraan yang jelas salahnya, tidak dianggap (tidak
diperhitungkan).
Sesuatu yang
dihubungkan dengan syarat, ia wajib ada ketika syarat itu terpenuhi.
Pemeliharaan
syarat diwajibkan selama memungkinkan.
Sewa dan
penggantian (kerusakan) tidak dapat disatukan.
Pekerjaan
disandarkan (dibebankan) kepada pelakunya, bukan kepada yang memerintahkan,
selama tidak dipaksa.
Apabila
berkumpul antara pelaksana langsung dan pelaksana secara tidak langsung, sanksi
dibebankan kepada pelaksana langsung.
Kebolehan
berdasarkan syara’ bertentangan dengan keharusan penggantian kerugian.
Pelaku
secara langsung (harus) bertanggungjawab meskipun tidak disengaja.
Pihak yang
berbuat secara tidak langsung (tidak dapat dimintai) pertanggungjawab kecuali
(pekerjaan) dilakukan dengan sengaja.
Tindakan
binatang tidak dapat diminta penggantian kerugian kepada pemiliknya.
Perintah
untuk mengelola harta milik orang lain adalah batal.
Seseorang
tidak dibolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin (dari pemiliknya).
Seseorang
tidak dibolehkan mengambil harta orang lain tanpa sebab yang dibenarkan oleh
syara’.
d. Kaidah
yang diikhtilafkan di Kalangan Sunni
Kaidah ada
yang diterima oleh mazhab tertentu tapi ditolak oleh mazhab yang lain. Ikhtilaf
tersebut dapat dilihat pada kasus sewa dan pembayaran kerusakan bagi Hanafiyah
dan Jumhuriyah. Menurut Hanafiyah, sewa dan pembayaran kerusakan tidak pernah
dapat disatukan, masing-masing berdiri sendiri. Oleh karena itu, hanafiyah
mengatakan bahwa :
Sewa dan
pembayaran kerusakan tidak (bisa) digabungkan.
Berbeda dengan Hanafiyah, Syafi’iyah
mengatakan bahwa antara upah dan penggantian kerusakan dapat digabungkan. Oleh
karenanya Syafi’iyah mengatakan :
Sewa dan
penggantian kerusakan (dapat) digabungkan.
e. Kaidah
yang diikhtilafkan Ulama yang Sealiran
Di dalam
Kaidah Fiqh terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama yang selairan.
Sebagai contoh adanya perbedaan antara Muhammad dengan Abu Yusuf yang sama-sama
mazhab Hanafi. Perbedaan tersebut adalah mengenai wangi-wangian sebelum
berihram. Menurut Muhammad wangi-wangian yang digunakan sebelum berihram – dan
ketika berihram wangi-wangiannya masih tercium – adalah boleh, karena
wangi-wangian itu dipakai sebelum berihram dan wangi-wangian yang dilarang oleh
Rasul adalah wangi-wangian ketika berihram. Oleh karena itu Muhammad
berpendapat :
Sesuatu yang
terjadi (dan kekal) sebelumnya, boleh dilakukan untuk memulai yang lain.
Abu Yusuf berbeda pendapat dengan Muhammad.
Menurut Abu Yusuf, menggunakan wangi-wangian ketika berihram dilarang oleh
Rasul. Oleh karena itu, menggunakan wangi-wangian sebelum berihram – dan
wanginya masih tercium ketika berihram – tidak dibolehkan. Atas dasar itu, Abu
Yusuf membuat kaidah :
Sesuatu yang
terjadi (dan kekal) sebelumnya tidak boleh dilakukan untuk memulai yang lain
Kesimpulan
1. Kaidah
Fiqhiyah (hukum) adalah dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang
bersifat mencakup (sebahagian besar bahagian-bahagiannya) dalam bentuk
teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung
penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan
pada permasalahannya.
2. Sejarah
Perkembangan Kaidah Fiqhiyah mengalami tiga fase, yaitu Fase Pertumbuhan dan
Pembentukan (1-3 H); Fase Perkembangan dan Kodifikasi (4 – X H); dan Fase
Kematangan dan Penyempurnaan (XI – H-Kini).
3. Kaidah
Fiqhiyah memiliki kegunaan yang sangat besar bagi ahli fiqh sebab kaidah fiqh
adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap beberapa persoalan fiqh.
Menguasain suatu kaidah berarti menguasai sekian bab fiqh.
4. Kaidah
Fiqhiyah dapat dibagi kepada tiga bahagian besar, yaitu Kaidah Fiqh dari segi
fungsinya; Kaidah Fiqh dari segi Mustasnayatnya (pengecualaiannya); dan Kaidah
Fiqh dari segi Kualitasnya.
Penutup
Demikianlah
makalah ini kami sampaikan sebaaagai bahan bagi kita untuk berdiskusi lebih
lanjut dalam rangka meningkatkan pemahaman dalam bidang Filsafat Hukum Islam.***
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman,
Asjmuni, Prof. Drs. H., Qawa’id Fiqhiyah : Arti, Sejarah dan Beberapa Qaidah
Kulliyah, (Yogyakarta : Suara Muahammadiyah, 2003).
Al-Jauziyyah, Ibnu Qoyyim, I’lamu
al-Muwaqqi’ien ‘An Rabbi al-‘Alamien, (Beirut : Darul Jail, t.t), III.
An-Nadwi, Ali Ahmad, Al-Qowa’idul Fiqhiyah,
Mafhumuha, Nisya’atuha, Tathowwuruha, dirasatu Muallifatiha, adillatuha,
Muhimmatuha, Tathbiqatuha, (Damaskus, Daru al-Qalam, 1414 H / 1994 M).
Mahmashshanni, Subhi, Falsafatu al-Tasyri’
al-Islami, (Beirut : Darul ‘Ilmi Lil Malayin, 1961).
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah
Asasi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002).
Mujib, Abdul, Drs. H., Kaidah-Kaidah Ilmu
Fiqih : Al-Qawa’idul Fiqhiyyah, (Jakarta : Kalam Mulia, 2004).
Usman, Muchlis, Drs. MA. H., Kaidah-Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah : Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar