DRS.HM.SAKTI
RANGKUTI,MA.
GURU
AGAMA ISLAM SMA NEGERI 1 GALANG-DELI SERDANG.
JUDI DALAM PRESFEKTIF ISLAM
A. Pengertian Judi
dan Penjudi
Kata judi dalam
bahasa Indonesianya memiliki arti "permainan dengan memakai uang sebagai
taruhan (seperti main dadu dan main kartu).[1] Sedang
penjudi adalah (orang yang) suka berjudi.[2] Kata judi
tersebut biasanya dipadankan dengan maysir (الميسر) dalam bahasa Arabnya. Kata maysir berasal
dari akar kata al-yasr (اليسر) yang secara bahasa berarti "wajibnya sesuatu bagi
pemiliknya" (وجوب الشيء لصاحبه).
Ia juga bisa berasal dari akar kata al-yusr yang berarti
mudah. Akar kata lain adalah al-yasar yang berarti kekayaaan.[3]
Al-Farâhîdiy[4] mengatakan bahwa kata al-maysir merupakan padanan atau sinonim dari kata al-qimâr (القمار) yang berarti "setiap sifat (keadaan) dan pekerjaan yang dipertaruhkan atasnya" (كل نَعْتٍ وفعل يُقُمَرُ عليه). Menurut Ibn 'Abidin,[5] kata taruhan (قامره مقامرة وقمارا) berarti "memberikan rungguhan untuk menang". Imam Nawawiy, seperti dikutip oleh Ibn 'Abidin,[6] mengatakan bahwa taruhan berasal dari akar kata al-qamar (القمر; bulan). Panamaan bulan dengan al-qamar karena cahaya bulan itu akan bertambah terang kalau ia mengalahkan (semakin kecil ditutupi) matahari dan akan berkurang kalau dikalahkan atau tertutup oleh matahari (ما له نارة يزداد إذا غلب وينتقص إذا غلب). Sehubungan dengan judi atau taruhan, kata al-qimâr itu memberikan pemahaman bahwa dengan berjudi seseorang bisa jadi memperoleh keuntungan dan bisa jadi mendapatkan kerugian.
Muhammad bin Ya'qub al-Fayruz Abadiy[7] mendefinisikan
kata al-maysir dengan "permainan dengan anak panah"
(اللَّعِبُ
بالقِداحِ)
atau "potongan-potongan yang dijadikan sebagai objek taruhan". Ketika
hendak berjudi, orang-orang Arab jaihiliyah membeli hewan yang disembelih dan
dibagi menjadi 29 atau 10 bagian. Kemudian mereka malakukan undian; orang yang
namanya keluar ketika diundi ialah yang menang; sementara orang yang namanya
tidak keluar, ia kalah dan membayar seluruh harga binatang tersebut. Menurut al-Qurthubiy,[8] permainan
yang disebut judi tersebut hanyalah taruhan yang terdapat pada
potongan-potongan (pembagian) hewan ini saja (الميسر إنما كان قمارا
في الجزر خاصة).
Menurut al-Azhari,
seperti dikutip oleh al-Syawkaniy,[9] kata maysir berarti
"potongan yang menjadi objek taruhan" (الجزور التي كانوا
يتقامرون عليه). Ia dinamakan
judi karena potongan-potongan itu dibagi sedemikian rupa sehingga seolah-olah
ia menjadi milik orang-orang yang ikut di dalamnya. Dalam hal itu, setiap
kesatuan yang telah dibagi menimbulkan kemudahan dalam pembagiannya. Sementara
makna asal dari maysir yang disebutkan dalam al-Qur'an adalah
taruhan dengan anak panah yang dilakukan orang Arab jahiliyyah. Tapi menurut
mayoritas sahabat, para tabi'in dan ulama setelah mereka, katamaysir dalam
ayat itu juga mencakup semua hal yang mengandung unsur taruhan, seperti
permainan catur dan sebagainya. Tetapi ada beberapa permainan atau perlombaan
keterampilan yang dianggap bukan judi, seperti pacu kuda dan memanah. Tetapi
menurut Imam Malik, judi itu merupakan segala permainan (اللهو) menyenangkan yang melalaikan (الملاهي) dan menyerempet bahaya (يتخاطر الناس عليه).[10]
Ketika ditanya
tentang judi, al-Qasim bin Muhammad, seperti diriwayatkan oleh Ibn Taymiyyah,[11] mengatakan
bahwa judi adalah segala sesuatu yang melalaikan dari mengingat Allah dan
shalat. Beliau (Ibn Taymiyah) juga menyebutkan bahwa ulama Sunniy sepakat
mengatakan bahwa permainan al-nard (النرد atau النردشير; permainan tradisional orang Persia yang menggunakan
potongan-potongan tulang sebagai dadu)[12] adalah
haram, walaupun permainan itu tidak menggunakan taruhan.
Mujahid[13] menyebutkan
bahwa judi itu adalah taruhan (الميسر القمار), termasuk semua permainan yang dimainkan oleh anak-anak.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibn 'Abbas, Ibn 'Umar, Sa'id bin
Jubayr, dan al-Sya'biy.[14] 'Ali
bin Abi Thalib mengatakan bahwa permainan catur adalah salah satu judi
orang-orang non Arab.[15] Lebih
jauh, Imam al-Syawkaniy[16] menegaskan
bahwa semua permainan yang mengandung kemungkinan keuntungan dan kerugian
adalah judi (وكل ما لا يخلو اللاعب فيه من غنم أو
غرم فهو ميسر).
Muhammad bin 'Abd al-Wahid al-Siwasiy[17] menjelaskan
bahwa perjudian dan yang sejenisnya pada hakikatnya menggantungkan kepemilikan
atau hak pada sesuatu yang menyerempet-nyerempet bahaya (الخطر) dan undian (القرعة).
Dalam penggunaan bahasa, terkadang Syari' (Allah dan Rasul) menggunakan suatu
kata dalam pengertian yang umum dan terkadang menggunakan dalam pengertian yang
khusus. Dalam hal ini, lafal judi (الميسر) dipandang para ulama juga mencakup semua jenis permainan yang
memiliki unsur yang sama, seperti permainan catur dan kemiri (yang dilakukan
anak kecil; sama dengan permainan kelerang sekarang). Di samping itu, kata judi
itu sendiri juga mencakup makna jual beli gharar yang dilarang Nabi SAW. Oleh
karena itu, seperti disebutkan oleh Ibn Taymiyah,[18] substansi
makna taruhan dan judi dalam hal ini adalah menguasai harta orang lain dengan
cara menyerempet bahaya (مخاطرة),
yang terkadang memberikan keuntungan lebih dan terkadang membawa kerugian.
Al-Thabariy[19] menyebutkan
bahwa di masa Jahiliyyah, perbuatan judi tersebut bukan hanya dapat menimbulkan
(menyerempet) bahaya buat harta orang yang berjudi (dengan menjadikannya
sebagai taruhan), tapi juga bisa menimbulkan bahaya terhadap keluarganya dengan
juga mempertaruhkan mereka.
Jumhur ulama
Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa unsur
penting al-maysir itu adalah taruhan. Dalam pandangan mereka,
adanya taruhan ini merupakan 'illaħ (sebab) bagi haramnya al-maysir.
Oleh karena itu, setiap permainan yang mengandung unsur taruhan, seperti
permainan dadu, catur dan lotre, demikian pula permainan kelereng yang
dilakukan anak-anak yang memakai taruhan, adalahal-maysir dan hukum
melakukannya adalah haram. Ibrahim Hosen berpendapatbahwa 'illaħ bagi
pengharaman al-maysir adalah adanya unsur taruhan dan
dilakukan secara berhadap-hadapan atau langsung, seperti pada masa jahiliyah.
Memperhatikan
berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa maysir adalah
kegiatan atau permainan yang mengandung unsur taruhan dan menyerempet-nyerempet
bahaya, serta melalaikan dari mengingat Allah dan melakukan shalat. Sedang
penjudi adalah pelaku permainan tersebut atau pemain judi. Permainan yang
mengandung unsur taruhan itu, di Indonesia disebut dengan judi. Sementara
taruhan yang dipasang dalam judi, pada dasarnya, adalah uang. Walaupun
demikian, tak jarang yang dijadikan sebagai taruhan itu adalah benda-benda
lain, bergerak atau tidak, dan juga bisa sesuatu yang bernilai benda, seperti
jasa dan hak.
B. Dasar Hukum
Pengharaman Judi
Dalam al-Qur'an,
kata maysir disebutkan sabanyak tiga kali, yaitu
dalam surat al-Baqaraħ (2) ayat 219, surat al-Mâ`idaħ (5)
ayat 90 dan ayat 91. Ketiga ayat ini menyebutkan beberapa kebiasaan buruk yang
berkembang pada masa jahiliyah, yaitukhamar, al-maysir, al-anshâb (berkorban
untuk berhala), dan al-azlâm (mengundi nasib dengan
menggunakan panah). Penjelasan tersebut dilakukan dengan menggunakan jumlahkhabariyyah dan
jumlah insya`iyyah. Dengan penjelasan tersebut, sekaligus al-Qur'an
sesungguhnya menetapkan hukum bagi perbuatan-perbuatan yang dijelaskan itu. Di
dalamsurat al-Baqaraħ (2) ayat 219 disebutkan sebagai berikut:
يسألونك
عن الخمر والميسر قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس وإثمهما أكبر من نفعهما ويسألونك
ماذا ينفقون قل العفو كذلك يبين الله لكم الآيات لعلكم تتفكرون
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu
apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
Sehubungan dengan
judi, ayat ini merupakan ayat pertama yang diturunkan untuk menjelaskan
keberadaannya secara hukum dalam pandangan Islam. Setelah ayat ini, menurut
al-Qurthubiy,[20] kemudian
diturunkan ayat yang terdapat di dalam surat al-Ma'idah ayat 91
(tentang khamar ayat ini merupakan penjelasan ketiga
setelah surat al-Nisa` ayat 43). Terakhir Allah menegaskan pelarangan
judi dan khamar dalam surat al-Ma'idah ayat 90.
Al-Thabariy[21] menjelaskan
bahwa "dosa besar" (إثم كبير)
yang terdapat pada judi yang dimaksud ayat di atas adalah perbuatan judi atau
taruhan yang dilakukan seseorang akan menghalangi yang hak dan, konsekwensinya,
ia melakukan kezaliman terhadap diri, harta dan keluarganya atau terhadap
harta, keluarga dan orang lain. Kezaliman yang dilakukannya terhadap dirinya
adalah penurunan kualitas keberagamaannya, dengan kelalaiannya dari mengingat
Allah dan shalat. Sedangkan kezaliman terhadap orang lain adalah membuka
peluang terjadinya permusuhan dan perpecahan. Sementara keuntungan yang
ditumbulkan dari perjudian itu hanya terbatas pada keuntungan material, kalau
ia menang.
Di
dalam surat al-Mâ`idaħ (5) ayat 90 dan ayat 91 Allah berfirman
sebagai berikut:
يا
أيها الذين آمنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان
فاجتنبوه لعلكم تفلحون إنما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة والبغضاء في الخمر
والميسر ويصدكم عن ذكر الله وعن الصلاة فهل أنتم منتهون
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434],
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar
dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Asbâb al-nuzûl ayat ini,
seperti diceritakan oleh Thabariy,[22] 'Umar
berdoa "Ya Allah jelaskan buat kami tentang hukum khamar sejelas-jelasnya".
Sehubungan dengan itu diturunkanlah ayat yang terdapat
dalam surat al-Baqarah ayat 219 (يسألونك عن الخمر
والميسر...). Setelah ayat itu turun,
'Umar masih berdoa agar Allah menjelaskan hukum khamar tersebut. Kemudian
turunlah ayat yang terdapat dalam surat al-Nisa` ayat 43 (لا
تقربوا الصلاة وأنتم سكارى...). Setelah ayat
itu turun, Nabi menegaskan bahwa dilarang shalat orang yang sedang mabuk. Saat
itu 'Umar masih berdoa agar Allah menjelaskan hukum khamar. Kemudian turunlah
ayat dalam surat al-Ma'idah (يا أيها الذين آمنوا
إنما الخمر والميسر...). Ketika 'Umar
mendengar ujung ayat itu (فهل أنتم منتهون),
ia berkata kami berhenti, kami berhenti (انتهينا انتهينا).
Al-Nasfiy[23] menceritakan asbâb
al-nuzûl tiga rangkaian ayat tersebut dengan vesi yang sedikit
berbeda. Menurutnya, setelah surat al-Baqarah ayat 219 diturunkan (يسئلونك...), 'Abd al-Rahman mengundang sejumlah orang untuk minum-minum
sampai mereka mabuk. Setelah itu mereka melakukan shalat. Karena mabuk, di
dalam shalatnya sang imam salah dalam membaca surat al-Kafirun
(menjadi يا أيها الكافرون أعبد ما تعبدون). Setelah itu diturunkanlah ayat yang terdapat
dalam surat al-Nisa` ayat 43 (لا تقربوا الصلاة
وأنتم سكارى). Setelah ayat
itu diturunkan 'Ityan bin Malik mengundang beberapa orang untuk minum-minum.
Setelah minum sampai mabuk, mereka saling bertengkar dan berkelahi. Sehubungan
dengan itulah 'Umar bin Khaththab berdoa kepada Allah agar menurunkan
penjelasan tentang khamar. Setelah itu baru turun surat al-Maidah
ayat 90-91 (إنما الخمر والميسر...فهل انتم منتهون). Setelah ayat itu diturunkan, barulah 'Umar berkata 'kami
berhenti, ya Allah'.
Al-Syawkaniy[24] menjelaskan
bahwa pengharaman khamar dilakukan secara bertahap. Hal itu disebabkan karena
kebiasaan meminum khamar tersebut di kalangan bangsa Arab sudah menjadi
kebiasaan yang dipandang baik (syetan membuat mereka memandangnya baik). Ketika
ayat pertama tentangnya diturunkan, sebagian umat Islam langsung meninggalkan
kebiasaan tersebut, tapi sebagian lain masih tetap melakukannya. Kemudian
ketika diturunkan ayat yang melarang melakukan shalat ketika sedang mabuk
(tahap kedua), sebagian umat Islam yang masih meminumnya meninggalkan perbuatan
itu, tapi masih tetap ada umat Islam yang meminumnya saat mereka tidak
melakukan shalat (setelah shalat). Kemudian
diturunkanlah surat al-Ma'idah ayat 90-91 yang secara tegas melarang
perbuatan itu. Semenjak saat itu, semua orang mengetahui bahwa haram hukumnya
meminum khamar. Sedemikian tegasnya pengharaman khamar, hingga sebagian sahabat
mengatakan bahwa tidak ada yang lebih tegas pengharamannya selain meminum
khamar.
Dalam uraian di atas,
dan hampir dalam semua tafsir yang ada, sebab turunnya ayat itu bisa dikatakan
selalu berkaitan dengan khamar; bukan berkaitan dengan maysir atau
judi. Tapi berangkat dari penempatan urutan dan penggunaan huruf 'athaf yang
terdapat di dalam ayat itu (huruf waw; و),[25] maka
dapat dipahami bahwa hukum yang berlaku terhadap khamar juga berlaku terhadap
judi. Artinya, ketika khamar diharamkan dengan tegas, maka secara tidak
langsung judi juga diharamkan dengan tegas. Dengan memperhatikan unsur-unsur
pengharaman yang terdapat dalam judi, akan dijelaskan di bawah, dapat dipahami
dan mestinya pengharaman judi harus lebih tegas dan lebih keras dibanding
pengharaman khamar (dan riba).
Ibn Katsir[26] menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan dosa (إثم) adalah perbuatan salah yang berhubungan langsung atau
berakibat pada pelakunya sendiri (الخطايا المتعلقة بالفاعل
نفسه). Sebagai lawannya adalah al-bagy (البغي), yaitu perbuatan salah yang memberikan akibat (buruk) kepada
orang orang lain atau orang banyak banyak (التعدي على الناس). Dalam konteks judi, menurut al-Alusiy[27] kata
tersebut berarti "penghalang dan jauh dari rasa ada (cukup)" (الحجاب
والبعد عن الحضرة). Sedang kata
rijs (الرجس) yang terdapat dalam ayat di atas secara syara', seperti
disebutkan al-Syarbayniy,[28]memiliki arti
"najis yang secara ijma' mesti dihindari" (النجس صد عما عداها
الإجماع). Tapi menurut al-Thabariy,[29] kata
tersebut, yang juga bisa dibaca atau ditulis dengan الرجز, berarti azab (العذاب).
Kata rijs ternyata
juga digunakan al-Qur'an untuk patung, yaitu terdapat surat al-Hajj
ayat 30 (...فاجتنبوا الرجس
من الأوثان...). Seperti
dikatakan Zamakhsyariy,[30]tabiat dasar
manusia adalah menghindari dan menjauhi sesuatu yang disebut keji (تنفرون
بطباعكم عن الرجس وتجتنبونه), dan kekejian
yang paling keji dalam pandangan agama adalah menyembah berhala. Dengan
penyamaan itu, maka seharusnya para pelaku judi menjauhi perbuatan tersebut
sama seperti menjauhi perbuatan menyembah berhala.
Lafal فاجتنبوه yang terdapat di dalam ayat itu, yang secara bahasa
berarti jauhilah (أبعدوه),
merupakan perintah Allah untuk menjauhi perbuatan-perbuatan yang disebutkan
sebelumnya. Penggunaan lafal perintah untuk menjauhi itu sendiri memberikan
konsekwensi bahwa perbuatan yang disuruh jauhi itu adalah perbuatan yang status
hukumnya adalah haram. Malah, penggunaan lafal yang mengandung larangan dan
ancaman ini memberikan konsekwensi bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang
keharamannya sangat kuat.[31]
Berdasarkan ketiga
ayat itu, ulama fikih sependapat menetapkan bahwa al-maysiritu
haram hukumnya. Akan tetapi, mereka berlainan pendapat mengenai ayat yang
mengharamkannya. Abu Bakar al-Jashshas[32] berpendapat
bahwa keharaman al-maysirini dipahami
dari surat al-Baqaraħ (2) ayat 219. Dua ayat lainnya, yang terdapat
dalam suratal-Mâ`idaħ (5), hanya memberikan pennjelasan tambahan
bahwa al-maysir itu adalah salah satu perbuatan kotor yang
hanya dilakukan oleh setan dan menumbuhkan beberapa dampak negatif, seperti
permusuhan, saling membenci, serta kelalaian dari perbuatan mengingat Allah,
serta melalaikan dari ibadah shalat. Menurutnya,
dengan surat al-Baqaraħ (2) ayat 219 saja sudah memadai untuk
mengharamkan khamar; walau ayat lain tidak diturunkan untuk menjelaskan hal
sama. Karena di dalam ayat itu disebutkan bahwa al-maysir sebagai
salah satu dosa besar dan setiap dosa besar itu hukumnya haram. Sebagai sebuah
dosa besar, sudah barang tentu permainan jdui termasuk dalam kategori perbuatan
yang keji. Sementara pengharaman terhadap perbuatan yang keji itu juga
disebutkan Allah dalam suratal-A'raf ayat 33 berikut:
قل
إنما حرم ربي الفواحش ما ظهر منها وما بطن والإثم والبغي بغير الحق وأن تشركوا
بالله ما لم ينزل به سلطانا وأن تقولوا على الله ما لا تعلمون
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."
Sedang Imam
al-Qurthubiy[33] dan
Imam al-Syawkaniy[34] berpendapat
bahwa hukum al-maysir itu baru jelas keharamannya setelah
turunnya surat al-Mâ`idaħ (5) ayat 90 dan 91. Menurut
mereka, surat al-Baqaraħ (2) ayat 219 merupakan tahap awal pelaranganal-maysir sebagai
dosa besar dan juga mengandung beberapa manfaat bagi manusia. Dengan pendapat
seperti ini, sesungguhnya al-Qurthubiy dan al-Syawkaniy mengikuti alur pikir
bahwa pengharaman juri itu dilakukan secara bertahap, melalui tiga ayat yang
berbeda, bukan sekaligus dalam satu ayat.
Ibn Taymiyyah[35] menegaskan
bahwa dengan turunnya ayat yang mengatakan bahwa judi itu adalah najis dan
termasuk perbuatan setan, maka haramlah segala jenis judi, baik yang dikenal
bangsa Arab pada waktu itu maupun yang tidak mereka kenal. Keharamannya
disepakati oleh semua kaum muslimin, termasuk juga keharaman permainan lain,
baik yang menggunakan taruhan maupun yang tidak memakai taruhan (بعوض
وغير عوض), seperti permainan catur dan
sebagainya, karena lafal maysir mencakup semua jenis permainan
seperti itu.
C. Janis-jenis
Judi
Pada masa jahiliyah
dikenal dua bentuk al-maysir, yaitu al-mukhâtharaħ(المخاطرة) dan al-tajzi`aħ (التجزئة). Dalam bentuk al-mukhâtharaħ perjudian
dilakukan antara dua orang laki-laki atau lebih yang menempatkan harta dan
isteri mereka masing-masing sebagai taruhan dalam suatu permainan. Orang yang
berhasil memenangkan permainan itu berhak mengambil harta dan isteri dari pihak
yang kalah. Harta dan isteri yang sudah menjadi milik pemenang itu dapat
diperlakukannya sekehendak hati. Jika dia menyukai kecantikan perempuan itu,
dia akan mengawininya, namun jika ia tidak menyukainya, perempuan itu
dijadikannya sebagai budak atau gundik. Bentuk ini, seperti disebutkan oleh
al-Jashshash,[36] diriwayatkan
oleh Ibn 'Abbas.
Al-Jashshash[37] juga
menceritakan bahwa sebelum ayat pelarangan judi diturunkan, Abu Bakar juga
pernah mengadakan taruhan dengan orang-orang musyrik Mekkah. Taruhan itu dilakukan
ketika orang-orang musyrik tersebut menertawakan ayat yang menjelaskan bahwa
orang-orang Romawi akan menang setelah mereka mengalami kekalahan
(surat al-Rum ayat 1-6). Padahal pada waktu ayat itu turun, bangsa Romawi
baru saja mengalami kekalahan dalam peperangan menghadapi bangsa Persia
Sasanid. Ketika Nabi mengetahui taruhan yang dilakukan Abu Bakar, beliau
menyuruh Abu Bakar menambah taruhannya (beliau mengatakan: زد
في الخطر). Beberapa tahun kemudian,
ternyata bangsa Romawi mengalami kemenangan dalam perang menghadapi
bangsa Persia, dan Abu Bakar menang dalam taruhan tersebut. Tapi kebolehan
taruhan ini kemudian di-nasakh dengan turunnya ayat yang menegaskan
haramnya permainan judi tersebut dengan segala bentuknya.
Dalam bentuk al-tajzi`aħ,
seperti dikemukakan oleh Imam al-Qurthubiy,[38]permainannya
adalah sebagai berikut: Sebanyak 10 orang laki-laki bermain kartu yang terbuat
dari potongan-potongan kayu (karena pada waktu itu belum ada kertas). Kartu
yang disebut al-azlâm itu berjumlah 10 buah, yaitu al-faz berisi
satu bagian, al-taw'am berisi dua bagian, al-raqib tiga
bagian, al-halis empat bagian, al-nafis lima
bagian, al-musbil enam bagian, dan al-mu'alif tujuh
bagian, yang merupakan bagian terbanyak. Sedang kartu al-safih,
al-manih dan al-waqd merupakan kartu kosong. Jadi
jumlah keseluruhan dari 10 nama kartu itu adalah 28 buah. Kemudian seekor unta
dipotong menjadi 28 bagian, sesuai dengan jumlah isi kartu tersebut.
selanjutnya kartu dengan nama-nama sebanyak 10 buah itu dimasukkan ke dalam
sebuah karung dan diserahkan kepada seseorang yang dapat dipercaya. Kartu itu
kemudian dikocok dan dikeluarkan satu per satu hingga habis. Setiap peserta mengambil
bagian dari daging unta itu sesuai dengan isi atau bagian yang tercantum dalam
kartu yang diperolehnya. Mereka yang mendapatkan kartu kosong, yaitu tiga orang
sesuai dengan jumlah kartu kosong, dinyaatakan sebagai pihak yang kalah dan
merekalah yang harus membayar unta itu. Sedangkan mereka yang menang, sedikit
pun tidak mengambil daging unta hasil kemenangan itu, melainkan seluruhnya
dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Mereka yang menang saling
membanggakan diri dan membawa-bawa serta melibatkan pula suku atau kabilah
mereka masing-masing. Di samping itu, mereka juga mengejek dan menghina pihak
yang kalah dengan menyebut-nyebut dan melibatkan pula kabilah mereka. Tindakan
ini selalu berakhir dengan perselisihan, percekcokan, bahkan saling membunuh
dan peperangan.
Tentang lotre (al-yanatsîb),
Muhamamd Abduh[39] mengemukakan
pendapatnya, dalam kiab Tafsîr al-Manâr juz II dengan
sub-judul al-maysir al-yanatsib (judi lotre),
adalah nama nama bagi kegiatan pengumpulan uang dalam jumlah besar yang
dilakukan oleh pemerintah, yayasan atau organisasi dari ribuan orang. Sebagian
kecil dari uang yang terkumpul itu diberikan kembali kepada beberapa orang,
misalnya mendapat 10%, dan dibagikan melalui cara al-maysir (cara
yang berlaku pada permainan judi), sedang sisanya dikuasai oleh penyelenggara
dan digunakan untuk kepentingan umum. Caranya adalah dengan mencetak kartu atau
kupon yang bentuknya mirip dengan mata uang. Setiap kupon yang disebut
"kupon lotre ini dijual dengan harga tertentu dan diberi nomor dengan
angka-angka tertentu serta dicantumkan pula jumlah uang yang akan diterima oleh
pembelinya, jika ia beruntung.
Penentuan atas
pemenang di antara pembeli kupon dilakukan melalui undian beberapa kali
putaran. Para pembeli yang nomor kuponnya cocok dengan nomor yang
keluar dalam undian itu dinyatakan sebagai pemenang dan berhak mendapatkan
hadian uang sebanyak 10% dari hasil yang terkumpul. Undian ini dilaksanakan
secara periodik, misalnya, sekali dalam sebulan dan waktunya juga sudah
ditentukan. Sedangkan para pembeli kupon yang lain tidak mendapatkan apa-apa.
Cara penetapan pemenang ini, menurut Abduh, mirip sekali dengan cara penarikan
pemenang pada al-maysir bentuk al-tajzî`aħ.
Dalam pandangan
Abduh,[40] al-maysir
al-yanatsib itu dengan jenis-jenis al-maysir yang
lain tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan tidak menghalangi pelakunya
dari perbuatan mengingat Allah dan mendirikan shalat. Para pembeli
kupon lotre itu tidak berkumpul pada satu tempat, tetapi bahkan mereka berada
di tempat-tempat yang berjauhan jaraknya dengan tempat penarikan undian itu.
Untuk mengikuti undian itu, mereka tidak banyak melakukan kegiatan lain yang
menjauhkan mereka dari zikir atau judi meja.Para pembeli yang tidak
beruntung juga tidak mengetahui orang yang memakan hartanya, berbeda dengan
pelaksanaan al-maysir jahiliyah atau judi meja. Akan tetapi,
lanjut Abduh, dalam pelaksanaannya undian lotre ini terdapat akibat-akibat
buruk seperti yang juga yang terdapat pada jenis unduian lainnya. Akibat-akibat
dimaksud antara lain adalah kenyataan bahwa pelaksanaan undian lotre ini merupakan
salah satu cara untuk mendapatkan harta orang lain secara tidak sah, yaitu
tanpa adanya imbalan yang jelas, seperti pertukaran harta itu dengan benda lain
atau dengan suatu jasa. Cara-cara seperti ini diharamkan oleh syarak.
D. Akibat
Perjudian
Dalam surat al-Baqaraħ
(2) ayat 219, Allah SWT menjelaskan bahwa khamar danal-maysir mengandung
dosa besar dan juga beberapa manfaat bagi manusia. akan tetapi dosanya lebih
besar dari manfaatnya. Manfaat yang dimaksud ayat itu, khususnya mengenaial-maysir,
adalah manfaat yang hanya dinikmati oleh pihak yang menang, yaitu beralihnya
kepemilikan sesuatu dari seseorang kepada orang lain tanpa usaha yang sulit.[41] Kalaupun
ada manfaat atau kesenangan lain yang ditimbulkannya, maka itu lebih banyak
bersifat manfaat dan kesenangan semu. Al-Alusiy[42] menyebutkan
beberapa di antaranya, yaitu kesenangan kejiwaan, kegembiraan yang timbul
dengan hilangnya ingatan dari segala kelemahan (aib), ancaman bahaya (الخطرات
المشوشة) dan kesulitan hidup (والهموم
المكدرة).
Pada bentuk
permainan al-mukhâtharaħ, pihak yang menang bisa memperoleh harta
kekayaan yang dijadikan taruhan dengan mudah dan bisa pula menyalurkan nafsu
biologisnya dengan isteri pihak yang kalah yang juga dijadikan sebagai taruhan.
Sedang pada bentuk al-tajzi`aħ, pihak yang menang merasa bangga dan
orang-orang miskin juga bisa menikmati daging unta yang dijadikan taruhan
tersebut. Akan tetapi, al-maysir itu sendiri dipandang sebagai
salah satu di antara dosa-dosa besar yang dilarang oleh agama Islam.
Penegasan yang
dikemukakan pada suat al-Baqaraħ (2) ayat 219 bahwa dosa akibat dari al-maysir lebih
besar daripada manfaatnya memperjelas akibat buruk yang ditimbulkannya. Di
antara dosa atau risiko yang ditimbulkan oleh al-maysir itu
dijelaskan dalam surat al-Mâ`idaħ (5) ayat 90 dan 91. Kedua ayat
tersebut memandang bahwa al-maysir sebagai perbuatan setan
yang wajib dijauhi oleh orang-orang yang beriman. Di samping itu, al-maysir juga
dipergunakan oleh setan sebagai alat untuk menumbuhkan permusuhan dan kebencian
di antara manusia, terutama para pihak yang terlibat, serta menghalangi
konsentrasi pelakunya dari perbuatan mengingat Allah dan menunaikan shalat.
Menurut Ibn Taymiyah,[43] Syari'
melarang riba karena di dalamnya terdapat unsur penganiayaan terhadap orang
lain. Sedang larangan terhadap judi juga didasarkan pada adanya kezaliman dalam
perbuatan tersebut. Riba dan judi diharamkan al-Qur'an karena keduanya
merupakan cara penguasaan atau pengalihan harta dengan cara yang batil (أكل
المال بالباطل). Oleh karena
itu, segala jenis kegiatan mu'amalah yang dilarang Rasulullah SAW, seperti jual
beli gharar, jual beli buahan yang belum sempurna matangnya, dan sebagainya,
bisa termasuk dalam kategori riba dan juga termasuk dalam kategori judi (الميسر; spekulasi).
Lebih lanjut, Ibn
Taymiyyah[44] menjelaskan
bahwa ada dua mafsadaħ yang terdapat di dalam judi,
yaitu mafsadaħ yang berhubungan dengan harta dan mafsadaħ yang
berhubungan dengan perbuatan judi itu sendiri. Mafsadaħ yang
berhubungan dengan harta adalah penguasaan harta orang lain dengan cara yang
batil. Sedang mafsadaħ yang berhubungan dengan perbuatan,
selain tindakan penguasaan itu sendiri, adalah mafsadaħyang
bersifat efek samping yang ditimbulkannya terhadap hati (jiwa) dan akal.
Sementara masing-masing dari kedua mafsadaħ itu memiliki
larangan secara khusus. Secara tersendiri, penguasaan terhadap harta orang lain
dilarang secara mutlak, walaupun tindakan itu dilakukan bukan dengan cara
perjudian, seperti larangan memakan riba. Sedang terhadap tindakan yang
melalaikan dari mengingat Allah dan shalat, serta tindakan yang menimbulkan
permusuhan juga dilarang, walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan cara
menguasai harta orang lain dengan cara yang batil, seperti meminum khamar. Oleh
karena di dalam judi itu terdapat dua mafsadaħ sekaligus, maka
pengharamannya juga lebih kuat dibanding riba dan minum khamar. Oleh karena itu
jugalah pengharaman judi itu lebih dulu dibanding pengharaman riba. Beliau juga
menegaskan bahwa dari berbagai aspeknya, pengharaman judi mencakup unsur-unsur
yang menjadi sebab diharamkannya riba dan meminum khamar (وشمول
الميسر لأنواعه كشمول الخمر والربا لأنواعهما).[45]
Al-Qurthubiy[46] menceritakan
bahwa 'Umar menerapkan hukuman (hadd) dengan cambukan berkali-kali dan
mengasingkan peminum khamar, Muhjan al-Tsaqafiy, yang secara sengaja dan
membangga-banggakan perbuatannya. Padahal Muhjan termasuk salah seorang anggota
pasukan umat Islam yang sangat pemberani. Ia diasingkan 'Umar dan baru
dibolehkan kembali ke Madinah ketika ia sudah tobat dan ia pun ikut dalam
peperangan Qadisiyah. Pada waktu itu ia bersumpah tidak akan meminum khamar
lagi selama-lamanya.
Al-Alusiy[47] menjelaskan
bahwa kemudaratan yang dapat ditimbulkan oleh perjudian antara lain, selain
perbuatan itu sendiri merupakan cara peralihan (memakan) harta dengan cara yang
batil, adalah membuat para pecandunya memiliki kecenderungan untuk mencuri,
menghancurkan harga diri, menyia-nyiakan keluarga (إضاعة العيال), kurang pertimbangan dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang
buruk, berperangai keji (الرذائل الشنيعة),
sangat mudah memusuhi orang lain. Semua perbuatan itu sesungguhnya adalah
kebiasaan-kebiasaan yang sangat tidak disenangi orang-orang yang berfikir
secara sadar (normal), tapi orang yang sudah kecanduan dengan judi tidak
menyadarinya, seolah-olah ia telah menjadi buta dan tuli. Selain itu, perjudian
akan membuat pelakunya suka berangan-angan dengan taruhannya yang mungkin bisa
memberikan keuntungan berlipat ganda.
Kebiasaan suka
berangan-angan atau panjang angan-angan memberikan dampak negatif yang sangat
banyak. Kebiasaan seperti itu sangat dikhawatirkan Nabi terjadi pada
dirinya dan pada umatnya. Pernyataan itu dapat ditemukan dalam hadis beliau
yang berbunyi:
عن
جابر بن عبد الله قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إن أخوف ما أتخوف على
أمتي الهوى و طول الأمل فأما الهوى فيصد عن الحق و أما طول الأمل فينسي الآخرة و
هذه الدنيا مرتحلة ذاهبة و هذه الآخرة مرتحلة قادمة و لكل واحدة منهما بنون فإن
استطعتم أن لا تكونوا من بني الدنيا فافعلوا فإنكم اليوم في دار العمل و لا حساب و
أنتم غدا في دار الحساب و لا عمل(رواه البيهقي)[48]
Dari
Jabir bin Abdillah, ia berkata: "Telah bersabda Rasulullah SAW:
'Sesungguhnya yang aku takutkan terhadap umatku, seperti yang aku takutkan
terhadap diriku, adalah (mengikuti) hawa dan panjang angan-angan. Karena hawa
akan membelokkan dari kebenaran dan panjang angan-angan akan membuat lupa
kepada akhirat. Padahal dunia ini hanyalah tempat (jalan) yang akan
ditinggalkan dan akhirat adalah tempat yang akan didiami selamanya. Kedua
tempat itu akan memiliki anak-anaknya (bani; keturunan). Jika kamu mampu untuk
tidak menjadi bani dunia, lakukanlah. Karena kamu hari ini (di dunia) adalah
perkambpungan untuk beramal, tidak ada hisab. Sedang besok (di akhirat) kamu
akan berada di kampung perhitungan, tidak ada amal di sana". (HR. al-Bayhâqiy).
Pernyataan
kekhawatiran Nabi, khusus tentang panjang angan-angan, dalam hadis itu hanya
diikuti oleh satu alasan, yaitu "akan membuat lupa kepada akhirat".
Namun demikian, para intelektual muslim memberikan penjelasan yang cukup rinci,
dari kacamata psikologis, tentang dampak negatif panjang angan-angan itu.
Menurut al-Fadhil bin 'Iyadh, di samping empat sifat kejiwaan lainnya, panjang
angan-angan merupakan pertanda bahwa si pemiliknya (akan) mengalami hidup susah
(celaka). Hal itu terlihat dari pernyataannya berikut:
خمس
من علامات الشقاء القسوة في القلب و جمود العين و قلة الحياء و الرغية في الدنيا و
طول الأمل[49]
Ada lima pertanda hidup susah, yaitu
hati yang kesat, mata yang kaku (picik), kurang rasa malu, sangat mencintai
dunia, dan panjang angan-angan.
Sedangkan menurut
al-Qasim, panjang angan-angan adalah penyebab dari semua jenis kemaksiatan
manusia. Lengkapnya pernyataan al-Qasim tersebut adalah sebagai berikut:
أصل
المحبة المعرفة وأصل الطاعة التصديق وأصل الخوف المراقية وأصل المعاصي طول الأمل
وحب الرئاسة أصل كل موقعة[50]
Fondasi cinta adalah pengetahuan.
Fondasi taat adalah pembenaran. Fondasi khawf (ketakutan kepada Allah) adalah
pendekatan diri keapda-Nya. Sumber kemaksiatan adalah panjang angan-angan. Dan
kecintaan kepada kekuasaan adalah sumber dari semua bencana (politik)
Al-Ashbihaniy[51] menyebutkan
beberapa dampak lain yang sangat fatal dari sifat panjang angan-angan ini. Di
antaranya adalah mendorong palakunya malas berusaha tapi sangat berharap pada
sesuatu yang dijanjikan, takut kepada makhluk tapi tidak takut kepada Allah,
berlindung kepada Allah dari (aniaya) orang yang ada di atasnya (lebih kuat
atau lebih kuasa) tapi tidak berlindung kepada Allah terhadap orang yang ada di
bawahnya, takut mati tapi tidak berupaya memaknainya, mengharapkan manfaat ilmu
tapi tidak mengamalkannya, sangat yakin pada keburukan (kemudharatan) kebodohan
dan mencela orang yang melakukannya tapi tidak sadar bahwa ia juga sesungguhnya
dalam hal yang sama, selalu melihat orang yang lebih dalam hal harta tapi
melupakan orang yang berkekurangan, takut kepada orang lain karena kesalahan
terbesar yang dilakukannya tapi mengharapkan manfaat dengan amal paling ringan
yang dilakukannya. Masih sangat banyak dampak negatif dari sifat ini, yang
semuanya memberikan kesimpulan bahwa adalah logis kalau Allah dan Rasul-Nya mengharamkan
judi dengan segala jenisnya.
Dengan pertimbangan
rasional saja, karena sedemikian besarnya bahaya yang ditimbulkannya, mestinya
perjudian tersebut sudah harus ditinggalkan dan dinyatakansebagai perbuatan terlarang. Sehubungan
dengan ini, al-Sathibiy[52] menjelaskan
bahwa karena bahaya yang terdapat pada judi (dan khamar) jauh lebih besar
daripada manfaatnya, maka ditinggalkanlah hukum yang sesuai dengan kemaslahatan
dan pekerjaan tersebut hukumnya menjadi haram. Hal itu sejalan dengan kaidah
syar'iyyah yang mengatakan:
أن
المفسدة إذا أربت على المصلحة فالحكم للمفسدة
Jika (dalam satu kasus) kemudaratan
lebih dominant daripada maslahah, maka hukum memihak kepada kemudaratan.
Untuk substansi yang
sama, al-Alusiy[53] mengemukakan
formulasi kaidah yang sedikit berbeda dengan yang dikemukakan oleh al-Sathibiy.
Al-Alusiy mengatakan sebagai berikut:
فإن
المفسدة إذا ترجحت على المصلحة أقتضت تحريم الفعل
Sesungguhnya
apabila mafsadah lebih dominan daripada mashlahaħ, maka perbuatan tersebut
ditetapkan haram hukumnya.
[3] Muhammad
bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubiy (selanjutnya disebut
al-Qurthubiy), al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, (Kairo: Dar
al-Syu'ub, 1372 H), Juz 3, h. 53. Makna yang sama juga dikemukakan oleh
al-Syawkaniy. Lihat dalam: Muhammad bin 'Aliy al-Syawkaniy (selanjutnya disebut al-Syawkaniy I), Fath al-Qadir
al-Jami' Bayn Finay al-Riwayah wa al-Dirayah min 'Ilm al-Tafsir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz 1, h. 220
[4] Abi
'Abd al-Rahmân al-Khalil bin Ahmad al-Farâhîdiy, Kitâb al-'Ayn, (t.tp.: Dâr
al-Maktabaħ al-Hilal, t.th.), Juz 7, h. 255
[5] Muhammad Amin (Ibn 'Abidin), Hasyiyah Radd
al-Mukhtar 'Ala al-Dur al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Fikr, 1386 H), Juz 7, h. 159
[11] Ahmad 'Abd
al-Halim bin Taymiyah al-Haraniy (selanjutya disebut Ibn Taymiyah), Kutub wa
Rasa`il wa Fatawa Ibn Taymiyyah fi al-Fiqh, (t.tp.: Maktabah Ibn Taymiyah, t.th.), Juz 32, h. 242
[12] Permainan ini
diciptakan oleh Azdasyir bin Babik, oleh karena itulah ia diberi nama
Nardasyir. Permainan itu dilakukan dengan menggunakan potongan tulang berbentuk
kubus yang pada tiap sisinya diberi angka. Pada awalnya permainan ini
diantaranya dgunakan untuk menentukan putusan pengadilan. Ptusan terhadap
seseorang ditentukan oleh angka yang keluar dari potongan tulang tersebut.
Setelah dilakukan pengundian dengan dadu itu, semua pihak tidak memiliki hak
untuk membantah atau meminta keringanan dari hukuman yang diwakili oleh tiap
angka dadu tersebut. Lihat dalam: Muhammad Amin (Ibn 'Abidin), op.cit., Juz 7, h. 157
[13] Ahmad bin
al-Husayn bin 'Ali bin Musa Abu Bakar al-Bayhaqiy (selanjutnya disebut
al-Bayhaqiy I), Sunan al-Bayhaqiy al-Kubra, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1993), Juz 10, h. 213
[16] Muhammad bin
'Ali bin Muhammad al-Syawkaniy, Nayl al-Awthar, (Beirut: Dar al-Jil, 1973), Juz 8, h. 258
[17] Muhammad bin
'Abd al-Wahid al-Siwasiy, Syarh Fath al-Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz 4, h. 493
[19] Muhammad bin
Jarir bin Yazid bin Khalid al-Thabariy (selanjutnya disebut al-Thabariy),Jami'
al-Bayan 'an Ta`wil Ay al-Qur'an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H), Juz 2, h.
358
[22] Ibid., Juz 2, h. 362 dan Juz 7, h. 33. Lihat Juga dalam:
Isma'il bin 'Umar bin Katsir al-Dimsyiqiy (selanjutnya disebut Ibn Katsir), Tafsir
al-Qur'an al-'Azhim, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1401 H), Juz 1, h. 256
[23] Abi al-Barakat
'Abdullah bin Ahmad bin Mahmud al-Nasfiy, Tafsir
al-Nasfiy, (t.tp.: t.p., t.th.), Juz 1, h. 105
[25] Sebagai huruf
'athaf, waw berfungsi menunjukkan bahwa sesuatu yang disebutkan sebelumnya
tidak memiliki nilai lebih dibanding yang disebutkan setelahnya. Artinya, dua
hal yang disebutkan sebelum dan sesudahnya memiliki nilai dan derjat yang sama.
Lihat dalam: Abu al-Qasim 'Abd al-Rahman bin Ishaq al-Zujajiy, Kitab Huruf
al-Ma'aniy, (Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 1984), h. 36
[27] Muhammad
al-Alusiy (selanjutnya disebut al-Alusiy), Ruh al-Mu'aniy
fi Tafsir al-Qur'an al-'Azhim wa al-Sab' al-Matsaniy, (Beirut: Dar Ihya' al-Turats al-'Arabiy, t.th.), Juz
2, h. 126
[30] Mahmud bin Umar
bin Muhammad bin Umar al-Khawarizmiy, al-Kasysyaf 'An Haqa`iq al-Tanzil wa
'Uyun al-Aqawil fî Wujuh al-Ta`wil, (t.tp.: tp., t.th.), Juz 1, h. 802
[32] Ahmad bin 'Ali
al-Raziy al-Jashshash (selanjutnya disebut al-Jashshash), al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, (Beirut: Dar Ihya`
al-Turats al-'Arabiy, 1405 H), Juz 2, h. 3
[39] Lihat dalam:
Abdul Aziz Dahlan, (dkk.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Jilid
3, 1055
[48] Abu Bakar Ahmad bin al-Husayn al-Bayhâqiy
(selanjutnya disebut al-Bayhâqiy II), Syu'b al-Îmân, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1410 H), Juz 7, h. 270. Menurut Abi Syaybah, ini bukan
perkataan Nabi, tapi adalah perkataan Ali bin Abi Thalib. Lihat dalam: Abdullah
bin Muhammad bin Abi Syaybah al-Kufiy, al-Mushnaf fî
al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1409 H), Juz 7, h.
100
[50] Ahmad bin Abdillah al-Ashbihaniy, Hulyaħ al-Awliyâ` wa
Thabaqât al-Ashfiyâ`,
(Beirut: Dâr al-Kitâb al-'Arabiy, 1405 H), Juz 9, h. 323
[52] Ibrahim bin Musa
al-Khimiy Abi Ishaq al-Sathibiy, al-Muwafaqat fi Ushul
al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, t.th.), Juz 1, h. 174
Agen Slot
BalasHapusAgen Slot Terbaru
Movie Sub Indo
Agen Slot
BalasHapusAgen Slot Terbaru
Movie Sub Indo
Ayo Bermain Dan Bergabung Bersama STADIUM4D !!
BalasHapusBandar Betting Online Terbesar Dan Terpercaya No.1 !
Proses Transaksi Deposit Dan Withdraw Tercepat !!
Menang Berapapun Di bayarkan !!
Tersedia Berbagai Promo Menarik Yang Berlaku Saat ini !!
Promo Yang berlaku Di www.stadium4D.net:
HOT PROMO :
💰 Bonus New Member 100%
💰 Bonus Deposit 10%
💰 Bonus Cashback Tembak Ikan 5%
💰 Bonus Rollingan Slot 0.5%
💰 Bonus Refferal Togel 1%
CONTACT US :
✅ Whatsapp : 081316267372
✅ Fanspage :https://www.facebook.com/stadium4d
✅ Instagram :@Stadium4D
✅ Twitter :@Stadium4D
✅ Link resmi :Https://www.Stadium4D.net
Kami tunggu kedatangannya dan Join bersama kami .