TATA
CARA PEMBAGIAN WARISAN
OLEH : GURU AGAMA ISLAM
SMAN 1 GALANG DELI SERDANG
DRS.HM.SAKTI RANGKUTI,MA
HIBAH
1) Pengertian
dan Dasar Hukum Hibah
Kata hibah berasal dari
kata “hubuubur riih” yang berarti “muruuhad” yang berarti perjalanan angin.[1]
Sedangkan
menurut istilah, hibbah berarti akad pemberian harta milik seseorang kapada
orang lain pada saat ia masih hidup tanpa adanya imbalan.[2] Sedangkan
makna umumnya, hibbah adalah :
a. ibraa : menghibbahkan utang kepada orang yang berutang
b. sedekah:
menghibahkan sesuatu dengan harapan pahala di akhirat
c. hadiah : menuntut orang yang diberi hibah untuk memberi imbalan.
Dari pengertian diatas,
dapat kita simpulkan bahwa hibah adalah: pemberian seseorang kepada orang lain,
yang mana pemberian itu diberikan ketika dia masih hidup tanpa mengharapkan apa
serta hak kepemilikan jatuh pada waktu itu juga.
Adapun dasar hukum hibah
adalah hadits nabi yang berbunyi:
من جاءه من أخيه معروف من غير إشراف ولا مسأللة ولا يرده فانما هو
رزق ساقه الله اليه
Artinya: barang siapa
yang mendapatkan kebaikan dari saudaranya bukan karena mengaharpkan dna
meninta-minta, maka hendaklah ia menerima dan tidak menolaknya kerena merupakan
rezeki yang diberikan Allah kepadanya.
2) Perbedaan
dan Persamaan Hibah Dengan Wasiat, Hadiah, Shadagah Dan Nafkah
Persamaan
antara wasiat dengan hadiah, shadaqah dan nafkah adalah sama-sama pemberian
seseorang kepada orang lain, sedangkan perbedaan nya adalah:
Ø Wasiat
merupakan pemberian seseorang kepada orang lain, yang mana peralihan hak dari
si pemberi kepada orang yang diberi terjadi setelah si pemberi meninggal dunia
Ø Hadiah
merupakan pemberian yang dilakukan seseorang untuk mengharapkan pujian dari
orang banyak dan dalam moment tertentu.
Ø Shadaqah
adalah pemberian yang dilakukan semata-mata mengharapkan redha dari Allah
Ø Nafaqah
adalah pemberian suami kepada istri untuk kebutuhan rumah tangga.
3) Rukun
Hibah
Hibah sah jika ada ijab dan qabul dalam bentuk apa pun selagi
pemberian harta tersebut tanpa mengharapkan imbalan. contoh : seorang penghibah
berkata: aku hibahkan kepadamu…” dan orang lain berkata “ ya, aku terima”.
Namun para ulama juga berbeda pendapat dalam qabul dalam hibah , adapun
pendapat ulama adalah:
a. Mazhab
Syafii dan Malik berpendapat bahwa qabul dalam hibah harus ada.
b. Mazhab
Hanafi berpendapat bahwa ijab sudah cukup dalam hibah
c. Mazhab
Hambali berpendapat bahwa dalam hibah tidak disyaratkan adanya ijab dan qabul
4) Syarat
Hibah
Hibah mengharuskan adanya pihak pemberi hibah, barang yang
dihibahkan dan orang yang menerima hibah, adapun syarat-syaratnya adalah:
a. Syarat-Syarat
Pemberi Hibah
Adapun syarat pemberi hibah adalah sebagai berikut:
Ø Pemberi
hibah memiliki barang yang dihibahkan
Ø Pemberi
hibah bukan orang yang dibatasi haknya
Ø Pemberi
hibah adalah orang yang telah baligh
Ø Pemberi
hibah bukanlah orang yang dipaksa, sebab aqad hibah mensyaratkan keridaan
b. Syarat-Syarat
Penerima Hibah
Adapun syarat si penerima
hibah ialah hadir pada saat pemberian hibah, apabila tidak ada atau diperkiraan
ada, misalnya janin maka hibah tidak sah.
Apabila penerima hibah
ada pada saat pemberian hibah, tetapi masih kecil atau gila, maka hibah itu
diambil oleh walinya untuk dipelihara sampai ia baligh atau sembuh dari sakit.
c. Syarat-Syarat
barang yang dihibahkan
Ø Benar-benar
ada wujudnya
Ø Benda-benda
tersebut bernilai
Ø Barang
tersebut dapat dimiliki zatnya
Ø Barang
tersebut bukan milik umum
WASIAT
1) Pengertian
dan Dasar Hukum Wasiat
Wasiat
menurut bahawa artinya “ menyambungkan”, yang mana berasal dari kata wahasy syai-a bikadza, artinya
“ dia menyambungkannya”. Maksudnya adalah orang berwasiat adalah orang
yang menyambungkan kebaikan dunianya dengan kebaikan akhirat. [3]
Sedangkan
menurut syara’, wasiat adalah mendermakan suatu hak yang pelaksanaanya
dikaitkan sesudah orang yang bersangkutan meninggal dunia.[4]
Dari
pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa wasiat merupakan amanah yang
diberikan oleh seseorang kepada orang lain, yang amanah tersebut dilaksanakan
setelah ia wafat. Amanah tersebut dapat berupa barang, utang, piutang, nasihat
atau petunjuk-petunjuk lainnya. Jadi wasiat orang meninggal merupakan amanah
yang harus atau wajib dikerjakan bagi yang menerima wasiat.
Adapun
dasar hukum wasiat adalah Q.S Al-Baqarah (2): 180
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu
menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu)
disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang
berlainan agama dengan kamu[454], jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi
lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah
sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah,
jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah
ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat,
dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau
demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa."
Dari ayat tersebut, Allah membolehkan seseorang untuk berwasiat,
dan dalam berwasiat hendaklah disaksikan oleh dua orang saksi yang adil dan
dapat dipercaya. Sedangkan syarat orang yang akan menjalankan wasiat
adalah:
a. Beragama
islam
b. Sudah
baligh
c. Orang
yang berakal
d. Orang
yang merdeka
e. Amanah
atau dapat dipercaya. Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang dikehendaki oleh
orang yang berwasiat.[5]
Dalam
berwasiat, sebaiknya tidak melebihi dari sepertiga harta yang ditinggalkan,
karena jika melebihi harta yang ditinggalkan maka ditakutkan ahli waris tidak
mendapatkan haknya.
Namun,
jika wasiat pewaris yang melebihi sepertiga harta, maka jalan penyelesaainnya
adalah:
a. Dikurangi
sampai batas sepertiga harta
b. Diminta
kesediaan semua ahli waris pada saat itu, apakah mereka bersedia mengiklaskan
atau meredhakan kelebihan wasiat atas sepertiga harta peninggalan itu, maka
halal pemberian wasiat melebihi sepertiga harta.[6]
Dan
perlu diketahui bahwa wasiat yang berbentuk harta tidak boleh diberikan kepada
ahli waris karena mereka telah memiliki hak mereka di dalam harta tersebut, hal
ini berdasarkan hadits rasul yang artinya:
“ Diriwayatkan oleh al-Maghazi bahwa rasulullah saw telah bersabda
pada waktu penaklukan Kota Mekah, “ Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
2) Hukum
Wasiat
a. Wasiat
hukumnya wajib jika pewasiat memiliki kewajiban syara’ seperti bernadzar akan
naik haji, kewajiban zakat yang belum dibayar.
b. Wasiat
sunat jika digunnakan untuk kebajikan,
c. Wasiat
haram jika merugikan pewaris, misalnya menyuruh pewaris membunuh, membalas
dendam, membangun gereja
d. Wasiat
makruh jika orang tersebut memiliki harta yang sedikit sedangkan ahli warisnya
banyak dan sangat membutuhkan harta tersebut
3) Rukun
dan Syarat Wasiat
Adapun rukun wasiat
adalah:
a. Ada orang berwasiat, yakni orangnya mukallaf yang berhak berbuat kebaikan
serta berwasiat atas kehendak sendiri bukan paksaan
b. Ada yang menerima wasiat, adapun syarat penerima wasiat adalah:
Ø Bukan
ahli waris si pemberi wasiat
Ø Dari
kalangan hanafi berpendapat bahwa si penerima wasiat harus hadir pada waktu
wasiat dilaksanakan
Ø Penerima
wasiat tidak membunuh si pemberi wasiat.
c. Sesuatu
yang diwasiatkan dapat berpindah hak kepemilikannya
4) Batalnya
Wasiat
Suatu wasiat itu menjadi
batal dengan hilangnya salah satu syarat sebagai berikut yaitu:
a. Jika
pemberi wasiat menderita penyakit gila yang parah yang daptat membawa kepad
kematian
b. Jika
penerima wasiat mati sebelum pemberi wasiat
c. Jika
sesuatu yang diwasiatkan tersebut barang tertentu yang menjadi rusak sebelum diterima
oleh si penerima wasiat.[9]
C. AUL
1) Pengertian
Aul
Al- ‘aul dalam bahasa
arab berarti
- zalim dan menyeleweng ,
seperti Q.S An-Nisa’ ayat 3
......ذلك
ادني الا تعولوا
….yang demikian itu
adalah lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim. (an- nisak: 3)
- naik
atau irtifa’ conto ‘ala
al-ma-u artinya
apabila air telah naik
- al-ziyadah (tambahan), seperti kalimat “’ala al-mizan” yang
artinya apabila salah satu daun neraca bertambah.[10]
Sedangkan
menurut istilah, aul berarti bertambahnya jumlah harta waris dari yang telah
ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris. Hal ini terjadi ketika
makin banyaknya ashabul
furudh sehingga
harta yang dibagikan habis, padahal mereka ada yang belum menerima bagian.
Contoh:
seorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, dua orang ibu dan bapak
dan dua orang anak perempuan, maka kita hitung bagian mereka masing-masing
yaitu:
Ahli
Waris
|
Bagian
yang diperolah
|
|
Istri
|
1/8
|
3/24
|
Ibu
|
1/6
|
4/24
|
Ayah
|
1/6
|
4/24
|
2
orang anak perempuan
|
2/3
|
16/24
|
27/24
|
Dari
tersebut dapat diketahui bahwasannya jumlah bagian ahli waris adalah 27/24
sedangkan harta 24/24 =1, maka mengalami kekurangan 3/24. Untuk harus
diadakan Aul atau pengurangan bagian-bagian ahli waris tadi secara berimbang.
2) Cara
menyelesaikan Aul
Dalam
menyelesaikan masalah Aul dalam pembagian harta warisan, maka ada dua
pendapat ulama yaitu:
a. Madzhab
yang empat mengatakan bahwa kekurangan atau ketekoran harta warisan harus
dipikul bersama-sama oleh seluruh Ahli waris, yaitu pengurangan bagian
masing-masing ahli waris yang mendapatkan warisan. Contoh penyelesaian aul pada
contoh diatas:
Ahli
waris
|
Bagian
yang diperoleh
|
Penyelesaainnya
|
Istri
|
1/8=3/24
|
3/27
|
Ibu
|
1/6=4/24
|
4/27
|
Bapak
|
1/6=4/24
|
4/27
|
2orang
anak perempuan
|
2/3=
16/24
|
16/27
|
Total
|
27/27
|
Dari
tabel diatas, dapat dilihat bahwasannya dalam penyelesaian aul maka dikurangi
bagian seluruh ahli waris, contoh istri yang semula mendapatkan bagian 3/24
menjadi 3/27.
Adapun
argumen yang menjadi pendukung oleh madzhab yang empat terhadap adanya ‘aul dan
dimasukkan kekurangan itu pada bagian semua pihak adalah riwayat yang
menyatakan bahwa pada masa khalifah umar bin Khatab, ada seorang wanita yang
mati dengan meninggalkan suami dan dua orang saudara perempuan seayah. Dalam
hal tersebut terjadi ketekoran dalam harta warisan, sehingga umar
memusyawarahkan dengan masyarakat dalam penyelesaian hal tersebut, dan akhirnya
beliau memutuskan untuk mengurangi pembagian semua ahli waris. Jadi, umar lah
orang yang pertama melakukan pembagian waris dengan menggunakan Aul.
b. Mazhab
Immamiyah berpendapat bahwa tidak ‘aul sehingga bagian mereka disesuaikan
kepada ketentuan semula, yakni 24 bagian. Kekuranganya di bebankan kepada bagian
2 orang anak perempuan. Dengan demikian, istri mendapatkan 1/8, ayah = 1/6, ibu
= 1/6 dan sisanya diberikan kepada anak perempuan (jika ada saudara perempuan,
sisanya diberikan kepada mereka).
Hal ini
disebabkan karena anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan hanya
mempunyai satu bagian fardh., dan mereka tidak akan pernah mengalami bagian
yang turun dari yang tinggi kepada yang rendah. Mereka menerima bagian secara
fardh bila tidak ada laki-laki yang menyertai mereka dalam berbagi waris, sedangkan
bila ada seorang laki-laki, mereka menerima bagian qarabah, secara kekerabatan
. jika mereka sendirian, bagian yang diterima kadang-kadang kecil.
c. Pokok-pokok
masalah yang dapat dan tidak dapat di aulkan
Pokok masalah yang ada di
dalam ilmu waris ada tujuh, yakni tiga diantaranya dapat diaulkan sedangkan
yang lainnya tidak dapat di aulkan.
Ø Adapun
pokok masalah yang dapat di aulkan adalah 6, 12, 24, contoh:
Contoh: seorang
laki-laki mati meninggalkan istri, dua orang saudara perempuan sekandung dan
ibu, maka bagian mereka adalah:
Ahli
waris
|
Bagian
|
|
Istri
|
¼
|
3/12
|
2
anak perempuan
|
2/3
|
8/12
|
Ibu
|
1/6
|
2/12
|
13/12
|
Dari tabel tersebut,
terlihat bahwa pokok masalah adalah 12 dan terjadi ketekoran pada harta warisan
yakni 1/12 , untuk itu penyelesaainnya adalah diubahnya pokok masalah dari 12
menjadi 13
Ø Sedangkan
pokok masalah yang tidak dapat di aulkan adalah 2,3,4, dan 8, contoh: seorang
mati meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiaanya adalah ibu mendapat sepertiga
bagian dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh tersebut, pokok masalahnya
tiga, jadi ibu mendapat satu bagian dan ayah mendapat dua bagian.
RAD
1) Pengertian
Rad
Ar-Rad
menurut bahasa artinya kembali atau juga bermakna “ berpaling” seperti terdapat
dalam Al- Qur’an surat Al-Kahfi ayat 212.
Sedangkan
menurut istilah rad adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah
bagian ashabullfurudh. Ar-Radd merupakan kebalikan dari al-aul. contoh
seorang meninggal dunia dan meninggal satu anak perempuan dan ibu, maka
perhitunggannya adalah : ibu mendapatkan 1/6 sedangkan anak perempuan 1/2 , dan
jika dijumlahkan makan 1/6 + ½ = 1/6+ 3/6 = 4/6. sedangkan jumlah harta 6/6 =1.
jadi terdapat kelebihan harta 2/6 atau 1/3 yang disebut sisa bagi.
Dari
contoh diatas, dapat kita ketahui bahwa masalah rad ini terjadi Sedangkan
menurut istilah rad adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah
bagian ashabullfurudh.[11]
2) Rukun
Rad
Rad tidak akan terjadi
kecuali tiga rukun ini terpenuhi yaitu:
a. Adanya
pemilik fardh (shahibul fardh)
b. Sisa
bagian peninggalan
3) Ahli
Waris Yang Berhak Mendapat Ar- Radd
Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashabul furudh,
kecuali suami istri.
Adapun
ashabulfurudh yang menerima Ar-Radd adalah:
a. Anak
perempuan
b. Cucu
perempuan dari keturuanan laki-laki
c. Saudara
kandung perempuan
d. Ibu
kandung
e. Saudara
perempuan seayah
f. Nenek
shahih (ibu dari bapak)
g. Saudara
perempuan seibu
4) Cara
pembagian sisa bagi
Dalam pembagian sisa bagi
, ada beberapa pendapat ulama yaitu:
a. Sisa
bagi dibagikan kepada semua orang yang berhak, yang telah ditentukan bagiannya.
Contoh: seseorang
meninggal dunia, maka meninggalkan ibu, seorang anak perempuan dan seorang
janda . maka pembagiannya adalah: ibu mendapatkan 1/6=4/24, janda: 1/8= 3/24dan
anak perempuan: ½ = 12/24, jika dijumlahkan maka 4/24+12/24+3/24= 19/24.
Jadi terdapat sisa bagi
24/24-19/24= 5/24
Maka cara pembagiaanya,
dibagikan kepada seluruh pihak yang mendapatkan warisan secara berimbang:
Ø ibu
mendapat tambahan: 4/19x 5/24= 20/456
Ø janda
mendapatkan tambahan : 3/19x5/24 = 15/456
Ø anak
perempuan mendapatkan tambahan: 12/19x5/24= 60/456
jadi
warisan yang mereka terima adalah:
Ø ibu :
1/6+ 20/456= 76/456+20/456= 96/456
Ø janda:
1/8+ 15/456= 57/456+ 15/456= 72/456
Ø anak
perempuan: ½+ 60/456= 228/456+60/456= 288/456
jadi
jika dijumlahkan 96/456 + 72/456 + 288/456= 456/456=1
b. Pendapat
lain mengatakan bahwa janda dan suami tidak berhak mendapatkan rat, walaupun
mereka adalah ahli waris yang disebabkan dzulfaraid.
Hal ini
disebabkan karena kekerabatan mereka keduaanya bukanlah nasab, tetapi
karena kekerabatan sababiyah (karena sabab yaitu perkawinan.) kekerabatan itu
akan putus karena kematian maka mereka tidak berhak mendapatkan rad.
Contoh,
seseorang meninggal dunia, maka meninggalkan ibu, seorang anak perempuan dan
seorang janda.
Maka
ibu mendapatkan 1/6= 4/24, janda: 1/8= 3/24dan anak perempuan ½= 12/24 .setelah
dihitung ternyata terdapat sisa bagi 5/24. maka sisa ini, harus dibagikan
kepada ibu dan anak perempua, dengan artian istri atau janda tidak mendapatkan
sisa bagi, maka caranya adalah: ibu : anak perempuan= 4:12, maka dijumlahkan 4+12=16
Maka
tambahan yang didapat adalah:
Ibu =
4/16 x 5/24 =20/384 =5/96
Anak=
12/16 x 5/24= 60/384=5/32
Jadi
warisan yang didapat oleh ahli waris adalah
Ibu =
4/24+ 5/96 = 16/96 +
5/96
= 21/96
Anak
perempuan = 12/24 + 5/32= 48/96+ 15/96= 63/96
Janda
=
3/24
= 12/96+
96/96
c. Pendapat
lain (menurut sebagian penganut ajaran Syafiiyah)
Para ulama ini mengatakan bahwa sisa bagi harus diberikan kepada
baitul mal, dengan syarat baitul mal tersebut pengelolaannya teratur dengan
baik, namun jika ada baitul mal tetapi pengelolaannnya tidak teratur maka sisa
bagi baru dibagikan kepada dzulfaraid.
KESIMPULAN
Tata cara pembagian
warisan ada empat yaitu:
1. Hibah
Hibah adalah pemberian
seseorang kepada orang lain, yang mana pemberian itu diberikan ketika dia masih
hidup tanpa mengharapkan apa serta hak kepemilikan jatuh pada waktu itu
juga.
2. Wasiat
Wasiat
merupakan amanah yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, yang amanah
tersebut dilaksanakan setelah ia wafat. Amanah tersebut dapat berupa barang,
utang, piutang, nasihat atau petunjuk-petunjuk lainnya. Jadi wasiat orang
meninggal merupakan amanah yang harus atau wajib dikerjakan bagi yang menerima
wasiat.
3. Aul
Aul
adalah bertambahnya pokok masalah dan berkurangnya bagian para ahli waris atau
ashabullfurudh. Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashabul furudh sehingga
harta yang dibagikan habis, padahal mereka ada yang belum menerima bagian.
4. Rad
Rad adalah
berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashabullfurudh.
Masalah rad ini terjadi Sedangkan menurut istilah rad adalah berkurangnya pokok
masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashabullfurudh
[12] Muhammad Ali Ash- Shabuni, Pembagian
Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1996), hal.105
Tidak ada komentar:
Posting Komentar