SEMBILAN POKOK AJARAN
SYEKH SITI JENAR
MASIH RELEVANKAH AJARAN SYEKH
SITI JENAR DEWASA INI?
Oleh: Ir. Achmad Chodjim, MM
Oleh: Ir. Achmad Chodjim, MM
EDITOR : DRS.HM.SAKTI
RANGKUTI,MA.
11 PEBRUARI 2013
Tema seminar/sarasehan
budaya hari ini adalah agama ageming aji, yaitu agama sebagai nilai-nilai luhur
yang menjadi landasan hidup bangsa Indonesia, sesuai dengan sila pertama pada
Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama dalam bingkai ageming aji bukanlah
agama dalam arti golongan atau agama sebagai organisasi (organized religion),
tetapi agama sebagai basis moralitas dan perilaku manusia.
Agama dalam arti ini
pernah menjadi polemik dan perang wacana di Kepulauan Nusantara –karena
Indonesia belum lahir– dan tepatnya di P. Jawa pada pertengahan abad ke-15
hingga pertengahan abad ke-16.
Tokoh sentral dalam
polemik dan perang wacana pada masa itu adalah Syekh Siti Jenar atau dikenal
dengan nama Syekh Lemah Abang. Dia seorang guru dan pelaku spiritual yang
mengajarkan agama sebagai jalan hidup dan bukan sebagai kepercayaan. Meskipun
Syekh seorang muslim, tetapi ajarannya menarik berbagai pemeluk agama dan
kepercayaan yang ada waktu itu. Mereka yang belajar dan menjadi murid Syekh
berasal dari berbagai kalangan, baik kalangan elite –yaitu para adipati– maupun
rakyat biasa. Mereka berasal dari pemeluk Hindu, Biddha, Syiwa-Buddha, Islam,
dan pemeluk kepercayaan yang berkembang di Jawa waktu itu.
Foto bersama Saudara dari PU, SI, BECEKA, Gantharwa, dan praktisi spiritual yang lain di kediaman Ahcmad Chodjim 210509.
Apa yang diajarkan
oleh Syekh Siti Jenar sehingga daya tarik ajarannya luar biasa dan menyebabkan
penguasa Kesultanan Demak Bintara kegerahan waktu itu? Yang diajarkan
sebenarnya bukanlah hal yang asing bagi mereka yang hidup di Kep. Nusantara
waktu itu. Yang diajarkan adalah paham MKG (Manunggaling Kawula Gusti), yaitu
satunya hamba dengan Tuhan. Paham ini sudah ada di agama Hindu dan Buddha yang
sebelum berdirinya Kesultanan Demak, dipeluk oleh mayoritas penduduk Nusantara.
Paham ini diikuti oleh kalangan sufi dalam agama Islam. Bahkan, mereka yang
dikenal sebagai anggota Walisanga juga berpaham MKG. Padahal, berdasarkan
sejarah Walisanga yang bergelar sunan itu adalah pendukung dan penasehat Sultan
Demak di zaman itu.
Meskipun Walisanga dan
Syekh Siti Jenar sepaham, tetapi pada tataran implementasinya dalam kehidupan
berbeda. Bagi Siti Jenar, MKG merupakan landasan, jalan dan alat untuk
menjadikan manusia merdeka sejati. MKG menggerakkan manusia untuk menjadi
dirinya sendiri, menjadikan manusia yang memiliki kepribadian. Inilah inti dari
MKG yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Tentu pikiran semacam ini melompat
terlalu jauh ke depan pada zamannya. Jangankan pada masa 500 tahun yang lalu,
dewasa ini saja sebagian besar orang tidak hidup sebagai pribadi, tetapi hidup
berdasarkan pikiran orang lain.i Sedangkan MKG yang diajarkan oleh Walisanga
lebih bersifat teoritis, dan tidak memberikan implikasi nyata dalam kehidupan
masyarakat.
Ajaran MKG Siti Jenar
mendobrak feodalisme yang tumbuh subur pada masa itu, sedangkan Walisanga
justru melanggengkan sistem feodalisme. Syekh membangkitkan kesetaraan antara
kawula (rakyat) dengan rajanya (Gusti). Walisanga melestarikan sistem rakyat
menyembah raja. Syekh membebaskan orang dari belenggu ketakhayulan dan pikiran
picik, sedangkan Walisanga malah menjadikan agama dan kepercayaan sebagai alat
kekuasaan.
Puncak pertarungan
paham berakhir ketika Sultan Patah memerintahkan Walisanga untuk menghentikan
kegiatan mengajar Syekh dan pengikutnya dihancurkan. Untung tak dapat diraih
malang tak dapat ditolak, kata peribahasa. Ajaran Syekh Siti Jenar dipadamkan
–meski demikian, ajaran SSJ tetap berjalan dan disampaikan secara
sembunyi-sembunyi. Rakyat patuh kepada raja secara pasif, sedangkan kalangan
elite berebut kekuasaan. Akibatnya, umur kerajaan tak ada yang panjang, Demak
jatuh disusul dengan berdirinya Pajang, dan dalam satu generasi saja Pajang
hilang dan muncul Mataram.
Karena rakyat bodoh
dan elite kerajaan berebut kekuasaan, maka Mataram hanya dalam kurun waktu 50
tahun berdiri sudah goyah karena adanya infiltrasi VOC, yang akhirnya Mataram
menjadi negara taklukan VOC. Hal ini saya sampaikan dalam seminar/sarasehan ini
agar dapat menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Dengan memperhatikan
kembali ajaran Syekh Siti Jenar kita akan dididik untuk menjadi manusia
merdeka, sehingga siap untuk menahan gangguan dan ancaman asing agar bangsa
Indonesia tidak terus-menerus terjajah oleh negara lain dalam segala bentuknya.
Sembilan Ajaran Pokok
Syekh Siti Jenar
Sebagaimana dituturkan
di atas, manusia hidup di atas bangunan opini atau pendapat orang lain. Pada
umumnya manusia tidak mengetahui hakikat hidupnya sendiri, dan tidak mengetahui
dengan pasti apa yang akan terjadi pada dirinya. Pikiran sebagian besar orang
merupakan pendapat orang lain, sehingga kita berbicara menggunakan bahasa orang
lain. Mereka yang berpengaruhlah yang telah menanamkan pengaruhnya yang berupa
bahasa, perilaku, pendapat, dan sebagainya untuk membangun identitas tunggal.
Adalah Kierkegaard
–seorang filosof Barat– yang menyatakan bahwa sekelompok besar orang selalu
menghilangkan identitas pribadi. Oleh karena itu, sebagian besar orang yang
beragama (memeluk agama resmi) biasa melakukan ritual dan menjalankan apa yang
biasa dilakukan atau diharapkan oleh orang lain, tanpa penghayatan pribadi apa
yang dilakukankannya. Kebanyakan orang hidup dalam kedangkalan dan formalisme
kosong, dan demikianlah yang terjadi sehingga seluruh generasi terjebak
dipinggiran akal budi yang berlumpur. Inilah yang menyebabkan roda kemajuan
berhenti berputar.[i]
Pendapat sebagai hasil
olah pikir manusia berkembang terus, dan bila pemikiran seseorang, suatu
golongan atau bangsa mandek, maka ia akan terlindas oleh perubahan yang terjadi
di dunia ini. Bangsa yang pemikirannya terlindas atau tertinggal akan menemui
banyak masalah dalam hidupnya, dan kenyataan itu bisa kita saksikan dewasa ini.
Perhatikanlah apa yang terjadi pada negara-negara tidak maju atau sedang
berkembang! Kemiskinan, kebodohan, mutu kesehatan yang rendah, serta rusaknya
lingkungan hidup merupakan bukti mandeknya pemikiran.
Tanpa berpikir manusia
tidaklah sama dengan hewan, tetapi malah lebih buruk daripada kehidupan hewan.
Bila hewan lapar, maka secara naluri akan tertuntun menuju sumber makanan, tetapi
tanpa berpikir untuk mencari makan manusia akan mengalami kematian. Oleh karena
itu, manusia berandai-andai, dan perlu berasumsi. Manusia berusaha menggunakan
akal-pikirannya untuk menciptakan nilai tambah pada segala sesuatu yang ada di
sekitarnya. Berbagai benda diberi nilai atau “aji” sesuai dengan tingkat
kelangkaannya.
Pendapat apabila sudah
diterima oleh suatu kelompok orang maka akan menjadi kebenaran bagi kelompok
itu. Meskipun kitab-kitab suci dalam berbagai agama dikategorikan sebagai wahyu
dan bukan pendapat, tetapi dalam implementasinya tetap menggunakan olah pikir
alias pendapat. Dan, pendapat tentunya dimaksudkan untuk menyamankan,
memudahkan, dan menimbulkan kesejahteraan umat. Itulah pendapat yang
diperlukan!
Jadi, bukan kebenaran
hakiki atau kebenaran harfiah suatu pendapat yang perlu diperhatikan. Yang
perlu diperhatikan adalah apakah pendapat itu bisa digunakan untuk menimbulkan
kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manusia, minimal bagi mereka yang
meyakini pendapat itu. Dan, yang perlu kita tolak adalah pendapat yang
menimbulkan kezaliman, kesengsaraan dan kriminalitas bagi manusia.
Nah, ajaran pokok
yang pertama dari Syekh Siti Jenar
adalah tidak mengabsolutkan pendapat. Pendapat boleh diperdebatkan, akan tetapi
pendapat tidak untuk melindas pendapat orang lain. Munculnya berbagai mazhab
dalam berbagai agama di dunia membuktikan bahwa ajaran agama pasca pendirinya
sebenarnya merupakan pendapat yang dikembangkan dari ajaran asal agama itu.
Jadi, kebenaran pendapat adalah kebenaran yang dibangun atas akseptabilitas
masyarakat atau komunitas tempat pendapat itu berkembang.
Ajaran pokok yang kedua adalah menjadi manusia
hakiki, yaitu manusia yang merupakan perwujudan dari hak, kemandirian, dan
kodrat.
Hak. Kebanyakan kita berpendapat bahwa kita harus mendahulukan kewajiban daripada hak. Perhatikanlah para pejabat kita selalu menuntut rakyat untuk menjalankan kewajibannya dulu sebelum mendapatkan haknya. Warga dituntut membayar pajak, mematuhi undang-undang dan peraturan yang ditentukan oleh para elite politik, dan melaksanakan berbagai macam kepatuhan. Menurut Syekh Siti Jenar, harus ada hak hidup lebih dulu. Inilah kebenaran! Tak ada kewajiban apa pun yang bisa diberikan kepada seorang bayi yang baru dilahirkan. Oleh karena itu, begitu seorang bayi manusia dilahirkan semua hak-haknya sebagai manusia harus dipenuhi terlebih dahulu.
Tidak peduli ia dilahirkan di keluarga kaya atau miskin, hak memperoleh pengasuhan, perawatan, penjagaan, perlindungan, dan mendapatkan pendidikan harus dipenuhi. Hak-hak tersebut dipenuhi agar ia menjadi manusia yang dapat menjalankan kewajibannya sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan negara. Dengan cara itu akhirnya ia menjadi manusia hakiki, manusia sebenarnya yang dapat berkiprah dalam kehidupan nyata, baik sebagai pribadi maupun warga sebuah negara. Salah satu unsur untuk menjadi manusia yang hidup merdeka terpenuhi.
Kemandirian. Pemenuhan hak dan kewajiban barulah tahap awal untuk menjadi manusia hakiki. Tahap berikutnya adalah mendidik, mengajar, dan melatihnya agar bisa menjadi manusia yang hidup mandiri. Ia harus diarahkan agar mampu hidup yang tidak tergantung pada orang lain. Dengan demikian, kehidupan mandiri akan tercapai bila terjadi kesalingtergantunga n antar anggota masyarakat dan sekaligus kemerdekaan (interdependence and independence) .
Hak. Kebanyakan kita berpendapat bahwa kita harus mendahulukan kewajiban daripada hak. Perhatikanlah para pejabat kita selalu menuntut rakyat untuk menjalankan kewajibannya dulu sebelum mendapatkan haknya. Warga dituntut membayar pajak, mematuhi undang-undang dan peraturan yang ditentukan oleh para elite politik, dan melaksanakan berbagai macam kepatuhan. Menurut Syekh Siti Jenar, harus ada hak hidup lebih dulu. Inilah kebenaran! Tak ada kewajiban apa pun yang bisa diberikan kepada seorang bayi yang baru dilahirkan. Oleh karena itu, begitu seorang bayi manusia dilahirkan semua hak-haknya sebagai manusia harus dipenuhi terlebih dahulu.
Tidak peduli ia dilahirkan di keluarga kaya atau miskin, hak memperoleh pengasuhan, perawatan, penjagaan, perlindungan, dan mendapatkan pendidikan harus dipenuhi. Hak-hak tersebut dipenuhi agar ia menjadi manusia yang dapat menjalankan kewajibannya sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan negara. Dengan cara itu akhirnya ia menjadi manusia hakiki, manusia sebenarnya yang dapat berkiprah dalam kehidupan nyata, baik sebagai pribadi maupun warga sebuah negara. Salah satu unsur untuk menjadi manusia yang hidup merdeka terpenuhi.
Kemandirian. Pemenuhan hak dan kewajiban barulah tahap awal untuk menjadi manusia hakiki. Tahap berikutnya adalah mendidik, mengajar, dan melatihnya agar bisa menjadi manusia yang hidup mandiri. Ia harus diarahkan agar mampu hidup yang tidak tergantung pada orang lain. Dengan demikian, kehidupan mandiri akan tercapai bila terjadi kesalingtergantunga n antar anggota masyarakat dan sekaligus kemerdekaan (interdependence and independence) .
Perhatikanlah keadaan
ekonomi masyarakat Indonesia sekarang ini. Kita amat sangat tergantung pada
bantuan atau hutang luar negeri. Negara yang dilimpahi kekayaan alam yang luar
biasa ini justru dihisap oleh negara-negara maju di dunia ini. Setiap bayi yang
dilahirkan yang seharusnya merupakan aset negara, ternyata tumbuh menjadi
manusia-manusia pencari kerja dan bahkan menjadi beban negara. Hal ini
disebabkan terjadinya manusia-manusia yang tergantung pada orang lain. Hubungan
yang terjadi adalah hubungan orang-orang lemah dengan orang-orang kuat. Yang
lemah merasa sangat memerlukan yang kuat, sedangkan yang kuat berbuat tidak
semena-mena terhadap mereka yang lemah.
Akibat dari keadaan
tersebut tambah tahun pengangguran akan semakin bertambah besar. Yang menjadi
gantungan relatif tetap, sedangkan yang menggatungkan diri bertambah banyak.
Terjadi relasi yang tidak seimbang, sehingga kehidupan masyarakat menjadi
rawan.
Kodrat. Inilah unsur berikutnya yang menopang asas hak dan kemandirian dalam kehidupan masyarakat. Kodrat pada manusia merupakan kuasa pribadi. Kodrat tidak didapat dari luar diri. Dengan demikian kodrat tidak berasal dari pelatihan dan pendididikan. Tetapi kodrat harus diberikan ruang yang kondusif agar suatu bentuk kemampuan khusus yang dianugerahkan pada setiap orang bisa terwujud. Dalam hal ini, pelatihan akan meningkatkan kualitas kodrat yang dimiliki seseorang.
Kodrat. Inilah unsur berikutnya yang menopang asas hak dan kemandirian dalam kehidupan masyarakat. Kodrat pada manusia merupakan kuasa pribadi. Kodrat tidak didapat dari luar diri. Dengan demikian kodrat tidak berasal dari pelatihan dan pendididikan. Tetapi kodrat harus diberikan ruang yang kondusif agar suatu bentuk kemampuan khusus yang dianugerahkan pada setiap orang bisa terwujud. Dalam hal ini, pelatihan akan meningkatkan kualitas kodrat yang dimiliki seseorang.
Dalam psikologi kodrat
dapat dikatakan hampir sama dengan talenta. Bila seseorang tidak diberikan
kesempatan untuk dapat mengaktualisasikan dirinya, maka kodratnya kemungkinan
besar tak akan terwujud. Padahal, kodrat yang ada pada diri seseorang itulah
yang bisa menjadi sarana untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya. Bila setiap
orang bisa mewujudkan kodratnya, maka akan terwujud hubungan yang saling
memberikan dan sekaligus saling membutuhkan. Setiap orang akan memiliki nilai
tawar bagi orang lain.
Harmonisasi dan ikatan
antar warga negara akan menguat bila sebagian besar penduduknya bisa mewujudkan
ketiga unsur manusia hakiki tersebut. Keragaman masyarakat pun kecil dan
kesenjangan ekonomi dapat dinihilkan. Akhirnya jati diri manusia akan muncul
dengan sendirinya, dan kita akan menjadi bangsa yang kokoh dan tidak mudah
diprovokasi.
Ajaran pokok Syekh yang ketiga adalah hubungan antara
satu orang dengan orang lain merupakan hubungan kodrat dan iradat. Hubungan
satu orang dengan orang lain bagaikan hubungan kerja dalam satu tim, sehinga
tidak terjadi hubungan posisi yang memerintah dan yang diperintah. Tak ada
hubungan kekuasaan. Antara manusia yang satu dengan yang lain terikat oleh
kodrat dan iradatnya, sehingga seperti hubungan sel yang yang satu dengan sel
lainnya dalam satu tubuh, dan hubungan organ yang satu dengan organ lainnya
dalam satu tubuh.
Kalau kita amati cara
kerja organ-organ dalam tubuh manusia, maka kita akan ketahui bahwa
masing-masing organ –seperti otak, penglihatan, penciuman, pendengaran,
paru-paru, jantung, hati, ginjal, usus, dan lain-lain– akan bekerja sama, dan
masing-masing menjalankan peranannya. Seharusnya kehidupan masyarakat manusia
juga demikian. Dengan mewujudkan masyarakat yang berupa kumpulan
manusia-manusia hakiki, masing-masing orang atau kelompok menjalankan fungsinya
dengan benar, maka akan terbentuk kehidupan yang sehat dan tidak terjadi
penghisapan antara orang yang satu terhadap orang lainnya. Inilah kehidupan
dunia yang didambakan oleh Syekh Siti Jenar, yang justru sekarang tumbuh dan
berkembang di negara maju.
Ajaran pokok yang keempat : segala sesuatu di alam
semesta ini adalah satu dan hidup. Dalam salah satu pupuhnya disebutkan bahwa
bumi, angkasa, samudra, gunung dan seisinya, semua yang tumbuh di dunia, angin
yang tersebar di mana-mana, matahari dan rembulan, semuanya merupakan keadaan
hidup. Jadi, semua yang ada merupakan wujud kehidupan.
Menurut Syekh Siti
Jenar yang dinamakan makhluk hidup adalah kehidupan yang terperangkap dalam
alam kematian. Zat mati tak akan dapat menimbulkan kehidupan, sedangkan zat
hidup tak akan tersentuh kematian. Tuhan disebut zat yang mahahidup karena Dia
eksis karena Diri-Nya sendiri. Kekuatan hidup-Nya mengalir dalam alam kematian
sehingga muncul sebagai makhluk hidup. Sekarang bandingkan dengan
tulisan-tulisan dari Barat dewasa ini, akan kita temukan pernyataan mereka bahwa
semuanya satu, semuanya hidup. Dengan demikian, pandangan Syekh Siti Jenar luar
biasa. Banyak pandangannya yang justru bersesuaian dengan pandangan kaum
teosofi maupun para spiritualis dari Barat.
Bila kita menyadari
bahwa lingkungan kita adalah keadaan yang hidup, maka tentu kita akan
memperlakukan lingkungan kita dengan sebaik-baiknya karena kita dan lingkungan
kita sebenarnya satu dan sama-sama sebagai keadaan yang hidup. Bila kita
menyadari tentu kita akan berhati-hati dalam memperlakukan lingkungan kita.
Ajaran pokok yang kelima: pemahaman tentang
ilmu sejati. Dikisahkan dalam Serat Siti Jenar yang ditulis oleh Aryawijaya:
Sejati jatining ngèlmu, lungguhé cipta pribadi, pustining pangèstinira,
gineleng dadya sawiji, wijanging ngèlmu dyatmika, nèng kahanan eneng ening.
Hakikat ilmu sejati itu terletak pada cipta pribadi, maksud dan tujuannya
disatukan adanya, lahirnya ilmu unggul dalam keadaan sunyi dan jernih.
Menurut Syekh Siti
Jenar manusia haruslah kreatif karena manusia telah diberi anugerah oleh Yang
Mahakuasa untuk dapat mengaktualisasikan ilmunya yang berasal dari dalam
dirinya sendiri. Jadi, ilmu sejati bukanlah ilmu yang kita terima dari orang
lain. Yang kita dapatkan melalui indra, pengajaran dari orang lain, itu
hanyalah refleksi ilmu. Dan, ternyata sejak abad ke-20 pemahaman bahwa ilmu
lahir dari kedalaman batin telah menjadi pemahaman yang universal. Itulah
sebabnya orang-orang Barat tekun dalam melakukan perenungan dan pengkajian
terhadap tanda-tanda di alam semesta.
Jadi, harus ada suasana
kondusif bagi orang-orang yang mendalami ilmu pengetahuan. Suasana kondusif
bagi ilmuwan adalah iklim kerja yang membuat ilmuwan tersebut dapat bekerja
dengan tenang, nyaman, dan bebas dari berbagai penyebab kekalutan dan
kesulitan. Dan, tentunya hak-hak untuk dapat menjadi ilmuwan sejati haruslah
dipenuhi. Ingat, setiap orang telah diberi potensi dan talenta yang disebut
kodrat. Dan, bagi mereka yang memiliki kodrat untuk menjadi ilmuwan harus
disediakan iklim kerja yang kondusif sehingga bisa menghasilkan hal-hal yang
dibutuhkan manusia.
Ajaran pokok yang keenam: umumnya orang hidup
saling membohongi. Banyak hal yang sebenarnya kita sendiri tidak tahu, tapi
kita menyampaikannya juga kepada teman-teman kita. Hal ini banyak sekali
terjadi dalam ajaran agama. Banyak orang yang sekadar hafal dalil, tetapi
sebenarnya dia tidak mengetahui apa yang dimaksud oleh dalil itu. Akhirnya
pemahaman yang keliru itu menyebar dan terbentuklah opini yang salah.
Masyarakat yang
dipenuhi dengan pemahaman dan opini yang salah sama dengan masyarakat yang
dipenuhi sampah. Masyarakat demikian pasti rawan terhadap serangan penyakit.
Oleh karena itu, masyarakat harus dibebaskan dari berbagai macam kebohongan.
Masyarakat harus diajar dan dididik untuk memahami segala sesuatu seperti apa
adanya.
Agar tidak hidup saling membohongi manusia harus kembali mengenal dirinya. Setiap orang harus dididik untuk menyadari perannya dalam hidup ini. Para cerdik cendekia harus mengerti fungsinya di dunia. Orang harus diajar untuk bisa mengerti dunia ini sebagaimana adanya. Agama harus diajarkan sebagai jalan hidup dan bukan alat untuk meraih kekuasaan. Oleh karena itu, keimanan harus diajarkan dengan benar dan bukan sekadar diajarkan sebagai kepercayaan. Iman harus diajarkan sebagai penghayatan, pengalaman, dan pengamalan kebenaran.
Agar tidak hidup saling membohongi manusia harus kembali mengenal dirinya. Setiap orang harus dididik untuk menyadari perannya dalam hidup ini. Para cerdik cendekia harus mengerti fungsinya di dunia. Orang harus diajar untuk bisa mengerti dunia ini sebagaimana adanya. Agama harus diajarkan sebagai jalan hidup dan bukan alat untuk meraih kekuasaan. Oleh karena itu, keimanan harus diajarkan dengan benar dan bukan sekadar diajarkan sebagai kepercayaan. Iman harus diajarkan sebagai penghayatan, pengalaman, dan pengamalan kebenaran.
Ayat-ayat kitab suci
harus dipahami berdasarkan kenyataan, dan tidak diindoktrinasikan serta
diajarkan secara harfiah sesuai dengan asal kitab suci tersebut. Agama harus
diajarkan secara arif dan bisa dibumikan, tidak terus menggantung di langit.
Agama harus diterjemahkan dalam bentuk yang dapat dipahami dan dipraktikkan
oleh masyarakat penerimanya.
Ajaran pokok yang ketujuh: nama Tuhan diberikan
oleh manusia. Lima ratus tahun yang lalu Syekh telah menyatakan dengan tegas bahwa
manusialah yang memberikan nama pada Tuhan. Oleh karena itu, nama bagi Tuhan
bermacam-macam sesuai dengan bahasa dan bangsa yang menamai-Nya. Dan, perlu
diketahui bahwa Tuhan sendiri sebenarnya tidak perlu nama, karena Dia hanya
satu adanya. Sesuatu diberi nama karena untuk membedakan dengan sesuatu
lainnya. Nama diberikan agar kita tidak keliru tunjuk atau salah sebut.
Bagi Syekh Siti Jenar,
apapun sebutan yang diberikan kepada-Nya haruslah sebutan yang terpuji, yang
baik, yang pantas. Bahkan dalam Alquran dinyatakan dengan tegas pada Q. 7:180
bahwa manusia diperintah untuk memohon kepada-Nya dengan nama-nama baik-Nya,
atau al-asmâ-u l-husnâ. Dan, pada Q.17:110 dinyatakan bahwa Dia dapat diseru
dengan nama Allah, Ar Rahman, atau dengan nama-nama baik-Nya yang lain.
Sungguh, sangat
mengherankan bila di zaman sekarang ini kita berebut nama Tuhan. Secara
teoritis umat Islam dididik untuk meyakini bahwa Tuhan itu Yang Maha Esa.
Tetapi, dalam kenyataannya sebagian orang Islam –seperti yang terjadi di
Malaysia – malah meminta orang yang beragama lain untuk tidak menggunakan lafal
Allah bagi sebutan Tuhan pada agama lain tersebut. Inilah pemahaman yang salah!
Kalau kita –yang Muslim— menolak pemeluk agama lain menyebut Allah bagi
Tuhannya, maka secara tak sadar kita mengakui bahwa Tuhan itu lebih dari satu.
Sudah waktunya kita
ajarkan ketuhanan dengan benar sehingga kita tidak berebut tulang tanpa isi.
Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa mengamalkan nilai-nilai ketuhanan dengan
benar itulah yang amat penting dalam hidup ini. Bagi orang Indonesia ,
menghayati dan mengamalkan nilai-nilai ketuhanan dengan benar merupakan
penegakan Sila yang pertama.
Ajaran pokok yang kedelapan: raja agama
sesungguhnya raja penipu. Sebagaimana telah diterangkan bahwa agama adalah
jalan hidup. Oleh karena itu, agama harus diajarkan untuk menjadi jalan hidup,
sehingga pemeluk agama bisa hidup tenang, bahagia dan bersemangat dalam
menjalani hidup. Agama harus diajarkan untuk menjadi landasan moral dan
perilaku, sehingga agama benar-benar sebagai nilai luhur dan menjadi rahmat
bagi semesta alam.
Syekh tidak ingin membohongi masyarakat Jawa, oleh karena itu agama islam diajarkan dengan cara yang pas bagi bumi dan manusia Jawa. Untuk hal itu diperlukan penafsiran, dan tidak disebarkan dalam bentuk budaya asalnya. Agama tidak disebarkan dengan kekuasaan raja, sebab menurut Syekh raja yang memanfaatkan agama adalah raja penipu. Sering terjadi bahwa untuk memenuhi kepentingan penguasa, agama dijadikan alat menguasai rakyat. Agama yang seharusnya dikuasai oleh rakyat, yang terjadi justru sebaliknya yaitu rakyat yang dikuasai oleh agama.
Syekh tidak ingin membohongi masyarakat Jawa, oleh karena itu agama islam diajarkan dengan cara yang pas bagi bumi dan manusia Jawa. Untuk hal itu diperlukan penafsiran, dan tidak disebarkan dalam bentuk budaya asalnya. Agama tidak disebarkan dengan kekuasaan raja, sebab menurut Syekh raja yang memanfaatkan agama adalah raja penipu. Sering terjadi bahwa untuk memenuhi kepentingan penguasa, agama dijadikan alat menguasai rakyat. Agama yang seharusnya dikuasai oleh rakyat, yang terjadi justru sebaliknya yaitu rakyat yang dikuasai oleh agama.
Jika di Eropa pada
abad ke-19 orang-orang mulai mempertanyakan peranan agama, dan bahkan ada yang
memandang bahwa agama sebagai candu bagi masyarakat dan harus disingkirkan dari
gelanggang kehidupan bernegara, maka empat ratus tahun sebelumnya Syekh Siti
Jenar justru ingin menerapkan agama sebagai penyegar dan pencerah bagi pemeluknya.
Oleh karena itu, agama diajarkan tanpa melibatkan kekuasaan negara. Di sinilah
Syekh bertabrakan dengan kepentingan Walisanga.
Syekh amat sadar bahwa
di dunia ini penuh dengan tipu daya. Hampir di semua negara pada waktu itu
terjadi relasi keuasaan antara raja/penguasa dengan para tokoh agama. Dengan
kata lain, raja dan tokoh agama berbagi kekuasaan. Yang dikuasai dan yang
dijadikan pijakan hidup oleh raja dan tokoh agama adalah rakyat. Inilah yang
oleh Syekh disebut sebagai penipuan. Oleh karena itu, sudah waktunya agar agama
benar-benar menjadi milik masyarakat, dan negara tidak mengurusi agama. Yang
diurusi oleh negara adalah tegaknya hukum positif, perlindungan bagi setiap
orang tanpa memandang agama dan kepercayaannya. Yang diurusi oleh negara adalah
kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Ajaran pokok yang
kesembilan: segala sesuatu di alam semesta adalah Wajah-Nya. Inilah ajaran
puncak dari Syekh Siti Jenar. Dunia adalah manifestasi wujud yang satu, dan
hakikat keberadaan bukanlah dualitas. Sehingga, kemana pun kita hadapkan diri
kita, maka sesungguhnya kita senantiasa menghadap Wajah-Nya. Semua adalah
penampakan Wajah-Nya. Sekarang marilah kita cicipi dua bait puisi dari Syekh
Siti Jenar.
Bersanggama dalam keberadaan
diliputi yang ilahi
hilanglah kehambaannya
lebur lenyap sirna lelap
digantikan keberadaan Ilahi
kehidupannya
adalah hidup Ilahi
diliputi yang ilahi
hilanglah kehambaannya
lebur lenyap sirna lelap
digantikan keberadaan Ilahi
kehidupannya
adalah hidup Ilahi
Lahir batin keberadaan sukma
yang disembah Gusti
Gusti yang menyembah
sendiri menyembah-disembah
memuji-dipuji sendiri
timbal balik
dalam hidup ini
yang disembah Gusti
Gusti yang menyembah
sendiri menyembah-disembah
memuji-dipuji sendiri
timbal balik
dalam hidup ini
Jadi, pada puncak
perenungan dan keheningan diri terjadilah penegasian eksistensi diri yang
terkurung raga. Ditegaskan bahwa kehambaan telah lenyap, sudah hilang. Bila
kehambaan masih tetap eksis maka di alam semesta ini masih berada dalam keadaan
dualitas. Keadaan inilah yang menyebabkan orang terpisah dengan Tuhannya,
meskipun secara konseptual diketahui bahwa Sang Pencipta lebih dekat daripada
urat lehernya. Akan tetapi, selama keadaan dualitas belum sirna maka secara
faktual Tuhan masih jauh daripada urat lehernya, karena Tuhan dianggap berada
di luar dirinya.
Ada dualitas artinya
kita mengakui ada dua keberadaan, yaitu ada yang inferior (keberadaan yang
kualitasnya lebih rendah) dan ada yang superior (keberadaan yang kualitasnya
lebih tinggi). Jika demikian, kedua jenis keberadaan itu tumbuh melalui proses.
Semua yang tumbuh melaui suatu proses, bukanlah keberadaan yang kekal. Dan,
bilamana tiada keberadaan yang kekal, maka tak mungkin ada fenomena atau
penampakan di alam semesta.
Kita hidup di dunia
ini karena kita kanggonan (didiami) urip (hidup) yang diberikan oleh Tuhan.
Namun, badan jasmani ini hanyalah fenomena yang terikat oleh ruang, waktu,
situasi psikologis. Hakikatnya badan jasmani ini tidak ada karena badan jasmani
ini seperti gambar yang menumpang di layar perak atau layar kaca. Kalau layar
digulung atau dimatikan ya lenyaplah fenomena tersebut. Jadi, memang benar
bahwa dunia ini panggung sandiwara, dan kita adalah pemain-pemain sandiwara.
Oleh karena itu, kita harus dapat memainkan peran kita masing dengan baik.
Lalu, apa sasaran
utama pelenyapan dualitas? Sasaran pokoknya adalah menumbuhkan kesadaran akan
ke-Satu-an, Oneness, dalam kehidupan ini, baik kehidupan kita sebagai individu
maupun secara kolektif. Dengan lenyapnya perasaan dualitas dalam hidup ini,
maka jarak antara kawula dan Gusti akan hilang. Akan lahir individu-individu
yang menjadi dirinya sendiri, dan dalam kehidupan sosial akan tercipta
interaksi antar warganya secara tim, sehingga semua akan memenuhi fungsinya
masing-masing dalam kehidupan. Sekat antara pemimpin dan yang dipimpin akan
hilang, dinding penyekat antara raja dan rakyatnya akan runtuh. Bila ini sudah
terjadi, maka tak akan ada lagi eksploitasi terhadap sesama manusia.
Pelenyapan sekat
antara kawula (hamba, rakyat, atau bawahan) dan Gusti (raja, pemimpin, atau
atasan) akan melahirkan satu keberadaan yang disebut Manunggaling Kawula Gusti.
Keberadaan MKG ini akan menggugurkan kehidupan yang berkasta dan merontokkan
feodalisme. Relasi sesama manusia berupa simbiose mutualisme, yaitu hubungan
yang saling menguntungkan. Sesama manusia hidup dalam suasana liberte, egalite
dan fraternite, yaitu hidup dalam kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan
antara sesama manusia di dunia ini. Dari sinilah Syekh membangun hubungan warga
dengan wadah yang disebut masyarakat, yang tidak dijumpai di Timur Tengah pada
waktu itu.
Memang masyarakat merupakan kosa kata yang dibentuk dari unsur-unsur kata Arab, yaitu dari syarika yang artinya menjadi sekutu; dan masyarakat adalah kumpulan orang-orang yang bersekutu. Jadi, setiap anggota masyarakat itu seperti sel-sel tubuh yang independen, namun selalu berinteraksi sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Setiap anggota masyarakat mengetahui tugasnya. Terciptalah jalinan kasih. Inilah surga yang sesungguhnya yang harus diwujudkan di dunia ini. Dengan demikian, konsep MKG sebenarnya untuk menciptakan kehidupan bersama dalam mencapai kejayaan!
Memang masyarakat merupakan kosa kata yang dibentuk dari unsur-unsur kata Arab, yaitu dari syarika yang artinya menjadi sekutu; dan masyarakat adalah kumpulan orang-orang yang bersekutu. Jadi, setiap anggota masyarakat itu seperti sel-sel tubuh yang independen, namun selalu berinteraksi sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Setiap anggota masyarakat mengetahui tugasnya. Terciptalah jalinan kasih. Inilah surga yang sesungguhnya yang harus diwujudkan di dunia ini. Dengan demikian, konsep MKG sebenarnya untuk menciptakan kehidupan bersama dalam mencapai kejayaan!
Achmad Chodjim
Jakarta, 21 Mei 2009
Kediaman Bpk. Achmad Chodjim, materi ini juga di sampaikan di Hotel Indonesia
Kempinski-Grand Indonesia, 19 Mei 2009
*) Ir. Achmad Chodjim MM, adalah penulis buku
“Syekh Siti jenar: Makna Kematian (jilid 1)”, “Syekh Siti Jenar: Makrifat dan
Makna Kehidupan (jilid 2)” dan “Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga”.
Bagi saudara yang mau
mendapatkan Audio penjelasan, silahkan bergabung di mailing list “Diskusi
Gantahrwa”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar