Halal dan Haram dalam Presfektif
Islam
oleh
:Yusuf Qardhawi
editor
: M.Sakti Rangkuti
|
|
Apa yang dinamakan undian (yaa
nashib), adalah salah satu macam dari macam-macam judi yang ada. Oleh karena
itu tidak patut dipermudah dan dibolehkan permainan tersebut dengan dalih
bantuan sosial atau tujuan kemanusiaan.
Orang-orang yang membolehkan
undian untuk maksud-maksud di atas, tak ubahnya dengan orang-orang yang
mengumpulkan dana untuk tujuan di atas dengan jalan mengadakan tarian haram
dan seni haram. Untuk mana kepada mereka kami sampaikan sebuah hadis yang
disabdakan Nabi s.a.w.:
"Sesungguhnya Allah itu baik, Ia tidak mau menerima
kecuali yang baik." (Riwayat Muslim dan Tarmizi)
Mereka yang berbuat demikian
menganggap seolah-olah masyarakat Islam telah kehilangan jiwa sosial,
perasaan kasih-sayang dan nilai-nilai kebajikan. Sehingga tidak ada jalan
lain untuk mengumpulkan dana, kecuali dengan berjudi dan permainan haram.
Islam tidak yakin, bahwa ummatnya akan bersikap demikian. Bahkan lebih yakin
akan segi sosialnya terhadap kepada orang lain. Oleh karena itu Islam tidak
memakai, melainkan cara yang suci untuk tujuan yang suci. Jalan yang suci itu
berupa ajakan untuk berbuat kebajikan, membangkitkan nilai kemanusiaan dan
beriman kepada Allah dan hari akhir.
Banyak kaum muslimin yang
bertanya-tanya tentang pandangan Islam terhadap bioskop, tonil/sandiwara dan
sebagainya. Apakah orang Islam dibolehkan menonton ataukah diharamkannya?
Satu hal yang tidak diragukan
lagi, bahwa film, atau bioskop, adalah alat yang sangat vital untuk
mengarahkan dan memberikan hiburan. Kedudukannya sama dengan kedudukan
alat-alat yang lain, dapat dipergunakan untuk lial-hal yang baik dan yang
tidak baik. Oleh karena itu bioskop itu sendiri tidak apa-apa. Status
hukumnya tergantung pada penggunaannya.
Dengan demikian, kami berpendapat
bioskop adalah halal dan baik, bahkan kadang-kadang masuk sunnat dan
diperlukan apabila dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:
1. Bahwa subjek-subjeknya yang
diketengahkan itu bersih dari kegila-gilaan, kefasikan dan semua hal yang
dapat mensirnakan aqidah, syariat dan kesopanan Islam. Adapun semua
pertunjukan yang dapat membangkitkan nafsu dan mencenderungkan orang kepada
perbuatan dosa atau yang dapat membawa kepada perbuatan kriminal atau
mengajak kepada fikiran-fikiran untuk berbuat serong, atau menjurus hukumnya
adalah haram yang tidak halal bagi seorang muslim untuk menyaksikannya, atau
mendukungnya.
2. Tidak melupakan kewajiban agama
atau duniawi. Diantara kewajiban-kewajiban itu ialah sembahyang lima waktu.
Oleh karena itu tidak halal seorang muslim meninggalkan sembahyang maghrib
misalnya, karena akan pergi nonton bioskop.
Firman Allah:
"Celakalah orang-orang yang sembahyang, yaitu mereka
yang lalai terhadap sembahyangnya." (al-Ma'un: 4-5)
Sahun ditafsirkan dengan
mengabaikan sembahyang sehingga habis waktunya. Dan al-Quran menjadikan
sejumlah sebab diharamkannya arak dan judi ialah karena arak dan judi itu
dapat menghalang berzikrullah dan sembahyang.
3. Jangan sampai terjadi
persentuhan dan percampuran antara laki-laki dan perempuan lain, demi menjaga
fitnah dan menolak syubhat. Lebih-lebih pertunjukan ini tidak dapat
dilakukan, kecuali di tempat yang gelap. Sedang hadis Nabi mengatakan:
"Sungguh kepala salah seorang di antara kamu ditusuk
dengan jarum dari besi, lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang
tidak halal baginya." (Riwayat Baihaqi, Thabarani; dan rawi-rawinya
adalah rawi-rawi Bukhari)
ISLAM dalam menegakkan hubungan
antara anggota masyarakat mempunyai dua landasan yang prinsipal, yaitu:
1.
Demi
melindungi persaudaraan, sebagai suatu ikatan yang kuat antara satu dengan
lainnya,
2.
Demi
menjaga hak dan kehormatan yang selalu dilindungi oleh Islam terhadap setiap
anggota masyarakat, baik darah, harga diri maupun hartanya.
Oleh karena itu setiap perkataan,
perbuatan atau tindakan yang pertentangan dengan dua prinsip di atas, adalah
diharamkan oleh Islam menurut tingkatan bahaya yang tampak, dilihat dari segi
moral maupun material.
Dalam beberapa ayat berikut ini,
ada beberapa larangan yang sangat membahayakan jalinan ukhuwah dan kehormatan
manusia.
Firman Allah:
"Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara,
oleh karena itu adakanlah perdamaian di antara saudara-saudaramu, dan
takutlah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang
beriman! Jangan ada satupun kaum merendahkan kaum lain, sebab barangkali
mereka (yang direndahkan) itu justru lebih baik dari mereka (yang
merendahkan); dan janganlah ada perempuan merendahkan perempuan lainnya,
sebab barangkali mereka (yang direndahkan) itu lebih baik dari mereka (yang
merendahkan); dan jangan kamu mencela diri-diri kamu; dan jangan kamu memberi
gelar dengan gelar-gelar (yang tidak baik) --misalnya fasik-- sebab
seburuk-buruk nama ialah fasik sesudah dia itu beriman, dan barangsiapa tidak
bertobat, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang
beriman! Jauhilah banyak sangka, karena sesungguhnya sebagian sangkaan itu berdosa;
dan jangan kamu mengintai (menyelidiki cacat orang lain); dan jangan sebagian
kamu mengumpat sebagiannya, apakah salah seorang di antara kamu suka makan
daging bangkai saudaramu padahal kamu tidak menyukainya? Takutlah kepada
Allah, karena sesungguhnya Allah maha menerima taubat dan belas-kasih."
(al-Hujurat: 10-12)
Allah Ta'ala telah menetapkan
dalam permulaan ayat-ayat ini, bahwa orang mu'min pada hakikatnya adalah
bersaudara yang meliputi saudara seagama dan saudara sesama manusia. Maka
demi kelangsungan persaudaraan ini harus ada saling kenal-mengenal; dan
jangan saling mengingkari, bahkan harus saling berhubungan dan jangan saling
memutuskan, saling merapat dan jangan berjauhan, saling menyintai dan jangan
saling membenci; dan harus bersatu, jangan berselisih.
Dan dalam hadis Nabi s.a.w.
dikatakan:
"Jangan kamu saling hasut-menghasut, dan jangan
saling bertolak belakang, dan jangan saling membenci. tetapi jadilah kamu
hamba Allah bersaudara." (Riwayat Bukhari dan lain-lain)
Dan dari situlah, maka Islam
mengharamkan seorang muslim berlaku kasar terhadap kawannya, memutuskan
hubungan dan menjauhinya. Islam tidak memperkenankan seorang muslim menjauhi
kawannya, kecuali dalam batas tiga hari, sehingga tenanglah kemarahan kedua
belah pihak. Kemudian mereka berdua harus berusaha untuk memperbaiki,
menjernihkan suasana dan mengatasi perasaan-perasaan congkak, benci dan
permusuhan. Sebab di antara sifat-sifat yang terpuji dalam al-Quran ialah:
"Merendah diri terhadap orang-orang mu'min."
(al-Maidah: 54)
Sabda Rasulullah s.a.w.:
"Tidak halal seorang muslim menjauhi kawannya lebih
dari tiga hari. Jika telah lewat waktu tiga hari itu, maka berbicaralah
dengan dia dan berilah salam, jika dia telah menjawab salam, maka keduanya
bersama-sama mendapat pahala, dan jika dia tidak membalasnya, maka sungguh
dia kembali dengan membawa dosa, sedang orang yang memberi salam telah keluar
dari dosa karena menjauhi itu." (Riwayat Abu Daud)
Lebih hebat lagi haramnya
memutuskan silaturrahmi ini apabila terhadap keluarga yang oleh Islam
diwajibkan untuk menyambungnya dan melindungi kehormatannya.
Firman Allah:
"Dan takutlah kamu kepada Allah yang padaNya Kamu
meminta dan jagalah keluarga karena sesungguhnya Allah maha mengawasi atas
kamu." (an-Nisa': 1)
Rasulullah s.a.w. menggambarkan
silaturrahmi ini dan nilainya, dalam salah satu sabdanya sebagai berikut:
"Kekeluargaan bergantung di Arsy, ia akan berkata:
barangsiapa menghubungi aku, maka Allah pun akan menghubunginya; dan barangsiapa
memutus aku, maka Allah pun akan memutusnya." (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
Dan sabdanya pula:
"Tidak masuk syorga orang yang memutus."
(Riwayat Bukhari)
Sebagian ulama ada yang
menafsirkan kata-kata memutus itu yakni: memutuskan silaturrahmi. Dan lainnya
menafsirkan dengan: memotong jalan (penyamun). Jadi seolah-olah kedua-duanya
berada dalam satu kedudukan.
Bukanlah yang dimaksud
silaturrahmi yang wajib itu sekedar seorang kerabat menghubungi dan berbuat
baik kepada yang lain, sebab ini adalah satu hal yang biasa dan yang mesti
demikian. Tetapi apa yang dimaksud silaturrahmi yang wajib ialah tetap
menghubungi keluarga-keluarganya sekalipun mereka itu menjauhinya. Seperti
sabda Nabi:
"Bukanlah orang yang menghubungi keluarga itu ialah
orang yang menjamin, tetapi yang dinamakan orang yang menyambung kekeluargaan
ialah apabila keluarganya itu memutuskan dia, maka dia tetap
menghubunginya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ini semua tidak berlaku terhadap
hal yang dibenarkan Allah dan dalam masalah yang hak. Sebab teguhnya ikatan
iman ialah: Cinta karena Allah, dan benci pun karena Allah.
Rasulullah s.a.w. pernah menjauhi
ketiga orang sahabatnya yang tidak mau turut dalam peperangan Tabuk selama 50
hari, sehingga bumi ini layaknya sempit dan hatinya merasa kebingungan, dan
tidak ada seorang pun yang mau bergaul dengan mereka, atau berbicara dan
memberi salam. Begitulah sehingga Allah menurunkan ayat tentang diterimanya
taubat mereka itu.28
Dan
pernah juga Rasulullah s.a.w. menjauhi sebagian isterinya selama 40 hari.28
Ibnu Umar pernah menjauhi anaknya
sampai ia meninggal dunia, karena anaknya tidak mau mengoreksi hadis yang
diterimanya dari ayahnya dari Rasulullah s.a.w. tentang dilarangnya laki-laki
menghalang-halangi isterinya pergi ke masjid.29
Adapun menjauhi kawan lantaran
kepentingan duniawi, maka sesungguhnya duniawi harus lebih dikesampingkan
dalam hubungannya dengan Allah dan seorang muslim, daripada membawa kepada
sikap berjauhan dan memutuskan tali persahabatan antara seorang muslim dengan
saudaranya. Sebab memutuskan hubungan itu akan dapat menghalangi pengampunan
dosa dan rahmat Allah. Seperti diterangkan oleh hadis Rasulullah s.a.w.:
"Pintu-pintu sorga akan dibuka pada hari Isnin dan
Khamis, kemudian Allah akan memberi ampunan kepada setiap orang yang tidak
menyekutukan Allah sedikitpun; kecuali seorang laki-laki yang ada perpisahan
antara dia dengan saudaranya. Maka berkatalah Allah: tangguhkanlah kedua
orang ini sehingga mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sehingga
mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka
berdamai." (Riwayat Muslim)
Kalau dia yang berada di pihak
yang benar, maka cukup kiranya pihak yang bersalah datang dan minta maaf, dan
dia pun harus memberi maaf. Dengan demikian maka selesailah persengketaan,
dan haram hukumnya dia menolak permintaan maaf saudaranya itu.
Terhadap orang yang berbuat
demikian, Rasulullah s.a.w. mernberikan ancaman, bahwa kelak di hari kiamat
tidak akan masuk sorga.30
|
|
Kamis, 21 Februari 2013
HALAL DAN HARAM DALAM PRESFEKTIF ISLAM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar