WALI NIKAH ANAK ZINA
DRS.HM.SAKTI RANGKUTI,MA.
SELASA, 19 PEBRUARI 2013
Deskripsi
Hamil di luar nikah akhir-akhir ini
nampaknya telah menjadi hal biasa. Sebut saja Anton dan Tini, sepasang
muda-mudi yang terlanjur melakukan hubungan di luar nikah. Demi menutupi aib
keluarga, keduanya melangsungkan pernikahan setelah kandungan mulai membesar.
Dan benar juga, belum ada enam bulan, sang anak telah terlahir. Dua puluh tahun
kemudian, sang anak yang telah menjelma menjadi seorang gadis dewasa, sebut
saja Mawar, hendak melangsungkan pernikahan. Anton yang merasa sebagai bapak
biologis Mawar, merasa mempunyai hak menjadi wali nikah. Dalam prosesi akad
nikah, Anton mewakilkan ijab si Mawar pada Naib. Akhirnya Naib pun menikahkan
Mawar dan dalam akad nikahnya, ia menyebutkan muwakkilnya. Misalnya,
(يا زيد أنكحتك وزوجتك مخطوبتك ماوار بنت أنطان مولية أبـيها الذى
وكلنى بمهر مليون روبية حالا)
Pertimbangan:
-Menyembunyikan aib perbuatan zina adalah anjuran.
-Jika Mawar anak zina, pada
kenyataanya yang mengijabkan nikahnya adalah Pak Naib yang notabenenya adalah
wali hakim.
Pertanyaan
1. Bolehkan Anton mewakilkan akad nikah
Mawar pada pak Naib?
Jawaban
1. Menurut Syafi’iyyah, taukil Anton
tidak sah karena Anton tidak memiliki wilâyah at-tazwîj. Namun karena
menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah wali Mawar adalah Anton (shâhibul firasy),
maka dalam rangka untuk khurûj minal khilâf, Naib disunnahkan minta
izin kepada Anton untuk menikahkan Mawar, sehingga perwaliannya sah
menurut ketiga madzhab (Syafi’i, Hanafi dan Maliki).
R E F E R E N S I
1. Bughyah Al-Mustarsyidîn, hlm. 292
2. Al-Bujairamy Alâ Al-Khathîb, vol.
VII hlm. 275
3. Bughyah Al-Mustarsyidîn, hlm. 203
4. Atsnâ Al-Mathâlib, vol. XI hlm. 72
5. Al-Bujairamy Alâ Al-Khathîb, vol.
III hlm. 134
6. Al-Qulyûby wa Umairah, vol. II hlm.
422
Pertanyaan
1. Bagaimana hukum pernikahan Mawar?
Jawaban
1. Apabila dalam akad nikah menggunakan
sighat seperti dalam deskripsi (مولية أبيها الذى
وكلنى) dengan sengaja dan
Naib tahu taukilnya tidak sah, maka hukum pernikahannya tidak sah, karena
shighat demikan termasuk kalam ajnabi.
R
E F E R E N S I
|
|
1. I’ânah Ath-Thâlibîn vol. III hlm.
373
2. Al-Mantsûr Fî Al-Qawâ’id, vol. II
hlm. 255
3. Nihâyah Az-Zain, hlm. 223
4. Qalâ’id Al-Kharâ’id, vol. II hlm.
106
|
Menikahi perempuan pezina disikapi
para ulama dengan dua pendapat yang berbeda: 1. Haram 2. Diperbolehkan Dasar
Hukum Rowa’i al Bayan Juz II halaman 49 الحُكْمُ
الثَّالِثَ عَشَرَ: هَلْ يَصِحُّ الزَّوَاجُ بِالزَّانِيَةِ؟ إِخْتَلَفَ عُلَمَاءُ
السَّلَفِ فِى هَذِهِ المَسْأَلَةِ عَلَى قَولَيْن : الأَوَّلُ: حُرْمَةٌ
الزَّوَاجِ بِالزَّانِيَةِ, وَهُوَ مَنْقُولٌ عَنْ عَلِيٍّ وَالبَرَّاءِ
وَعَائِشَةَ وَابْنُ مَسْعُودٍ الثَّانِي: جَوَازُ الزَّوَاجِ بِالزَّانِيَةِ
وَهُوَ مَنْقُولٌ عَنْ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَهُوَ مَذْهَبُ
الجُمْهُورِ وَبِهِ قَال الفُقَهَاءُ الأَرْبَعَةُ مِنَ الأَئِمَّةِ المُجْتَهِدِيْنَ Hukum ketigabelas mengenai apakah sah
menikahi perempuan pezina? Ulama salaf dalam menyikapi masalah ini, terpecah
menjadi dua pendapat: 1. Haram menikahi perempuan pezina. Pendapat ini dikutip
dari Sayidina Ali, Al Barra’, Aisyah dan Ibn Mas’ud. 2. Diperbolehkan menikahi
perempuan pezina. Pendapat ini dikutip dari Abu Bakar, Umar dan Ibn Abbas.
Pendapat ini adalah pendapat mayoritas dan didukung Madzhab Empat yaitu para
imam mujtahid kenamaan.
Dalam PMA No. 11 Tahun 2007
disebutkan bahwa wali hakim bagi wanita yang tidak memiliki wali dengan
berbagai sebab adalah Kepala KUA. Seorang Kepala KUA meskipun tidak bisa
disejajarkan dalam derajat qodli karena tidak memiliki kewenangan mengadili
maupun memutuskan, dan hanya sebagai seorang ma’dzun syar’i atau pegawai
pencatat nikah, namun dalam kaitan statusnya sebagai wali hakim, Kepala KUA
termasuk pada kriteria pegawai yang diberi wewenang. Bahkan seandainya pimpinan
yang menunjuk sebagai wali hakim itu adalah seorang presiden perempuan. Keabsahan
ini meneguhkan legalitas pernikahan yang dilakukan dengan perwalian hakim
tersebab alasan yang dibenarkan syariat. sebagaimana keputusan Muktamar NU TH.
1999 di Kediri sbb: Deskripsi Masalah: Mengikuti perkembangan kondisi politik
di tanah air pasca pemilu 1999 ini. Kiranya perlu segera ada sikap dan konsep
yang jelas dari PBNU mengenai masalah yang sangat prinsip bagi kaum muslimin.
Yaitu masalah WALI HAKIM dalam pernikahan, apabila presiden RI dijabat oleh
seorang perempuan. Dalam hal ini NU telah menetapkan sejak Bung Karno, bahwa
Presiden RI adalah Waliyyul amri adl-dlorury bisy-syaukah agar mengesahkan
pernikahan yang dilakukan oleh wali hakim. Pertanyaan 1. Apakah wilayah hakim
dalam pernikahan harus di tangan Presiden atau Menteri Agama saja? Jawaban:
Wilayah hakim dalam pernikahan berada di tangan Presiden dan aparat terkait
yang ditunjuk Presiden. Dasar Pengambilan: 1- المغنى
الشرح الكبير لإبن قدامة المقدسى الجزء السابع ص 351 وعبارته: قال : صلى الله عليه
وسلم فإن تشاجروا فالسلطان ولي من لاولي له اخرجه ابو داود. السلطان هنا هو امام
او الحاكم او من فوّضا اليه ذلك. 2- اعانة الطالبين الجزء الثالث ص314 وعبارته:
قوله والمراد اى السلطان: من له ولاية اى عامة اوخاصة…: وحاصل الدفع ان المراد
بالسـلطان: كل من له سلطان وولاية على المرأة عاما كان كالامام او خاصا كالقاضى
والمتولى لعقود الانكحة. 3- الباجورى الجزء الثانى ص106 وعبارته: ثم الحاكم عاما
كان او خاصا كالقاضى اوالمتولى بعقود الانكحة او لهذا العقد بخصوصه. 2. Bila ditangan Presiden, apakah wanita
sah menjadi wali hakim? Jawaban: Sah karena kelembagaan Presiden sebagai
wilayah ammah.
Dasar Pengambilan:
1- بجيرمى
على الخطيب الجزء الثانى ص: 337 وعبارته: لاتعقد امرأة نكاحا… إلا إذا وليت الامامة العظمى, فإن لها
ان تزوج غيرها لا نفسها كما ان السلطان لايعقد لنفسه. 2- الباجورى الجزء الثانى
ص:101 وعبارته: (وقوله ولاغيرها) اى ولاتزوج غيرها لابولاية ولاوكالة لخبر لاتزوج
المرأة المرأة ولاالمرأة نفسها… نعم, إن تولت امرأة الإمامة العظمى والعياذ بالله
تعالى نفذت احكامها للضرورة كما قاله عزالدين ابن عبد السلام وغيره وقياسه صحة
تزويجها غيرها بالولاية العامة. 3.- حاشية البجيرمى على المنهج الجزء الثالث ص
:337 4.- وعبارته:قال ح ل (الحلبى) إلا اذا وليت الامامة العظـمى فإن لها أن تزوج
غيرها لانفسها كما ان السلطان لايعقد لنفسه
Namun terkadang seorang Kepala KUA
melampaui kewenangannya dengan mewakilkan orang-orang yang ditunjuknya. Padahal
aturan kenegaraan sebagaimana diatur dalam PMA 11 Tahun 2007 atau aturan-aturan
sebelumnya sama sekali tidak memberi kewenangan kepada seorang Kepala KUA untuk
mewakilkan. Aturan ini dikukuhkan oleh Fiqh sehingga orang yang menerima
perwakilan wali hakim dari seorang Kepala KUA tidak sah menikahkan.
Namun,
penggantian posisi wali hakim yang berhalangan ini disyahkan dalam tinjauan
fiqh apabila disahkan oleh aturan Pemerintah sebagaimana disebutkan dalam kitab
Zaitunah al Ilqah halaman 169 :
وَنَصُّوا عَلَى أَنْ يَسْتَنِيْبَ
إِذَا لَهُ * بِهِ أَذِنَ السُّلْطَانُ نَصًّا بِلاَ سَدِّ
وَحَيْثُ جَرَى إِذْنٌ لَهُ فِى
تَزَوُّجٍ * فَزَوَّجَ صَحَّ العَقْدُ مِنْ غَيْرِ مَا صَدِّ
Ulama
Syafiiyah menetapkan diperbolehkannya orang lain mengganti (posisi) hakim apabila
pemerintah mengizinkan dengan penetapan yang tidak tertolak. Apabila izin bagi
pengganti hakim dalam menikahkan didapatkan, kemudian pengganti hakim ini
menikahkan, maka sahlah akad nikahnya tanpa ada halangan.
Ibarat
kitab ini, disamping menguatkan pembolehan mengganti posisi wali hakim yang
lowong oleh sebab-sebab tertentu, juga menafikan keabsahan wakalah wali hakim
yang tidak dilakukan Ka Sie Urais untuk atas nama Menteri Agama, sebagaimana
dalil diatas; orang lain boleh mengganti posisi hakim apabila pemerintah
selaku sulthan mengizinkan. PMA no. 11 tahun 2007 menyatakan yang
berhak menunjuk penghulu untuk mengganti jabatan Kepala KUA yang berhalangan
untuk menjadi wali hakim adalah Ka Sie Urais. Karena itu Kepala KUA tidak boleh
melampaui wewenangnya dengan mewakilkan sendiri tanpa sepengetahuan Ka Sie
Urais Wallahu A’lam.
Suatu hari ada orang yang
mempertanyakan tindakan penghulu yang memerintahkan kakak kandung yang menjadi
wali dari adiknya untuk meminta izin adiknya yang menjadi pengantin apakah
boleh mewakilkan proses ijab nya kepada penghulu. Selain kakak kandung seperti
anak saudara, paman dan seterusnya disebut juga dengan wali ghoiru mujbir atau
wali yang tidak bisa memaksa. Jika wali ghoiru mujbir ingin menikahkan seorang
perempuan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti: 1. Wali ghoiru
mujbir wajib meminta izin kepada perempuan yang hendak dinikahkan. Tidak
mencukupi kalau hanya dari persetujuan perempuan tersebut atas tawaran ibunya
atau orang lain. Wali ghoiru mujbir harus meminta izin atau mendapat izin
secara langsung dari perempuan tersebut. 2. Wali ghoiru mujbir boleh mewakilkan
kepada orang lain untuk mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan setelah
mendapat izin dari perempuan yang hendak dinikahkan, dan selama tidak ada
larangan untuk mewakilkan. 3. Wakil wali ghoiru mujbir disunnahkan untuk
meminta izin kepada perempuan yang hendak dinikahkan. Dengan demikian tindakan
penghulu yang seperti ini sudah sesuai dengan aturan seharusnya dan merupakan
peng-ejawentahan dari penjelasan dari kitab al Majmu’ fi ahkam al nikah hal 97
: وَلِلأَبِ وَالجَدِّ التَوكِيْلُ فِى تَزْوِيْجِ
البِكْرِ بِغَيْرِ إِذْنِهَا وَلِغَيْرِهِمَا مِنَ الأَوْلِيَاءِ التَوْكِيْلُ
بَعْدَ إِسْتِأْذَانِهَا إِنْ لَمْ تَنْهَ عَنِ التَوْكِيْلِ . فَلَو وَكَّلَ قَبْلَ أَنْ تَأَذَّنَ
لَمْ يَصِحَّ وَيُنْدَبُ لِلوَكِيْلِ إِسْتِأْذَانِهَا. Diperbolehkan bagi ayah dan kakek untuk mewakilkan dalam
pernikahan anaknya yang masih gadis tanpa seizinnya. Dan bagi wali-wali selain
ayah dan kakek (yaitu wali ghoiru mujbir) boleh mewakilkan setelah minta izin
perempuan tersebut untuk menikahkannya, dan jika ia tidak melarang untuk
mewakilkan. Andaikata wali ghoiru mujbir mewakilkan sebelum mendapat izin dari
perempuan maka perwakilannya tidak sah. Dan disunnahkan bagi wakil wali ghoiru mujbir
untuk minta izin kepada perempuan yang hendak dinikahkan. Al Fiqh al Minhaji
hal 70, secara spesifik memberikan alasan ketidak absahan perwakilan wali
ghoiru mujbir tanpa izin perempuan : أَمَّ غَيْرُ
المُجْبِر مِنَ الأَوْلِيَاءِ وَهُوَ غَيْرُ الأَبِّ وَالجَدِّ فَلاَ يَجُوزُ لَهُ
التَّوَكِيْلُ فِى التَزْوِيْجِ إِلاَّ بِإِذْنِ المَرْأَةِ لأَنَّهُ لاَيَمْلِكُ
تَزْوِيْجِهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا فَأَولَى أنْ لاَيَمْلِكُ أَنْ يَوَكِّلَ مَنْ
يُزَوِّجُهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا Adapun wali ghoiru mujbir, yaitu selain
ayah dan kakek (saudara, paman dst), tidak boleh mewakilkan untuk menikahkan
seorang perempuan kecuali dengan seizing perempuan tersebut, karena ia tidak
memiliki hak untuk menikahkannya tanpa seizinnya. Terlebih lagi, ia tidak
berhak mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkannya tanpa seizinnya. Proses
izin kepada calon pengantin untuk mewakilkan proses ijab nikah bahkan
disunnahkan untuk dipersaksikan apakah calon pengantin mengizinkan atau tidak,
sebagaimana keterangan dalam I’anah al Tholibin Juz 3 Halaman 313 : وَيُنْدَبُ لِغَيْرِ الأَبِّ وَالجَدِّ الإِشْهَادُ عَلَى
الإِذْنِ Disunnahkan bagi wali selain ayah dan kakek (yaitu wali ghoiru
mujbir) untuk mempersaksikan ketika perempuan memberi izin.
Seharusnya sudah menjadi sesuatu
yang dimaklumi, seorang suami memiliki kewajiban untuk menghidupi isterinya.
tapi tidak jarang ada suami yang bergantung pada isterinya atau bahkan
menelantarkan serorang isteri. Hubungan pernikahan disamping merupakan hubungan
hati/perasaan, juga merupakan hubungan transaksional muamalah. Artinya ada
hak-hak hukum dalam transaksi itu yang harus dipenuhkan. Diantara hak-hak hukum
yang harus dipenuhkan adalah kewajiban memberikan mut’ah (uang pesangon) kepada
isteri yang dicerai. Meskipun dalam budaya kita hal ini tidak populer terlebih
bila sang suami merupakan orang yang tidak bertanggungjawab dan komitmen
pernikahan adalah untuk selamanya, namun sebagai bukti pertanggungjawaban
suami, bila suami menceraikan isterinya, dia wajib memberikan uang pesangon
atau dalam bahasa arab disebut mu’nah dengan ketentuan sebagai
berikut :
• Sebab perceraian bukan dari pihak isteri dan bukan karena kematian salah satu suami isteri dan juga bukan dari keduanya.
• Sebelum terjadinya perceraian isteri tersebut sudah pernah dikumpuli.
• Isteri belum pernah dikumpuli, akan tetapi dia sebagai isteri yang mufawwidloh merelakan dikawin tanpa mahar dan dicerai sebelum adanya penentuan mahar.
Penjelasan diatas lebih jelas bisa ditemukan dalam I’anah al Tolibin Juz 3 Hal. 356
• Sebab perceraian bukan dari pihak isteri dan bukan karena kematian salah satu suami isteri dan juga bukan dari keduanya.
• Sebelum terjadinya perceraian isteri tersebut sudah pernah dikumpuli.
• Isteri belum pernah dikumpuli, akan tetapi dia sebagai isteri yang mufawwidloh merelakan dikawin tanpa mahar dan dicerai sebelum adanya penentuan mahar.
Penjelasan diatas lebih jelas bisa ditemukan dalam I’anah al Tolibin Juz 3 Hal. 356
تَتِمَّةٌ تَجِبُ عَلَيْهِ لِزَوجَةٍ مَوْطُوعَةٍ وَلَو أَمَةً
مَتْعَةٌ بِفِرَاقٍ بِغَيْرِ سَبَبِهَا وَبِغَيْرِ مَوتِ أَحَدِهِمَا (قَولُهُ
لِزَوْجَةٍ مَوطُوعَةٍ) وَكَذَا غَيْرُ المَوطُوعَةِ التى لَمْ يَجِبْ لَهَا
شَيْءٌ أَصْلاً وَهُوَ المُفَوِّضَةُ الَّتِى طُلِّقَتْ قَبْلَ الفَرْضِ وَالوَطْءِ
فَتَجِبُ لَهَا المُتْعَةُ لِقُولِهِ تَعَالَى: لاَجُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِنْ طُلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَالَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا
لَهُنَّ فَرِيْضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ .أمَّا الَّتِى وَجَبَ لَهَا نِصْفُ المَهْرِ
فَلاَ مُتْعَةَ لَهَا لأَنَّ النِّصْفَ جَابِرٌ لِلإِيحَاسِ الَّذِى حَصَلَ لَهَا
بِالطَّلاَقِ مَعَ سَلاَمَةِ بِضْعِهَا وَلَو قَالَ كَغَيْرِهِ لِزَوْجَةٍ لَمْ
يَجِبْ لَهَا نِصْفُ مَهْرٍ فَقَطْ بِأَنْ لَمْ يَجِبْ لَهَا المَهْرُ أَصْلاً او
وَجَبَ لَهَا المَهْرُ كُلُّهُ لَكَانَ أَولىَ لَهَا فِى عِبَارَتِهِ مِنَ
الإِيْهَامِ الذِى لاَيَخْفَى.
Dalam sebuah pernikahan, tidak
jarang kita menemui seorang wali, wakil wali atau pengantin pria keliru dalam
mengucapkan sighat ijab kabul, sehingga seringkali “dipaksa” hadirin untuk
diulang ijab kabulnya. Sebenarnya ada beberapa toleransi kekeliruan yang tidak
mempengaruhi keabsahan sebuah akad. Salah satu contohnya adalah kekeliruan penghulu atau orang yang mendapat
wakalah menikahkan, menyebutkan nama wali, seperti Fatimah binti Utsman
diucapkan Fatimah binti Umar, maka pernikahan itu hukumnya tetap sah apabila
pada waktu akad tadi wali atau penghulu memberi isyarat kepada calon isteri
atau wali atau penghulu menyengaja terhadap calon isteri yang dimaksud seperti
kata ya muhammad hadza (wahai muhammad ini/yang ada dihadapanku) meski
ternyata namanya abdullah misalnya, ijab kabul tetap sah karena ada penyebutan hadza/orang
ini atau diniatkan orang yang ada dihadapannya. ketentuan ini sesuai dengan
paparan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin halaman 200
(مَسْئَلَة ش) غَيَّرَتْ
إِسْمَهَا وَنَسَبَهَا عِنْدَ إِسْتِئْذَانِهِاَ فِى النِّكَاحِ وَزَوَّجَهَا
القَاضِىبِذَلِكَ الإِسْمِ ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّ إِسْمَهَا وَنَسَبَهَا غَيْرُ مَا
ذَكَرْتَهُ فَإِنْ أَشَارَ إِلَيهَا حَالَ العَقْدِ بِأَنْ قَالَ زَوَّجْتُكَ
هَذِهِ أَوْ نَوَيَاهَا بِهِ صَحَّ النِّكَاحُ سَوَاءٌ كَانَ تَغْيِيْرُ الإسْمِ
عَمْدًا اوسَهْوًا مِنْهُ أَوْمِنْهَا إِذِ المَدَارُ عَلَى قَصْدِ الوَالى وَلَو
قَاضِيًا وَالزَّوجُ كَمَا قَالَ زَوَّجْتُكَ هِنْدًا وَنَوَيَا دَعْدًا عَمَلاً
بِنِيَّتِهَا
(masalah sy) seorang perempuan
mengganti namanya atau nasabnya ketika meminta izin dalam pernikahan dan hakim
menikahkannya dengan nama itu ternyata nama dan nasabnya itu bukan nama atau
nasab yang disebutkan. Bila akad itu diisyaratkan kepadanya dengan gambaran
hakim berkata saya nikahkan engkau dengan orang ini, atau meniatkan kepada sang
pengantin putri ketika menyatakan nama yang keliru itu, maka pernikahannya
tetap sah, baik perubahan nama itu disengaja atau karena lupa nasab dan
namanya, karena acuan hukum yang digunakan adalah penyengajaan wali, meski wali
hakim dan penyengajaan suami, sebagaimana perkataan wali saya nikahkan kamu
dengan hindun dan meniatkan dakdan, hal ini juga berdasar niat pengantin
perempuan.
Sudah
menjadi kebiasaan masyarakat, terutama dikalangan kelas menengah kebawah,
seringkali wali nikah baik orang tua kandung, kakak kandung ataupun siapa saja
yang kebetulan menjadi wali, mewakilkan pernikahan catin perempuan kepada
penghulu. Atau atas pesan salah seorang pengantin agar Kyai yang menikahkan.
Tidak
jarang dalam proses akad nikah tersebut, Kyai atau Penghulu setelah menerima
akad wakalah/wakil untuk menikahkan, Kyai atau Penghulu memerintahkan wali
untuk keluar dan tidak berada dalam majelis akad, dengan alasan sudah
diwakilkan kok masih dimajelis?!
Sebenarnya
dalam tinjauan fiqh apabila seorang wali
nikah telah mewakilkan akad nikah kepada orang lain, kemudian ikut hadir dalam
majlis akad tersebut, maka akad itu dihukumi sah, selama hadirnya si wali
tersebut tidak untuk menjadi saksi nikah. Penjelasan ini dapat dilihat lebih
lengkap dalam Hasyiyah al Bajuri II/102 yang secara ringkas sebagai berikut
فَلَو وَكَّلَ
الأَبُّ أَوِ الأَخُ المُنْفَرِدِ فِى العَقْدِ وَحَضَرَ مَعَ آخَرَ لِيَكُونَا
شَاهِدَيْنِ لَمْ يَصِحَّ لأَنَّهُ مُتَعَيِّنٌ لِلعَقْدِ فَلاَ يَكُونُ شَاهِدًا.
Seandainya bapak atau saudara yang
sendiri mewakilkan dalam akad, dan hadir besertaan yang lain agar keduanya
menjadi saksi, maka pernikahan tersebut tidak sah karena saksi itu menegaskan
keberadaan akad, maka wali tidak dapat menjadi saksi.
Sering orang melakukan nikah sirri,
tidak melalui KUA. Dikemudian hari, dia meresmikan pernikahannya melalui KUA
dan dalam peresmian tersebut dia melakukan akad nikah lagi. Hukum akad nikah
yang kedua ini adalah MUBAH dan dalam akad nikah kedua ini pengantin
pria tidak wajib membayar mahar lagi. Nikah kedua ini juga tidak mempengaruhi
terhadap haqqut thalaq menurut pendapat yang shahih. Yang mendasari
pendapat ini adalah pernyataan dalam kitab Fathul
Baari XIII/159
(بَابُ مَنْ بَايَعَ مَرَّتَيْنِ) حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمْ عَنْ
يَزِيْدِ ابْنِ أَبِى عُبَيْدَة عَنْ سَلَمَةَ رض. قَالَ : بَايَعْنَا النَّبِىَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَقَالَ لِى اَلاَ تَبَايَعَ
قُلْتُ قَدْ بَايَعْتُ يَارَسُولَ اللهِ فِى الأَوَّلِ قَالَ وَفِى الثَّانِى
رَوَاهُ البُخَارِى قَالَ ابْنُ مُنِيْر يُسْتَفَادُ مِنْ هَذَا الحَدِيْثِ أَنَّ
إِعَادَةَ عَقْدِ النِّكَاحِ وَغَيْرِهِ لَيْسَ فَسْحًا لِلْعَقْدِ الأَوَّلِ
خِلاَفًا لِمَن زَعَمَ ذَلِكَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ قُلْتُ الصَّحِيحُ عِنْدَهُمْ
إِنَّهُ لاَ يَكُوْنُ فَسْخًا كَمَا قَالَ الجمْهُور أهـ
(bab tentang orang yang melakukan
transaksi jual beli dua kali) bercerita kepadaku (Imam Bukhori) Abu Ashim dari
Yazid ibn Abi Ubaidah dari Salmah RA. Salmah berkata : “saya melakukan
transaksi jual beli dengan Nabi Muhammad SAW di bawah pohon, kemudian Rasul berkata
padaku, apakah kamu tidak melakukan akad transaksi? Saya telah melakukan akad
wahai Rasulullah pada waktu pertama, Nabi berkata; dan pada waktu yang kedua.”
Hadits riwayat al Bukhari. Ibn Munier berpendapat : Dari hadits ini dapat
diambil manfaat (kesimpulan hukum) bahwa mengulangi akad nikah atau yang
lainnya itu tidak merusak akad yang pertama berbeda dengan orang yang menyangka
bahwa hal itu dari ulama as Syafii. Penyusun kitab Fathul Bari berkata : “
pendapat yang benar menurut ulama syafii, pernikahan itu sah tidak merusak
sebagaimana disampaikan oleh mayoritas ulama.”
Akad nikah ulang atas perintah Kantor Urusan Agama ini,
sama halnya dengan tajdiidunnikah atau orang jawa sering mengistilahkan dengan mbangun
nikah. Menurut
pendapat yang shahih, memperbarui nikah itu hukumnya jawaz (boleh) dan tidak
merusak pada akad nikah yang telah terjadi. Karena memperbarui akad itu hanya
sekedar keindahan (tajamul) atau berhati-hati (ihtiyath). Meski pendapat lain
sebagaimana disebutkan dalam kitab al Anwar akad baru tersebut bisa merusak
akad yang telah terjadi.namun sejauh ini hanya kitab ini saja yang diketahui
menyatakan bahwa mengulang nikah menyebabkan rusaknya pernikahan terdahulu.
Ketentuan diatas didasari pernyataan pengarang kitabSyarah Minhaj Li Shihab Ibn
Hajar Juz 4 halaman 391
إِنَّ
مُجَرَّدَ مُوَافَقَةُ الزَّوجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدِ ثَانٍ مَثَلاً لاَيَكُونُ
إِعْتِرَافًا بِإِنْقِضَاءِ العِصْمَةِ الأولَى بَلْ وَلاَ كِنَايَةَ فِيْهِ
وَهُوَ ظَاهِرٌ لآنَّهُ مُجَرَّدُ تَجْدِيْدٍ طُلِبَ مِنَ الزَّوجِ لِتَجَمُّلٍ
أَو إحْتِيَاطٍ فَتَأَمَّل.
Sesungguhnya murninya kecocokan suami
pada kasus akad yang kedua misalnya, bukanlah pengakuan atas rusaknya penjagaan
atas akad yang pertama, bahkan hal itu bukan sindiran untuk itu, dan ini jelas.
Karena akad kedua itu hanyalah untuk memperbarui sebagai tuntutan pada suami
untuk memperindah (hubungan) dan berhati-hati, camkanlah.
Terkait persepsi mengenai nikah
bawah tangan (sirri) yang berbeda-beda diantara pihak pemerintah dan sebagian
masyarakat menimbulkan saling curiga kedua pihak. Masyarakat sebagai pihak
obyek hukum berkesan merasa selalu dipersulit. Pengajuan pencatatan nikah dari
mereka yang pernah melakukan nikah bawah tangan diharuskan melakukan akad nikah
kembali, jika tidak dipenuhi maka pihak KUA tidak berkenan memberi surat akta
nikah dan hal yang demikian tidak jarang menimbulkan perdebatan ramai antara
kedua belah pihak. Perlu diketahui bahwa KUA boleh memaksakan hal itu karena
menjalankan ketentuan aturan negara. Bahkan apabila ditemukan atau diduga
terjadi kebohongan-kebohongan, perintah nikah ulang hukumnya menjadi wajib.
Kewenangan perintah untuk mengulang nikah ini seiring dengan pendapat dalam
kitab Ianat Thalibin Juz 3 hal 302 dan Asna al Mathalib Juz 3 hal 157
اعانة الطالبين ج 3 ص 302
وقوله فيه: متعلق بمحذوف صفة لحجة، أي
بحجة مقبولة في ثبوت النكاح وهي رجلان، أو علم الحاكم
أسنى المطالب الجزء الثالث ص: 157
(قوله قال إبراهيم المروزي إلخ) أشار
إلى تصحيحه وكتب عليه ما نقله عن المروزي مخالف لما صححه في النكاح من أن البالغة
العاقلة إذا أقرت بالنكاح فقالت زوجني ولي بعدلين ورضاي إن كانت ممن يعتبر رضاها
وكذبها الولي فثلاثة أوجه أصحها يحكم بقولها لأنها تقر على نفسها قاله ابن الحداد
والشيخ أبو علي والثاني لا لأنها كالمقرة على الولي قاله القفال والثالث يفرق بين
العفيفة والفاسقة قاله القاضي حسين ولا فرق في هذا الخلاف بين أن تقيد الإقرار
وتضيف التزويج إلى الولي فيكذبها وبين أن تطلق ثم قال ويجري الخلاف أيضا في تكذيب
الشاهدين إذا كانت قد عينتهما والأصح أنه لا عبرة بتكذيبهما لاحتمال النسيان
والكذب هذه عبارته وبها يظهر أن ما نقله عن المروزي ضعيف مبني على أن تكذيب الشهود
المعينين يقدح فإن قلنا لا يقدح قبل قولها في الموضعين وقد بينه في الكفاية كذلك
فقال في باب التحليل ولو قال الزوج أنا أعلم أن الزوج الثاني لم يدخل بها ثم قال
بعد ذلك علمت أنه أصابها قال الشافعي يقبل ذلك منه وكان له أن يتزوجها ولو قال
الزوج الثاني لم أدخل بها وادعت الزوجة الدخول هل للأول نكاحها وكذلك لو جاء الولي
والشهود الذين ادعت انعقاد النكاح بحضورهم وأنكروا ذلك لم يقبل منهم وأشار البغوي
إلى شيء من ذلك وهو مستمد من إقرار المرأة بالنكاح فإن المذهب أنه يعمل به مع
تكذيب الولي والشهود
Saya pernah mendengar kabar ada
seorang dosen perguruan tinggi menikahkan anaknya melalui telepon. saya juga
pernah mendengar seorang penghulu kantor urusan agama di jawa barat menikahkan
melalui teleconfrence.
Sesungguhnya
dalam tinjauan fiqh syafi Ijab qabul dalam akad nikah melalui telepon atau
teleconfrence hukumnya tidak sah, sebab tidak ada pertemuan langsung
antara orang yang melaksanakan akad nikah. Keharusan para pihak, calon
pengantin harus dalam satu majelis ini untuk meminimalisir penipuan atau untuk
meyakinkan terjadinya pernikahan. Dalam kitab Kifayatul Akhyar II/51 dijelaskan
:
(فرع) يُشْتَرَطُ فِى صِحَّةِ عَقْدِ
النِّكَاحِ خُضُورُ أَرْبَعَةٍ. وَلِيٍّ وَزَوْجٍ وَشَاهِدَى عَدْلٍ
(cabang) disyaratkan dalam keabsahan
nikah, hadirnya 4 orang: wali, calon suami dan dua orang saksi yang adil.
begitu juga dalam kitab Tuhfatul Habib ala Syarhil Khatib
III.335 disampaikan
وَمِمَّا تَرَكَهُ مِنْ شُرُوطِ الشَّاهِدَيْنِ السَّمْعُ وَالبَصَرُ
وَالضَّبْطُ (قُولُهُ وَالضَبْطُ) اى لأَلْفَاظِ وَلِى الزَّوجَةِ وَالزَّوجُ
فَلاَ يَكْفِى سِمَاعُ الفَاظِهِمَا فِى ظُلْمَةٍ لأَنَّ الأَصْوَاتَ تَشْبِيْهٌ.
Dan sebagian dari hal-hal yang diabaikan dari syarat
saksi dalah mendengar, melihat dan cermat (pernyataan penyusun : dan cermat)
maksudnya cermat atas ucapan wali pengantin putri dan pengantin putra. Tidak
cukup mendengar ucapan mereka di kegelapan karena mengandung keserupaan.
Ketidak
absahan ini bukan berarti hukum Islam mengesampingkan teknologi, namun dibalik
kecanggihan teknologi juga ada kemudahan dalam memanipulasi. bisa saja suaranya
dirubah, didubling oleh suara orang lain, pastinya kita sudah mengetahui banyak
tentang hal ini.
Sebuah
pernikahan merupakan benang tipis antara ibadah dan kemaksiatan, setiap
kekeliruan dalam pernikahan bisa mengakibatkan perzinaan diantara dua orang.
karena itu harus dijalankan secara berhati-hati dan tidak sembrono.
Bagaimana
bila salah satunya berhalangan hadir? perlu diketahui pula, bahwa ketidak
mampuan hadir dapat diganti dengan cara mewakilkan baik melalui surat, utusan
orang atau telepon. Dalam Kantor Urusan Agama biasanya juga disediakan blangko tauliyah
bil kitabah.
Assalamualaikum Warrahmatulahi Wabarakatuh
BalasHapussaya mau tanya pak dan mohon diberikan jawaban.
Saya sudah menikah dan memiliki dua orang puteri, namun saya dan isteri saya baru mengetahui bahwa ternyata isteri saya itu adalah anak diluar nikah, dan masalahnya dulu yang menikahkan kami adalah ayahnya (bukan kah secara syar'i ayahnya tidak sah menikahkan kami) lalu secara diam-diam dan tanpa memberitahu keluarga yang lain karena alasan menutupi aib, kami mendatangi kepala KUA pada kecamatan sebelah dan minta dinikahkan ulang dengan menggunakan wali hakim, pada saat sighat akad nikah kepala KUA tersebut memakai kata " AKU NIKAHKAN ENGKAU DENGAN MAWAR BINTI UDIN ".
yang menjadi pertanyaan saya apakah sah pernikahan ulang saya tersebut karena bapak kepala KUA menyebut isteri saya dengan MAWAR BINTI UDIN padahal UDIN selaku mertua saya cuma ayah biologisnya dan isteri saya tidak bernasab dengan ayah biologisnya tersebut dan nasab nya jatuh kepada ibunya dan bapak kepala KUA tersebut beralasan bahwa beliau memakai kata BINTI UDIN untuk tidak memutus tali silaturahmi antara isteri saya dengan ayah biologisnya tersebut, jadi bagaimana apakah pernikahan ulang kami itu sah ?
demikian pertanyaan saya mohon bapak bisa memberikan jawaban dan pencerahan terhadap masalah saya ini.
Wassalamualaikum Warrahmatulahi Wabarakatuh.
nice share gan, lengkap penjelasannya, thanks
BalasHapusSouvenir Murah Kediri