Selasa, 29 Januari 2013

HADITS HADITS DHAIF TENTANG IBADAH HAJI


HADITS HADITS DHAIF TENTANG HAJI
Editor : drs.HM.SAKTI RANGKUTI,MA.
  Syariah Hadits 19 – januari 2013
Setiap muslim pastilah mengetahui bahwa ibadah haji ke Baitullah merupakan salah satu rukun dari lima rukun agamanya. Dan kini bulan pelaksanaan haji telah menjelang. Jutaan kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia akan membanjiri tanah suci yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Ucapan talbiyah menyambut panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala terluncur dari lisan tamu-tamu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah aku penuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu aku penuhi panggilan-Mu sesungguh segala
pujian keni’matan dan kerajaan adl milik-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Berangkat ke tanah suci melaksanakan ibadah haji dan umrah ini merupakan impian tiap insan beriman mewujudkan titah Allah Yang Maha Rahman yang telah berfirman:
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari kewajiban haji maka sesungguh Allah Maha Kaya dari semesta alam.”
Namun yang sangat disayangkan banyak sekali hadits dhaif/lemah yang tersebar seputar ibadah yang agung ini. Terkadang hadits-hadits itu dijadikan pegangan oleh sebagian kaum muslimin yang awam tentang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal dalam syariat yang mulia ini hadits dhaif tidak boleh dijadikan sandaran dalam suatu amalan sekalipun dalam fadhailul ‘amal. Demikian menurut pendapat yang benar.
Sebagai bentuk peringatan bagi kaum muslimin dalam lembaran rubrik Hadits kali ini akan kami sebutkan sedikit dari sekian banyak hadits dhaif yang berkaitan dengan ibadah haji dan umrah. Kami nukilkan hadits-hadits tersebut dari kitab yang sangat berfaedah karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah yang berjudul Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah.1 Kami katakan hanya sedikit yang kami bawakan dalam rubrik ini karena lebih banyak lagi hadits dhaif yang tidak dapat kami sebutkan karena keterbatasan ruang.
Kami berharap semoga yang sedikit ini menjadi perhatian kaum muslimin dan tidak lagi menjadikan sebagai pegangan. Dan semoga kaum muslimin mau unutk selalu berta kepada ahlul ilmi tentang perkara agama mereka mana yang diperintahkan dan mana yang tidak diperintahkan mana yang shahih dan mana yang dhaif. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Bertanyalah kalian kepada ahludz dzikr jika kalian tidak tahu.”
Hadits-hadits Dhaif Berkaitan dengan Ibadah Haji
1. Keutamaan berhaji
الْحَاجُّ يَشْفَعُ فِي أَرْبَعِ مِئَةِ أَهْلِ بَيْتٍ -أَوْ قَالَ: مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ-
“Orang yg berhaji akan memberi syafaat kepada 400 orang ahlu bait –atau Nabi mengatakan: 400 orang dari ahlu bait nya–.”
حُجُّوا تَسْتَغْنُوْا..
“Berhajilah kalian niscaya kalian akan merasa berkecukupan.…”
حُجُّوا، فَإِنَّ الْحَجَّ يَغْسِلُ الذُّنُوْبَ كَمَا يَغْسِلُ الْمَاءُ الدَّرَنَ
“Berhajilah kalian karena sesungguh haji itu mencuci dosa-dosa sebagaimana air mencuci kotoran.” diriwayatkan oleh Abul Hajjaj Yusuf bin Khalil dlm As-Saba’iyyat 1/18/1. Lihat Ad-Dha’ifah no. 542}
حَجَّةٌ لِمَنْ لَمْ يَحُجَّ خَيْرٌ مِنْ عَشْرِ غَزَوَاتٍ، وَغَزْوَةٌ لِمَنْ حَجَّ خَيْرٌ مِنْ عَشْرِ حُجَجٍ..
“ haji bagi orang yang belum berhaji itu lebih baik daripada sepuluh peperangan. Dan peperangan bagi orang yang telah berhaji itu leibh baik daripada sepuluh haji….”
إِذَا لَقِيْتَ الْحَاجَّ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَصَافِحْهُ، وَمُرْهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بَيْتَهُ، فَإِنَّهُ مَغْفُوْرٌ لَهُ
“Apabila engkau bertemu dengan seorang haji ucapkanlah salam padanya dan jabatlah tangan serta mohonlah padanya agar memintakan ampun bagimu sebelum ia masuk ke dalam rumahnya karena orang yang berhaji itu telah diampuni.”
مَنْ مَاتَ فِي هذَا الْوَجْهِ مِنْ حَاجٍّ أَوْ مُعْتَمِرٍ، لَمْ يُعْرَضْ وَلَمْ يُحَاسَبْ، وَقِيْلَ لَهُ: ادْخُلِ الْجَنَّةَ
“Siapa yang meninggal dalam sisi ini baik ia berhaji atau berumrah niscaya amal tidak dipaparkan kepada dan tidak akan dihisab. Dan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah engkau ke dalam surga.’”
الْحَاجُّ فِي ضَمَانِ اللهِ مُقْبِلاً وَمُدْبِرًا، فَإِنْ أَصَابَهُ فِي سَفَرِهِ تَعْبٌ أَوْ نَصَبٌ غَفَرَ اللهُ لَهُ بِذلِكَ سَيِّئَاتِهِ، وَكَانَ لَهُ بِكُلِّ قَدَمٍ يَرْفَعُهُ أَلْفَ دَرَجَةٍ، وَبِكُلِّ قَطْرَةٍ تُصِيْبُهُ مِنْ مَطَرٍ أَجْرُ شَهِيْدٍ
“Orang yang berhaji itu dalam tanggungan/jaminan Allah ketika datang maupun pulangnya. Bila dia tertimpa kepayahan atau sakit dalam safar Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya. Dan tiap telapak kaki yang ia angkat untuk melangkah ia dapatkan seribu derajat. Dan tiap tetesan hujan yang menimpa ia dapatkan pahala orang yang mati syahid.”
خَيْرُ مَا يَمُوْتُ عَلَيْهِ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ قَافِلاً مِنْ حَجٍّ أَوْ مُفْطِرًا مِنْ رَمَضَانَ
“Sebaik-baik keadaan meninggal seorang hamba adalah ia meninggal dalam keadaan pulang dari menunaikan ibadah haji atau dalam keadaan berbuka dari puasa Ramadhan.”
2. Keutamaan berhaji yang disertai menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
نْ حَجَّ حَجَّةَ اْلإِسْلاَمِ، وَزَارَ قَبْرِي وَغَزَا غَزْوَةً وَصَلَّى عَلَيَّ فِي الْمَقْدِسِ، لَمْ يَسْأَلْهُ اللهُ فِيْمَا افْتَرَضَ عَلَيْهِمَ
“Siapa yang berhaji dengan haji Islam dan dia menziarahi kuburku dan berperang dengan satu peperangan dan bershalawat atasku di Al-Maqdis maka Allah tidak akan menanyai dalam apa yang Allah wajibkan kepadanya.” 2
مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ مَوْتِي، كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي
“Siapa yang berhaji lalu ia menziarahi kuburku setelah wafatku maka dia seperti orang yang menziarahiku ketika hidupku.” 3
3. Haji dilaksanakan sebelum menikah
الْحَجُّ قَبْلَ التَّزَوُّجِ
“Haji itu dilaksanakan sebelum menikah.”
مَنْ تَزَوَّجَ قَبْلَ أَنْ يَحُجَّ فَقَدْ بَدَأَ بِالْمَعْصِيَةِ
“Siapa yang menikah sebelum menunaikan ibadah haji maka sungguh ia telah memulai dengan maksiat.”
4. Banyak berhaji mencegah kefakiran
كَثْرَةُ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ تَمْنَعُ الْعَيْلَةَ
“Banyak melaksanakan haji dan umrah mencegah kepapaan.”
5. Tidak boleh mengarungi lautan kecuali orang yang ingin berhaji
لاَ يَرْكَبُ الْبَحْرَ إِلاَّ حَاجٌّ أَوْ مُعْتَمِرٌ، أَوْ غَازٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ، فَإِنَّ تَحْتَ الْبَحْرَ نَارًا وَ تَحْتَ النَّارِ بَحْرًا
“Tidak boleh mengarungi lautan kecuali orang yang berhaji atau berumrah atau orang yang berperang di jalan Allah karena di bawah lautan itu ada api dan di bawah api ada lautan.”
6. Keutamaan ber-ihlal dari Masjidil Aqsha
مَنْ أَهَّلَ بِحَجَّةٍ أَوْ عُمْرَةٍ مِنَ الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى إِلَى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، أَوْ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Siapa yang ber-ihlal4 haji atau umrah dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu dan yang akan datang atau diwajibkan surga baginya.”
7. Ancaman bagi orang yang berhaji namun tidak menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
“Siapa yang haji ke Baitullah namun ia tidak menziarahi kuburku maka sungguh ia telah berbuat jafa` kepadaku.”
8. Keutamaan menghajikan orang tua
مَنْ حَجَّ عَنْ وَالِدَيْهِ بَعْدَ وَفَاتِهِمَا كَتَبَ اللهُ لَهُ عِتْقًا مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لِلْمَحْجُوْجِ عَنْهُمْ أَجْرُ حَجَّة تَامةٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ
“Siapa yang menghajikan kedua orang tua setelah kedua wafat maka Allah akan menetapkan dia dibebaskan dari api neraka. Dan bagi yang dihajikan akan memperoleh pahala haji yang sempurna tanpa mengurangi pahala orang yang menghajikan sedikitpun.”
إِذَا حَجَّ الرَّجُلُ عَنْ وَالِدَيْهِ تُقْبَلُ مِنْهُ وَمِنْهُمَا، وَاسْتُبْشِرَتْ أَرْوَاحُهُمَا فِي السَّمَاءِ وَكُتِبَ عِنْدَ اللهِ بَرًّا
“Apabila seseorang menghajikan kedua orang tua maka akan diterima amalan itu dan dari kedua orang tua dan diberi kabar gembira ruh kedua di langit dan ia dicatat di sisi Allah sebagai anak yang berbakti .”
9. Hadits dhaif tentang keutamaan berhaji dengan jalan kaki
إِنَّ لِلْحَجِّ الرَّاكِبِ بِكُلِّ خَطْوَةٍ تَخْطُوْهَا رَاحِلَتُهُ سَبْعِيْنَ حَسَنَةً، وَالْمَاشِي بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوْهَا سَبْعَ مِئَةِ حَسَنَةٍ
“Sesungguh orang yang berhaji dengan berkendaraan mendapatkan 70 kebaikan dengan tiap langkah yang dilangkahkan oleh kendaraannya. Sementara orang yang berhaji dengan berjalan kaki dengan tiap langkah yang ia langkahkan mendapatkan 700 kebaikan.” 5
10. Keutamaan thawaf
مَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ خَمْسِيْنَ مَرَّةً، خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Siapa yang thawaf di Baitullah 50 kali maka ia terlepas dari dosa-dosa sehingga keberadaan laksana hari ia dilahirkan oleh ibu .”
طَوَافُ سَبْعٍ لاَ لَغْوَ فِيْهِ يَعْدِلُ رَقَبَةً
“Thawaf tujuh kali tanpa melakukan perkara laghwi di dalam sebanding dengan membebaskan budak.” diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 5/8833. Lihat Adh-Dha’ifah no. 4035}
11. Hari Arafah
عَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُ النَّاسُ
“Arafah adalah hari di mana manusia wuquf di Arafah.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Guru Besar kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitab beliau Ijabatus Sa`il berkata: “Adapun yang ditulis oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Silsilah Adh-Dha’ifah ketika membaca benar-benar menenangkan hati kami .”
2 Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata: “ karena membuat anggapan telah diwahyukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa menunaikan perkara yang disebutkan dalam hadits berupa haji ziarah kubur dan berperang bisa menggugurkan pelaku dari hukuman bila ia bermudah-mudahan dalam meninggalkan kewajiban-kewajiban agama yang lain. Ini merupakan kesesatan. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amat jauh dari mengucapkan perkataan yang menimbulkan anggapan yang salah. Bagaimana lagi dengan ucapan yang secara jelas menunjukkan kesesatan?!”
3 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al-Qa’idah Al-Jalilah berkata: “Hadits-hadits tentang ziarah kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruh dhaif. Tidak ada satupun yanang bisa dijadikan sandaran dalam agama ini. Karena itu ahlu Shihah dan Sunan tidak ada yang meriwayatkan sedikit pun. Yang meriwayatkan hadits-hadits semacam itu hanyalah ulama yang biasa membawakan hadits-hadits dhaif seperti Ad-Daraquthni Al-Bazzar dan selain keduanya.”
Kemudian Ibnu Taimiyyah rahimahullah membawakan hadits di atas. Setelah itu beliau berkata: “Hadits ini kedustaan jelas sekali. Hadits ini menyelisihi agama kaum muslimin. Karena orang yang menziarahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hidup dan beriman kepada beliau berarti orang itu termasuk shahabat beliau. Terlebih lagi bila orang itu termasuk orang-orang yang berhijrah kepada beliau dan berjihad bersama beliau. Telah pasti sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah kalian mencela para shahabatku. maka demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya seandai salah seorang dari kalian menginfakkan emas semisal gunung Uhud niscaya tidak dapat mencapai satu mud infak salah seorang mereka dan tidak pula setengahnya.”
Seseorang yang hidup setelah shahabat tidaklah bisa sama dgn shahabat hanya dengan mengerjakan amalan-amalan wajib yang diperintahkan seperti haji jihad shalat lima waktu bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana lagi dengan amalan yang tidak wajib dengan kesepakatan kaum muslimin ? Tidak pula disyariatkan untuk safar untuk mengerjakan bahkan dilarang. Adapun safar menuju ke masjid beliau guna mengerjakan shalat di dalam maka hal itu mustahab .”
4 Memulai ihram dan mengucapkan talbiyah
5 Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata: “Bagaimana bisa hadits ini dianggap shahih sementara yang ada justru sebaliknya? Di mana telah shahih riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan haji dengan berkendaraan. Seandai berhaji dengan jalan kaki itu lebih afdhal niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memilih hal itu untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah jumhur ulama berpendapat bahwa haji dengan berkendaraan itu lebih utama sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim.”

Sumber: www.asysyariah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar