KUMPULAN HADITS HADITS
MAWDHU’(PALSU) DAN DHAIF (LEMAH)
EDITOR : DRS.HM.SAKTI
RANGKUTI,MA.
KAMAD TSANAWIYAH ALWASHLIYAH
PULAU GAMBAR
KEC.SERBA JADI KAB.SERDANG
BEDAGAI.
01: “Permulaan bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya
adalah ampunan dan terakhirnya adalah pembebasan dari (siksa) naraka” (Hadits
Munkar)
(Lihat, Kitab adhDhu`afa, oleh al’Uqailiy, 2/162; al-Kamil Fi Dhu’afa ar-Rijal, oleh Ibnu `Adiy, 1/165; Ilal alHadits, oleh Ibnu Abi Hatim, 1/246; Silsilah alAhadits adhDha’ifah wa alMaudhu`ah, oleh alAlbaniy, 2/262; 4/70)
(Lihat, Kitab adhDhu`afa, oleh al’Uqailiy, 2/162; al-Kamil Fi Dhu’afa ar-Rijal, oleh Ibnu `Adiy, 1/165; Ilal alHadits, oleh Ibnu Abi Hatim, 1/246; Silsilah alAhadits adhDha’ifah wa alMaudhu`ah, oleh alAlbaniy, 2/262; 4/70)
02: “Berpuasalah kalian semua niscaya kalian semua akan
sehat” (Hadits Dha’if)
(Lihat, Kitab Tahrij alIhya`, oleh alIraqiy, 3/75; alKamil Fi Dhu`afa arRijal, oleh Ibnu ‘Adiy, 2/357; asySyidzrah Fi alAhaadits alMusytahirah, oleh Ibnu Thulun, 1/479, alFawaid al’Majmu’ah Fi alAhaadits alMaudhu’ah, oleh asySyaukaniy, 1/259; al-Maqashid alHasanah, oleh asSakhawiy, 1/549; Kasyf alKhafa, oleh al’Ajluniy, 2/539 dan Silsilah alAhadits adhDha’ifah wa alMaudhu’ah, 1/420
(Lihat, Kitab Tahrij alIhya`, oleh alIraqiy, 3/75; alKamil Fi Dhu`afa arRijal, oleh Ibnu ‘Adiy, 2/357; asySyidzrah Fi alAhaadits alMusytahirah, oleh Ibnu Thulun, 1/479, alFawaid al’Majmu’ah Fi alAhaadits alMaudhu’ah, oleh asySyaukaniy, 1/259; al-Maqashid alHasanah, oleh asSakhawiy, 1/549; Kasyf alKhafa, oleh al’Ajluniy, 2/539 dan Silsilah alAhadits adhDha’ifah wa alMaudhu’ah, 1/420
03: “Barangsiapa berbuka satu hari pada (puasa) Ramadhan
tanpa ada udzur (sebab) dan (karena) sakit, maka dia tidak dapat menggantinya
meskipun puasa satu tahun (penuh)” (Hadits Dha’if)
(Lihat, Fath alBariy, oleh alHafidz Ibnu Hajar, 4/161; Misykaah alMashabih, tahqiq alAlbaniy, 1/626; Dha’if Sunan athThirmidziy, oleh alAlbaniy, hadits no. 115; alIlal alWaridah Fi alAhaadits, oleh adDaruquthniy, 8/270)
(Lihat, Fath alBariy, oleh alHafidz Ibnu Hajar, 4/161; Misykaah alMashabih, tahqiq alAlbaniy, 1/626; Dha’if Sunan athThirmidziy, oleh alAlbaniy, hadits no. 115; alIlal alWaridah Fi alAhaadits, oleh adDaruquthniy, 8/270)
04: “Sesungguhnya bagi Allah Ta`ala pembebasan
dari(siksa)neraka pada setiap kali berbuka”(Hadits Dha’if)
(Lihat, Tanjiih asy-Syari’ah, oleh alKananiy, 2/155; alFawaid alMajmu’ah Fi alAhaadits alMaudhu’ah, oleh asySyaukaniy, 1/257; alKasyf alIlaahiy ‘An Syadiid adhDha’if wa alMaudhu wa alWahiy, oleh alThuraabilisiy, 12/230; Dzakhirah alHuffaazh, oleh alQaisiraniy, 2/956; Syu’abul Iman, oleh alBaihaqiy, 3/304; dan alKaamil Fi Dhu’afaa arRizal, oleh Ibnu ‘Adiy, 2/455)
(Lihat, Tanjiih asy-Syari’ah, oleh alKananiy, 2/155; alFawaid alMajmu’ah Fi alAhaadits alMaudhu’ah, oleh asySyaukaniy, 1/257; alKasyf alIlaahiy ‘An Syadiid adhDha’if wa alMaudhu wa alWahiy, oleh alThuraabilisiy, 12/230; Dzakhirah alHuffaazh, oleh alQaisiraniy, 2/956; Syu’abul Iman, oleh alBaihaqiy, 3/304; dan alKaamil Fi Dhu’afaa arRizal, oleh Ibnu ‘Adiy, 2/455)
05: “Sekiranya semua hamba mengetahui apa yang terkandung
dalam (bulan) Ramadhan sungguh ummat-ku akan berharap (bulan) Ramadhan menjadi
setahun penuh” (Hadits Dha’if)
(Lihat, alMaudhuat, oleh Ibnu alJauziy, 2/188; Tanjiih asySyari’ah, oleh alKanaaniy, 2/153; alFawaaid alMajmu’ah, oleh asySyaukaniy, 1/254)
(Lihat, alMaudhuat, oleh Ibnu alJauziy, 2/188; Tanjiih asySyari’ah, oleh alKanaaniy, 2/153; alFawaaid alMajmu’ah, oleh asySyaukaniy, 1/254)
06: “Ya Allah anugerahkan kepada kami keberkahan di (bulan)
Rajab dan Sya`ban serta pertemukan kami (dengan) Ramadhan” (Hadits Dha’if)
(Lihat, alAdzkaar, oleh anNawawiy; Mizaan alI’tidal, oleh adzDzahabiy; Majma’u azZawaaid, oleh alHaitsamiy, 2/165 dan Dha’if alJami`, oleh alAlbaniy, hadits no. 4395)
(Lihat, alAdzkaar, oleh anNawawiy; Mizaan alI’tidal, oleh adzDzahabiy; Majma’u azZawaaid, oleh alHaitsamiy, 2/165 dan Dha’if alJami`, oleh alAlbaniy, hadits no. 4395)
07: Do’a Berbuka: “Allahumma laka
shumtu wabika Aamantu ; Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa, dan atas rizeki-Mu
aku berbuka” (Hadits Dha’if)
(Lihat, Talkhiish alKhabir, oleh alHafizh Ibnu Hajar, 2/202, hadits no. 911; alAdzkaar, oleh an-Nawawiy, hal. 172; Majma’u azZawaid, oleh alHaitsamiy, 3/156; dan Dha’if alJami, oleh alAlbaniy, hadits no. 4349)
(Lihat, Talkhiish alKhabir, oleh alHafizh Ibnu Hajar, 2/202, hadits no. 911; alAdzkaar, oleh an-Nawawiy, hal. 172; Majma’u azZawaid, oleh alHaitsamiy, 3/156; dan Dha’if alJami, oleh alAlbaniy, hadits no. 4349)
08: “Setiap sesuatu (memiliki) pintu, dan pintu ibadah adalah
puasa”
Hadist ini dinukil oleh Abi Syuja’ di dalam alFirdaus, no. 4992 dari hadits Abu Darda’ dan menurut Syaikh alAlbaniy hadits ini lemah di dalam kitabnya adhDha’if, no. 4720)
Hadist ini dinukil oleh Abi Syuja’ di dalam alFirdaus, no. 4992 dari hadits Abu Darda’ dan menurut Syaikh alAlbaniy hadits ini lemah di dalam kitabnya adhDha’if, no. 4720)
09: “Tidurnya seorang yang berpuasa adalah ibadah”
Hadits ini dilemahkan oleh al’Iraaqiy di dalam alMughniy, no. 727; dan asSuyuthiy di dalam alJami’ ashShaghir, hal. 188; dan telah membenarkan alMunawiy di dalam alFaidh, no. 9293 dan Syaikh alAlbaniy sepakat dengan keduanya di dalam adhDha`if, no. 5972)
Hadits ini dilemahkan oleh al’Iraaqiy di dalam alMughniy, no. 727; dan asSuyuthiy di dalam alJami’ ashShaghir, hal. 188; dan telah membenarkan alMunawiy di dalam alFaidh, no. 9293 dan Syaikh alAlbaniy sepakat dengan keduanya di dalam adhDha`if, no. 5972)
10: “Bertawassullah kalian dengan kedudukanku, sesungguhnya
kedudukanku di sisi Allah sangat besar.” Atau: “Apabila kalian meminta kepada Allah, maka mintalah
kepada-Nya dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat
besar”Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini dusta dan
tidak terdapat dalam kitab-kitab kaum muslimin yang dijadikan pegangan oleh
ahlul hadits, dan tidak satu pun ulama menyebutkan hadits tersebut, padahal
kedudukan beliau di sisi Allah ta’ala lebih besar dari kemuliaan seluruh nabi
dan rasul.” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hal 168. Dan lihat
Iqtidlo’ Shiratil Mustaqim (2/783)).
11:“Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau
meminta bantuan dengan berdo’a) kepada ahli kubur” Atau “Minta tolonglah dengan
(perantaraan) ahli kubur”Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits
ini adalah dusta dan diada-adakan atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdasar kesepakatan ahli hadits. Hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang
pun dari para ulama dan tidak ditemukan sama sekali dalam kitab-kitab hadits
yang terpercaya.” (Majmu’ Fatawaa (11/293)).
12: “Kalaulah seandainya kaum muslimin tahu apa yang ada di
dalam Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan agar satu tahun Ramadhan
seluruhnya. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada
tahun berikutnya ….” Hingga
akhir hadits ini.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no.886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Maudhuat (2/188-189) dan Abu Ya’la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al-Muthalibul ‘Aaliyah (Bab/A-B/tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Mas’ud al-Ghifari.
Hadits ini maudhu’ (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata : “Mashur dengan kelemahannya”. Juga dinukilkan perkataan Abu Nua’im, ” Dia suka memalsukan hadits”, dan dari Bukhari, berkata, “Mungkarul hadits” dan dari An-Nasa’i, “Matruk” (ditinggalkan) haditsnya”.
Ibnul Jauzi menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan Ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, “Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al-Bajali”..
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no.886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Maudhuat (2/188-189) dan Abu Ya’la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al-Muthalibul ‘Aaliyah (Bab/A-B/tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Mas’ud al-Ghifari.
Hadits ini maudhu’ (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata : “Mashur dengan kelemahannya”. Juga dinukilkan perkataan Abu Nua’im, ” Dia suka memalsukan hadits”, dan dari Bukhari, berkata, “Mungkarul hadits” dan dari An-Nasa’i, “Matruk” (ditinggalkan) haditsnya”.
Ibnul Jauzi menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan Ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, “Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al-Bajali”..
13: “Wahai manusia, sungguh bulan yang agung telah datang
(menaungi) kalian, bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik
dari seribu bulan, Allah menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu
kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa
yang mendekatkan diri pada bulan tersebut dengan (mengharapkan) suatu kebaikan,
maka sama (nilainya) dengan menunaikan perkara yang wajib pada bulan yang lain
…. Inilah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya
adalah merupakan pembebasan dari api neraka ….”
sampai selesai.
Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al-Muhamili di dalam Amalinya (293) dan Al-Asbahani dalam At-Targhib (q/178, b/tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jad’an dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Salman.
Hadits ini sanadnya Dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Sa’ad, Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal, Tidak kuat, berkata Ibnu Ma’in. Dha’if berkata Ibnu Abi Khaitsamah, Lemah di segala penjuru, dan berkata Ibnu Khuzaimah, Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hafalannya. Demikian di dalam Tahdzibut Tahdzib [7/322-323].
Dan Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini, Jika benar kabarnya. berkata Ibnu Hajar di dalam Al-Athraf, Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jad’an, dan dia lemah, sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Imam As-Suyuthi di dalam Jami’ul Jawami (no. 23714 -tertib urutannya).
Dan Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam Illalul Hadits (I/249), hadits yang Mungkar
Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al-Muhamili di dalam Amalinya (293) dan Al-Asbahani dalam At-Targhib (q/178, b/tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jad’an dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Salman.
Hadits ini sanadnya Dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Sa’ad, Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal, Tidak kuat, berkata Ibnu Ma’in. Dha’if berkata Ibnu Abi Khaitsamah, Lemah di segala penjuru, dan berkata Ibnu Khuzaimah, Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hafalannya. Demikian di dalam Tahdzibut Tahdzib [7/322-323].
Dan Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini, Jika benar kabarnya. berkata Ibnu Hajar di dalam Al-Athraf, Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jad’an, dan dia lemah, sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Imam As-Suyuthi di dalam Jami’ul Jawami (no. 23714 -tertib urutannya).
Dan Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam Illalul Hadits (I/249), hadits yang Mungkar
14: “Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina”
Hadits dhoif (lemah), apalagi palsu, tidak boleh dijadikan dalil
dan hujjah dalam menetapkan suatu aqidah dan hukum syar’i di dalam Islam.
Demikian pula, tidak boleh diyakini hadits tersebut sebagai sabda Nabi SAW. Di
antara hadits-hadits dhoif (lemah) yang masyhur digunakan oleh para khatib dan
da’i dalam mendorong manusia untuk menuntut ilmu di mana pun tempatnya
sekalipun jauhnya sampai ke Negeri Tirai Bambu, Cina, adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. dari Nabi SAW, beliau bersabda
“Tuntutlah ilmu, walaupun
di negeri Cina”.[HR. Ibnu Addi dalam Al-Kamil (207/2), Abu Nu’aim dalam Akhbar
Ashbihan (2/106), Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (9/364), Al-Baihaqiy dalam
Al-Madkhol (241/324), Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ (1/7-8), dan lainnya,
semuanya dari jalur Al-Hasan bin ‘Athiyah, ia berkata, Abu ‘Atikah Thorif bin
Sulaiman telah menceritakan kami dari Anas secara marfu’]
Ini adalah hadits dhaif
jiddan (lemah sekali), bahkan sebagian ahli
hadits menghukuminya sebagai hadits batil, tidak ada asalnya. Ibnul Jauziy
–rahimahullah- berkata dalam Al-Maudhu’at (1/215) berkata, ‘’Ibnu Hibban
berkata, hadits ini batil, tidak ada asalnya’’. Oleh karena ini, Syaikh
Al-Albaniy –rahimahullah- menilai hadits ini sebagai hadits batil dan lemah
dalam Adh-Dhaifah (416).
As-Suyuthiy dalam Al-La’ali’ Al-Mashnu’ah (1/193) menyebutkan
dua jalur lain bagi hadits ini, barangkali bisa menguatkan hadits di atas.
Ternyata, kedua jalur tersebut sama nasibnya dengan hadits di atas, bahkan
lebih parah. Jalur yang pertama, terdapat seorang rawi pendusta, yaitu Ya’qub
bin Ishaq Al-Asqalaniy. Jalur yang kedua, terdapat rawi yang suka memalsukan
hadits, yaitu Al-Juwaibariy. Ringkasnya, hadits ini batil, tidak boleh
diamalkan, dijadikan hujjah, dan diyakini sebagai sabda Nabi SAW .
15: “Beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup akan selamanya
dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok ”
Ini bukanlah sabda Nabi SAW, walaupun masyhur di lisan
kebanyakan mubaligh di zaman ini. Mereka menyangka bahwa ini adalah sabda
beliau. Sangkaan seperti ini tidaklah muncul dari mereka, kecuali karena
kebodohan mereka tentang hadits. Di samping itu, mereka hanya “mencuri dengar”
dari kebanyakan manusia, tanpa melihat sisi keabsahannya.
Hadits ini diriwayatkan dua sahabat. Namun, kedua hadits
tersebut lemah karena di dalamnya terdapat inqitho’ (keterputusan) antara rawi
dari sahabat dengan sahabat Abdullah bin Amer. Satunya lagi, cuma disebutkan
oleh Al-Qurthubiy, tanpa sanad. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy
men-dhoif-kan (melemahkan) hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah
(No. 8).
16: “Sesungguhnya segala
sesuatu memiliki hati, sedang hatinya Al-Qur’an adalah Surat Yasin. Barang
siapa yang membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca Al-Qua’an sebanyak 10
kali“.[HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (4/46), dan Ad-Darimiy dalam
Sunan-nya (2/456)]
Hadits ini adalah hadits
maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat dua rawi hadits yang tertuduh
dusta, yaitu: Harun Abu Muhammad dan Muqotil bin Sulaiman. Karenanya, Ahli
hadits zaman ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah-
menggolongkannya sebagai hadits palsu dalam kitabnya As-Silsilah Adh-Dho’ifah
(No.169).
17: “Perselisihan
Umatku adalah Rahmat”
Sudah menjadi takdir Allah -Azza wa Jalla-, adanya perpecahan di
dalam Islam dan memang hal tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah SAW. Di
negara kita sendiri, sekte-sekte dan aliran sesat yang menyandarkan diri kepada
Islam sudah terlalu banyak. Apabila kita memperingatkan dan membantah kesesatan
aliran-aliran tersebut, maka sebagian kaum muslimin membela aliran-aliran
tersebut. Mereka berdalil dengan hadits berikut.
Padahal hadits ini dhoif (lemah), bahkan tidak ditemukan dalam
kitab-kitab hadits. Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, “Hadits ini tak
ada asalnya. Para ahli hadits telah mengerahkan tenaga untuk mendapatkan
sanadnya, namun tak mampu”.
Dari segi makna, hadits ini juga batil. Ibnu Hazm -rahimahullah-
dalam Al-Ihkam (5/64) berkata, “Ini merupakan
ucapan yang paling batil, karena andaikan ikhtilaf (perselisihan) itu rahmat,
maka kesepakatan adalah kemurkaan. Karena di sana tak ada
sesuatu kecuali kesepakatan dan perselisihan; tak ada sesuatu kecuali rahmat
atau kemurkaan“.
18: “Barang
Siapa yang mengenal dirinya, maka sungguh dia akan mengenal Rabb (Tuhan)-nya”
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Adh-Dha’ifah (1/165)
berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya” [Adh-Dha’ifah (1/165)]. An-Nawawiy
berkata, “Hadits ini tidak tsabit (tidak shahih)” [Al-Maqashid (198) oleh
As-Sakhowiy].
As-Suyuthiy berkata, “Hadits ini tidak shahih” [Lihat Al-Qoul
Asybah (2/351 Al-Hawi)].
Ringkasnya, hadits ini merupakan hadits palsu yang tidak ada
asalnya. Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh mengamalkannya, dan
meyakininya sebagai sabda Nabi SAW.
19: ”Jika
seorang hamba telah menamatkan Al Qur’an, maka akan bershalawat kepadanya
60.000 malaikat ketika ia menamatkannya”.[HR. Ad-Dailamiy dalam
Musnad Al-Firdaus (1/1/112)].
Hadits ini palsu disebabkan oleh rawi yang bernama Al-Hasan bin Ali bin Zakariyya,
dan Abdullah bin Sam’an, kedua orang ini, adalah pendusta, biasa memalsukan
hadits. Syaikh Al-Albaniy menyatakan kepalsuan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah
(2550).
Membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya merupakan keutamaan
besar bagi seorang hamba, karena setiap hurufnya diberi pahala oleh Allah
-Ta’ala-. Keutamaan tersebut telah dijelaskan dalam beberapa hadits, tetapi
bukan hadits berikut karena haditsnya palsu.
20:
“Wanita-wanita itu ada tiga macam: kelompok
wanita seperti bejana, ia hamil dan melahirkan; kelompok wanita seperti koreng
– yaitu kudis-; kelompok wanita yang amat penyayang dan banyak melahirkan,
serta membantu suaminya di atas keimanannya. Wanita ini lebih baik bagi
suaminya dibandingkan harta simpanan“.[HR.Tamam Ar-Raziy
dalam Al-Fawa’id (206/2)].
Namun sayangnya, hadits ini adalah hadits dho’if munkar, karena ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin Dinar. Dia adalah seorang rawi yang munkar haditsnya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al-Ilal (2/310). Jadi, hadits ini tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi SAW. Karenanya, Syaikh Al-Albani memasukkan hadits ini di dalam silsilah hadits dho’if dalam Adh-Dho’ifah (714).
Namun sayangnya, hadits ini adalah hadits dho’if munkar, karena ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin Dinar. Dia adalah seorang rawi yang munkar haditsnya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al-Ilal (2/310). Jadi, hadits ini tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi SAW. Karenanya, Syaikh Al-Albani memasukkan hadits ini di dalam silsilah hadits dho’if dalam Adh-Dho’ifah (714).
21: “Memandang wajah wanita
cantik dan yang hijau-hijau menambah ketajaman penglihatan”.[HR.
Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya’ (3/201-202), dan Ad-Dailamiy dalam Musnad
Al-Firdaus (4/106)].
Hadits ini maudhu’ (palsu), karena dalamnya ada rawi yang dho’if dan tidak ditemukan ada seorang ahli hadits yang menyebutkan biografinya. Rawi itu ialah Ibrahim bin Habib bin Sallam Al-Makkiy. Karenanya, Adz-Dzahabiy berkata, “Hadits ini bathil”. Ibnul Qoyyim dalam Al-Manar Al-Munif berkata, “Hadits ini dan semisalnya adalah buatan orang-orang zindiq (munafik)” [Lihat Adh-Dho’ifah (133)]
Hadits ini maudhu’ (palsu), karena dalamnya ada rawi yang dho’if dan tidak ditemukan ada seorang ahli hadits yang menyebutkan biografinya. Rawi itu ialah Ibrahim bin Habib bin Sallam Al-Makkiy. Karenanya, Adz-Dzahabiy berkata, “Hadits ini bathil”. Ibnul Qoyyim dalam Al-Manar Al-Munif berkata, “Hadits ini dan semisalnya adalah buatan orang-orang zindiq (munafik)” [Lihat Adh-Dho’ifah (133)]
22: “Apabila seorang di antara kalian berhubungan dengan istrinya
atau budaknya, maka janganlah ia melihat kepada kemaluannya, karena hal itu
akan mewariskan kebutaan“.[HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil (2/75)].
Maka hadits ini
adalah palsu karena dalam sanadnya terdapat Baqiyah ibnul Walid. Dia adalah
seorang mudallis yang biasa meriwayatkan dari orang-orang pendusta sebagaimana
yang dijelaskan oleh Ibnu Hibban. Lihat Adh-Dho’ifah (195)
23: “Hiasilah majelis istri-istri kalian dengan rayuan“.[HR.
Ibnu Adi dalam Al-Kamil fi Adh-Dhu’afaa’ (6/130), dan Al-Khothib dalam Tarikh
Baghdad (5/280)]
Hadits ini palsu karena dalam rawi hadits ini terdapat Muhammad bin Ziyad
Al-Yasykuriy. Dia seorang pendusta lagi suka memalsukan hadits. Lihat
Adh-Dho’ifah (1/72/no.19) karya Al-Albaniy -rahimahullah-.
24: “Perbanyaklah dzikir, sehingga orang-orang berkata, engkau gila”.[HR.
Ahmad (3/68), Al-Hakim (1/499), dan Ibnu Asakir (6/29/2)]
Hadits ini lemah karena diriwayatkan oleh Darraj Abu Samhi. Dia lemah riwayatnya
yang berasal dari Abul Haitsam. Didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam
Adh-Dho’ifah (no. 517) (2/9).
25: “Barang siapa yang berada di waktu pagi, sedang dunia adalah
cita-citanya yang terbesar, maka ia tidak akan berada dalam suatu (jaminan)
dari Allah sedikit pun. Barang siapa yang tidak bertakwa kepada Allah, maka ia
tidak akan berada dalam suatu (jaminan) dari Allah sedikit pun. Barang siapa
yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin seluruhnya, maka ia bukan
termasuk di antara mereka“.[HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/317)
Al-Khatib dengan penggalan pertama dari hadits ini dalam Tarikh Bagdad
(9/373)].
Hadits ini palsu karena di dalam sanad-nya terdapat rawi yang tertuduh dusta,
yaitu Ishaq bin Bisya. Hadits ini memiliki jalur periwayatan lain, namun ia
tidak bisa menguatkan hadits di atas, karena kelemahannya tidak jauh beda
dengannya. Oleh karenanya, Al-Albany menyatakan hadits ini palsu dalam
Adh-Dha’ifah (309)
26: “Jika kalian sholat di belakang imam kalian, perbaikilah wudhu’
kalian, karena kacaunya bacaan imam bagi imam disebabkan oleh jeleknya wudhu’
orang yang ada di belakang imam“.[HR. Ad-Dailamiy dalam
Musnad Al-Firdaus (1/1/63)]
Hadits ini palsu sebab di dalamnya terdapat rawi yang majhul, seperti Abdullah
bin Aun bin Mihroz, Abdullah bin Maimun. Rawi lain, Muhammad bin Al-Furrukhon,
ia seorang yang tak tsiqah. Dari sisi lain, sudah dimaklumi bahwa jika
Ad-Dailamiy bersendirian dalam meriwayatkan hadits dalam kitabnya Musnad
Al-Firdaus, maka hadits itu palsu. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy menyatakan
palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2629).
27: “Barang siapa yang
mengucapkan selamat datang kekasihku dan penyejuk mataku, Muhammad bin Abdullah
SAW, kemudian ia mencium kedua ibu jarinya dan meletakkannya pada kedua
matanya, ketika ia mendengar muadzdzin berkata, Maka ia tidak sakit mata
selamanya”[HR. Abul Abbas Ahmad bin Abu Bakr Ar-Raddad Al-Yamaniy dalam
Mujibat Ar-Rahmah wa ‘Aza’im Al-Maghfirah dengan sanad yang terdapat di
dalamnya beberapa orang majhul (tidak dikenal), di samping terputus sanad-nya.
Karenanya Syaikh Al-Albaniy melemahkan hadits ini dalam Adh-Dha’ifah (1/173)
dari riwayat Ad-Dailamy dan Syaikh Masyhur Alu Salman dalam Al-Qoul Al-Mubin
(hal.182)]
28:
“Sholat dua rakaat dengan memakai sorban lebih
baik dibandingkan sholat 70 rakaat tanpa sorban“. [HR.
Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus sebagaimana yang disebutkan oleh
As-Suyuthiy dalam Al-Jami’ Ash-Shoghir]
Hadits ini maudhu’
(palsu) sebagaimana
yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (128), “Hadits ini
palsu”. Selanjutnya beliau juga mengomentari ulang hadits ini dalam
Adh-Dho’ifah (5699).
29: “Jika
seorang di antara kalian bersujud, maka hendaknya ia menyentuhkan kedua telapak
tangannya ke tanah, semoga Allah melepaskan belenggu darinya pada hari kiamat“.[HR.
Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (6/58), cet. Dar Al-Haromain]
Hadits ini adalah dho’if
(lemah), tak bisa dijadikan hujjah karena di dalamnya ada rawi
bermasalah: Ubaid bin Muhammad, seorang rawi yang memiliki hadits-hadits
mungkar [Lihat Al-Majma’ (2/311/no.2764)]. Sebab inilah, Syaikh Al-Albaniy
menggolongkan hadits ini lemah dalam Adh-Dho’ifah (2624)
Seorang ketika sujud dalam sholat boleh ia memakai alas.
Menyentuhkan telapak tangan, dahi, dan anggota sujud lainnya ke tanah, ini tak
ada keutamaan tertentu baginya.
30: “Apabila khatib sudah naik mimbar, maka tidak ada lagi sholat dan
tidak ada lagi ucapan.”
Hadits ini batil karena tidak ada asalnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (87). Namun, perlu diketahui bahwa jika adzan
sudah selesai ketika khatib berada di atas mimbar siap untuk berkhutbah, maka
seorang tidak boleh lagi berbicara dan melakukan aktivitas apapun selain shalat
tahiyatul masjid agar seluruh jamaah memfokuskan diri untuk mendengarkan
khutbah.
31: “Sebaik-baik pengingat adalah alat tasbih. Sesungguhnya sesuatu
yang paling afdhol untuk ditempati bersujud adalah tanah dan sesuatu yang
ditumbuhkan oleh tanah“.[HR.Ad-Dailamiy (4/98- sebagaimana dalam
Mukhtashar-nya)]
Hadits ini adalah hadits
yang palsu sebagaimana
yang dinyatakan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (83), karena adanya
rawi-rawi yang majhul. Selain itu hadits ini secara makna adalah batil, sebab
tasbih tidak ada di zaman Nabi SAW.
Berzikir adalah ibadah yang harus didasari dengan keikhlasan dan
mutaba’ah (keteladanan) kepada Nabi SAW. Karenanya seorang tidak dianjurkan
menggunakan alat tasbih ketika ia berzikir sebab tidak ada contohnya dari Nabi
SAW berdzikir dengannya, tetapi beliau hanya berzikir dengan jari-jemarinya.
32: “Anak muda mana pun yang tumbuh dalam menuntut ilmu dan ibadah
sampai ia menjadi tua, sedangkan dia masih tetap di atas hal itu, maka Allah
akan memberikannya pada hari kiamat pahala 72 orang shiddiqin“.[HR.Tamam
Ar-Raziy dalam Al-Fawaid (2428), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Al-Ilm (1/82)].
Namun, hadits ini derajatnya adalah dhoif jiddan (lemah sekali),
bahkan boleh jadi hadits ini palsu, karena di dalamnya ada rawi yang bernama
Yusuf bin Athiyyah. Dia adalah seorang yang mungkarul hadits. Bahkan An-Nasa’iy
menilainya matruk (ditinggalkan karena biasa berdusta atas nama manusia).
Karenanya Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini dhoif jiddan dalam
Adh-Dho’ifah (700).
33: “Bacalah Al-Qur’an dengan
perasaan sedih, karena dia turun dengan kesedihan“.[HR.
Al-Khollal dalam Al-Amr Bil Ma’ruf (20/2) dan Abu Sa’id Al-A’robiy dalam
Mu’jam-nya (124/1)].
Dalam sanad-nya terdapat rawi yang bernama Uwain bin Amr
Al-Qoisiy, dia adalah seorang yang mungkarul hadits lagi majhul menurut
Al-Bukhariy. Selain itu juga ada rawi yang bernama Ismail bin Saif. Dia adalah
seorang yang biasa mencuri hadits dan meriwatkan hadits yang lemah dari
orang-orang yang tsiqah. Tak heran jika Al-Albaniy menyatakan hadits ini dhoif jiddan (lemah sekali) dalam
kitabnya Adh-Dho’ifah (2523).
34: “Orang yang bertaubat
adalah kekasih Allah”
Hadits ini adalah hadits yang bukan berasal dari Nabi SAW. Tidak
ada seorang imam ahlul hadits yang meriwayatkan hadits ini dalam kitab-kitab
mereka. Hadits ini hanyalah disebutkan oleh Al-Ghazaliy dalam kitabnya Ihya’
Ulumuddin (4/434) dengan menyandarkannya kepada Nabi SAW, padahal hadits ini
adalah hadits palsu, tidak
ada asalnya. Lihat penjelasan palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (95) karya
Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy
Orang yang bertaubat dari dosa-dosanya adalah orang yang terpuji
di sisi Allah berdasarkan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah
35: “Barang siapa yang ikhlas karena Allah selama 40 hari, niscaya
akan muncul mata air hikmah pada lisannya“.[HR. Abu Nu’aim dalam
Al-Hilyah (5/189)]
Hadits ini dhoif (lemah)
karena terdapat inqitho’ (keterputusan) antara Makhul dengan Abu Ayyub
Al-Anshoriy. Selain itu, Hajjaj bin Arthoh, rawi dari Makhul adalah seorang
mudallis, dan ia meriwayatkannya secara mu’an’anah. Sedang seorang mudallis
jika meriwayatkan hadits secara mu’an’anah (dengan memakai kata “dari”), maka
haditsnya dhoif (lemah). Tak heran jika Syaikh Al-Albaniy melemahkannya dalam
Adh-Dho’ifah (38)
36: “Allah wahyukan kepada dunia, ‘Layanilah orang yang melayani-Ku,
dan capaikanlah orang yang melayanimu “.[HR. Al-Khothib dalam
Tarikh Baghdad (8/44), dan Al-Hakim dalam Ma’rifah Ulum Al-Hadits (hal.101)]
Hadits ini palsu,
karena Al-Husain bin Dawud Al-Balkhiy yang banyak meriwayatkan naskah hadits
palsu dari Yazid bin Harun. Karena itu, Al-Albaniy menyebutkan hadits ini dalam
deretan hadits-hadits palsu dalam Adh-Dho’ifah.
37: “Hak seorang anak atas orang tuanya, orang tua memperbaiki nama
anaknya, dan akhlaknya“.[HR. Abu Muhammad As-Siroj Al-Qoriy dalam
Al-Fawaid (5/32/1-kumpulan 98), dan lainnya].
Maka hadits ini palsu karena
ada dua orang rawi: Muhammad Al-Fadhl, adalah seorang pendusta, dan Muhammad
bin Isa adalah orangnya matruk (ditinggalkan). Karenanya Al-Albaniy
mencantumkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (199)
38: “Ayam adalah kambingnya orang fakir dari kalangan umatku, dan
shalat jum’at hajinya orang fakir mereka”.[HR. Ibnu Hibban dalam
Al-Majruhin (3/90)]
Namun ternyata sayangnya, hadits
ini palsu, sehingga seorang muslim tidak boleh meyakini dan
mengamalkannya. Dia palsu karena ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin
Zaid An-Naisaburiy. Dia adalah seorang pendusta yang suka memalsukan hadits.
Lihat Adh-Dho’ifah (192)
39: “Nabi Ilyas dan Khidir
adalah dua orang bersaudara. Bapak mereka dari Persia, dan ibunya dari Romawi“.[HR.
Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/2/124)]
Hadits ini palsu karena ada dua orang rawi bermasalah dalam memalsukan hadits,
yaitu Ahmad bin Ghalib dan Abdur Rahman bin Muhammad Al-Yahmadiy. Oleh karena
itu, Syaikh Al-Albaniy menyatakan hadits ini palsu dalam Adh-Dho’ifah (2257).
40: “Penduduk surga adalah
belalang, kecuali Musa bin Imran, karena dia memiliki jenggot sampai ke
pusarnya“.[HR.Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu’afaa’ (185), Ibnu Adi dalam
Al-Kamil (4/48), dan Ar-Raziy dalam Al-Fawa’id (6/111/1)].
Hadits ini adalah hadits
batil yang palsu. Dalam sanad-nya terdapat seorang rawi yang suka memalsukan
hadits, yaitu Syaikh-nya Ibnu Abi Kholid Al-Bashriy. Maka tak heran apabila
Syaikh Al-Albaniy mencantumkan hadits ini dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (704).
41: “Amalan yang sedikit akan
bermanfaat, jika disertai oleh ilmu; dan amalan yang banyak tidak akan
bermanfaat, jika disertai kejahilan“.[HR. Ibnu Abdil Barr
dalam Jami’ Bayan Al-’Ilm wa Fadhlih (1/145)]
Hadits ini dhoif, bahkan
palsu, disebabkan adanya tiga rawi: [1] Muhammad bin Rauh bin ‘Imran
Al-Qutairiy (orangnya lemah), [2] Mu’ammal bin Abdur Rahman Ats-Tsaqofiy (orang
dho’if). Ibnu Adi berkata,”Dominan haditsnya tidak terpelihara”; [3] Abbad bin
Abdush Shomad. Ibnu Hibban berkata, “…Abbad bin Abdush Shomad menceritakan kami
dari Anas tentang suatu naskah hadits, seluruhnya maudhu’ (palsu)”. Al-Albaniy
berkata, “Hadits ini Palsu” [lihat Adh-Dho’ifah (369)].
42: “Nabi SAW melarang kencing
di lubang“[HR. Abu Dawud (29), dan An-Nasa’iy (34)].
Hadits ini adalah hadits
yang lemah karena
adanya keterputusan antara Qotadah dan Abdullah bin Sarjis ra.. Selain itu,
Qotadah juga adalah seorang yang mudallis. Tak heran jika Syaikh Al-Albaniy
men-dhoifkan hadits ini dalam Al-Irwa’ (55).
43: “Perkara halal yang paling
dibenci oleh Allah -Azza wa Jalla- adalah talak“.[HR.
Abu Dawud (2178) dan Ibnu Majah (2018)]
Hadits ini adalah hadits
yang mudhtharib (goncang) sanad-nya sebagaimana yang kita bisa lihat
penjelasannya dalam Al-Irwa’ (2040) karya Syaikh Al-Albaniy.
44: doa
keluar dari wc ”Segala puji bagi Allah
yang telah menghilangkan dariku gangguan (kotoran) ini dan telah menyehatkan
aku”.[HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (301)]
Hadits ini adalah hadits
yang dhoif karena
dalam sanad-nya terdapat rawi yang bernama Ismail bin Muslim Al-Makkiy. Dia
adalah seorang yang lemah haditsnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Hafizh
dalam At-Taqrib. Hadits ini memiliki syahid dari riwayat Ibnu Sunniy dalam Amal
Al-Yaum wal Lailah (29). Namun hadits ini juga lemah, karena ada seorang yang
majhul dalam sanadnya, yaitu Al-Faidh. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (53).
45: “Apabila Allah ingin
melaksanakan ketentuan dan takdir-Nya, maka Allah akan menarik (menghilangkan)
akalnya orang-orang yang memiliki pikiran, sehingga Allah melaksanakan
ketentuan dan takdir-Nya pada mereka“.[HR. Al-Khothib dalam
Tarikh Baghdad (14/99), Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/100), dari
jalur Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbihan (2/332)]
Hadits ini lemah bahkan
boleh jadi palsu karena
rawi yang bernama Lahiq bin Al-Husain. Sebagian ahlul hadits menuduhnya
pendusta dan suka memalsukan hadits. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy memasukkannya
dalam kitabnya, Adh-Dho’ifah (2215).
46: “Taubat dari dosa, engkau tidak kembali kepadanya selama-lamanya“.[HR.
Abul Qosim Al-Hurfiy dalam Asyr Majalis min Al-Amali (230), dan Al-Baihaqiy
dalam Syu’abul Iman (7036)]
Hadits ini lemah karena dalam sanad-nya terdapat rawi yang bernama Ibrahim bin
Muslim Al-Hijriy; dia adalah seorang yang layyinul hadits (lembek haditsnya).
Selain itu, juga ada Bakr bin Khunais, seorang yang shoduq (jujur), tetapi
memiliki beberapa kesalahan. Karenanya Syaikh Al-Albaniy melemahkannya dalam
Adh-Dho’ifah (2233).
47: “Nabi Adam turun di India dan beliau merasa asing. Maka turunlah
Jibril seraya mengumandangkan adzan, “Allahu Akbar, Asyhadu Ala Ilaha illallah
(dua kali), Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah (dua kali) “. Adam bertanya,
“Siapakah Muhammad itu?” Jibril menjawab, “Cucumu yang paling terakhir dari
kalangan terakhir”.[HR.Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (2/323/2)]
Hadits ini dhoif (lemah)
atau palsu karena
ada seorang rawi dalam sanad-nya yang bernama Muhammad bin Abdillah bin
Sulaiman. Orang yang bernama seperti ini ada dua; yang pertama dipanggil
Al-Kufiy, orangnya majhul (tidak dikenal), sedang orang yang seperti ini
haditsnya lemah. Yang satunya lagi, dikenal dengan Al-Khurasaniy. Orang ini
tertuduh dusta. Jika dia yang terdapat dalam sanad ini, maka hadits ini palsu.
Hadits ini di-dhoif-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (403).
48: “Keburukan ada 70 bagian; satu bagian pada jin dan manusia, dan
69 bagian pada orang-orang Barbar”.[HR. Ya’qub bin Sufyan
Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (2/489), Ath-Thobraniy dalam
Al-Ausath (8672), dan Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah].
Mengangkat dan merendahkan derajat suatu bangsa harus didasari
oleh dalil dari Al-Qur’an dan hadits. Hadits
ini adalah hadits yang lemah menurut
penilaian Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam As-Silsilah Adh-Dho’ifah (2535),
karena dalam hadits ini terdapat dua penyakit: Inqitho’ (keterputusan) antara
Yazid bin Abi Habib dengan Abu Qois, dan terjadinya idhthirob (kesimpangsiuran)
dari sisi sanad akibat kelemahan seorang rawi yang bernama Abu Sholih (dikenal
dengan Katib Al-Laits).
49: “Sesungguhnya Nabi Idris
dulu berteman dengan Malaikat Maut. Lalu ia pun meminta kepadanya agar
diperlihatkan surga dan neraka. Maka idris pun naik (ke langit), lalu Malaikat
Maut memperlihatkan neraka kepadanya. Lalu Idris kaget sehingga hampir pingsan.
Maka Malaikat Maut mengelilingkan sayapnya pada Idris seraya berkata, “Bukankah
engkau telah melihatnya?” Idris berkata, “Ya, sama sekali aku belum pernah
melihatnya seperti hari ini”. Kemudian, Malaikat Maut membawanya sampai ia
memperlihatkan surga kepada Nabi Idris seraya masuk ke dalamnya. Malaikat Maut
berkata, “Pergilah, sesungguhnya engkau telah melihatnya”. “Kemana?”, tanya
Idris. “Ke tempatmu semula”, jawab Malaikat Maut. “Tidak ! Demi Allah, aku tak
akan keluar setelah aku memasukinya”, tukas Idris. Lalu dikatakanlah kepada
Malaikat Maut, “Bukankah engkau yang telah memasukkannya? Sesungguhnya seorang
yang telah memasukinya tidak boleh keluar darinya“. [HR.
Ath-Thobroniy dalam Al-Mu’jam Al-Ausath (2/177/1/7406)]
Hadits ini adalah hadits
maudhu’ (palsu), karena
dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh dusta, yaitu Ibrahim bin Abdullah
bin Khalid Al-Mishshishiy. Sebab itu, hadits ini dicantumkan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam kumpulan hadits-hadits palsu di dalam kitabnyaAdh-Dho’ifah
(339).
50: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan empat berkah dari langit ke
bumi; maka Allah menurunkan besi, api, air, dan garam“.[HR.
Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/2/221)]
Hadits ini palsu , tak benar datangnya dari Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-. Dalam sanadnya terdapat Saif bin Muhammad, seorang pendusta
!! Karenanya, Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy -rahimahullah- menyatakan hadits ini
palsu dalam Adh-Dho’ifah (3053).
51: “Orang yang sering berjalan
menuju masjid dalam kondisi gelap, mereka itu adalah orang yang berada dalam
rahmat Allah –Azza wa Jalla-”.[HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (779), Ibnu
Adi dalam Al-Kamil (1/281), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (17/456)
& (52/18)]
Hadits ini adalah dhoif (lemah), karena ada dua rawi yang
bermasalah dalam sanad-nya: Muhammad bin Rofi’, dan Isma’il bin Iyasy. Walau
Isma’il tsiqah, namun jika ia meriwayatkan hadits dari selain orang-orang Syam,
maka haditsnya lemah!! Hadits ini ia riwayatkan dari Muhammad bin Rofi’,
seorang penduduk Madinah. Ke-dho’if-an hadits ini telah ditegaskan oleh Syaikh
Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Adh-Dho’ifah (3059)
52: “Sesungguhnya Allah
-Ta’ala- memiliki seorang malaikat yang memanggil setiap kali sholat, “Wahai
anak Adam, bangkitlah menuju api (neraka) kalian yang telah kalian nyalakan
bagi diri kalian, maka padamkanlah api itu dengan sholat“.[HR.
Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (9452) dan Ash-Shoghir (1135), Abu Nu'aim dalam
Al-Hilyah (3/42-43), dan lainnya]
Hadits ini lemah karena ada seorang rawi bernama Yahya bin
Zuhair Al-Qurosyiy. Dia adalah seorang majhul (tak dikenal). Olehnya, Syaikh
Al-Albaniy -rahimahullah- melemahkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (3057)
53: “Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Allah
akan menjadikan kebutuhan-kebutuhan manusia kepadanya“.[HR.
Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/95)]
Hadits ini palsu disebabkan oleh adanya rawi dalam sanad-nya
yang bernama Yahya bin Syabib; dia seorang pemalsu hadits. Karenanya Syaikh
Al-Albaniy meletakkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2224)
54: “Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya, orang yang
menghilangkan (menghancurkan) akhiratnya dengan dunia orang lain“.[HR.
Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (2398), dan Al-Baihaqiy dalam Syu'abul Iman
(6938)]
Hadits ini adalah hadits dhoif (lemah), karena rawi yang bernama
Syahr bin Hausyab, seorang jelek hapalannya dan banyak me-mursal-kan hadits,
dan Al-Hakam bin Dzakwan, seorang yang maqbul. Intinya, hadits ini lemah
sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (2229)
55: “Jika telah datang (lewat) 40 tahun pada diri seorang hamba, maka
wajib baginya untuk takut dan khawatir kepada Allah -Ta’ala- “.[HR. Ad-Dailamiy dalam Al-Firdaus (1/89)]
Hadits ini palsu karena ada rawi dalam sanad-nya yang bernama
Ahmad bin Nashr bin Abdillah yang dikenal dengan Adz-Dari’. Dia adalah seorang
pemalsu hadits, pendusta, dan dajjal. Karenanya, Al-Albaniy Al-Atsariy
menyatakannya palsu dalam Adh-Dho’ifah (2200)
56: “Segala urusan penting yang tidak dimulai di dalamnya dengan
alhamdulillah, maka urusan itu akan terputus“.[HR. Ibnu Majah dalam
Sunan-nya (1894)]
Hadits ini lemah karena ke-mursal-an yang terjadi pada sanad-nya
sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (2/677), dan Syaikh
Al-Albaniy. Karenanya, Al-Albaniy melemahkan hadits ini dalam Al-Irwa’ (2).
57: “Di antara bentuk
ketawadhu’an, seorang mau meminum sisa minuman saudaranya. Barang siapa yang
meminum sisa minum saudaranya, karena mencari wajah Allah -Ta’ala-, maka akan
diangkat derajatnya sebanyak 70 derajat, dan akan dihapuskan 70 kesalahan
darinya, serta dituliskan baginya 70 derajat”[HR.Ad-Dauqutniy
sebagaimana dalam Al-Maudhu'at (3/40) karya Ibnul Juaziy].
Hadits ini adalah hadits yang palsu karena ada seorang rawi yang
bernama Nuh bin Abi Maryam, dia adalah seorang yang tertuduh dusta. Selain itu
hadits ini semakin lemah karena Ibnu Juraij (seorang rawi dalam hadits ini)
adalah seorang yang mudallis, sedangkan ia meriwayatkannya secara mu’an’anah
(menggunakan lafadz dari). Demikian penjelasan Syaikh Al-Albaniy secara ringkas
dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (79).
58: “Beruntunglah orang yang diamnya adalah tafakkur, pandangannya
adalah ibroh, beruntunglah orang yang mendapatkan istighfar yang banyak dalam
catatan amalannya”.[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/123)].
Hadits ini adalah dhoif karena dalam sanad-nya terdapat dua
orang yang majhul (tidak dikenal), yaitu Abul Khushaib Ziyad bin Abdurrahman,
dan Husain bin Mansur Al-Asadiy Al-Kufiy dan juga seorang yang lemah (Hibban
ibnu Ali Al-Anaziy). Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini dho’if (lemah)
dalam Adh-Dho’ifah (2519).
59: “Seutama-utamanya makanan dunia dan akhirat adalah daging”.[HR.
Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu'afa' (1264)].
Hadits ini dihukumi dhoif jiddan oleh Al-Muhaddits Muhammad
Nashiruddin Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Adh-Dho’ifah (2518), karena ada seorang
rawi yang bernama Amr bin Bakr As-Saksakiy. Hadits-haditsnya menyerupai hadits
palsu. Sebab itu Al-Hafizh menggelarinya dengan matruk (ditinggalkan karena
biasa berdusta atas nama manusia). Selain itu, anaknya (Ibrahim bin Amr
As-Saksakiy) yang meriwayatkan darinya senasib dengan ayahnya.
60: “Perbanyaklah dzikir
kepada Allah dalam segala kondisi, karena tak ada suatu amalan yang lebih
dicintai oleh Allah -Ta’ala- , dan lebih menyelamatkan seorang hamba dari
segala kejelekan di dunia, dan akhirat dibandingkan dzikir kepada Allah“.[HR.
Adh-Dhiya' Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtaroh (7/112/1)]
Hadits ini palsu, karena Abu Abdir Rahman Asy-Syamiy. Dia adalah
seorang pendusta seperti yang dinyatakan oleh Al-Azdiy -rahimahullah-. Ada
penguat bagi hadits ini dari riwayat Al-Baihaqiy, sayangnya hadits ini juga
palsu, karena ada rawi-nya bernama Marwan bin Salim Al-Ghifariy Al-Jazariy; dia
adalah pendusta. Lihat rincian palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2617).
61: “Waspadalah terhadap
dunia, karena ia lebih memperdaya dibandingkan Harut dan Marut“.
Namun sayang, hadits ini adalah palsu, tak ada asalnya. Hadits
ini disebutkan oleh Al-Ghozaliy dalam Ihya’ Ulumuddin, padahal ia palsu.
Al-Iroqiy dalam Takhrij Al-Ihya’ (3/177) menukil dari Adz-Dzahabiy bahwa hadits
ini mungkar, tak ada asalnya. Sebab itu, Al-Albaniy menempatkannya dalam
Adh-Dho’ifah (34) sebagai tempat bagi hadits palsu dan dhoif.
62: “Barangsiapa yang adzan, maka dialah yang iqamat”.[HR.
Abud Dawud (514), At-Tirmidziy (199), dan lainnya]
Hadits ini lemah karena berasal dari Abdurrahman bin Ziyad
Al-Afriqiy. Dia lemah hapalannya. Sebab itu, Al-Albaniy melemahkannya dalam
Adh-Dha’ifah (no. 35) dan Al-Irwa’ (237).
Syaikh Al-Albaniy berkata dalam Adh-Dha’ifah (1/110), “Di antara
dampak negatif hadits ini, dia merupakan sebab timbul perselisihan di antara
orang-orang yang mau shalat, sebagaimana hal itu sering terjadi. Yaitu ketika
tukang adzan terlambat masuk mesjid karena ada udzur, sebagian orang yang hadir
ingin meng-iqamati shalat, maka tak ada seorang pun di antara mereka kecuali ia
menghalanginya seraya berhujjah dengan hadits ini. Orang miskin ini tidaklah tahu
kalau haditsnya lemah, tidak boleh mengasalkannya kepada Nabi SAW , terlebih
lagi melarang orang bersegera menuju ketaatan kepada Allah, yaitu meng-iqamati
shalat”.
63: “Barangsiapa yang tidak
mengenal imam (penguasa) di zamannya, maka ia mati seperti matinya orang-orang
jahiliyah”.
Ahmad bin Abdul Halim Al-Harraniy berkata, “Demi Allah, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah
pernah mengatakan demikian . . .”. [Lihat Adh-Dho’ifah
(1/525)]
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata setelah menyatakan
bahwa hadits ini tidak ada asal-muasalnya, “Hadits
ini pernah aku lihat dalam sebagian kitab-kitab orang-orang Syi’ah dan sebagian
kitab orang-orang Qodiyaniyyah (Ahmadiyyah). Mereka
menjadikannya sebagai dalil tentang wajibnya beriman kepada Nabi Palsu, Mirza
Ghulam Ahmad. Andaikan hadits ini shahih, niscaya tidak ada isyarat sedikit pun
tentang sesuatu yang mereka sangka, paling tidak intinya kaum muslimin wajib
mengangkat seorang pemerintah yang akan dibai’at”. [Lihat As-Silsilah
Adh-Dho’ifah (no. 350).
64: “Agama adalah akal pikiran, Barangsiapa yang tidak ada agamanya,
maka tidak ada akal pikirannya”.[HR. An-Nasa`iy dalam
Al-Kuna dari jalurnya Ad-Daulabiy dalam Al-Kuna wa Al-Asma’ (2/104) dari Abu
Malik Bisyr bin Ghalib dan Az-Zuhri dari Majma’ bin Jariyah dari pamannya]
Hadits ini adalah hadits lemah yang batil karena ada rawinya
yang majhul, yaitu Bisyr bin Gholib. Bahkan Ibnu Qayyim -rahimahullah- berkata
dalam Al-Manar Al-Munif (hal. 25), “Hadits
yang berbicara tentang akal seluruhnya palsu”.
Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy berkata, “Di antara hal yang
perlu diingatkan bahwa semua hadits yang datang menyebutkan keutamaan akal
adalah tidak shahih sedikit pun. Hadits-hadits tersebut berkisar antara lemah
dan palsu. Sungguh aku telah memeriksa, diantaranya hadits yang dibawakan oleh
Abu Bakr Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya Al-Aql wa Fadhluh, maka aku
menemukannya sebagaimana yang telah aku utarakan, tidak ada yang shahih sama
sekali”. [Lihat Adh-Dhi’ifah (1/54)]
65:
“Mengusap tengkuk merupakan pelindung dari
penyakit dengki”.
An-Nawawiy berkata dalam Al-Majmu’ (1/45), “Ini adalah hadits
palsu, bukan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-”.
Syaikh Al-Albaniy berkata, “Hadits ini palsu”. [Lihat
Adh-Dho’ifah (1/167)]
Dari sini, kita mengetahui tentang tidak disyari’atkannya
mengusap tengkuk ketika berwudhu’, karena tidak ada hadits yang shahih
menetapkannya. Adapun hadits ini – sebagaimana yang anda lihat- merupakan
hadits palsu. Jadi, tidak boleh diamalkan dan dijadikan hujjah dalam menetapkan
suatu hukum.
66: dari
Anas bin Malik, Ketika Fatimah bintu Asad bin Hasyim ibunda Ali radhiallahu ‘anhu wafat,
maka dia mengajak Usamah bin Zaid, Abu Musa Al Anshari, Umar bin Khattab dan
seorang budak hitam untuk menggali liang kubur. Setelah selesai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk
dan berbaring di dalamnya, kemudian beliau berkata:
“Allah adalah Zat yang menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup dan tidak mati, ampunilah bibiku Fatimah binti Asad. Ajarkanlah padanya hujjahnya dan luaskanlah tempat tinggalnya yang baru dengan hak nabi-Mu dan hak para nabi sebelumku, karena sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Penyayang”
Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini tidak mengandung targhib (anjuran untuk melakukan suatu amalan yang ditetapkan syariat) dan tidak pula menjelaskan keutamaan amalan yang telah ditetapkan dalam syariat. Sesungguhnya hadits ini hanya memberitahukan permasalahan seputar boleh atau tidak boleh, dan seandainya hadits ini shahih, maka isinya menetapkan suatu hukum syar’i. Sedangkan kalian (para penyanggah -pent) menjadikannya sebagai salah satu dalil bolehnya tawassul yang diperselisihkan ini. Maka apabila kalian telah menerima kedha’ifan hadits ini, maka kalian tidak boleh berdalil dengannya. Aku tidak bisa membayangkan ada seorang berakal yang akan mendukung kalian untuk memasukkan hadits ini ke dalam bab targhib dan tarhib, karena hal ini adalah sikap tidak mau tunduk kepada kebenaran, mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan oleh seluruh orang yang berakal sehat.” (Lihat At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal. 110 dan Silsilah Ahadits Addha’ifah wal Maudlu’at (1/32) hadits nomor 23. Beliau telah menjelaskan kelemahan hadits ini dan menjelaskan alasannya dengan rici, maka merujuklah ke buku tersebut).
“Allah adalah Zat yang menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup dan tidak mati, ampunilah bibiku Fatimah binti Asad. Ajarkanlah padanya hujjahnya dan luaskanlah tempat tinggalnya yang baru dengan hak nabi-Mu dan hak para nabi sebelumku, karena sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Penyayang”
Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini tidak mengandung targhib (anjuran untuk melakukan suatu amalan yang ditetapkan syariat) dan tidak pula menjelaskan keutamaan amalan yang telah ditetapkan dalam syariat. Sesungguhnya hadits ini hanya memberitahukan permasalahan seputar boleh atau tidak boleh, dan seandainya hadits ini shahih, maka isinya menetapkan suatu hukum syar’i. Sedangkan kalian (para penyanggah -pent) menjadikannya sebagai salah satu dalil bolehnya tawassul yang diperselisihkan ini. Maka apabila kalian telah menerima kedha’ifan hadits ini, maka kalian tidak boleh berdalil dengannya. Aku tidak bisa membayangkan ada seorang berakal yang akan mendukung kalian untuk memasukkan hadits ini ke dalam bab targhib dan tarhib, karena hal ini adalah sikap tidak mau tunduk kepada kebenaran, mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan oleh seluruh orang yang berakal sehat.” (Lihat At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal. 110 dan Silsilah Ahadits Addha’ifah wal Maudlu’at (1/32) hadits nomor 23. Beliau telah menjelaskan kelemahan hadits ini dan menjelaskan alasannya dengan rici, maka merujuklah ke buku tersebut).
67: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dengan hak
orang-orang yang berdo’a kepada-Mu, dan aku meminta kepada-Mu dengan hak
perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidaklah keluar dengan sombong dan angkuh,
tidak pula dengan riya’ dan sum’ah. Aku keluar agar terbebas dari murka-Mu dan
untuk mencari ridlo-Mu, maka aku meminta kepada-Mu untuk membebaskanku dari api
neraka dan mengampuni dosa-dosaku, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat
mengampuni dosa kecuali Engkau.” Maka Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya
dan 70000 malaikat akan memohonkan ampun baginya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (778), Ahmad (3/21) dan hadits ini
telah didha’ifkan Al Allamah Al
Albani dalam Silsilah Ahadits
Adhdho’ifah (1/34) dan dalam At Tawassul hal.
99).
Syaikh Fuad Abdul Baqi berkata dalam Az Zawaaid, “Sanad hadits ini berisi rentetan para perawi yang lemah, yaitu Athiyyah adalah Al Aufi, Fadlil ibn Mirzaq dan Al Fadl ibnul Muwaffiq. Mereka semua adalah rawi yang dha’if.”
Syaikh Fuad Abdul Baqi berkata dalam Az Zawaaid, “Sanad hadits ini berisi rentetan para perawi yang lemah, yaitu Athiyyah adalah Al Aufi, Fadlil ibn Mirzaq dan Al Fadl ibnul Muwaffiq. Mereka semua adalah rawi yang dha’if.”
68: ketika Adam melakukan kesalahan, dia berkata: “Wahai
Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuniku.
Maka Allah berfirman, “Wahai Adam, bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal
Aku belum menciptakannya?” Adam berkata, “Wahai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku
dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan ruh ke dalam diriku, aku mengangkat
kepalaku, maka aku melihat tiang-tiang ‘arsy tertuliskan “Laa ilaaha illallah
Muhammadun rasulullah”, maka aku tahu bahwa Engkau tidak menghubungkan sesuatu
kepada nama-Mu, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai”, kemudian Allah
berfirman, “Aku telah mengampunimu, dan sekiranya bukan karena Muhammad
tidaklah aku menciptakanmu” (Diriwayatkan
oleh Al Hakim (2/615) (2/3, 32/2) dan Al Hakim berkata: “Shahihul Isnad akan
tetapi Adz Dzahabi menyalahkan beliau dengan perkataannya: Aku berkata, bahkan
hadits ini maudhu’, Abdurrahman sangat lemah, dan Abdullah ibn Muslim Al Fahri
tidak diketahui jati dirinya.”)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Periwayatan Al Hakim terhadap hadits ini termasuk yang diingkari oleh para ulama, karena sesungguhnya diri beliau sendiri telah berkata dalam kitab Al Madkhal ilaa Ma’rifatish Shahih Minas Saqim, “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya beberapa hadits palsu yang dapat diketahui secara jelas oleh pakar hadits yang menelitinya bahwa dialah yang membuat hadits-hadits tersebut.” Aku (Ibnu Taimiyah) katakan, “Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi dha’if (lemah) dan banyak melakukan kesalahan sebagaimana kesepakatan mereka (ahli hadits).” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul hal 69).
Al Allamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya sesungguhnya hadits ini Laa Ashla Lahu (tidak berasal) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak salah menghukuminya dengan batil sebagaimana penilaian dua orang Al Hafizh, Adz Dzahabi dan Al Asqalani sebagaimana telah dinukil dari keduanya.” (Silsilah Ahadits Addha’ifah 1/40).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Periwayatan Al Hakim terhadap hadits ini termasuk yang diingkari oleh para ulama, karena sesungguhnya diri beliau sendiri telah berkata dalam kitab Al Madkhal ilaa Ma’rifatish Shahih Minas Saqim, “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya beberapa hadits palsu yang dapat diketahui secara jelas oleh pakar hadits yang menelitinya bahwa dialah yang membuat hadits-hadits tersebut.” Aku (Ibnu Taimiyah) katakan, “Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi dha’if (lemah) dan banyak melakukan kesalahan sebagaimana kesepakatan mereka (ahli hadits).” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul hal 69).
Al Allamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya sesungguhnya hadits ini Laa Ashla Lahu (tidak berasal) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak salah menghukuminya dengan batil sebagaimana penilaian dua orang Al Hafizh, Adz Dzahabi dan Al Asqalani sebagaimana telah dinukil dari keduanya.” (Silsilah Ahadits Addha’ifah 1/40).
69: “Tidak ada hari yang
paling dicintai Allah untuk diibadahi pada hari itu selain 10 hari di (awal)
bulan Dzulhijjah, pahala puasa pada setiap harinya senilai dengan pahala puasa
sepanjang tahun, dan sholat pada setiap malamnya senilai dengan sholat pada
malam Lailatul Qadar” ( hadits dho’if ) Abu ‘Isa (At Tirmidzi) berkata, “Hadits ini
gharib tidak diketahui selain dari hadits Mas’ud bin Washil, dari An Nahas, …
(dst)”, dan didha’ifkan Syaikh Al Albani dalam Dha’if
Sunan Ibnu Majah(1728) no. 377 akan tetapi terdapat perbedaan lafazh dalam
hadits ini, lihat Al Misykat (1471), Dha’if Jami’ush Shaghir (5161),
dan Dha’if At Targhib no.
123,Silsilah Adh Dha’ifah 5142
70: “Barangsiapa yang berpuasa di 10 (hari awal Dzulhijjah) baginya
tiap hari seperti pahala puasa sebulan penuh, pahala puasa Tarwiyah (8
Dzulhijjah) senilai dengan puasa setahun penuh, dan pahala puasa ‘Arafah (9
Dzulhijjah) senilai pahala puasa selama dua tahun” (
hadits palsu ),
Ibnu Hibban berkata, “Jelas sekali nampak kedustaan di dalamnya hingga tidak perlu lagi dijelaskan derajat haditsnya” lihat Al Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (2/112), dan Al Fawa’id Al Majmu’at Kitab Ash Shiyam hadits no. 30, At Tanzih Asy Syari’ah Al Marfu’at (2/187)
Ibnu Hibban berkata, “Jelas sekali nampak kedustaan di dalamnya hingga tidak perlu lagi dijelaskan derajat haditsnya” lihat Al Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (2/112), dan Al Fawa’id Al Majmu’at Kitab Ash Shiyam hadits no. 30, At Tanzih Asy Syari’ah Al Marfu’at (2/187)
71: “Puasa di 10 hari awal Dzulhijjah pahalanya senilai dengan puasa
100 tahun, hari kedua (Dzulhijjah) senilai puasa 200 tahun, puasa Tarwiyah (8
Dzulhijjah) pahalanya senilai 1000 tahun, dan puasa ‘Arafah (9 Dzulhijjah)
senilai 2000 tahun.”
Tidak shahih, lihat Tadzkiratul Maudhu’at (119), Mausu’ah Al Ahadits wa Al Atsar Ad Dha’ifah wa Al Maudhu’at 13434
Tidak shahih, lihat Tadzkiratul Maudhu’at (119), Mausu’ah Al Ahadits wa Al Atsar Ad Dha’ifah wa Al Maudhu’at 13434
72: “Puasa hari Tarwiyah menjadi kafarah (penghapus dosa –pent) satu tahun,
dan puasa hari ‘Arafah menjadi kafarah dua tahun” ( hadits Maudhu ), lihat Dha’if Al
Jami’ no. 3501, Irwa’ul Ghalil 4/121
73: “Adalah (Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam) biasa berpuasa pada
kesembilan hari di bulan Dzulhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulannya,
hari Senin pada setiap awal bulan, dan hari Kamis dan Senin setelah Jumat kedua”
( hadits dha’if ), Az Zaila’i berkata hadist ini dha’if. Lihat Dha’if Al Jami’ no. 4570
74: “Tidak ada hari yang lebih utama di sisi Allah dan tidak ada amal
yang dikerjakan di waktu tersebut yang paling dicintai Allah ‘Azza wa Jalla
daripada hari ini –yaitu 10 hari di awal bulan Dzulhijjah- maka perbanyaklah
kalian bertahlil dan bertakbir mengingat Allah di dalamnya. Amal di bulan ini
dilipatgandakan 700 kali” (
hadits dha’if ), didha’ifkan oleh Al Albani dalam Dha’if
At Targhib wa At Tarhib 1/364
75: “Allah ‘Azza wa Jalla telah memilih satu waktu, dan waktu yang
paling Allah ‘Azza wa Jalla cintai ialah Dzulhijjah, dan waktu yang paling
Allah ‘Azza wa Jalla cintai di bulan Dzulhijjah ialah sepuluh hari awal ” (
hadits dha’if ) di dho’ifkan oleh Ibnu ‘Adi, dan Ibnu Rajab di Latha’iful Ma’arif 467
76: Dari Al
Auza’I rahimahullah beliau
berkata, “ Telah sampai
kepadaku bahwasanya amal di sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah pahalanya
seperti berperang di jalan Allah, siang harinya diisi dengan puasa dan malam
harinya dengan giat (beribadah), kecuali seseorang yang telah dikhususkan
dengan syahadah (mati syahid)”. Telah menceritakan
kepadaku dengan hadits ini seorang dari Bani Makhzum, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Didha’ifkan Al Albani dalam Dha’if At Targhib dan At Tarhib 1/365 dan makna hadits ini shahih dengan lafadz selain ini (yaitu “berpuasa di siang harinya dan giat beribadah di malam harinya”) lihat Shahih Ibnu Hibban 3853
Didha’ifkan Al Albani dalam Dha’if At Targhib dan At Tarhib 1/365 dan makna hadits ini shahih dengan lafadz selain ini (yaitu “berpuasa di siang harinya dan giat beribadah di malam harinya”) lihat Shahih Ibnu Hibban 3853
77: “ Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Puasa hari ‘Asyura (10 Muharram –pent), 10
hari di awal Dzulhijjah, tiga hari di setiap bulan, dan dua raka’at sebelum
matahari terbit ”
hadits didha’ifkan oleh Al Albani dalam Al
Irwa’ (4/111), Shahih wa Dha’if
Sunan An Nasa’I 2416
78: “Adalah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam biasa mengatakan pada hari-hari di sepuluh awal Dzulhijjah,
’Setiap hari pahalanya seperti 1000 hari’ dan pada hari Arafah, ‘Pahalanya 10
kali lipat dari hari seperti ini’” didha’ifkan oleh Al
Albani dalam Dha’if At
Targhib wa At Tarhib 1/365
79:
“Ada seorang pemuda yang biasa memperdengarkan
(nyanyian) dan setiap nampak hilal bulan Dzulhijjah ia berpuasa, maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus kepadanya dan berkata, ‘Apa
yang membuatmu berpuasa pada hari-hari ini?”. Ia menjawab, “Demi ayah dan ibuku
wahai Rasulullah, sesungguhnya inilah hari-hari Masya’ir dan Haji, aku berharap
Allah ‘Azza wa Jalla menyertakanku dalam do’a mereka. Kemudian Nabi berkata
kepadanya, ‘Setiap harinya (engkau berpuasa –pent) senilai dengan pahala
membebaskan 100 budak, kemudian 100 budak tersebut menjadi penunjuk jalan ke
Baitullah, dan 100 kuda betina yang mereka kendarai di jalan Allah jika itu
hari Tarwiyah, senilai dengan 1000 budak, dan 1000 unta, dan 1000 kuda yang
mereka kendarai di jalan Allah jika itu hari Arafah, senilai dengan 2000 budak
dan 2000 unta, dan 2000 yang mereka kendarai di jalan Allah, dan puasa dua
tahun sebelumnya, dan puasa dua tahun setelahnya”.
hadits palsu, sebagaimana dalam “Al Maudhu’at” (2/111), La’ali’ (2/107), At Tanzih Asy Syari’ah 2/148, dan Al Fawa’id Al Majmu’ah (95)
hadits palsu, sebagaimana dalam “Al Maudhu’at” (2/111), La’ali’ (2/107), At Tanzih Asy Syari’ah 2/148, dan Al Fawa’id Al Majmu’ah (95)
80: “Di hari pertama bulan Dzulhijjah Allah mengampuni Adam dan
barangsiapa yang berpuasa pada hari tersebut Allah akan mengampuni seluruh
dosanya” “Di hari kedua Allah mengabulkan doa sayyidina Yusuf, dan
barangsiapa yang berpuasa di hari itu pahalanya seperti beribadah kepada Allah
setahun penuh dan tidak bermaksiat walau sekejap mata” “Di hari ketiga
Allah mengabulkan doa Zakaria, dan barangsiapa yang berpuasa pada hari itu
Allah akan mengabulkan doanya” “Di hari keempat lahir sayyidina ‘Isa
‘alaihissalam, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan menghilangkan
kefakiran darinya dan pada hari kiamat ia akan dikumpulkan bersama As Safarat
Al Kiram (malaikat yang mulia –pent)“Di hari kelima lahirlah Musa
‘alaihissalam, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu ia akan dibebaskan dari
sifat munafik dan adzab kubur” “Di hari keenam Allah membukakan sayyidina
Muhammad ‘alaihis sholatu wassalam kebaikan, dan barangsiapa berpuasa pada hari
itu Allah akan melihatnya dengan rahmat-Nya dan ia tidak akan diadzab” “Di
hari ketujuh ditutup pintu-pintu jahannam, dan barangsiapa berpuasa pada hari
itu Allah akan tutup baginya 30 pintu kesulitan dan Allah bukakan baginya 30
pintu kebaikan” “Di hari kedelapan yang disebut juga dengan hari Tarwiyah,
barangsiapa berpuasa pada hari itu akan diberi balasan yang tidak diketahui oleh
siapapun kecuali Allah” “Di hari kesembilan yaitu hari Arafah barangsiapa
berpuasa pada hari itu Allah akan mengampuni dosanya selama setahun sebelumnya,
dan setahun sesudahnya” “Di hari kesepuluh yaitu Idul Adha, di dalamnya
terdapat qurban, penyembelihan, dan pengaliran darah (hewan qurban), Allah akan
mengampuni dosa anak-anaknya (yaitu orang yang berpuasa tadi –pent).
Barangsiapa yang memberi makan orang mukmin dan bershadaqah Allah akan mengutus
baginya pada hari kiamat, keamanan dan timbangannya lebih berat dari Gunung
Uhud ”
Hadits ini tidak ada asalnya, namun banyak tersebar di forum-forum internet
Hadits ini tidak ada asalnya, namun banyak tersebar di forum-forum internet
81: ”Barangsiapa berpuasa pada hari ke-28 Dzulhijjah, akan dituliskan
baginya pahala puasa 60 bulan ”
hadits dha’if, lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dha’ifah 10/594
82: “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jika beliau terlewat
beberapa hari di bulan Ramadhan, beliau mengqadha’nya di sepuluh hari awal
bulan Dzulhijjah ”hadits
dha’if. Silsilah Al
Ahadits Adh Dha’ifah 12/989
83: Abdurrazzaq meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada
shahabat Jabir bin `Abdilla al-Anshariy radhiyallahu
`anhu, dia mengatakan: “Saya bertanya: ‘Wahai Rasulullah, Demi
bapak dan ibu saya sebagai tebusan bagimu, kabarkan kepada saya tentang makhluk
yang pertama Allah ciptakan sebelum Dia menciptakan selainnya.’ Beliau
menjawab: ‘Wahai Jabir, makhluk
yang pertama Allah ciptakan adalah cahaya Nabimu yang Dia ciptakan dari
cahaya-Nya. Kemudian Dia menjadikan cahaya tersebut berputar dengan kuat sesuai
dengan kehendak-Nya. Belum ada saat itu lembaran, pena, surga, neraka,
malaikat, nabi, langit, bumi, matahari, bulan, jin, dan juga manusia. Ketika
Allah hendak menciptakan, Dia membagi cahaya tersebut menjadi 4 bagian.
Kemudian, Allah menciptakan pena dari bagian cahaya yang pertama; lembaran dari
bagian cahaya yang kedua; dan `Arsy dari bagian cahaya yang ketiga.
Selanjutnya, Allah membagi bagian cahaya yang keempat menjadi 4 bagian lagi.
Lalu, Allah menciptakan (malaikat) penopang `Arsy dari bagian cahaya yang
pertama; Kursi dari bagian cahaya yang kedua; dan malaikat yang lainnya dari
bagian cahaya yang ketiga. …[di akhir hadits beliau mengatakan] Beginilah
permulaan penciptaan Nabimu, ya Jabir”
Syaikh Dr. Shadiq Muhammad Ibrahim (salah seorang yang telah melakukan penelitian terhadap hadits ini) mengatakan: “Semua kitab-kitab sufi yang terdapat di dalamnya hadits ini, tidak ada yang menyebutkan sanad dari hadits tersebut. Mereka hanya menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh `Aburrazzaq. Saya telah mencarihadits tersebut dalam kitab-kitab yang ditulis oleh `Abdurrazzaq dan saya tidak menemukan hadits tersebut.”
`Abdullah al-Ghamariy (seorang pakar hadits) mengatakan: “Hadits tersebut merupakan hadits maudhu` (palsu). … Bersamaan dengan itu, hadits tersebut juga tidak terdapat dalam kitab Mushannaf `Abdurrazzaq, Tafsir-nya, dan tidak juga dalam Jami`-nya. … Maka shahabat Jabir bin `Abdullah radhiyallahu `anhu (perawi hadits menurut mereka) berlepas diri dari menyampaikan hadits tersebut. Demikian juga `Abdurrazzaq, dia tidak pernah menulis hadits tersebut (dalam kitabnya). Orang yang pertama menyampaikan hadits ini adalah Ibnu Arabi. Saya tidak tahu dari mana dia mendapatkannya.”
Syaikh Dr. Shadiq Muhammad Ibrahim (salah seorang yang telah melakukan penelitian terhadap hadits ini) mengatakan: “Semua kitab-kitab sufi yang terdapat di dalamnya hadits ini, tidak ada yang menyebutkan sanad dari hadits tersebut. Mereka hanya menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh `Aburrazzaq. Saya telah mencarihadits tersebut dalam kitab-kitab yang ditulis oleh `Abdurrazzaq dan saya tidak menemukan hadits tersebut.”
`Abdullah al-Ghamariy (seorang pakar hadits) mengatakan: “Hadits tersebut merupakan hadits maudhu` (palsu). … Bersamaan dengan itu, hadits tersebut juga tidak terdapat dalam kitab Mushannaf `Abdurrazzaq, Tafsir-nya, dan tidak juga dalam Jami`-nya. … Maka shahabat Jabir bin `Abdullah radhiyallahu `anhu (perawi hadits menurut mereka) berlepas diri dari menyampaikan hadits tersebut. Demikian juga `Abdurrazzaq, dia tidak pernah menulis hadits tersebut (dalam kitabnya). Orang yang pertama menyampaikan hadits ini adalah Ibnu Arabi. Saya tidak tahu dari mana dia mendapatkannya.”
84: “Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang
besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda:
“Jihadnya hati melawan hawa nafsu”
Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.
Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah(211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.
Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.
Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah(211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.
85: Dari Malik Ad Dar -beliau adalah bendahara Umar- dia
berkata, “Pada zaman pemerintahan Umar manusia ditimpa kemarau, maka seorang
lelaki mendatangi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata,
“Wahai Rasulullah, mohonlah kepada Allah untuk menurunkan hujan pada umatmu,
karena sesungguhnya mereka telah binasa”, kemudian orang tersebut bermimpi dan
dikatakan kepadanya: “Pergilah ke Umar……” (Disebutkan
oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 2/397. Al Allamah Al Albani berkata dalam At Tawassul hal. 131, Atsar ini
dha’if dikarenakan Malik Ad Daar itu majhul).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata (Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hal. 19-20), “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi sebelum beliau tidak pernah mensyariatkan untuk berdoa kepada malaikat, para nabi, dan orang shalih serta meminta syafaat dengan perantaraan mereka, baik setelah kematian mereka dan juga tatkala mereka gaib (yakni mereka tidak berada di hadapan kita walaupun masih hidup -pent). Maka seseorang tidak boleh mengatakan, “Wahai malaikat Allah syafa’atilah aku di sisi Allah, mintalah kepada Allah agar menolong kami dan memberi rezeki kepada kami atau menunjuki kami.” Dan demikian pula tidak boleh dia mengatakan kepada para nabi dan orang shalih yang telah mati, “Wahai nabi Allah, wahai wali Allah, berdoalah kepada Allah untukku, mintalah kepada Allah agar memaafkanku.” Juga seseorang tidak boleh mengucapkan, “Aku adukan kepadamu dosa-dosaku atau kekurangan rezekiku atau penguasaan musuh atasku atau aku adukan kepadamu si Fulan yang telah menzhalimiku.” Tidak boleh pula dia mengatakan, “Aku adalah tamumu, aku adalah tetanggamu, atau engkau melindungi setiap orang yang meminta perlindungan padamu.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata (Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hal. 19-20), “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi sebelum beliau tidak pernah mensyariatkan untuk berdoa kepada malaikat, para nabi, dan orang shalih serta meminta syafaat dengan perantaraan mereka, baik setelah kematian mereka dan juga tatkala mereka gaib (yakni mereka tidak berada di hadapan kita walaupun masih hidup -pent). Maka seseorang tidak boleh mengatakan, “Wahai malaikat Allah syafa’atilah aku di sisi Allah, mintalah kepada Allah agar menolong kami dan memberi rezeki kepada kami atau menunjuki kami.” Dan demikian pula tidak boleh dia mengatakan kepada para nabi dan orang shalih yang telah mati, “Wahai nabi Allah, wahai wali Allah, berdoalah kepada Allah untukku, mintalah kepada Allah agar memaafkanku.” Juga seseorang tidak boleh mengucapkan, “Aku adukan kepadamu dosa-dosaku atau kekurangan rezekiku atau penguasaan musuh atasku atau aku adukan kepadamu si Fulan yang telah menzhalimiku.” Tidak boleh pula dia mengatakan, “Aku adalah tamumu, aku adalah tetanggamu, atau engkau melindungi setiap orang yang meminta perlindungan padamu.”
86: Dari Abul Jauza’ Aus bin Abdillah, dia berkata, “Penduduk
Madinah pernah mengalami kemarau yang sangat dahsyat, kemudian mereka mengadu
kepada Aisyah, maka dia berkata: “Pergilah ke kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian buatlah lubang yang menghadap ke langit sehingga antara kubur
dan langit tidak terhalang oleh atap.” Mereka berkata, “Mari kita
melakukannya.” Maka hujan lebat mengguyur kami, sehingga rumput tumbuh lebat
dan unta-unta menjadi gemuk dan menghasilkan lemak. Maka saat itu disebut Tahun
Limpahan” (Dikeluarkan
oleh Ad Darimi (1/56) nomor 92. Al Allamah Al
Albani berkata dalam At Tawassulhal
139: “Dan (atsar) ini sanad(nya) dha’if
tidak dapat digunakan sebagai hujjah.
87: Dari Ali bin Maimun, dia berkata, Aku mendengar Asy Syafi’i
(Imam Syafi’i -pent) berkata, “Sungguh aku
akan bertabarruk dengan Abu Hanifah, dan aku mendatangi kuburnya di setiap hari
-yakni beliau berziarah ke kuburnya-. Maka jika aku memiliki hajat, aku
melakukan shalat dua raka’at dan aku mendatangi kuburannya kemudian aku memohon
kepada Allah ta’ala agar mengabulkan hajatku di samping kuburannya, dan tak
lama berselang hajatku pun terkabul” Hikayat ini diriwayatkan
oleh Al Khatib Al Baghdadi dalam Tarikh
Baghdad (1/123) dari jalur Umar bin Ishaq bin Ibrahim, dia berkata: “Ali bin Maimun memberitakan kepada kami, dia berkata,
‘Aku mendengar Asy Syafi’i mengatakan hal itu.’” (yakni
riwayat di atas -pent).
Al ‘Allamah Al Albani berkata dalam Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wa Al Maudhu’at 1/31: “Riwayat ini dha’if bahkan (riwayat yang) bathil.”
Ibnul Qoyyim berkata dalam Ighatsatul Lahfan 1/246, “Hikayat yang dinukil dari Imam Syafi’i -bahwa beliau berdoa di samping kuburan Abu Hanifah- merupakan suatu kedustaan yang nyata.”
Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata dalam Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wa Al Maudhu’at (1/31) hadits nomor 22, “Riwayat ini dha’if (lemah), bahkan bathil. Karena sesungguhnya Umar bin Ishaq bin Ibrahim tidak dikenal, dan tidak pernah disebut dalam kitab-kitab yang membahas tentang perawi hadits sedikit pun. Jika yang dimaksud Umar bin Ishaq adalah Amru bin Ishaq bin Ibrahim bin Hamid As Sakan Abu Muhammad At Tunisi, maka Al Khatib telah menyebutkan biografinya dan menyebutkan bahwasanya dia adalah penduduk Bukhara yang mendatangi Baghdad tahun 341 Hijriah dalam rangka hendak berhaji, dan beliau (Al Khatib) tidak menyebutkan jarh (celaan) dan ta’dil (rekomendasi) atas orang ini dalam kitabnya, maka orang ini statusnya majhul hal. Mustahil jika yang dimaksudkan adalah orang ini, karena Syaikhnya yakni Ali bin Maimun wafat pada tahun 247 Hijriah -berdasarkan pendapat yang paling jauh-, sehingga kematian keduanya berjarak sekitar 100 tahun, maka mustahil dia menjumpai Syaikhnya tersebut. Kesimpulannya, riwayat ini dha’if dan tidak ada bukti yang menunjukkan keshahihannya.”
Al ‘Allamah Al Albani berkata dalam Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wa Al Maudhu’at 1/31: “Riwayat ini dha’if bahkan (riwayat yang) bathil.”
Ibnul Qoyyim berkata dalam Ighatsatul Lahfan 1/246, “Hikayat yang dinukil dari Imam Syafi’i -bahwa beliau berdoa di samping kuburan Abu Hanifah- merupakan suatu kedustaan yang nyata.”
Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata dalam Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wa Al Maudhu’at (1/31) hadits nomor 22, “Riwayat ini dha’if (lemah), bahkan bathil. Karena sesungguhnya Umar bin Ishaq bin Ibrahim tidak dikenal, dan tidak pernah disebut dalam kitab-kitab yang membahas tentang perawi hadits sedikit pun. Jika yang dimaksud Umar bin Ishaq adalah Amru bin Ishaq bin Ibrahim bin Hamid As Sakan Abu Muhammad At Tunisi, maka Al Khatib telah menyebutkan biografinya dan menyebutkan bahwasanya dia adalah penduduk Bukhara yang mendatangi Baghdad tahun 341 Hijriah dalam rangka hendak berhaji, dan beliau (Al Khatib) tidak menyebutkan jarh (celaan) dan ta’dil (rekomendasi) atas orang ini dalam kitabnya, maka orang ini statusnya majhul hal. Mustahil jika yang dimaksudkan adalah orang ini, karena Syaikhnya yakni Ali bin Maimun wafat pada tahun 247 Hijriah -berdasarkan pendapat yang paling jauh-, sehingga kematian keduanya berjarak sekitar 100 tahun, maka mustahil dia menjumpai Syaikhnya tersebut. Kesimpulannya, riwayat ini dha’if dan tidak ada bukti yang menunjukkan keshahihannya.”
88: Dari Anas bin Malik, Ketika Fatimah bintu Asad bin Hasyim ibunda
Ali radhiallahu ‘anhu wafat,
maka dia mengajak Usamah bin Zaid, Abu Musa Al Anshari, Umar bin Khattab dan
seorang budak hitam untuk menggali liang kubur. Setelah selesai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk
dan berbaring di dalamnya, kemudian beliau berkata:
“Allah adalah Zat yang menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup dan tidak mati, ampunilah bibiku Fatimah binti Asad. Ajarkanlah padanya hujjahnya dan luaskanlah tempat tinggalnya yang baru dengan hak nabi-Mu dan hak para nabi sebelumku, karena sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Penyayang”
Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini tidak mengandung targhib (anjuran untuk melakukan suatu amalan yang ditetapkan syariat) dan tidak pula menjelaskan keutamaan amalan yang telah ditetapkan dalam syariat. Sesungguhnya hadits ini hanya memberitahukan permasalahan seputar boleh atau tidak boleh, dan seandainya hadits ini shahih, maka isinya menetapkan suatu hukum syar’i. Sedangkan kalian (para penyanggah -pent) menjadikannya sebagai salah satu dalil bolehnya tawassul yang diperselisihkan ini. Maka apabila kalian telah menerima kedha’ifan hadits ini, maka kalian tidak boleh berdalil dengannya. Aku tidak bisa membayangkan ada seorang berakal yang akan mendukung kalian untuk memasukkan hadits ini ke dalam bab targhib dan tarhib, karena hal ini adalah sikap tidak mau tunduk kepada kebenaran, mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan oleh seluruh orang yang berakal sehat.” (Lihat At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal. 110 dan Silsilah Ahadits Addha’ifah wal Maudlu’at (1/32) hadits nomor 23. Beliau telah menjelaskan kelemahan hadits ini dan menjelaskan alasannya dengan rinci, maka merujuklah ke buku tersebut).
“Allah adalah Zat yang menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup dan tidak mati, ampunilah bibiku Fatimah binti Asad. Ajarkanlah padanya hujjahnya dan luaskanlah tempat tinggalnya yang baru dengan hak nabi-Mu dan hak para nabi sebelumku, karena sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Penyayang”
Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini tidak mengandung targhib (anjuran untuk melakukan suatu amalan yang ditetapkan syariat) dan tidak pula menjelaskan keutamaan amalan yang telah ditetapkan dalam syariat. Sesungguhnya hadits ini hanya memberitahukan permasalahan seputar boleh atau tidak boleh, dan seandainya hadits ini shahih, maka isinya menetapkan suatu hukum syar’i. Sedangkan kalian (para penyanggah -pent) menjadikannya sebagai salah satu dalil bolehnya tawassul yang diperselisihkan ini. Maka apabila kalian telah menerima kedha’ifan hadits ini, maka kalian tidak boleh berdalil dengannya. Aku tidak bisa membayangkan ada seorang berakal yang akan mendukung kalian untuk memasukkan hadits ini ke dalam bab targhib dan tarhib, karena hal ini adalah sikap tidak mau tunduk kepada kebenaran, mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan oleh seluruh orang yang berakal sehat.” (Lihat At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal. 110 dan Silsilah Ahadits Addha’ifah wal Maudlu’at (1/32) hadits nomor 23. Beliau telah menjelaskan kelemahan hadits ini dan menjelaskan alasannya dengan rinci, maka merujuklah ke buku tersebut).
89:: Dari
Umayyah ibn Abdillah ibn Khalid ibn Usaid, ia berkata:“Rasulullah pernah meminta kemenangan dengan (bantuan)
orang-orang melarat dari kaum Muhajirin” (Diriwayatkan
Ath Thabrani dalam Al Kabir 1/269
dan disebutkan oleh At Tabrizi dalam Misykatul
Mashabih 5247 dan Al Qurthubi dalam Tafsir-nya
2/26; Dalam Al Isti’ab 1/38,
Ibnu Abdil Barr berkata, “Menurutku
tidaklah benar kalau Umayyah ibn Abdillah adalah seorang sahabat Nabi, sehingga
hadits di atas adalah hadits yang mursal.” Al
Hafizh dalam Al Ishobah 1/133
berkata, “Umayyah
bukanlah sahabat Nabi dan tidak memiliki riwayat yang kuat.” Al
Albani dalam At Tawassul hal.
111 mengatakan, “Pokok
permasalahan dalam hadits tersebut adalah status Umayyah. Tidak terbukti bahwa
beliau adalah salah seorang sahabat, sehingga status hadits tersebut adalah
hadits mursal dha’if.”)
Al Allamah Al Albani berkata, “Hadits ini dha’if sehingga tidak dapat digunakan sebagai hujjah.” Kemudian beliau berkata, “Seandainya hadits ini shahih, maka hadits ini semakna dengan hadits Umar, yaitu Umar meminta hujan dengan perantaraan doa Al Abbas, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hadits orang buta (seorang lelaki buta yang meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendoakannya kepada Allah agar penglihatannya dikembalikan), yaitu bertawassul dengan doa orang shalih (yang masih hidup-pent).” (At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal 112).
Al Munawi berkata dalam Faidlul Qadir (5/219), “(Rasulullah) pernah meminta kemenangan maksudnya meminta kemenangan dalam peperangan sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Jika kalian (orang-orang musyrikin) meminta kemenangan, maka telah datang kemenangan kepadamu.” (QS. Al Anfaal: 19)
Az Zamakhsyari mengatakan yang dimaksud dengan “meminta bantuan”, yakni meminta kemenangan dengan orang-orang melarat dari kaum Muhajirin, yaitu dengan doa kaum fakir yang tidak memiliki harta dari kalangan Muhajirin.
Al Allamah Al Albani berkata, “Hadits ini dha’if sehingga tidak dapat digunakan sebagai hujjah.” Kemudian beliau berkata, “Seandainya hadits ini shahih, maka hadits ini semakna dengan hadits Umar, yaitu Umar meminta hujan dengan perantaraan doa Al Abbas, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hadits orang buta (seorang lelaki buta yang meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendoakannya kepada Allah agar penglihatannya dikembalikan), yaitu bertawassul dengan doa orang shalih (yang masih hidup-pent).” (At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal 112).
Al Munawi berkata dalam Faidlul Qadir (5/219), “(Rasulullah) pernah meminta kemenangan maksudnya meminta kemenangan dalam peperangan sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Jika kalian (orang-orang musyrikin) meminta kemenangan, maka telah datang kemenangan kepadamu.” (QS. Al Anfaal: 19)
Az Zamakhsyari mengatakan yang dimaksud dengan “meminta bantuan”, yakni meminta kemenangan dengan orang-orang melarat dari kaum Muhajirin, yaitu dengan doa kaum fakir yang tidak memiliki harta dari kalangan Muhajirin.
90: Dari
Abdullah ibn Mas’ud dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau berkata,
“Hidupku baik bagi kalian, kalian bisa menyampaikan hadits dan akan ada hadits yang disampaikan dari kalian. Dan kematianku adalah kebaikan bagi kalian, amal-amal kalian akan dihadapkan kepadaku, jika aku melihat kebaikan aku memuji Allah karenanya dan jika aku melihat keburukan, aku akan memohon ampun kepada Allah bagi kalian” (Diriwayatkan oleh An Nasa’i 1/189, Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 3/81/2, Abu Nu’aim dalam Akhbaru Ashbahan 2/205 dan Ibnu Asakir 9/189/2 dan Al Albani telah melemahkan hadits ini dalam Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wal Maudhu’at 2/404).
Al Allamah Al Albani berkata, sesudah menyebutkan beberapa perkataan ulama tentang hadits ini, “Kesimpulannya, bahwa hadits ini dha’if dengan seluruh jalur periwayatannya, dan yang paling baik dari semua jalur tersebut adalah hadits mursal dari Bakr bin Abdil Muththallib Al Muzani, dan hadits mursal termasuk kategori hadits dha’if menurut para muhaddits. Adapun hadits dari Ibnu Mas’ud maka hadits itu khotho’ (salah), dan yang terburuk dari beberapa jalan jalur periwayatan hadits ini adalah hadits Anas dengan dua jalur periwatannya.” (Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wal Maudlu’at 2/404-406).
“Hidupku baik bagi kalian, kalian bisa menyampaikan hadits dan akan ada hadits yang disampaikan dari kalian. Dan kematianku adalah kebaikan bagi kalian, amal-amal kalian akan dihadapkan kepadaku, jika aku melihat kebaikan aku memuji Allah karenanya dan jika aku melihat keburukan, aku akan memohon ampun kepada Allah bagi kalian” (Diriwayatkan oleh An Nasa’i 1/189, Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 3/81/2, Abu Nu’aim dalam Akhbaru Ashbahan 2/205 dan Ibnu Asakir 9/189/2 dan Al Albani telah melemahkan hadits ini dalam Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wal Maudhu’at 2/404).
Al Allamah Al Albani berkata, sesudah menyebutkan beberapa perkataan ulama tentang hadits ini, “Kesimpulannya, bahwa hadits ini dha’if dengan seluruh jalur periwayatannya, dan yang paling baik dari semua jalur tersebut adalah hadits mursal dari Bakr bin Abdil Muththallib Al Muzani, dan hadits mursal termasuk kategori hadits dha’if menurut para muhaddits. Adapun hadits dari Ibnu Mas’ud maka hadits itu khotho’ (salah), dan yang terburuk dari beberapa jalan jalur periwayatan hadits ini adalah hadits Anas dengan dua jalur periwatannya.” (Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wal Maudlu’at 2/404-406).
91::
Mu’shab bin Abdillah berkata: Isma’il bin Ya’qub At Taimi menceritakan
kepadaku, ia berkata, “Suatu ketika Ibnul
Munkadir sedang duduk-duduk bersama murid-muridnya. Tiba-tiba lidahnya kaku tak
dapat berbicara. Beliau pun berdiri lalu meletakkan dagunya di atas makam
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lalu kembali. Murid-muridnya menyalahkan perbuatan
beliau tersebut. Beliau pun berkata,’Yang menimpaku tadi adalah suatu bahaya.
Ketika aku menemui bahaya aku biasa ber-isti’anah (memohon pertolongan) kepada
makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam‘”
Kisah ini dibawakan oleh:
Pertama: Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala (9/437)
Kedua: Adz Dzahabi dalam Tarikh Al Islami (2/456) terbitan web alwarraq.com, dengan sanad yang sama, namun terdapat sedikit perbedaan redaksi: “Ketika aku menemui bahaya aku biasa ber-istighatsah kepada makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam”
Ketiga: As Samhudi, dalam Wafa-u Al Wafa Bi Akhbari Daari Al Musthafa (4/218), dengan sanad yang sama, namun terdapat sedikit perbedaan redaksi: “Ketika aku menemui bahaya yang demikian aku biasa ber-istisyfa (meminta kesembuhan) kepada makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
Pertama: Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala (9/437)
Kedua: Adz Dzahabi dalam Tarikh Al Islami (2/456) terbitan web alwarraq.com, dengan sanad yang sama, namun terdapat sedikit perbedaan redaksi: “Ketika aku menemui bahaya aku biasa ber-istighatsah kepada makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam”
Ketiga: As Samhudi, dalam Wafa-u Al Wafa Bi Akhbari Daari Al Musthafa (4/218), dengan sanad yang sama, namun terdapat sedikit perbedaan redaksi: “Ketika aku menemui bahaya yang demikian aku biasa ber-istisyfa (meminta kesembuhan) kepada makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
Status Perawi
Pertama: Mu’shab bin Abdillah
Nama lengkapnya Abu Abdillah Mu’shab bin Abdillah bin Mu’shab bin Tsabit Al Zubairi Al Madini. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “Tsiqah” (Tahdzib At Tahdzib, 10/147). Adz Dzahabi berkata: “Ash Shaduuq” (Siyar A’laamin Nubala, 21/32). Al Baihaqi men-tsiqah-kannya (Siyar A’laamin Nubala, 21/32). Abu Hatim dan Ibnu Ma’in menulis hadits darinya (Al Jarh Wat Ta’dil, 8/309).
Kedua: Isma’il bin Ya’qub At Taimi
Abu Hatim Ar Razi berkata: “Dha’ful Hadits” (Al Jarh Wat Ta’dil, 2/204). Ibnu Hajar berkata: “Lahu hikaayatun munkarah” (Lisaanul Mizan, 1/185). Adz Dzahabi berkata: “Fiihi Layyin” (2/456). Semua ini adalah lafadz-lafadz pelemahan. Memang Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Hibban men-tsiqah-kannya” (Lisaanul Mizan, 1/185). Namun Ibnu Hibban di kalangan peneliti hadits telah dikenal akan sikapnya yang terlalu bermudah-mudah menetapkan status tsiqah(baca:mutasaahil). Para peneliti hadits seperti Adz Dzahabi, Ibnu Qattan, Abu Hatim dan yang lainnya menerapkan kaidah: ‘Jika hanya Ibnu Hibban seorang diri yang memberi status tsiqah pada seorang rawi, maka disimpulkan status rawi tersebut adalah majhul ain‘. Lihat penjelasan lengkap tentang masalah ini padaBuhuts Fil Musthalah (1/288) karya Dr. Mahir Yasin Al Fahl.
Kualitas Riwayat
Dari keterangan di atas, maka jelaslah bahwa riwayat tersebut dha’if karena dhaif-nya Isma’il bin Ya’qub At Taimi. Hal ini diperkuat dari keterangan dari Adz Dzahabi, karena setelah membawakan riwayat tersebut dalam Tarikh Al Islami (2/456) beliau berkata, “Isma’il: fiihi layyin” (Isma’il bin Ya’qub terdapat kelemahan).
Andaikan kisah ini shahih pun -dan nyatanya tidak- perbuatan Ibnul Munkadir, seorang tabi’in, bukanlah dalil, bukan alasan yang dapat melegalisasikanisti’anah (meminta pertolongan) kepada kuburan.
Pertama: Mu’shab bin Abdillah
Nama lengkapnya Abu Abdillah Mu’shab bin Abdillah bin Mu’shab bin Tsabit Al Zubairi Al Madini. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “Tsiqah” (Tahdzib At Tahdzib, 10/147). Adz Dzahabi berkata: “Ash Shaduuq” (Siyar A’laamin Nubala, 21/32). Al Baihaqi men-tsiqah-kannya (Siyar A’laamin Nubala, 21/32). Abu Hatim dan Ibnu Ma’in menulis hadits darinya (Al Jarh Wat Ta’dil, 8/309).
Kedua: Isma’il bin Ya’qub At Taimi
Abu Hatim Ar Razi berkata: “Dha’ful Hadits” (Al Jarh Wat Ta’dil, 2/204). Ibnu Hajar berkata: “Lahu hikaayatun munkarah” (Lisaanul Mizan, 1/185). Adz Dzahabi berkata: “Fiihi Layyin” (2/456). Semua ini adalah lafadz-lafadz pelemahan. Memang Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Hibban men-tsiqah-kannya” (Lisaanul Mizan, 1/185). Namun Ibnu Hibban di kalangan peneliti hadits telah dikenal akan sikapnya yang terlalu bermudah-mudah menetapkan status tsiqah(baca:mutasaahil). Para peneliti hadits seperti Adz Dzahabi, Ibnu Qattan, Abu Hatim dan yang lainnya menerapkan kaidah: ‘Jika hanya Ibnu Hibban seorang diri yang memberi status tsiqah pada seorang rawi, maka disimpulkan status rawi tersebut adalah majhul ain‘. Lihat penjelasan lengkap tentang masalah ini padaBuhuts Fil Musthalah (1/288) karya Dr. Mahir Yasin Al Fahl.
Kualitas Riwayat
Dari keterangan di atas, maka jelaslah bahwa riwayat tersebut dha’if karena dhaif-nya Isma’il bin Ya’qub At Taimi. Hal ini diperkuat dari keterangan dari Adz Dzahabi, karena setelah membawakan riwayat tersebut dalam Tarikh Al Islami (2/456) beliau berkata, “Isma’il: fiihi layyin” (Isma’il bin Ya’qub terdapat kelemahan).
Andaikan kisah ini shahih pun -dan nyatanya tidak- perbuatan Ibnul Munkadir, seorang tabi’in, bukanlah dalil, bukan alasan yang dapat melegalisasikanisti’anah (meminta pertolongan) kepada kuburan.
92: “Apabila malam nisfu
Sya’ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya.
Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam,
kemudian Dia berfirman: “Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan
mengampuninya? Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki?
Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang
begini, dan adakah yang begini, hingga terbit fajar.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dalam sanadnya terdapat Abu Bakr bin
‘Abdillah bin Muhammad bin Abi Saburoh Al Qurosyi Al ‘Aamiri Al Madani. Ada
yang menyebut namanya adalah ‘Abdullah, ada yang mengatakan pula Muhammad.
Disandarkan pada kakeknya bahwa ia dituduh memalsukan hadits, sebagaimana
disebutkan dalam At Taqrib. Adz
Dzahabi dalam Al Mizan mengatakan,
“Imam Al Bukhari dan ulama lainnya mendho’ifkannya”. Anak Imam Ahmad, ‘Abdullah
dan Sholih, mengatakan dari ayahnya, yaitu Imam Ahmad berkata, “Dia adalah
orang yang memalsukan hadits.” An Nasai mengatakan, “Ia adalah perowi yang
matruk (dituduh dusta)”. [Berarti hadits ini di antara maudhu’ dan dho’if]
93: “Sesungguhnya Allah akan
menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua
makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya” (HR.
Ibnu Majah no. 1390). Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini
munqothi’ (terputus sanadnya).” [Berarti hadits tersebut dho’if].
94: “Suatu saat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat malam, beliau shalat dan
memperlama sujud sampai aku menyangka bahwa beliau telah tiada. Tatkala aku
memperhatikan hal itu, aku bangkit sampai aku pun menggerakkan ibu jarinya.
Beliau pun bergerak dan kembali. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud
dan merampungkan shalatnya, beliau mengatakan, “Wahai ‘Aisyah (atau Wahai
Humairo’), apakah kau sangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengkhianatimu?” Aku menjawab, “Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, akan
tetapi aku sangka engkau telah tiada karena sujudmu yang begitu lama.” Beliau
berkata kembali, “Apakah engkau tahu malam apakah ini?” Aku menjawab, “Allah
dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata, “Malam ini adalah malam Nishfu
Sya’ban. Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla turun pada hamba-Nya pada malam
Nishfu Sya’ban, lantas Dia akan memberi ampunan ampunan pada orang yang meminta
ampunan dan akan merahmati orang yang memohon rahmat, Dia akan menjauh dari
orang yang pendendam” Dikeluarkan oleh Al Baihaqi. Ia katakan bahwa riwayat ini
mursal jayyid. Kemungkinan pula bahwa Al ‘Alaa’ mengambilnya dari Makhul.
[Hadits mursal adalah hadits yang dho’if karena terputus sanadnya]
95: “Allah mendatangi seluruh
makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban. Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali
orang musyrik dan orang yang bermusuhan”Al Mundziri dalam At Targhib setelah menyebutkan
hadits ini, beliau mengatakan, “Dikeluarkan oleh At Thobroni dalam Al Awsath dan Ibnu Hibban dalam
kitab Shahihnya dan juga oleh Al Baihaqi. Ibnu Majah pun mengeluarkan hadits
dengan lafazh yang sama dari hadits Abu Musa Al Asy’ari. Al Bazzar dan Al
Baihaqi mengeluarkan yang semisal dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dengan
sanad yang tidak mengapa.” Demikian perkataan Al Mundziri. Penulis Tuhfatul
Ahwadzi lantas mengatakan, “Pada sanad hadits Abu Musa Al Asy’ari yang
dikeluarkan oleh Ibnu Majah terdapat Lahi’ah dan dia dinilai dho’if.” [Hadits
ini adalah hadits yang dho’if]
96: “Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada
yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri” Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani
mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664),
dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).
Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.
Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.
97: “Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu:
berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah
palsu”Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi
di Al Maudhu’at (1131)
Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).
Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa.
Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).
Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa.
98: “Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan
minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan
dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar” Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318),
Al Mundziri dalam At Targhib Wat
Tarhib (1/152)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)
99: “Siapa yang membaca surat Yasin dalam suatu malam, maka
ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya dan siapa yang membaca surat
Ad-Dukhan pada malam Jum’at maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya” (Ibnul Jauzi, Al-Maudhu’at,
1/247). Hadits ini Palsu. Ibnul Jauzi mengatakan, hadits ini dari semua
jalannya adalah batil, tidak ada asalnya. Imam Daruquthni berkata: Muhammad bin
Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits.
(Periksa: Al-Maudhu’at, Ibnul
Jauzi, I/246-247, Mizanul I’tidal III/549, Lisanul Mizan V/168, Al-Fawaidul Majmua’ah hal.
268 No. 944).
100: “Tidak seorang pun akan mati, lalu dibacakan Yasin di
sisinya (maksudnya sedang naza’) melainkan Allah akan memudahkan (kematian itu)
atasnya” Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan I :188. Dalam sanad hadits ini terdapat Marwan bin Salim Al Jazari. Imam Ahmad dan Nasa’i berkata, ia tidak bisa dipercaya. Imam Bukhari, Muslim dan Abu Hatim berkata, ia munkarul hadits. Kata Abu ‘Arubah Al Harrani, ia sering memalsukan hadits. (Periksa: Mizanul I’tidal IV : 90-91).
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan I :188. Dalam sanad hadits ini terdapat Marwan bin Salim Al Jazari. Imam Ahmad dan Nasa’i berkata, ia tidak bisa dipercaya. Imam Bukhari, Muslim dan Abu Hatim berkata, ia munkarul hadits. Kata Abu ‘Arubah Al Harrani, ia sering memalsukan hadits. (Periksa: Mizanul I’tidal IV : 90-91).
101: “Siapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena
mencari keridhaan Allah, niscaya Allah mengampuni dosanya” Hadits ini Lemah.Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitabnya Mu’jamul Ausath dan As-Shaghir dari Abu Hurairah, tetapi
dalam sanadnya ada rawi Aghlab bin Tamim. Kata Imam Bukhari, ia munkarul
hadits. Kata Ibnu Ma’in, ia tidak ada apa-apanya (tidak kuat). (Periksa: Mizanul I’tidal I:273-274 dan Lisanul Mizan I : 464-465).
102: “Siapa yang terus menerus membaca surat Yasin pada setiap malam,
kemudian ia mati maka ia mati syahid” Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jam
Shaghir dari Anas, tetapi dalam sanadnya ada Sa’id bin Musa Al-Azdy, ia
seorang pendusta dan dituduh oleh Ibnu Hibban sering memalsukan hadits.
(Periksa: Tuhfatudz
Dzakirin, hal. 340, Mizanul I’tidal II :
159-160, Lisanul Mizan III :
44-45).
103: “Siapa yang membaca surat Yasin pada permulaan siang (pagi hari)
maka akan diluluskan semua hajatnya” Hadits
ini Lemah. Ia diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari jalur Al-Walid bin Syuja’. Atha’
bin Abi Rabah, pembawa hadits ini tidak pernah bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab
ia lahir sekitar tahun 24H dan wafat tahun 114H.
(Periksa: Sunan Ad-Darimi 2:457, Misykatul Mashabih, takhrij No. 2177, Mizanul I’tidal III:70 dan Taqribut Tahdzib II:22).
(Periksa: Sunan Ad-Darimi 2:457, Misykatul Mashabih, takhrij No. 2177, Mizanul I’tidal III:70 dan Taqribut Tahdzib II:22).
104: “Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia
membaca Al-Qur’an dua kali” (Hadits
Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman). Hadits ini Palsu.
(Lihat Dha’if Jamiush Shaghir, No. 5801 oleh Syaikh Al-Albani).
(Lihat Dha’if Jamiush Shaghir, No. 5801 oleh Syaikh Al-Albani).
105: “Siapa yang membaca surat Yasin di pagi hari maka akan
dimudahkan (untuknya) urusan hari itu sampai sore. Dan siapa yang membacanya di
awal malam (sore hari) maka akan dimudahkan urusannya malam itu sampai pagi”
Hadits ini Lemah. Hadits ini diriwayatkan Ad-Darimi 2:457 dari jalur Amr bin
Zararah. Dalam sanad hadits ini terdapat Syahr bin Hausyab. Kata Ibnu Hajar: Ia
banyak memursalkan hadits dan banyak keliru. (Periksa: Taqrib I:355, Mizanul I’tidalII:283).
106: “Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang akan mati di antara
kamu” Hadits ini Lemah.Diantara yang meriwayatkan hadits ini
adalah Ibnu Abi Syaibah (4:74 cet. India), Abu Daud No. 3121. Hadits ini lemah
karena Abu Utsman, di antara perawi hadits ini adalah seorang yang majhul
(tidak diketahui), demikian pula dengan ayahnya. Hadits ini juga mudtharib
(goncang sanadnya/tidak jelas).
107: “Barang siapa yang shalat seratus rakaat pada malam nishfu
sya’ban dari bulan sya’ban, ia baca pada setiap rakaat sesudah Al-Fatihah:
Qulhu 10X, maka tidak ada seorangpun yang shalat seperti itu melainkan Allah
kabulkan semua hajat yang ia minta pada malam itu ….”.
Hadits ini palsu (Lihat Al-Maudhu’at karya
Imam Ibnul Jauzi) dan menjadi sumber dalam peringatan malam nishfu sya’ban, memberatkan umat dengan
sesuatu yang tidak pernah diajarkan Rasulullah. Dan beliau sendiri tidak pernah
mengucapkan perkataan ini!
108: Nu’aim
bin Hammad berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abu Umar, dari Ibnu
Lahi’ah, ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdul Wahhab bin Husain, dari
Muhammad bin Tsabit Al-Bunani, dari ayahnya, dari Al-Harits Al-Hamdani, dari
Ibnu Mas’ud radhiallahu
‘anhu, dari Nabi shallallahu
alaihi wasallam, beliau bersabda: “Bila
telah muncul suara di bulan Ramadhan, maka akan terjadi huru-hara di bulan
Syawal, kabilah-kabilah saling bermusuhan (perang antar suku, pent) di bulan
Dzul Qa’dah, dan terjadi pertumpahan darah di bulan Dzul Hijjah dan Muharram…”.
Kami bertanya: “Suara apakah, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Suara keras
di pertengahan bulan Ramadhan, pada malam Jumat, akan muncul suara keras yang
membangunkan orang tidur, menjadikan orang yang berdiri jatuh terduduk, para
gadis keluar dari pingitannya, pada malam Jumat di tahun terjadinya banyak
gempa. Jika kalian telah melaksanakan shalat Subuh pada hari Jumat, masuklah
kalian ke dalam rumah kalian, tutuplah pintu-pintunya, sumbatlah
lubang-lubangnya, dan selimutilah diri kalian, sumbatlah telinga kalian. Jika
kalian merasakan adanya suara menggelegar, maka bersujudlah kalian kepada Allah
dan ucapkanlah: “Mahasuci Allah Al-Quddus, Mahasuci Allah Al-Quddus, Rabb kami
Al-Quddus”, kerana barangsiapa melakukan hal itu, niscaya ia akan selamat,
tetapi barangsiapa yang tidak melakukan hal itu, niscaya akan binasa”.Hadits
ini diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad di dalam kitab Al-Fitan I/228, No.638, dan
Alauddin Al-Muttaqi Al-Hindi di dalam kitab Kanzul
‘Ummal, No.39627).
Hadits ini derajatnya palsu (maudhu’), karena di dalam sanadnya terdapat beberapa perawi hadits yang
pendusta dan bermasalah sebagaimana diperbincangkan oleh para ulama hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar