Senin, 14 Januari 2013

HUKUM BADAL HAJI


Oleh : drs.HM.Sakti Rangkuti,MA

Puji dan syukur bagi Allah semata dan Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, baginda Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassallam, juga kepada keluarga ahlul baitnya serta seluruh umat yang setia mengikuti risalah yang dibawa oleh beliau Shalallaahu Alaihi Wassallam sampai akhir jaman. Para pembaca rahimakumullah, Topik kita kali ini akan menyajikan sebuah kajian fiqh yang penting yaitu terkait dengan boleh-tidaknya seseorang mem-“Badal Haji”-kan orang lain,
tentang syarat dan hukum-nya, semata-mata dengan maksud agar permasalahan ini menjadi jelas bagi kita semua. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua pencari kebenaran, penerima kebenaran, dan penyeru kebenaran. Amiin.

Keutamaan Haji dan ‘Umrah:
Dari Abu Hurairah r.a. katanya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “ Masa dari satu ‘umrah ke ‘umrah berikutnya adalah masa penghapusan dosa. Dan ganjaran haji yang mabrur tiada lain hanya syurga.” (Shahih Muslim No.1287 KBC)

Keutamaan Hari ‘Arafah
:
Dari ummu ‘Aisyah r.a., katanya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “ Tidak ada suatu hari dimana Allah Ta’ala paling banyak membebaskan hamba-Nya dari neraka selain Hari ‘Arafah.” (Shahih Muslim No.1286 KBC)

HAJI BADAL, BOLEHKAH?
Ada beberapa hadits yang akan menjadi bahan berharga bagi kita untuk mengulas permasalahan ini, yaitu sebagai berikut:


1. Hadits Abdullah bin Abbas r.a.
Riwayat dari ‘Abdullah bin Abbas r.a. ini sangat penting, diantaranya: Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “ Pernah Fadh bin Abbas di bonceng Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, lalu datanglah seorang wanita dari Khots’am, maka Fadhl memandangnya dan wanita itupun memandangnya. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam lalu menutup muka serta memalingkan wajah Fadhil kearah lain. Wanita itu berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syarat wajib (yang dibebankan Allah) kepada hamba-Nya untuk berangkat haji telah terpenuhi pada ayahku yang telah lanjut usia dan serta tidak bisa naik kendaraan, bolehkan aku menghajikan untuknya?” jawab Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, “Boleh.” Hal itu pada saat haji wada’ . (Hadits tersebut SHAHIH, Diriwayatkan Bukhari No.785, Muslim No.1272, Abu Dawud No.1809, Nasa’i no.2634, Tirmidzi No.928, Ibnu Majah No.2367-2368) Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah mendengar seorang lelaki berkata: “Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk Syubramah.”

Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bertanya: “Siapakah Syubramah?” Jawabnya: “Saudaraku atau kerabatku.” Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bertanya lagi: “Sudahkah engkau ber-haji sebelumnya?” Jawabnya, “Belum.”! Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Kalau begitu jadikanlah ini untukmu, kemudian tahun berikutnya untuk Syubramah.” (Hadits tersebut SHAHIH, Diriwayatkan Abu Daud; Ibnu Majah No.2364)

2. Hadits Abu Rozin (Laqith bin Amir) r.a.
Dari Abu Rozin al-Uqoili r.a. bahwa beliau pernah datang kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam seraya berkata: “Sesungguhnya ayahku telah lanjut usia, dia tidak mampu berhaji, berumrah, dan naik kendaraan”. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,”Berangkatlah haji dan umroh untuk ayahmu.” (Hadits tersebut SHAHIH, Diriwayatkan Abu Dawud No.1810, Nasa’i no.2636, Tirmidzi No.930, Ibnu Majah No.2366) {*Perlu ditegaskan disini bahwa kisah dalam hadits Abu Rozin ini berbeda dengan hadits sebelumnya. Barangsiapa menganggapnya satu kejadian, maka dia telah jauh sekali dan menyusahkan diri. Demikian kata al-Hafidz Ibnu Hajarr.a. dalam Fathul Bari 4/49}

3. Hadits Buroidah r.a.
Dari Buroidah r.a. berkata, “ Telah datang seorang wanita kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku meninggal dan belum haji, apakah saya menghajikan untuknya.?”
Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab: “Ya. ber-Hajilah untuknya.” (Hadits tersebut SHAHIH, Diriwayatkan Abu Daud No.2877, Tirmidzi No.929) Demikianlah beberapa hadits yang shahih tentang masalah ini. Sebenarnya masih lagi banyak hadits-hadits yang semakna dengannya, hanya saja secara sanad tidak luput dari pembicaraan ulama.
KESIMPULANNYA: Hadits tentang haji badal adalah hadits-hadits yang shahih tanpa keraguan di dalamnya!
FIQIH HADITS Berbicara tentang haji badal, ada beberapa pembahasan dan hukum yang sangat penting untuk kita ketahui. Oleh karenanya, agar lebih mudah memahami masalah ini, akan kita urut pembahasannya satu persatu dalam beberapa point berikut:

A. Bolehnya Haji Badal

Hadits-hadits diatas secara jelas menunjukkan bolehnya seseorang menghajikan kerabatnya, baik yang sudah meninggal dunia maupun yang masih hidup, yaitu yang tidak mampu berangkat haji karena keterbatasannya seperti karena usia lanjut {uzur}, sakit yang tidak diharapkan sembuhnya, atau tidak kuat naik diatas kendaraan {seperti mabuk, mual}. Dan pahalanya akan sampai untuk orang yang dihajikan (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 24/306-315 dan ar-Ruuh Ibnul Qoyyim hal.305-320) Kalau ada yang berkata bahwa hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT:
“Seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang di usahakannya.” (QS. An-Najm [53]:39)

Maka kita jawab:

a.
Tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dan hadits, sebab keduanya sama-sama wahyu dari Allah SWT. Hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam merupakan penjelas al-Qur’an, bukan penentang al-Qur’an. Metode mempertentangkan antara al-Qur’an dan hadits bukanlah metode ahli hadits, tetapi itu adalah metode ahlul bid’ah untuk menolak sunnah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Oleh karenanya perhatikanlah adab, sikap dan keta’atan dan kehati-hatian para shahabat, para tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para ulama salaf yang merupakan generasi terbaik yang paling memahami al-Qur’an, apakah mereka menolak hadits dengan alasan ayat diatas?! Pahamilah!!

b. Ayat yang mulia (QS. An-Najm [53]:39) diatas hanya bersifat umum, yang di khususkan dengan hadits-hadits shahih diatas (lihat Nailil Author 2/592 asy-Syaukani. Subulus salam ash-Shon’ani 2/171) Al-Izzu bin Abdussalam berkata dalam al-fatawa (2/24) : “Barangsiapa melakukan ketaatan untuk Allah SWT kemudian dia menghadiahkan pahalanya untuk orang hidup atau mati, maka pahalanya tidak sampai kepadanya, karena manusia tidak memperoleh kecuali apa yang diusahakannya, kecuali apa yang dikecualikan oleh syari’at seperti shodaqoh, puasa dan haji.”

c. Telah datang beberapa hadits yang menunjukkan bahwa seorang anak merupakan usaha terbaik bagi orang tua. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Sebaik-baik harta yang dimakan oleh seorang adalah yang berasal dari hasil usahanya, dan anaknya termasuk hasil usahanya.” (Hadits tersebut HASAN, HR Ahmad 6/31, Abu Daud No.3530, Tirmidzi No.1358) Dengan demikian, hadits ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat diatas, karena anak merupakan usaha terbaik orang tua.

B. Kapan Seseorang Boleh di Haji-kan?
Tidak semua orang boleh untuk diwakili hajinya, namun harus diperinci sebagai berikut:


Pertama:
Kalau dia mampu (secara materi dan phisik) untuk berangkat sendiri, maka tidak boleh di wakilkan, bahkan kalau sampai di wakilkan maka hajinya tidak sah. Ibnu Mundzir r.a. berkata: “Para ulama bersepakat bahwa orang yang berkewajiban haji dan mampu melakukannya sendiri maka tidak boleh dihajikan orang lain dan tidak sah.” (al-Ijma’ hal.24, al-Mughni Ibnu Qudamah 5/22). Hal itu karena pada asalnya ibadah itu harus dilakukan oleh orang itu sendiri sebagai bentuk peribadatan kepada Allah SWT Dan menurut pendapat yang kuat, hal ini juga mencakup haji yang sunnah, bukan hanya yang wajib saja.

Kedua:
Kalau tidak mampu berangkat haji, maka hal ini diperinci lagi:

1.
Kalau memang kemungkinan besar akan hilang penghalang tersebut, maka sebaiknya ditunggu hingga dia mampu melaksanakannya sendiri, Penghalang atau kendala yang dimaksud adalah seperti: kemiskinan, gila, sakit yang diharapkan kesembuhannya, dipenjara, dan sebagainya. Contoh, seseorang terkena penyakit yang kemungkinan besar akan sembuh dikemudian hari, maka kita katakan kepadanya: “Tunggulah sehingga Allah SWT menyembuhkanmu dan berangkatlah haji sendiri.” Kalau memungkinkan pada tahun ini maka itulah yang diharapkan tetapi kalu tidak memungkinkan maka tidak mengapa pada tahun-tahun berikutnya.

2.
Kalau kemungkinan besar penghalangnya tidak hilang seperti usia lanjut atau sakit parah yang tidak lagi diharapkan bisa sembuh, maka disinilah dia hendaknya mewakilkan kepada orang lain untuk menghajikannya. [Lihat Fiqh Ibadat Syaikh Ibnu Utsaimin ha.336, al-Mughni Ibnu Qudamah 5/22-23, Fathul Bari Ibnu Hajar 4/91] (Bersambung).


uji dan syukur bagi Allah semata dan Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, baginda Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassallam, juga kepada keluarga ahlul baitnya serta seluruh umat yang setia mengikuti risalah yang dibawa oleh beliau Shalallaahu Alaihi Wassallam sampai akhir jaman. Para pembaca rahimakumullah, Topik kita kali ini akan menyajikan sebuah kajian fiqh yang penting yaitu terkait dengan boleh-tidaknya seseorang mem-“Badal Haji”-kan orang lain, tentang syarat dan hukum-nya, semata-mata dengan maksud agar permasalahan ini menjadi jelas bagi kita semua. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua pencari kebenaran, penerima kebenaran, dan penyeru kebenaran. Amiin.

Keutamaan Haji dan ‘Umrah:
Dari Abu Hurairah r.a. katanya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “ Masa dari satu ‘umrah ke ‘umrah berikutnya adalah masa penghapusan dosa. Dan ganjaran haji yang mabrur tiada lain hanya syurga.” (Shahih Muslim No.1287 KBC)

Keutamaan Hari ‘Arafah
:
Dari ummu ‘Aisyah r.a., katanya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “ Tidak ada suatu hari dimana Allah Ta’ala paling banyak membebaskan hamba-Nya dari neraka selain Hari ‘Arafah.” (Shahih Muslim No.1286 KBC)

HAJI BADAL, BOLEHKAH?
Ada beberapa hadits yang akan menjadi bahan berharga bagi kita untuk mengulas permasalahan ini, yaitu sebagai berikut:


1. Hadits Abdullah bin Abbas r.a.
Riwayat dari ‘Abdullah bin Abbas r.a. ini sangat penting, diantaranya: Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “ Pernah Fadh bin Abbas di bonceng Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, lalu datanglah seorang wanita dari Khots’am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar