EDITOR : DRS.HM.SAKTI RANGKUTI,MA.
Guru Agama Islam SMAN 1
Galang.
Ada baiknya kita mengenal para Imam Mazhab
seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali yang telah
menyusun kitab Fiqih bagi kita semua.
Abu Hanifah (Imam Hanafi)
Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi
(bahasa Arab: النعمان بن ثابت), lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah, (bahasa Arab: بو حنيفة)
(lahir di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 148 H /
767 M) merupakan pendiri dari Madzhab Hanafi.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.[3]
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.[3]
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.
Imam Malik
Mālik ibn Anas bin Malik bin ‘Āmr al-Asbahi
atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam,
Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), (Bahasa Arab: مالك بن أنس), lahir di
(Madinah pada tahun 714 (93 H), dan meninggal pada tahun 800 (179 H)). Ia
adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Maliki.
Biografi
Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi
Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi
Ashbah. Imama malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. sedangkan mengenai
masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya
Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan pada 94 H. ibn
Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam malik dilahirkan pada 95 H.
sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Imam yahya
bin bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar malik berkata :”aku dilahirkan pada
93 H”. dan inilah riwayat yang paling benar (menurut al-Sam’ani dan ibn
farhun)[3].
Ia menyusun kitab Al Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui bandingannya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.
Ia menyusun kitab Al Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui bandingannya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.
Malik bin Anas menyusun kompilasi hadits dan
ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al Muwatta.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.
Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-lain.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.
Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-lain.
[sunting]Pujian Ulama untuk Imam Malik
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.
Imam as-Syafi’i berkata : “Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para Tabi’in “.
Yahya bin Ma’in berkata :”Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadits”
Ayyub bin Suwaid berkata :”Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya”.
Ahmad bin Hanbal berkata:” Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid’ah”
Seseorang bertanya kepada as-Syafi’i :” apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?” as-Syafi’i menjawab :”aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti Malik?[3] “
Kitab Al-Muwaththa
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.
Imam as-Syafi’i berkata : “Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para Tabi’in “.
Yahya bin Ma’in berkata :”Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadits”
Ayyub bin Suwaid berkata :”Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya”.
Ahmad bin Hanbal berkata:” Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid’ah”
Seseorang bertanya kepada as-Syafi’i :” apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?” as-Syafi’i menjawab :”aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti Malik?[3] “
Kitab Al-Muwaththa
Al-Muwaththa bererti ‘yang disepakati’ atau
‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama
Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang berisikan hadits-hadits yang
dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin.
Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadits,
ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah sahih kerana Imam
Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits. Dia
sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta menolak
riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadits yang dihafal beliau, hanya 10.000
saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu, hanya 5.000 saja yang disahkan
sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran. Menurut sebuah
riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan menapis
hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Imam Syafi pernah berkata,
“Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah al qur`an yang lebih banyak
mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam Malik.”
inilah karangan para ulama muaqoddimin
[sunting]Wafatnya Sang Imam Darul Hijroh
inilah karangan para ulama muaqoddimin
[sunting]Wafatnya Sang Imam Darul Hijroh
Imam malik jatuh sakit pada hari ahad dan
menderita sakit selama 22 hari kemudian 10 hari setelah itu ia wafat. sebagian
meriwayatkan imam Malik wafat pada 14 Rabiul awwal 179 H.
sahnun meriwayatkan dari abdullah bin nafi’:” imam malik wafat pada usia 87 tahun” ibn kinanah bin abi zubair, putranya yahya dan sekretarisnya hubaib yang memandikan jenazah imam Malik. imam Malik dimakamkan di Baqi’
sahnun meriwayatkan dari abdullah bin nafi’:” imam malik wafat pada usia 87 tahun” ibn kinanah bin abi zubair, putranya yahya dan sekretarisnya hubaib yang memandikan jenazah imam Malik. imam Malik dimakamkan di Baqi’
Imam Syafi’i
Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī
atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد
بن إدريس الشافعي) yang akrab
dipanggil Imam Syafi’i (Gaza, Palestina, 150 H / 767 – Fusthat, Mesir 204H /
819M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi’i.
Imam Syafi’i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani
Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang
merupakan kakek Muhammad.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Asy-Syafi’i
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Asy-Syafi’i
Tulisan di bawah terpaksa juga dihapus.
Bagaimana mungkin Imam Syafi’ie yang lahir
tahun 150 H dan wafat tahun 203 H disebut menolak paham Asy’ariyyah yang
memperkenalkan ajaran Sifat 20 sementara Imam Abu Hasan Al Asy’ari sendiri baru
lahir tahun 260 H atau 57 tahun setelah Imam Syafi’ie meninggal?
Imam Syafi’ie adalah Imam Fiqih. Beda dengan
Imam Asy’ari yang merupakan Imam masalah Tauhid. Kalau seperti itu, maka Imam
Syafi’ie juga jauh dari paham Trinitas Tauhid yang dibawa oleh Muhammad bin
Abdul Wahab yang lahir tahun 1115 Hijriyah:
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah
wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang
menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan
Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.
Sumber: Majalah As-Salaam
Imam Hambali
Sebetulnya ingin mengambil referensi dari
Wikipedia di bawah:
Namun ada yang aneh yang menyatakan Murid Imam
Hambali adalah Imam Syafi’i:
Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad juga pernah berguru kepadanya.
Padahal berbagai literatur yang ada menyebut
bahwa guru Imam Syafi’i yang lahir tahun 150 H adalah Imam Malik (lahir tahun
93 H). Sementara Imam Hambali yang lahir tahun 164 H (14 tahun lebih muda dari
Imam Syafi’i) adalah murid dari Imam Syafi’i.
Hubungan Guru dengan Murid tak akan pernah
berubah meski seorang guru bertanya beberapa hal kepada muridnya. Aneh kan jika
Imam Hambali berkata: “Imam Syafi’i itu dulu Guruku. Namun setelah aku lebih
pintar, sekarang Imam Syafi’i jadi muridku” Insya Allah tidak begitu.
Meski Imam Hambali adalah seorang Imam yang
cerdas, namun pernyataan bahwa murid Imam Hambali adalah Imam Syafi’i
menunjukkan adanya perubahan seenaknya oleh kaum Salafi Wahabi dalam rangka
memuja Imam Hambali yang mereka jadi panutan secara berlebihan/ghulluw.
===
Imam Hambali
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad
bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah
bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah
adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri
Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua
beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di
kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat
yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia
muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal,
berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa
pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani
‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah.
Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak
yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan
penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan
untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati
sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat
murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam
Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi.
Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan
kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama
di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia
Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam
kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana
tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan
sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari
ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan
pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang
tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau
dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan
keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau
pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil
(periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata,
‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang
selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang tengah
tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau
mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah
al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada
tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil
hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan
mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga
syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau
mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai melakukan
perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan
selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu
darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam
Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i
sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan
dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau
mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin
al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat
bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan
bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi
Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan
hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai
dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada
orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua
ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke
maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah
keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang
memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau
berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya.
Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua
putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun
dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari
hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan
al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran,
tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah),
kitab as-Shalah,
kitab as-Sunnah,
kitab al-Wara ‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah,
satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujian dan
Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada
Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar
mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan
berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari
Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu
pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin,
tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam
Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada
hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika
(perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang
shahih.” Ini menunjukkan
kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada
ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar
(meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut
orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin
Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak
pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal”. Orang-orang bertanya
kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang
dia melebihi yang lain?” Al-Warraq
menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan
menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah
disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah
melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar
daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika
menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau
berkelakar dengannya”. Demikianlah,
padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru
beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.
Keteguhan di Masa
Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan
seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang
alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk
di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah
selama rentang waktu 16 tahun.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan
jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing
(non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun
menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan
al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit
kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke
dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India
dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk
bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai
macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah,
Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tashilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat
sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah
pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan
menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari
sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari
pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum
muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum
al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran. Selama
hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana
dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata,
‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran
itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku,
niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh
seorang pun’”. Tatkala Khalifah
ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah
berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin
menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun,
mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat
kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama
masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa,
dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan
warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan
mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya.
Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak
terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di
antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa
Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan
bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota
Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan
terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke
Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana
karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan
bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah
ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar
meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal
tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara
lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat
beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan
bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak
sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana
selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau
shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim
mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak
berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia
mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras
dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan
penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara.
Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah
luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan
pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi
khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan
ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan
Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan
yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama
orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya
bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya
selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik
menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang
kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia
menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya
larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati
bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para
ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka
demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu.
Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan
kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya
disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul
Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama
sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin
menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai
sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan
hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya
menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan
kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai
beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang
mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih
orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka
yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka
kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu
bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari
kematian kami”.
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang
dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan
diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau
bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari
kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya
itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau
sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan
keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki,
tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat
orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin
Hanbal pada Yaumul Mihnah”.
Perbedaan Antar Mazhab?
Di antara tonggak penegang ajaran Islam di
muka bumi adalah muncul beberapa mazhab raksasa di tengah ratusan mazhab kecil
lainnya. Keempat mazhab itu adalah Al-Hanabilah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah
dan Al-Hanabilah. Sebenarnya jumlah mazhab besar tidak hanya terbatas hanya 4
saja, namun keempat mazhab itu memang diakui eksistensi dan jati dirinya oleh
umat selama 15 abad ini.
Keempatnya masih utuh tegak berdiri dan
dijalankan serta dikembangkan oleh mayoritas muslimin di muka bumi.
Masing-masing punya basis kekuatan syariah serta masih mampu melahirkan para
ulama besar di masa sekarang ini.
Berikut sekelumit sejarah keempat mazhab ini
dengan sedikit gambaran landasan manhaj mereka.
1. MazhabAl-Hanifiyah.
Didirikan oleh An-Nu’man bin Tsabit atau lebih
dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Beliau berasal dari Kufah dari keturunan
bangsa Persia. Beliau hidup dalam dua masa, Daulah Umaiyah dan Abbasiyah.
Beliau termasuk pengikut tabiin , sebagian ahli sejarah menyebutkan, ia bahkan
termasuk Tabi’in.
Mazhab Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh
pendirinya, sangat dikenal sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/
logika dalam mengupas masalah fiqih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di
antaralatar belakangnya adalah:
Karena beliau sangat berhati-hati dalam
menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihah suatu
hadits, maka beliau lebih memlih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai
gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu
masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i.
Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi
keshahihannya di tempat di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak
hadits palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui
bahwa beliau hidup di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh
sebelum era imam Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti
hadits.
Di kemudian hari, metodologi yang beliau
perkenalkan memang sangat berguna buat umat Islam sedunia. Apalagi mengingat
Islam mengalami perluasan yang sangat jauh ke seluruh penjuru dunia. Memasuki
wilayah yang jauh dari pusat sumber syariah Islam. Metodologi mazhab ini
menjadi sangat menentukan dalam dunia fiqih di berbagai negeri.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas
bin Abi Amir Al-Ashbahi .Berkembang sejak awal di kota Madinah dalam urusan
fiqh.
Mazhab ini ditegakkan di atas doktrin untuk
merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah SAW dan praktek
penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzhabnya dengan 20 dasar; Al-Quran,
As-Sunnah , Ijma’, Qiyas, amal ahlul madinah , perkataan sahabat, istihsan,
saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar’u man qablana
.
Mazhab ini adalah kebalikan dari mazhan
Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali mengandalkan nalar dan logika,
karena kurang tersedianya nash-nash yang valid di Kufah, mazhab Maliki justru
‘kebanjiran’ sumber-sumber syariah. Sebab mazhab ini tumbuh dan berkembang di
kota Nabi SAW sendiri, di mana penduduknya adalah anak keturunan para shahabat.
Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk
Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa
harus merujuk kepada hadits yang shahih para umumnya.
3. Mazhab As-Syafi’iyah
Didirikan oleh Muhammad bin Idris Asy Syafi’i
. Beliau dilahirkan di Gaza Palestina tahun 150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah
dan wafat di Mesir tahun 203 H.
Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab
lamanya . Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab
baru . Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ‘ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
Salah satu karangannya adalah “Ar-Risalah”
buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al-Umm” yang berisi madzhab fiqhnya
yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan
ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli ra’yi dan fiqh ahli hadits .
Dasar madzhabnya: Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad
yang bisa salah. Beliau juga tidak mengambil Istihsan sebagai dasar madzhabnya,
menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i
mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan
syariat.” Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah ,”
Kitab “Al-Hujjah” yang merupakan madzhab lama
diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani,
Al-Karabisyi dari Imam Syafi’i. Sementara kitab “Al-Umm” sebagai madzhab yang
baru yang diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al-Muzani, Al-Buwaithi,
Ar-Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika
sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia adalah madzhabku,
dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”
4. Mazhab Al-Hanabilah
Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal Asy
Syaibani . Dilahirkan di Baghdad dan tumbuh besar di sana hingga meninggal pada
bulan Rabiul Awal. Beliau memiliki pengalaman perjalanan mencari ilmu di
pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Yaman, Syam.
Beliau berguru kepada Imam Syafi’i ketika
datang ke Baghdad sehingga menjadi mujtahid mutlak mustaqil. Gurunya sangat
banyak hingga mencapai ratusan. Ia menguasai sebuah hadis dan menghafalnya
sehingga menjadi ahli hadis di zamannya dengan berguru kepada Hasyim bin Basyir
bin Abi Hazim Al-Bukhari .
Imam Ahmad adalah seorang pakar hadis dan
fiqh. Imam Syafi’i berkata ketika melakukan perjalanan ke Mesir,”Saya keluar
dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa
dan paling faqih melebihi Ibnu Hanbal ,”
Dasar madzhab Ahmad adalah Al-Quran, Sunnah,
fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah, saddudzarai’.
Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun
tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari
perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau
mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadis. Beliau
memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadis mursal dan
hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadis batil atau munkar.
Di antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin
Ahmad bin Hanbal anak terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal .
Shalih bin Ahmad lebih menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai
hadis. Murid yang adalah Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad
bin Muhammad , Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran , Abu Bakr Al-Khallal ,
Abul Qasim yang terakhir ini memiliki banyak karangan tentang fiqh madzhab
Ahmad. Salah satu kitab fiqh madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.
Wallahu a’lam bish-shawab, wassalamu ‘alaikm
warahmatullahi wabarakatuh,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar