SEKILAS TENTANG
FAHAM AHMADIYAH
OLEH :
DRS. HM. SAKTI
RANGKUTI,MA
wa Mirza
Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai Mujaddid (pembaharu) saja, tetapi
juga sebagai nabi dan rasul yang harus
ditaati dan dipatuhi seluruh ajarannya. Dengan
demikian,
Mahdiisme Ahmadiyah lebih realistis
daripada Mahdiisme Syi’ah Isna
‘Asyariyyah, sekalipun keduanya masih tetap bertahan sampai hari
ini.
Terpilihnya Basyiruddin Mahmud sebagai
Khalifah al-Mahdi yang kedua, tampaknya tidak
mendapat dukungan penuh dari seluruh Jemaat Ahmadiyah, di saat yang sama,
maka muncullah Ahmadiyah tandingan yang disponsori oleh Khawaja
Kamaluddin dan Maulawi Muhammad ‘Ali yang tidak menyetujui
pendirian prinsip golongan pertama yang kemudian
dikenal sebagai golongan Qadiani.
Adapun golongan kedua, dikenal sebagai Ahmadiyah
Lahore, yang disebut pula dengan Ahmadiyah Anjuman Isha’at
Islam, sedangkan di Indonesia, golongan ini dikenal dengan Gerakan
Ahmadiyah Indonesia (GAI); Untuk pertama kalinya golongan ini
dipimpin oleh Maulawi Muhammad ‘Ali. Syafi R. Batuah sebagai
pengikut sekte Qadian berpendapat, bahwa lahirnya sekte Ahmadiyah
Lahore ini adalah bermula dari kegagalan Maulawi
Muhammad ‘Ali dalam mencapai ambisinya untuk menjadi Khalifah
kedua. Oleh sebab itu, ia
dan pengikutnya memisahkan diri dan membentuk
sekte baru yang berpusat di Lahore. Akan tetapi, yang menjadi
sebab perpecahan itu tampaknya lebih
berpusat pada masalah akidah. Sebagai pernyataan R.
Batuah sendiri bahwa jika golongan Ahmadiyah Lahore
memandang Mirza sebagai al-Masih dan al-Mahdi serta sebagai Mujaddid,
maka sekte Qadiani memandangnya, sebagai nabi
dan rasul yang harus
didengar dan ditaati ajaran-ajarannya. Alasan yang
mereka majukan adalah bahwa orang tidak
mempercayai al-Masih dan al-Mahdi (Mirza), berarti ia
tidak mengikuti seluruh ajaran al-Quran serta
tidak mengindahkan pesan Nabi tentang kehadiran al-Mahdi di akhir zaman.1
Setelah Ahmadiyah menghadapi perpecahan yang tidak
mungkin lagi dihindarkan, akhirnya gerakan Mahdiisme ini
terpecah menjadi dua aliran dan tampaknya kedua sekte tersebut sulit
dipersatukan kembali. Akan tetapi kedua sekte ini, sangat
aktif dan intensif dalam usaha
mewujudkan cita-cita kemahdiannya, terutama di kalangan masyarakat
Kristen Barat. Pengikut masing-masing sekte
mendirikan mesjid-mesjid sebagai pusat kegiatan,
menterjemahkan al-Quran berikut dengan komentar-komentarnya kedalam
bahasa asing. Selain itu mereka juga menerbitkan buku-buku
tentang Islam. Golongan Lahore di bawah pimpinan Maulana Muhammad ‘Ali,
menerbitkan The Religion of Islam, sedangkan golongan Qadiani
dibawah pimpinan Basyiruddin Mahmud, menulis sebuah
uraian yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul
Ahmadiyah or The True Islam, terbit
tahun 1924, dan dalam penerbitannya
yang terakhir disebut dengan; 8500 Precious Gems
from World’s Best
Literature yang berisi
catatan-catatan dari literatur lama dan modern baik
dari Islam maupun non-Islam. Demikian pula dimuat masalah-masalah agama
dan moral. Dalam tahun 1947 komunitas Ahmadiyah yang berpusat
di Qadian, terpaksa harus memindahkan
pusat kegiatannya ke Rabwa Pakistan,
sewaktu timbul masalah perbatasan antara Pakistan dengan India.2
Disamping itu, Gerakan Mahdi Ahmadiyah tampaknya juga
aktif mendirikan berbagai lembaga pendidikan serta
pusat-pusat kesehatan di berbagai tempat di kawasan Asia
dan Afrika. Sebagaimana diketahui, Ahmadiyah
masuk ke Indonesia pada tahun 1924, dibawa oleh dua orang
mubalignya yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Wali
Ahmad, mereka memulai kegiatannya di Yogyakarta. Setahun kemudian yaitu tahun
1925, sekte Qadian menyusul, dibawa oleh seorang mubalignya bernama Rahmad
‘Ali H.A.O.T. dan mulai mendakwahkan ide kemahdian
Mirza, di Tapaktuan, dua tahun kemudian ia pindah
ke Padang. Kedua sekte tersebut berlomba untuk menanamkan
pengaruhnya, dan rupanya mendapat tanggapan
positif dari masyarakat dan mendapat kesuksesan dalam
misinya.
AJARAN POKOK AHMADIYAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN PAHAM MAHDI
1. MASALAH WAHYU
Sebagaimana dalam uraian di atas, kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, sebagaimana kemahdian Syi’ah tidak bisa terlepas dari masalah keimaman. Sebab Mahdi Ahmadiyah, juga mengaku sebagai al-Masih, sedangkan al-Masih sebagai yang diberitahukan dalam hadis sahih, akan turun kembali ke dunia dan dia adalah seorang Nabi yang ditugaskan oleh Tuhan untuk membunuh Dajjal, di akhir zaman. Itulah sebabnya kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, karena wahyu yang disampaikan kepada al-Mahdi adalah untuk menginterpretasikan al-Quran sesuai dengan ide pembaharuannya.
1. MASALAH WAHYU
Sebagaimana dalam uraian di atas, kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, sebagaimana kemahdian Syi’ah tidak bisa terlepas dari masalah keimaman. Sebab Mahdi Ahmadiyah, juga mengaku sebagai al-Masih, sedangkan al-Masih sebagai yang diberitahukan dalam hadis sahih, akan turun kembali ke dunia dan dia adalah seorang Nabi yang ditugaskan oleh Tuhan untuk membunuh Dajjal, di akhir zaman. Itulah sebabnya kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, karena wahyu yang disampaikan kepada al-Mahdi adalah untuk menginterpretasikan al-Quran sesuai dengan ide pembaharuannya.
Munculnya paham kewahyuan Ahmadiyah, tidak saja ia
membawa pertentangan dan perselisihan di kalangan masyarakat Islam,
tetapi juga di kalangan mereka (pengikut) Ahmadiyah sendiri. Menurut
paham aliran ini, wahyu Tuhan itu tidak terputus
sesudah Rasulullah wafat, dan wahyu yang
terhenti itu hanyalah wakyu tasyri’i atau wahyu syari’at. Dalam
hubungan ini, seorang propagandis Ahmadiyah dari
Sialkot, Nazir Ahmad, menjelaskan bahwa
wahyu yang terputus sesudah Rasulullah adalah
wahyu tasyri’, bukan wahyu mutlaq.
Selanjutnya dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan
wahyu terakhir ini, tidak dikhususkan hanya untuk para nabi saja,
akan tetapi diberikan juga kepada selain mereka.3 Senada dengan pemahaman di atas,
pengikut sekte Lahore mencoba membagi cara-cara Tuhan
menyampaikan firman-Nya, sebagaimana yang diungkapkan dalam
al-Quran. Cara-cara itu adalah sebagai berikut:
a. Wahyu, yaitu isyarat cepat yang merupakan petunjuk
Tuhan yang masuk ke dalam hati seseorang, seperti petunjuk
yang diterima oleh ibu Nabi Musa, agar menghanyutkan
puteranya, Musa, di sungai Nil. Demikian juga seperti wahyu
yang oleh diterima oleh kaum Hawari (murid-murid Nabi
‘Isa), atau kaum laki-laki lain. (Lihat S. 28: 7; S. 5:
111; S. 21: 7).
b. Dari belakang hijab atau tirai, yang meliputi: Pertama,
dengan ru’yah salihah (mimpi baik), wahyu ini menurut
pahamnya, diterima seseorang dalam keadaan setengah sadar.
Sebagaimana yang dialami Rasulullah sewaktu mi’raj (Lihat S.
42:51). Kedua, dengan kasysyaf seperti petunjuk Tuhan yang
dialami oleh Maryam (ibu Nabi ‘Isa) sewaktu berdialog dengan
Malaikat Jibril, (Lihat S. 41: 44). Dan ketiga dengan jalan
ilham.
c. Mengutus Jibril, wahyu yang disampaikan oleh Jibril
ini dikenal dengan wahyu nubuwwah (wahyu kenabian).
Wahyu jenis inilah yang telah terhenti, sedangkan jenis
wahyu yang lain tetap berlangsung sampai kapan saja.4
Dari paham kewahyuan di atas, lalu timbullah anggapan
bahwa Mirza Ghulam Ahmad yang diangkat Tuhan sebagai
al-Masih. atau al-Mahdi, melalui ilham yang
diterimanya, dipandang sebagai seorang nabi
oleh sekte Qadiani. Dan secara implisit, sekte Lahore pun
juga mengakuinya, hanya saja term yang mereka pakai
adalah nabi lugawi, bukan nabi haqiqi. Bagi kaum Qadiani, pengakuan
mereka terhadap kenabian Mirza tampak lebih tegas, sebab ia
diyakini sebagai duplikat Nabi ‘Isa a.s., yang berstatus nabi dan menerima
wahyu. Disamping itu, berita kehadiran
al-Masihjuga disebutkan dalam hadis-hadis sahih,
kemudian mereka mencoba menguatkan
keyakinan tersebut dengan menggunakan
dalil-dalil yang meyakinkan.
Al-Mahdi ini, semula
mengakui bahwa petunjuk yang
diterimanya dari Tuhan sebagai ilham, kemudian oleh
para pengikutnya dinyatakan sebagai wahyu, dan pernyataan seperti itu
tidak dibantahnya sama sekali oleh Mirza, malah diakui kebenaran
anggapan tersebut. Untuk itu, lalu digunakan
term-term baru seperti: wahyu nubuwwah, wakyu tasyri’, wahyu gair
tasyri’, wahyu muhaddas, wahyu walayah
dan lain sebagainya. Untuk menguatkan paham kewahyuan di atas,
selain mereka menggunakan ayat-ayat al-Quran,
juga menggunakan hadis-hadis Nabi seperti:
“Sungguh telah ada orang-orang sebelum kamu, dari
kalangan bangsa Israel, yaitu orang-orang yang
(dapat) berdialog dengan Tuhan, sekalipun mereka bukan
para nabi. Maka jika sekiranya ada salah seorang
diantara ummatku (termasuk golongan itu), tentulah ‘Umar orangnya.”
(H.R. Bukhari).
Wahyu-wahyu yang diterima oleh al-Mahdi dari Tuhan,
sebagai acuan baginya dalam
melaksanakan pembaharuan di
tengah-tengah masyarakat Islam yang
dipandangnya telah rusak, telah dihimpunnya sendiri
menjadi 80 buah kitab lebih, yang kemudian
disatukan menjadi sebuah kitab yang disebut Tazkirah yang
isi kandungannya adalah merupakan penjelasan
maksud al-Quran yang mencakup bidang akidah, ibadah,
mu’amalah dan akhlak. Kitab inilah yang dijadikan
pedoman oleh jemaat Ahmadiyah dalam melaksanakan
ide-ide kemahdian Mirza Ghulam Ahmad. Tentunya,
paham kewahyuan Ahmadiyah ini, ditolak keras oleh kaum Sunni karena
dianggap teiah menyimpang dari prinsip Islam.
Jika pendiri aliran Ahmadiyah ini tetap berpendirian
bahwa petunjuk yang diterima itu adalah ilham, sebagaimana yang ia nyatakan
di awal kegiatannya,5 artinya tidak tenggelam dalam anggapan
pengikutnya yang menilai petunjuk tersebut sebagai wahyu, maka ide
pembaharuannya akan mudah diterima oleh masyarakat
luas dan tidak akan menimbulkan pandangan yang kontradiktif. Selain itu,
ajaran Mirza yang menyatakan bahwa ‘Isa a.s., benar-benar
disalib di tiang salib, sekalipun Nabi ‘Isa tidak sampai
wafat, adalah lebih dekat dengan
kepercayaan orang Nasrani daripada
pernyataan al-Quran yang menegaskan bahwa Nabi ‘Isa tidak disalib sama
sekali, akan tetapi yang disalib
adalah seorang yang diserupakan dengan ‘Isa a.s. Sebagaimana dalam
firman Allah:
“… padahal mereka tidak membunuhnya
(‘Isa) dan tidak menyalibnya, tetapi yang
mereka bunuh adalah orang yang diserupakan dengan ‘Isa …” (S. 4:
157).
Oleh karena itu, sangat boleh jadi penemuan
Mirza Ghulam Ahmad tentang makam Yus Asaf
di Srinagar, Kashmir, yang diyakininya sebagai
makam Nabi ‘Isa a.s.,
telah mengilhaminya untuk mengadakan pembaharuan. Dan
terutama sekali jika sebelumnya ia harus menghadapi tantangan
dari kaum propagandis dan misionaris Hindu
dan Nasrani yang gencar menyerang Islam di satu pihak, dan
kemunduran ummat Islam di berbagai bidang,
di pihak lain. Perlu penulis tambahkan di sini, bahwa pendirian
Mirza tentang penyaliban ‘Isa a.s., atau Yesus
Kristus di atas, sekalipun hal itu berlawanan dengan pernyataan
al-Quran tampaknya pendirian ini didasarkan pada ide
pembaharuannya. Yaitu keinginannya untuk mempertemukan antara paham Nasrani
dengan paham Islam, sehingga dapat menarik pengikut kedua agama
tersebut untuk menerima paham kemahdiannya.
2. MASALAH NUBUWWAT ATAU KENABIAN DAN KHATAMUL-ANBIYA’
Dalam masalah kedua ini, terjadi perbedaan yang mendasar antara sekte Lahore dan sekte Qadiani. Bagi Ahmadiyah masalah kenabian ini ada dua versi, yang pertama diistilahkan sebagai Nubuwwah Tasyri’iyyah (kenabian yang membawa Syari’at), dan kedua adalah Nubuwwah Gair Tasyri’iyyah (kenabian tanpa membawa syari’at). Selanjutnya dijelaskan bahwa kenabian versi kedua ini, meliputi Nubuwwah Mustaqillah (kenabian mandiri) dan Nubuwwah Gair Mustaqillah (kenabian yang tidak mandiri). Para nabi yang mandiri, adalah semua nabi yang datang sebelum nabi Muhammad SAW., dimana mereka tidak perlu mengikuti Syari’at nabi sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan nabi gair mustaqil (tidak mandiri) yaitu nabi yang mengikuti Syari’at nabi sebelumnya, seperti kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syari’at Nabi Muhammad. Dengan demikian, menurut paham Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang membawa syari’at saja yang sudah berakhir, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa syari’at akan tetap berlangsung.
Dalam masalah kedua ini, terjadi perbedaan yang mendasar antara sekte Lahore dan sekte Qadiani. Bagi Ahmadiyah masalah kenabian ini ada dua versi, yang pertama diistilahkan sebagai Nubuwwah Tasyri’iyyah (kenabian yang membawa Syari’at), dan kedua adalah Nubuwwah Gair Tasyri’iyyah (kenabian tanpa membawa syari’at). Selanjutnya dijelaskan bahwa kenabian versi kedua ini, meliputi Nubuwwah Mustaqillah (kenabian mandiri) dan Nubuwwah Gair Mustaqillah (kenabian yang tidak mandiri). Para nabi yang mandiri, adalah semua nabi yang datang sebelum nabi Muhammad SAW., dimana mereka tidak perlu mengikuti Syari’at nabi sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan nabi gair mustaqil (tidak mandiri) yaitu nabi yang mengikuti Syari’at nabi sebelumnya, seperti kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syari’at Nabi Muhammad. Dengan demikian, menurut paham Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang membawa syari’at saja yang sudah berakhir, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa syari’at akan tetap berlangsung.
Nabi mandiri dalam pandangan sekte Ahmadiyah
Lahore, bisa berarti bahwa nabi jenis ini diberi wewenang oleh Tuhan atas
dasar petunjuk-Nya, guna menghapus sebagian
ajaran nabi sebelumnya yang dipandang tidak sesuai lagi saat itu,
atau dengan menambah ajaran baru sehingga syari’at itu menjadi
lebih sempurna. Terjadinya perubahan sedikit-sedikit dari
nabi-nabi yang datang kemudian, sehingga syari’atnya menjadi lebih
sempurna daripada syari’at yang dibawa nabi-nabi
sebelumnya, maka jenis kenabian yang seperti itu,
mereka istilahkan dengan nabi mustaqil.6 Oleh karena itu, kata “nabi” mempunyai dua
arti, yaitu arti secara lugawi dan arti istilahi, maka golongan Lahore ini
berkesimpulan, bahwa nabi yang tidak membawa syari’at disebut
nabi lugawi atau nabi majazi, yang pengertiannya ialah seorang
yang mendapat berita dari langit atau dari Tuhan.
Selanjutnya, nabi yang membawa syari’at, mereka sebut
nabi haqiqi, demikianlah paham Lahore.
Bagaimana status kenabian
al-Mahdi Ahmadiyah di mata pengikutnya? Dalam masalah ini,
pandangan Ahmadiyah Lahore agaknya berbeda dengan pandangan
Ahmadiyah Qadian. Sekalipun golongan Lahore secara implisit
memandangnya sebagai nabi lugawi atau nabi majazi, namun mereka
menolak paham golongan Qadiani secara tegas. Dalam
pandangan mereka, al-Mahdi bukanlah nabi haqiqi, dia
adalah Mujaddid (pembaharu) abad ke 14 H. Akan tetapi dia mempunyai
banyak persamaan dengan nabi dalam hal ia
(al-Mahdi) menerima wahyu atau berita samawi (langit). Oleh sebab itu
dalam akidah mereka secara tegas menyatakan bahwa
percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi dan al-Masih,
bukan termasuk rukun iman, maka orang
yang mengingkarinya tidak dapat dikatakan kafir.7 Selanjutnya mereka juga
berpandangan bahwa wahyu yang diterimanya hanyalah wahyu
walayah atau wahyu kewalian dan menurut paham mereka, bahwa
wahyu macam inilah yang tetap terbuka, agar
dengan wahyu tersebut, imam ummat manusia tetap hidup
dan segar. Selain itu mereka beralasan bahwa Mirza
atau al-Mahdi tidak pernah menyatakan dirinya sebagai nabi hakiki.
Berbeda dengan paham kenabian
sekte Qadiani, mereka memandang al-Mahdi
al-Ma’hud (yang dijanjikan) sebagai nabi dan rasul yang wajib
diyakini dan dipatuhi perintahnya, sebagaimana
nabi dan rasul yang lain. Menurut paham sekte ini, seorang Qadiani
tidak boleh membeda-bedakan antara nabi yang satu dengan yang lain,
sebagaimana yang diajarkan oleh al-Quran dan yang dipesankan
Nabi Muhammad SAW., untuk mengikuti al-Mahdi
yang dijanjikan. Sekalipun demikian, paham kedua
aliran tersebut, terdapat juga persamaannya yaitu
mereka sepakat tentang berakhirnya nabi tasyri’i atau nabi mustaqil sesudah
Nabi SAW. Dan penggunaan term wahyu selain al-Quran yang
diturunkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya sesudah Rasulullah
wafat.
Adapun paham Mahdi Ahmadiyah mengenai Khatamul Anbiya’
atau penutup para nabi, golongan Lahore tampak tidak jauh berbeda dengan paham
Sunni. Artinya mereka benar-benar berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad
adalah penutup sekalian para nabi, baik yang baru maupun nabi yang lama,
sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur-an Surah al-Ahzab: 40.
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah
bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi …”
Dalam hubungan ini, Nabi pun menyatakan dalam sabdanya:
“Dan sesungguhnya akan datang di kalangan ummatku tiga puluh
pendusta, semuanya menganggap dirinya sebagai nabi, dan aku adalah
penutup para nabi dan tidak ada lagi nabi sesudahku.” (H.R. Bukhari)
Penggunaan term nabi lugawi atau nabi majazi oleh
golongan Lahore, mungkin sekali dikarenakan oleh
pengakuan Mirza (al-Mahdi) sebagai penjelmaan ‘Isa al-Masih dan merasa telah
berdialog langsung dengan Tuhan atau mukalamah mubasyarah, untuk
menerima petunjuk-petunjuk-Nya.
Akan tetapi bagi golongan Qadiani yang
meyakini al-Mahdi sebagai nabi yang harus ditaati
ajaran-ajarannya, mereka berusaha keras mencari dalil-dalil
dan memajukan mereka. Misalnya dengan
menginterpretasikan Surah al-Ahzab: 40, sesuai
dengan paham mereka, maupun dengan
menggunakan hadis-hadis Nabi, disamping mereka
menggunakan berbagai pendapat ‘Ulama’ Sunni yang dapat menopang
kekuatan hujjah (argumen) mereka
Menurut paham kaum Qadiani, berita akan datangnya
kembali Nabi ‘Isa a.s., sebagai yang diriwayatkan dari hadis-hadis
sahih adalah jelas. Sekalipun ‘Isa tidak membawa syari’at
baru, bahkan harus mengikuti syari’at Nabi Muhammad, namun
dia (al-Mahdi) tetap sebagai nabi gair mustaqil atau nabi
yang tidak mandiri. Oleh sebab
itu, kata “Khatam an-Nabiyyin” mereka
artikan sebagai nabi yang paling mulia dan paling sempurna dari
sekalian para nabi, tapi bukan sebagai
penutup para nabi. Selanjutnya mereka mengajukan argumen
bahwa kata, [kata-kata Arab], menurut bahasa Arab,
apabila kata [kata-kata Arab]
dirangkai dengan kata berikutnya yang berbentuk jamak adalah
mempunyai arti pujian seperti mulia, utama, dan lain sebagainya.8 Sebagai contoh, mereka mengemukakan sabda Nabi
yang ditujukan kepada ‘Ali ibn Abi Talib:
“Aku (Muhammad) adalah Khatam (semulia-mulia) para nabi
dan engkau ‘Ali adalah Khatam (semulia-mulia) para wali.”
Dalam hubungan ini, seorang propagandis
Ahmadiyah Qadian menyatakan bahwa kata [kata-kata Arab] dan [kata-kata
Arab], artinya tidak ada nabi lagi sesudah Nabi
Muhammad, yang membawa syari’at baru. Dan kalau pun yang datang itu
adalah ‘Isa a.s., yang sebelumnya sudah menjadi nabi,
maka yang demikian ini tidak akan dapat mematahkan
pembuktian kami. Oleh karena itu, dua kata tersebut di atas,
artinya bukan “akhir para nabi.”9
Sebagaimana diketahui, kaum Sunni tidak
mengenal istilah nabi gair tasyri’i, nabi majazi, nabi lugawi;
maupun nabi mustaqil atau gair mustaqil.
Karena itu, jika terjadi perbenturan antara paham
Sunni dan paham Ahmadiyah yang mengakibatkan
pertentangan dan permusuhan yang hebat, di awal
kelahiran sekte ini, adalah sesuatu
yang sulit dihindarkan. Sekalipun paham Ahmadiyah
Lahore tampak lebih moderat daripada golongan Qadiani, rupanya
golongan Lahore lebih cenderung
berpegang pada sikap Mirza di awal
kegiatannya sebagai al-Mahdi yang dijanjikan
sebagaimana dalam pernyataannya:
“Dan dengan keperkasaan d an keagungan Allah,
sesungguhnya aku adalah mukmin, muslim, dan aku beriman
kepada Allah, kitab-kitab, rasul-rasul, dan
malaikat-Nya serta hari kebangkitan sesudah kematian.
Dan sesungguhnya Rasulullah Muhammad adalah semulia-mulia
para utusan dan penutup. para nabi. Dan sesungguhnya mereka (ummat
Islam non-Ahmadiyah) telah membuat kedustaan pada diriku, bahwa orang ini
(Mirza) telah mengaku menjadi nabi dan bicara tentang ‘Isa …”10
Dari pernyataan tersebut, tampak
sikap pendiri aliran Mahdiisme Ahmadiyah
tidak senang dirinya dituduh mengaku menjadi nabi. Akan tetapi
golongan Qadiani, rupanya lebih berpegang pada sikap
Mirza, setelah ia mengalami pergeseran akidah. Sebagaimana
pernyataannya yang disalin oleh al-Maududi,
dari buku yang ditulis oleh Mirza sendiri yang berjudul Haqiqat al-Wahyu
sebagai berikut:
“… Dan sesungguhnya Allah telah menentukan (pilihan-Nya) kepadaku dan tidak ada seorang pun diantara ummat ini memperoleh sebutan ‘nabi’ dan tidak ada pula seorang pun yang memperoleh nama ini selain aku …”11
“… Dan sesungguhnya Allah telah menentukan (pilihan-Nya) kepadaku dan tidak ada seorang pun diantara ummat ini memperoleh sebutan ‘nabi’ dan tidak ada pula seorang pun yang memperoleh nama ini selain aku …”11
Akan tetapi masih ada sesuatu yang cukup menggelitik
untuk dipertanyakan, yaitu apabila al-Mahdi ini adalah
seorang nabi yang mendapat wahyu Allah atau
seorang Wali, dalam menjalankan misi keagamaannya, sebagai yang
diyakini oleh kaum Ahmadiyah, mengapa ia sangat hormat dan
tunduk kepada pemerintah kolonial Inggris yang kafir? Bahkan bekerja sama
untuk menghantam saudara seagama dan memusuhinya.
Sikap al-Mahdi yang agresif dan
emosional dalam berbagai tulisannya yang
disiarkan, menunjukkan sifat dan sikap yang kurang tepat,
sama sekali kurang layak dilakukan oleh
seorang yang dipandang sebagai wali apalagi sebagai
nabi atau rasul. Sedangkan sifat dan sikap ‘Isa a.s., Nabi untuk
Bani Israil dahulu, sangat santun dan ramah terhadap orang
yang beriman. Sebagai misal adalah
serangan al-Mahdi Ahmadiyah ini terhadap sesama Muslim yang
menolak sarannya, ia mengatakan:
“Setiap orang yang menyalahi (paham)ku,
maka dia adalah Nasrani, Yahudi,
musyrik (tergolong) penghuni-penghuni neraka. Setiap laki-laki yang
tidak mencari dan tidak masuk ke dalam jema’ah yang berbaitat
kepadaku dan terus-menerus menentangku, maka dia adalah menentang Allah dan
Rasul-Nya, dan dia tergolong penghuni neraka.”12
Demikian pula halnya dengan
pernyataan-pernyataan para pengikutnya yang telah
menunjukkan sikap permusuhannya, seperti
yang diungkapkan oleh al-Maududi, bahwa
kaum Muslimin dari kalangan menengah dan
awam, sejak lama menginginkan diisolasikannya
kaum Qadiani dari komunitas Muslim, dan
menjadikan mereka sebagai kaum minontas
non-Muslim sehingga mereka tidak bisa lagi mencaci-maki kaum Muslimin. Senada
dengan keinginan tersebut, adalah tuntutan Muhammad Iqbal,
dalam sebuah risalahnya yang terkenal, berjudui Islam
and Ahmadisme.13 Demikian al-Maududi.
3. MASALAH JIHAD
Masalah yang ketiga ini, merupakan salah satu model pembaharuan yang dicanangkan oleh al-Mahdi, yang dalam doktrinnya sangat berkaitan dengan misi kemahdiannya. Sebagaimana diketahui, jihad dalam Islam yang dilakukan oleh Nabi SAW. dan para sahabatnya adalah berperang di jalan Allah untuk menghadapi ancaman musuh-musuh Islam dan ummat Islam, sebagai suatu alternatif untuk membela atau mempertahankan diri. Akan tetapi para orientalis Barat menyelewengkan pengertian jihad tersebut, untuk merusak citra Islam. Dua macam jihad dalam Islam dikenal dengan Jihadul-Asgar atau jihad kecil,yaitu berperang melawan musuh. Kedua, Jihadul-Akbar atau jihad paling besar, yaitu berperang melawan hawa nafsu.
Masalah yang ketiga ini, merupakan salah satu model pembaharuan yang dicanangkan oleh al-Mahdi, yang dalam doktrinnya sangat berkaitan dengan misi kemahdiannya. Sebagaimana diketahui, jihad dalam Islam yang dilakukan oleh Nabi SAW. dan para sahabatnya adalah berperang di jalan Allah untuk menghadapi ancaman musuh-musuh Islam dan ummat Islam, sebagai suatu alternatif untuk membela atau mempertahankan diri. Akan tetapi para orientalis Barat menyelewengkan pengertian jihad tersebut, untuk merusak citra Islam. Dua macam jihad dalam Islam dikenal dengan Jihadul-Asgar atau jihad kecil,yaitu berperang melawan musuh. Kedua, Jihadul-Akbar atau jihad paling besar, yaitu berperang melawan hawa nafsu.
Selain dua macam jihad di
atas, menurut paham Mahdi Ahmadiyah, masih
ada satu lagi jihad yang diistilahkannya dengan Jihadul-Kabir atau jihad
besar, seperti: tablig dan dakwah. Jihad besar
dan jihad yang paling besar terus berjalan sepanjang
masa, sedangkan jihad kecil, memiliki beberapa syarat
dan berlakunya secara insidentil.14
Dalam hubungan ini, pendiri aliran
tersebut menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugas-tugas kemahdian
serta dalam mencapai tujuan, yaitu
menghidupkan ajaran Islam dan mengembangkannya guna
meraih kembali kejayaan dan wibawa Islam di
seantero dunia. Adapun cara serta jalan yang
ditempuh untuk mencapai maksud tersebut, adalah dengan jalan damai,
bukan dengan jalan kekerasan atau dengan mengangkat senjata. Cara-cara
seperti ini, bagi kaum Ahmadiyah adalah mencontoh
cara-cara Nabi ‘Isa. Oleh karena itu, berjihad dalam
berperang di jalan Allah, untuk mempertahankan Islam bagi
kaum Ahmadiyah, sudah tidak diperlukan atau tidak
relevan lagi untuk masa-masa sekarang ini. Mereka beralasan bahwa
cara tersebut, hanyalah merupakan jihad kecil semata, sedangkan jihad besar dan
yang paling besar banyak dilupakan orang. Dan sebagai
gantinya -jihad kecil- dapat digunakan media cetak, dengan menerbitkan berbagai
karya tulis untuk memahamkan Islam kepada masyarakat
non-Muslim. Oleh karena itu, di saat seperti sekarang
ini, masyarakat memiliki kebebasan
berbicara, beragama, dan Islam
pun tidak membenarkan para pengikutnya memaksakan
keyakinan atau agamanya pada orang lain.
Dalam kaitan ini Nazir Ahmad menyatakan:
“Sungguh Allah telah mewajibkan kepada ummat
Islam suatu kewajiban yang lebih
besar daripada berperang, yang karenanya syari’at itu
diturunkan, yaitu jihad besar dan
yang paling besar
ialah mendamaikan jiwa dan
mempropagandakan agama serta dakwah di jalan
Allah, di tengah-tengah masyarakat dunia.”15
Adanya pemahaman seperti di atas, pendiri Ahmadiyah
menolak berjihad melawan kaum kolonial Inggris di India
saat itu sebagaimana ia menyatakan:
“… oleh karena itu, aku menolak jihad.
Aku bukan orang yang tertipu oleh pemerintah Inggris, dan sesungguhnya
yang benar, adalah bahwa pemerintah Inggris
tidak melakukan sesuatu (tindakan) terhadap Islam dan syi’ar agama.
Dia pun tidak pula secara terang-terangan
menyebarkan agamanya dengan pedang. Perang atas nama
agama yang seperti itu, haram dalam
tuntunan al-Quran. Demikian pula pemerintah Inggris tidak
menyebabkan perang agama.”16
Kehadiran al-Mahdi ke dunia untuk menyebarkan Islam
dengan pedang, dalam pandangan Ahmadiyah adalah
sangat keliru, bahkan harus diberantas. Sebab cara demikian
tidak cocok dengan nama Islam itu sendiri,
sebagai agama perdamaian. Islam tidak pernah menggunakan kekerasan dan
paksaan untuk mendapatkan kemenangan spiritualnya. Dan
oleh karena itu, Mirza (al-Mahdi) merasa telah
menerima keterangan dari Tuhan, bahwa kehadiran al-Mahdi yang
menghunus pedang untuk memerangi kaum kafir dan memaksa mereka
masuk Islam, sama sekali tidak pernah disebutkan dalam wahyu yang
diterimanya.
Pembaharuan tentang makna jihad dalam misi kemahdian
Mirza, tampaknya justru menambah keyakinan Muslim
non-Ahmadiyah, bahwa kaum Qadiani telah menjadi alat
pemerintah Inggris untuk memecah-belah kesatuan ummat Islam. Oleh
karena itu, pemerintah Inggris di India tetap memberi
hak hidup sekte ini untuk berkiprah dan memberikan jaminan keamanan mereka.
Akhirnya tiga persoalan -masalah kewahyuan,
kenabian, dan masalah jihad- di atas, disamping
ia merupakan identitas misi Mahdiisme Ahmadiyah, juga merupakan salah
satu faktor timbulnya perselisihan dan permusuhan
yang hebat antar sesama ummat Islam. Sehingga tidak mustahil
dampak negatif ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Inggris untuk
mengokohkan kekuasaannya di India.
Keterangan:
1. Syafi R. Batuah, Ahmadiyah Apa dan Mengapa,
(Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1985), hal. 21-22.
2. H.A.R. Gibb and J.H. Kramers, Eds., Shorter Encyclopaedia Islam, (Leiden E.J. Brill, 1947), hal. 310.
3. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 66.
4. S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan dalam Islam, vol. I, (Yogyakarta: PP. Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia, 1978), hal. 35-36.
5. Hamamatul-Busyra Ila Ahlil-Makkah wa Sulaha’i umil Qura. Sialkot: Al-Munsyi Ghulam Qadir al-Fasih, 1389 H. hal. 29-30.
6. Susmoyo Joyosugito, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Bukan Nabi Hakiki, (Pedoman Besar Ahmadiyah Lahore Indonesia, 1984), hal. 4.
7. Tim Dakwah PB GAI, Aqidah Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, (Bagian Tabligh dan Tarbiyah, 1984), hal. 9.
8. Muhammad Shadiq, H.A., Analisa tentang Khatam al-Nabiyyin (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1984), hal. 12.
9. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 195.
10. Hamamatul-Busyra Ila Ahlil-Makkah wa Sulaha’i umil Qura. Sialkot: Al-Munsyi Ghulam Qadir al-Fasih, 1389 H. hal. 313.
11. Al-Maududi, Mahiyal Qadiyaniyah, (Quwait: Darul-Qalam), hal. 32.
12. Al-Maududi, Mahiyal Qadiyaniyah, (Quwait: Darul-Qalam), hal. 115.
13. Al-Maududi, Mahiyal Qadiyaniyah, (Quwait: Darul-Qalam), hal. 116.
14. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 69-70.
15. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 81.
16. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 81.
2. H.A.R. Gibb and J.H. Kramers, Eds., Shorter Encyclopaedia Islam, (Leiden E.J. Brill, 1947), hal. 310.
3. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 66.
4. S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan dalam Islam, vol. I, (Yogyakarta: PP. Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia, 1978), hal. 35-36.
5. Hamamatul-Busyra Ila Ahlil-Makkah wa Sulaha’i umil Qura. Sialkot: Al-Munsyi Ghulam Qadir al-Fasih, 1389 H. hal. 29-30.
6. Susmoyo Joyosugito, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Bukan Nabi Hakiki, (Pedoman Besar Ahmadiyah Lahore Indonesia, 1984), hal. 4.
7. Tim Dakwah PB GAI, Aqidah Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, (Bagian Tabligh dan Tarbiyah, 1984), hal. 9.
8. Muhammad Shadiq, H.A., Analisa tentang Khatam al-Nabiyyin (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1984), hal. 12.
9. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 195.
10. Hamamatul-Busyra Ila Ahlil-Makkah wa Sulaha’i umil Qura. Sialkot: Al-Munsyi Ghulam Qadir al-Fasih, 1389 H. hal. 313.
11. Al-Maududi, Mahiyal Qadiyaniyah, (Quwait: Darul-Qalam), hal. 32.
12. Al-Maududi, Mahiyal Qadiyaniyah, (Quwait: Darul-Qalam), hal. 115.
13. Al-Maududi, Mahiyal Qadiyaniyah, (Quwait: Darul-Qalam), hal. 116.
14. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 69-70.
15. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 81.
16. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 81.
Dikutip dari buku: Faham Mahdi Syi’ah dan
Ahmadiyah dalam Perspektif, oleh: Drs. Muslih Fathoni, M.A., Edisi 1 Cetakan 1 (1994).
(ikhwan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar