Senin, 28 Januari 2013

SEKILAS TENTANG PAHAM ALIRAN AHMADIAH





SEKILAS TENTANG FAHAM AHMADIYAH
OLEH :
DRS. HM. SAKTI RANGKUTI,MA

Sejak munculnya dua pendapat yang kontoversial  dari  intern Ahmadiyah,   maka   secara   riilnya  di  tahun  1914, terpecahlah aliran ini menjadi  dua  sekte.  Pertama  adalah sekte  Ahmadiya Qadiani, yang dalam ajarannya mencela Muslim lain  sebagai  kafir,  dan  sekte  ini  berkeyakinan   bahwa kenabian  tetap  terbuka  sesudah  RasuBullah SAW. Sekte ini dipimpin  oleh  Basyiruddin  Mahmud  Ahmad.   Kelompok   ini berpandangan  bah
wa  Mirza  Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai Mujaddid (pembaharu) saja,  tetapi  juga  sebagai  nabi  dan rasul  yang  harus  ditaati  dan dipatuhi seluruh ajarannya. Dengan 
demikian,  Mahdiisme   Ahmadiyah   lebih   realistis daripada   Mahdiisme   Syi’ah  Isna  ‘Asyariyyah,  sekalipun keduanya masih tetap bertahan sampai hari ini. 
Terpilihnya Basyiruddin  Mahmud  sebagai  Khalifah  al-Mahdi yang  kedua,  tampaknya  tidak  mendapat dukungan penuh dari seluruh Jemaat Ahmadiyah, di saat yang sama, maka  muncullah Ahmadiyah  tandingan yang disponsori oleh Khawaja Kamaluddin dan Maulawi Muhammad ‘Ali yang  tidak  menyetujui  pendirian prinsip  golongan  pertama  yang  kemudian  dikenal  sebagai golongan Qadiani.
Adapun golongan kedua,  dikenal  sebagai  Ahmadiyah  Lahore, yang  disebut  pula  dengan Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, sedangkan di Indonesia, golongan ini dikenal dengan  Gerakan Ahmadiyah  Indonesia  (GAI);  Untuk pertama kalinya golongan ini dipimpin oleh Maulawi Muhammad  ‘Ali.  Syafi  R.  Batuah sebagai  pengikut  sekte  Qadian berpendapat, bahwa lahirnya sekte Ahmadiyah Lahore ini  adalah  bermula  dari  kegagalan Maulawi Muhammad ‘Ali dalam mencapai ambisinya untuk menjadi Khalifah  kedua.  Oleh  sebab  itu,   ia   dan   pengikutnya memisahkan  diri  dan  membentuk sekte baru yang berpusat di Lahore. Akan tetapi, yang  menjadi  sebab  perpecahan  itu tampaknya   lebih  berpusat  pada  masalah  akidah.  Sebagai pernyataan R. Batuah sendiri bahwa jika  golongan  Ahmadiyah Lahore  memandang  Mirza sebagai al-Masih dan al-Mahdi serta sebagai Mujaddid, maka sekte Qadiani  memandangnya,  sebagai nabi   dan   rasul   yang   harus   didengar   dan   ditaati ajaran-ajarannya. Alasan yang mereka  majukan  adalah  bahwa orang  tidak  mempercayai  al-Masih  dan  al-Mahdi  (Mirza), berarti ia tidak mengikuti  seluruh  ajaran  al-Quran  serta tidak  mengindahkan pesan Nabi tentang kehadiran al-Mahdi di akhir zaman.1
Setelah Ahmadiyah menghadapi perpecahan yang  tidak  mungkin lagi  dihindarkan,  akhirnya  gerakan Mahdiisme ini terpecah menjadi dua aliran dan tampaknya kedua sekte tersebut  sulit dipersatukan  kembali.  Akan  tetapi kedua sekte ini, sangat aktif  dan  intensif  dalam usaha   mewujudkan   cita-cita kemahdiannya, terutama di kalangan masyarakat Kristen Barat. Pengikut  masing-masing   sekte   mendirikan   mesjid-mesjid sebagai  pusat  kegiatan,  menterjemahkan  al-Quran  berikut dengan komentar-komentarnya kedalam bahasa asing. Selain itu mereka  juga  menerbitkan  buku-buku tentang Islam. Golongan Lahore di bawah pimpinan Maulana Muhammad ‘Ali,  menerbitkan The  Religion  of  Islam, sedangkan golongan Qadiani dibawah pimpinan Basyiruddin  Mahmud,  menulis  sebuah  uraian  yang diterjemahkan  kedalam bahasa Inggris dengan judul Ahmadiyah or  The  True  Islam,   terbit   tahun   1924,   dan   dalam penerbitannya  yang  terakhir  disebut dengan; 8500 Precious Gems   from   World’s   Best    Literature    yang    berisi catatan-catatan  dari  literatur  lama  dan modern baik dari Islam maupun non-Islam. Demikian pula dimuat masalah-masalah agama  dan  moral. Dalam tahun 1947 komunitas Ahmadiyah yang berpusat  di  Qadian,  terpaksa  harus   memindahkan   pusat kegiatannya   ke  Rabwa  Pakistan,  sewaktu  timbul  masalah perbatasan antara Pakistan dengan India.2
Disamping itu, Gerakan Mahdi Ahmadiyah tampaknya juga  aktif mendirikan  berbagai  lembaga  pendidikan  serta pusat-pusat kesehatan di berbagai tempat di  kawasan  Asia  dan  Afrika. Sebagaimana  diketahui,  Ahmadiyah  masuk  ke Indonesia pada tahun 1924, dibawa oleh dua orang mubalignya  yaitu  Maulana Ahmad  dan  Mirza  Wali Ahmad, mereka memulai kegiatannya di Yogyakarta. Setahun kemudian yaitu tahun 1925, sekte  Qadian menyusul, dibawa oleh seorang mubalignya bernama Rahmad ‘Ali H.A.O.T. dan mulai  mendakwahkan  ide  kemahdian  Mirza,  di Tapaktuan,  dua  tahun  kemudian  ia pindah ke Padang. Kedua sekte tersebut berlomba untuk  menanamkan  pengaruhnya,  dan rupanya  mendapat  tanggapan  positif  dari  masyarakat  dan mendapat kesuksesan dalam misinya.
AJARAN POKOK AHMADIYAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN PAHAM MAHDI

1. MASALAH WAHYU 

Sebagaimana dalam uraian di atas, kemahdian Ahmadiyah  tidak bisa  dipisahkan dengan masalah wahyu, sebagaimana kemahdian Syi’ah tidak bisa  terlepas  dari  masalah  keimaman.  Sebab Mahdi  Ahmadiyah,  juga  mengaku sebagai al-Masih, sedangkan al-Masih sebagai yang diberitahukan dalam hadis sahih,  akan turun  kembali  ke  dunia  dan  dia adalah seorang Nabi yang ditugaskan oleh Tuhan untuk membunuh Dajjal, di akhir zaman. Itulah  sebabnya  kemahdian  Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, karena wahyu yang  disampaikan  kepada al-Mahdi  adalah  untuk  menginterpretasikan al-Quran sesuai dengan ide pembaharuannya.
Munculnya paham kewahyuan Ahmadiyah, tidak saja  ia  membawa pertentangan  dan perselisihan di kalangan masyarakat Islam, tetapi juga di kalangan mereka (pengikut) Ahmadiyah sendiri. Menurut  paham  aliran  ini,  wahyu Tuhan itu tidak terputus sesudah  Rasulullah  wafat,  dan  wahyu  yang  terhenti  itu hanyalah  wakyu tasyri’i atau wahyu syari’at. Dalam hubungan ini,  seorang  propagandis  Ahmadiyah  dari  Sialkot,  Nazir Ahmad,   menjelaskan   bahwa  wahyu  yang  terputus  sesudah Rasulullah  adalah  wahyu  tasyri’,  bukan   wahyu   mutlaq. Selanjutnya  dijelaskan,  bahwa  yang  dimaksud dengan wahyu terakhir ini, tidak dikhususkan hanya untuk para nabi  saja, akan  tetapi  diberikan  juga kepada selain mereka.3 Senada dengan pemahaman di  atas,  pengikut  sekte  Lahore  mencoba membagi cara-cara Tuhan menyampaikan firman-Nya, sebagaimana yang  diungkapkan  dalam  al-Quran.  Cara-cara  itu   adalah sebagai berikut:
a. Wahyu, yaitu isyarat cepat yang merupakan petunjuk Tuhan    yang masuk ke dalam hati seseorang, seperti petunjuk yang    diterima oleh ibu Nabi Musa, agar menghanyutkan puteranya,    Musa, di sungai Nil. Demikian juga seperti wahyu yang    oleh diterima oleh kaum Hawari (murid-murid Nabi ‘Isa),    atau kaum laki-laki lain. (Lihat S. 28: 7; S. 5: 111;    S. 21: 7).
b. Dari belakang hijab atau tirai, yang meliputi: Pertama,    dengan ru’yah salihah (mimpi baik), wahyu ini menurut    pahamnya, diterima seseorang dalam keadaan setengah sadar.    Sebagaimana yang dialami Rasulullah sewaktu mi’raj    (Lihat S. 42:51). Kedua, dengan kasysyaf seperti petunjuk    Tuhan yang dialami oleh Maryam (ibu Nabi ‘Isa) sewaktu    berdialog dengan Malaikat Jibril, (Lihat S. 41: 44).    Dan ketiga dengan jalan ilham.
c. Mengutus Jibril, wahyu yang disampaikan oleh Jibril ini    dikenal dengan wahyu nubuwwah (wahyu kenabian). Wahyu    jenis inilah yang telah terhenti, sedangkan jenis wahyu    yang lain tetap berlangsung sampai kapan saja.4
Dari paham kewahyuan di atas, lalu timbullah anggapan  bahwa Mirza  Ghulam  Ahmad  yang  diangkat Tuhan sebagai al-Masih. atau al-Mahdi, melalui  ilham  yang  diterimanya,  dipandang sebagai   seorang   nabi  oleh  sekte  Qadiani.  Dan  secara implisit, sekte Lahore pun juga mengakuinya, hanya saja term yang  mereka  pakai  adalah  nabi lugawi, bukan nabi haqiqi. Bagi kaum Qadiani, pengakuan mereka terhadap kenabian  Mirza tampak  lebih tegas, sebab ia diyakini sebagai duplikat Nabi ‘Isa a.s., yang berstatus nabi dan menerima wahyu. Disamping itu,   berita   kehadiran   al-Masihjuga   disebutkan  dalam hadis-hadis  sahih,  kemudian  mereka   mencoba   menguatkan keyakinan   tersebut  dengan  menggunakan  dalil-dalil  yang meyakinkan.
Al-Mahdi  ini,   semula   mengakui   bahwa   petunjuk   yang diterimanya  dari  Tuhan  sebagai  ilham, kemudian oleh para pengikutnya dinyatakan sebagai wahyu, dan pernyataan seperti itu  tidak  dibantahnya sama sekali oleh Mirza, malah diakui kebenaran  anggapan  tersebut.  Untuk  itu,  lalu  digunakan term-term baru seperti: wahyu nubuwwah, wakyu tasyri’, wahyu gair  tasyri’,  wahyu  muhaddas,  wahyu  walayah  dan   lain sebagainya. Untuk menguatkan paham kewahyuan di atas, selain mereka  menggunakan  ayat-ayat  al-Quran,  juga  menggunakan hadis-hadis Nabi seperti:
“Sungguh  telah  ada orang-orang sebelum kamu, dari kalangan bangsa Israel,  yaitu  orang-orang  yang  (dapat)  berdialog dengan  Tuhan,  sekalipun  mereka bukan para nabi. Maka jika sekiranya  ada  salah  seorang  diantara  ummatku  (termasuk golongan itu), tentulah ‘Umar orangnya.” (H.R. Bukhari).
Wahyu-wahyu  yang diterima oleh al-Mahdi dari Tuhan, sebagai acuan   baginya   dalam    melaksanakan    pembaharuan    di tengah-tengah   masyarakat  Islam  yang  dipandangnya  telah rusak, telah  dihimpunnya  sendiri  menjadi  80  buah  kitab lebih,  yang  kemudian  disatukan  menjadi sebuah kitab yang disebut Tazkirah  yang  isi  kandungannya  adalah  merupakan penjelasan  maksud  al-Quran  yang  mencakup  bidang akidah, ibadah, mu’amalah dan akhlak. Kitab  inilah  yang  dijadikan pedoman  oleh  jemaat  Ahmadiyah  dalam melaksanakan ide-ide kemahdian Mirza  Ghulam  Ahmad.  Tentunya,  paham  kewahyuan Ahmadiyah ini, ditolak keras oleh kaum Sunni karena dianggap teiah menyimpang dari prinsip Islam.
Jika pendiri aliran Ahmadiyah ini tetap  berpendirian  bahwa petunjuk yang diterima itu adalah ilham, sebagaimana yang ia nyatakan di  awal  kegiatannya,5 artinya  tidak  tenggelam dalam  anggapan  pengikutnya  yang menilai petunjuk tersebut sebagai wahyu, maka ide pembaharuannya akan  mudah  diterima oleh  masyarakat  luas  dan tidak akan menimbulkan pandangan yang kontradiktif. Selain itu, ajaran Mirza yang  menyatakan bahwa   ‘Isa  a.s.,  benar-benar  disalib  di  tiang  salib, sekalipun Nabi ‘Isa tidak sampai wafat, adalah  lebih  dekat dengan   kepercayaan   orang   Nasrani  daripada  pernyataan al-Quran yang menegaskan bahwa Nabi ‘Isa tidak disalib  sama sekali,   akan  tetapi  yang  disalib  adalah  seorang  yang diserupakan dengan ‘Isa a.s. Sebagaimana dalam firman Allah:
“… padahal  mereka  tidak  membunuhnya  (‘Isa)  dan  tidak menyalibnya,  tetapi  yang  mereka  bunuh  adalah orang yang diserupakan dengan ‘Isa …” (S. 4: 157).
Oleh karena itu, sangat boleh  jadi  penemuan  Mirza  Ghulam Ahmad  tentang  makam  Yus  Asaf  di Srinagar, Kashmir, yang diyakininya   sebagai   makam   Nabi   ‘Isa   a.s.,    telah mengilhaminya  untuk  mengadakan  pembaharuan.  Dan terutama sekali jika sebelumnya ia harus  menghadapi  tantangan  dari kaum  propagandis  dan  misionaris  Hindu  dan  Nasrani yang gencar menyerang Islam di satu pihak, dan  kemunduran  ummat Islam  di  berbagai  bidang,  di  pihak  lain. Perlu penulis tambahkan di sini, bahwa pendirian Mirza tentang  penyaliban ‘Isa  a.s.,  atau  Yesus  Kristus di atas, sekalipun hal itu berlawanan dengan pernyataan  al-Quran  tampaknya  pendirian ini  didasarkan  pada ide pembaharuannya. Yaitu keinginannya untuk mempertemukan antara paham Nasrani dengan paham Islam, sehingga  dapat  menarik pengikut kedua agama tersebut untuk menerima paham kemahdiannya.
2. MASALAH NUBUWWAT ATAU KENABIAN DAN KHATAMUL-ANBIYA’ 

Dalam masalah kedua ini,  terjadi  perbedaan  yang  mendasar antara  sekte  Lahore  dan  sekte  Qadiani.  Bagi  Ahmadiyah masalah  kenabian  ini   ada   dua   versi,   yang   pertama diistilahkan  sebagai  Nubuwwah  Tasyri’iyyah (kenabian yang membawa  Syari’at),   dan   kedua   adalah   Nubuwwah   Gair Tasyri’iyyah  (kenabian tanpa membawa syari’at). Selanjutnya dijelaskan bahwa kenabian versi kedua ini, meliputi Nubuwwah Mustaqillah (kenabian mandiri) dan Nubuwwah Gair Mustaqillah (kenabian yang  tidak  mandiri).  Para  nabi  yang  mandiri, adalah  semua  nabi  yang datang sebelum nabi Muhammad SAW., dimana  mereka   tidak   perlu   mengikuti   Syari’at   nabi sebelumnya.   Sedangkan   yang  dimaksud  dengan  nabi  gair mustaqil (tidak mandiri) yaitu nabi yang mengikuti  Syari’at nabi  sebelumnya,  seperti  kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syari’at Nabi Muhammad. Dengan  demikian,  menurut paham  Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang membawa syari’at saja yang sudah berakhir, sedangkan nabi-nabi yang tidak  membawa syari’at akan tetap berlangsung.
Nabi  mandiri  dalam  pandangan sekte Ahmadiyah Lahore, bisa berarti bahwa nabi jenis ini diberi wewenang oleh Tuhan atas dasar  petunjuk-Nya,  guna  menghapus  sebagian  ajaran nabi sebelumnya yang dipandang tidak sesuai lagi saat  itu,  atau dengan  menambah  ajaran  baru sehingga syari’at itu menjadi lebih sempurna. Terjadinya  perubahan  sedikit-sedikit  dari nabi-nabi yang datang kemudian, sehingga syari’atnya menjadi lebih  sempurna  daripada  syari’at  yang  dibawa  nabi-nabi sebelumnya,  maka  jenis  kenabian  yang seperti itu, mereka istilahkan dengan nabi mustaqil.6 Oleh  karena  itu,  kata “nabi” mempunyai dua arti, yaitu arti secara lugawi dan arti istilahi, maka golongan Lahore ini berkesimpulan, bahwa nabi yang  tidak  membawa  syari’at disebut nabi lugawi atau nabi majazi,  yang  pengertiannya  ialah  seorang  yang  mendapat berita  dari  langit atau dari Tuhan. Selanjutnya, nabi yang membawa syari’at,  mereka  sebut  nabi  haqiqi,  demikianlah paham Lahore.
Bagaimana   status   kenabian  al-Mahdi  Ahmadiyah  di  mata pengikutnya? Dalam masalah ini, pandangan  Ahmadiyah  Lahore agaknya berbeda dengan pandangan Ahmadiyah Qadian. Sekalipun golongan Lahore secara implisit  memandangnya  sebagai  nabi lugawi atau nabi majazi, namun mereka menolak paham golongan Qadiani  secara  tegas.  Dalam  pandangan  mereka,  al-Mahdi bukanlah  nabi  haqiqi, dia adalah Mujaddid (pembaharu) abad ke 14 H. Akan tetapi dia mempunyai banyak  persamaan  dengan nabi  dalam  hal  ia  (al-Mahdi)  menerima wahyu atau berita samawi (langit). Oleh sebab itu dalam akidah  mereka  secara tegas  menyatakan  bahwa  percaya  kepada Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi dan al-Masih, bukan  termasuk  rukun  iman, maka   orang   yang  mengingkarinya  tidak  dapat  dikatakan kafir.7 Selanjutnya mereka juga  berpandangan  bahwa  wahyu yang  diterimanya hanyalah wahyu walayah atau wahyu kewalian dan menurut paham mereka,  bahwa  wahyu  macam  inilah  yang tetap  terbuka,  agar  dengan  wahyu  tersebut,  imam  ummat manusia tetap hidup dan segar. Selain itu  mereka  beralasan bahwa  Mirza  atau  al-Mahdi  tidak pernah menyatakan dirinya sebagai nabi hakiki.
Berbeda  dengan  paham  kenabian   sekte   Qadiani,   mereka memandang  al-Mahdi al-Ma’hud (yang dijanjikan) sebagai nabi dan rasul yang  wajib  diyakini  dan  dipatuhi  perintahnya, sebagaimana  nabi  dan  rasul yang lain. Menurut paham sekte ini, seorang Qadiani tidak boleh membeda-bedakan antara nabi yang  satu dengan yang lain, sebagaimana yang diajarkan oleh al-Quran dan  yang  dipesankan  Nabi  Muhammad  SAW.,  untuk mengikuti  al-Mahdi  yang  dijanjikan.  Sekalipun  demikian, paham kedua  aliran  tersebut,  terdapat  juga  persamaannya yaitu  mereka sepakat tentang berakhirnya nabi tasyri’i atau nabi mustaqil sesudah Nabi SAW. Dan  penggunaan  term  wahyu selain al-Quran yang diturunkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya sesudah Rasulullah wafat.
Adapun paham Mahdi Ahmadiyah mengenai Khatamul Anbiya’  atau penutup para nabi, golongan Lahore tampak tidak jauh berbeda dengan paham Sunni. Artinya mereka benar-benar  berkeyakinan bahwa  Nabi Muhammad adalah penutup sekalian para nabi, baik yang baru maupun nabi yang lama, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur-an Surah al-Ahzab: 40.
“Muhammad   itu  sekali-kali  bukanlah  bapak  dari  seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah  Rasulullah  dan penutup nabi-nabi …”
Dalam hubungan ini, Nabi pun menyatakan dalam sabdanya:
“Dan sesungguhnya akan datang di kalangan ummatku tiga puluh pendusta, semuanya menganggap dirinya sebagai nabi, dan  aku adalah penutup para nabi dan tidak ada lagi nabi sesudahku.” (H.R. Bukhari)
Penggunaan term nabi lugawi atau nabi majazi  oleh  golongan Lahore,  mungkin  sekali  dikarenakan  oleh  pengakuan Mirza (al-Mahdi) sebagai penjelmaan ‘Isa al-Masih dan merasa telah berdialog  langsung  dengan Tuhan atau mukalamah mubasyarah, untuk menerima petunjuk-petunjuk-Nya.
Akan tetapi bagi golongan  Qadiani  yang  meyakini  al-Mahdi sebagai  nabi  yang  harus  ditaati ajaran-ajarannya, mereka berusaha keras mencari  dalil-dalil  dan  memajukan  mereka. Misalnya  dengan  menginterpretasikan  Surah  al-Ahzab:  40, sesuai  dengan  paham  mereka,  maupun  dengan   menggunakan hadis-hadis  Nabi,  disamping  mereka  menggunakan  berbagai pendapat ‘Ulama’ Sunni yang dapat menopang  kekuatan  hujjah (argumen) mereka
Menurut  paham  kaum  Qadiani, berita akan datangnya kembali Nabi ‘Isa a.s., sebagai yang diriwayatkan  dari  hadis-hadis sahih  adalah  jelas.  Sekalipun ‘Isa tidak membawa syari’at baru, bahkan harus mengikuti syari’at Nabi  Muhammad,  namun dia  (al-Mahdi)  tetap  sebagai nabi gair mustaqil atau nabi yang  tidak  mandiri.   Oleh   sebab   itu,   kata   “Khatam an-Nabiyyin”  mereka  artikan sebagai nabi yang paling mulia dan paling sempurna dari  sekalian  para  nabi,  tapi  bukan sebagai  penutup  para  nabi.  Selanjutnya mereka mengajukan argumen bahwa kata, [kata-kata Arab], menurut  bahasa  Arab, apabila   kata   [kata-kata   Arab]  dirangkai  dengan  kata berikutnya yang berbentuk jamak adalah mempunyai arti pujian seperti mulia, utama, dan lain sebagainya.8 Sebagai contoh, mereka mengemukakan sabda Nabi yang  ditujukan  kepada  ‘Ali ibn Abi Talib:
“Aku  (Muhammad) adalah Khatam (semulia-mulia) para nabi dan engkau ‘Ali adalah Khatam (semulia-mulia) para wali.”
Dalam hubungan ini,  seorang  propagandis  Ahmadiyah  Qadian menyatakan bahwa kata [kata-kata Arab] dan [kata-kata Arab], artinya tidak ada nabi  lagi  sesudah  Nabi  Muhammad,  yang membawa  syari’at baru. Dan kalau pun yang datang itu adalah ‘Isa a.s., yang sebelumnya sudah  menjadi  nabi,  maka  yang demikian  ini  tidak  akan dapat mematahkan pembuktian kami. Oleh karena itu, dua kata tersebut di  atas,  artinya  bukan “akhir para nabi.”9
Sebagaimana  diketahui,  kaum  Sunni  tidak mengenal istilah nabi gair tasyri’i, nabi majazi, nabi  lugawi;  maupun  nabi mustaqil  atau  gair  mustaqil.  Karena  itu,  jika  terjadi perbenturan antara paham  Sunni  dan  paham  Ahmadiyah  yang mengakibatkan  pertentangan  dan  permusuhan  yang hebat, di awal  kelahiran  sekte  ini,  adalah  sesuatu   yang   sulit dihindarkan.  Sekalipun  paham Ahmadiyah Lahore tampak lebih moderat daripada golongan Qadiani, rupanya  golongan  Lahore lebih   cenderung   berpegang   pada  sikap  Mirza  di  awal kegiatannya sebagai  al-Mahdi  yang  dijanjikan  sebagaimana dalam pernyataannya:
“Dan  dengan  keperkasaan d an keagungan Allah, sesungguhnya aku adalah mukmin, muslim, dan  aku  beriman  kepada  Allah, kitab-kitab,   rasul-rasul,   dan  malaikat-Nya  serta  hari kebangkitan sesudah kematian.  Dan  sesungguhnya  Rasulullah Muhammad  adalah semulia-mulia para utusan dan penutup. para nabi. Dan sesungguhnya mereka  (ummat  Islam  non-Ahmadiyah) telah membuat kedustaan pada diriku, bahwa orang ini (Mirza) telah mengaku menjadi nabi dan bicara tentang ‘Isa …”10
Dari  pernyataan  tersebut,  tampak  sikap  pendiri   aliran Mahdiisme  Ahmadiyah  tidak  senang  dirinya dituduh mengaku menjadi nabi. Akan tetapi golongan  Qadiani,  rupanya  lebih berpegang  pada sikap Mirza, setelah ia mengalami pergeseran akidah.  Sebagaimana   pernyataannya   yang   disalin   oleh al-Maududi,  dari  buku yang ditulis oleh Mirza sendiri yang berjudul Haqiqat al-Wahyu sebagai berikut:
“… Dan sesungguhnya Allah telah  menentukan  (pilihan-Nya) kepadaku  dan  tidak  ada  seorang  pun  diantara  ummat ini memperoleh sebutan ‘nabi’ dan tidak  ada  pula  seorang  pun yang memperoleh nama ini selain aku …”
11
Akan  tetapi  masih ada sesuatu yang cukup menggelitik untuk dipertanyakan, yaitu apabila  al-Mahdi  ini  adalah  seorang nabi  yang  mendapat  wahyu  Allah  atau seorang Wali, dalam menjalankan misi keagamaannya, sebagai  yang  diyakini  oleh kaum  Ahmadiyah,  mengapa ia sangat hormat dan tunduk kepada pemerintah kolonial Inggris yang kafir? Bahkan bekerja  sama untuk  menghantam  saudara  seagama  dan  memusuhinya. Sikap al-Mahdi  yang  agresif   dan   emosional   dalam   berbagai tulisannya  yang disiarkan, menunjukkan sifat dan sikap yang kurang  tepat,  sama  sekali  kurang  layak  dilakukan  oleh seorang  yang  dipandang  sebagai  wali apalagi sebagai nabi atau rasul. Sedangkan sifat dan sikap ‘Isa a.s., Nabi  untuk Bani  Israil  dahulu, sangat santun dan ramah terhadap orang yang  beriman.  Sebagai  misal  adalah   serangan   al-Mahdi Ahmadiyah  ini terhadap sesama Muslim yang menolak sarannya, ia mengatakan:
“Setiap orang yang  menyalahi  (paham)ku,  maka  dia  adalah Nasrani,   Yahudi,   musyrik  (tergolong)  penghuni-penghuni neraka. Setiap laki-laki yang tidak mencari dan tidak  masuk ke  dalam  jema’ah yang berbaitat kepadaku dan terus-menerus menentangku, maka dia adalah menentang Allah dan  Rasul-Nya, dan dia tergolong penghuni neraka.”12
Demikian   pula  halnya  dengan  pernyataan-pernyataan  para pengikutnya  yang  telah  menunjukkan  sikap  permusuhannya, seperti   yang   diungkapkan  oleh  al-Maududi,  bahwa  kaum Muslimin  dari  kalangan  menengah  dan  awam,  sejak   lama menginginkan  diisolasikannya  kaum  Qadiani  dari komunitas Muslim,  dan  menjadikan  mereka   sebagai   kaum   minontas non-Muslim sehingga mereka tidak bisa lagi mencaci-maki kaum Muslimin. Senada dengan keinginan tersebut, adalah  tuntutan Muhammad  Iqbal,  dalam  sebuah  risalahnya  yang  terkenal, berjudui Islam and Ahmadisme.13 Demikian al-Maududi.
3. MASALAH JIHAD

Masalah  yang  ketiga  ini,  merupakan  salah   satu   model pembaharuan  yang  dicanangkan  oleh  al-Mahdi,  yang  dalam doktrinnya  sangat  berkaitan  dengan   misi   kemahdiannya. Sebagaimana diketahui, jihad dalam Islam yang dilakukan oleh Nabi SAW. dan para  sahabatnya  adalah  berperang  di  jalan Allah  untuk  menghadapi ancaman musuh-musuh Islam dan ummat Islam,  sebagai  suatu   alternatif   untuk   membela   atau mempertahankan  diri.  Akan  tetapi  para  orientalis  Barat menyelewengkan  pengertian  jihad  tersebut,  untuk  merusak citra  Islam.  Dua  macam  jihad  dalam Islam dikenal dengan Jihadul-Asgar  atau  jihad  kecil,yaitu  berperang   melawan musuh.  Kedua,  Jihadul-Akbar atau jihad paling besar, yaitu berperang melawan hawa nafsu.
Selain  dua  macam  jihad  di  atas,  menurut  paham   Mahdi Ahmadiyah,  masih  ada  satu lagi jihad yang diistilahkannya dengan Jihadul-Kabir atau jihad besar, seperti:  tablig  dan dakwah.  Jihad  besar  dan  jihad  yang  paling  besar terus berjalan sepanjang masa,  sedangkan  jihad  kecil,  memiliki beberapa syarat dan berlakunya secara insidentil.14
Dalam  hubungan  ini,  pendiri  aliran  tersebut menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugas-tugas  kemahdian  serta  dalam mencapai   tujuan,   yaitu  menghidupkan  ajaran  Islam  dan mengembangkannya guna meraih  kembali  kejayaan  dan  wibawa Islam  di  seantero  dunia.  Adapun  cara  serta  jalan yang ditempuh untuk mencapai maksud tersebut, adalah dengan jalan damai,  bukan  dengan jalan kekerasan atau dengan mengangkat senjata. Cara-cara seperti ini, bagi kaum  Ahmadiyah  adalah mencontoh  cara-cara  Nabi  ‘Isa.  Oleh karena itu, berjihad dalam berperang di jalan Allah, untuk  mempertahankan  Islam bagi  kaum  Ahmadiyah,  sudah  tidak  diperlukan  atau tidak relevan lagi untuk masa-masa sekarang ini. Mereka  beralasan bahwa  cara tersebut, hanyalah merupakan jihad kecil semata, sedangkan jihad besar dan yang paling besar banyak dilupakan orang.  Dan  sebagai  gantinya -jihad kecil- dapat digunakan media cetak, dengan menerbitkan berbagai karya  tulis  untuk memahamkan  Islam  kepada masyarakat non-Muslim. Oleh karena itu, di  saat  seperti  sekarang  ini,  masyarakat  memiliki kebebasan   berbicara,   beragama,   dan   Islam  pun  tidak membenarkan  para  pengikutnya  memaksakan  keyakinan   atau agamanya  pada  orang  lain.  Dalam  kaitan  ini  Nazir Ahmad menyatakan:
“Sungguh Allah telah mewajibkan  kepada  ummat  Islam  suatu kewajiban   yang   lebih   besar  daripada  berperang,  yang karenanya syari’at itu diturunkan,  yaitu  jihad  besar  dan yang    paling    besar    ialah    mendamaikan   jiwa   dan mempropagandakan agama  serta  dakwah  di  jalan  Allah,  di tengah-tengah masyarakat dunia.”15
Adanya  pemahaman seperti di atas, pendiri Ahmadiyah menolak berjihad melawan kaum kolonial Inggris  di  India  saat  itu sebagaimana ia menyatakan:
“…  oleh  karena  itu,  aku menolak jihad. Aku bukan orang yang tertipu oleh pemerintah Inggris, dan sesungguhnya  yang benar,  adalah  bahwa  pemerintah  Inggris  tidak  melakukan sesuatu (tindakan) terhadap Islam dan syi’ar agama. Dia  pun tidak   pula  secara  terang-terangan  menyebarkan  agamanya dengan pedang. Perang atas  nama  agama  yang  seperti  itu, haram  dalam  tuntunan  al-Quran.  Demikian  pula pemerintah Inggris tidak menyebabkan perang agama.”16
Kehadiran al-Mahdi ke dunia untuk menyebarkan  Islam  dengan pedang,  dalam  pandangan  Ahmadiyah  adalah  sangat keliru, bahkan harus diberantas. Sebab  cara  demikian  tidak  cocok dengan  nama  Islam  itu  sendiri, sebagai agama perdamaian. Islam tidak pernah menggunakan kekerasan dan  paksaan  untuk mendapatkan  kemenangan  spiritualnya.  Dan oleh karena itu, Mirza  (al-Mahdi)  merasa  telah  menerima  keterangan  dari Tuhan,  bahwa kehadiran al-Mahdi yang menghunus pedang untuk memerangi kaum kafir dan memaksa mereka  masuk  Islam,  sama sekali tidak pernah disebutkan dalam wahyu yang diterimanya.
Pembaharuan  tentang makna jihad dalam misi kemahdian Mirza, tampaknya justru menambah  keyakinan  Muslim  non-Ahmadiyah, bahwa  kaum  Qadiani  telah  menjadi alat pemerintah Inggris untuk memecah-belah kesatuan ummat Islam. Oleh  karena  itu, pemerintah  Inggris  di  India tetap memberi hak hidup sekte ini untuk berkiprah dan memberikan jaminan keamanan mereka.
Akhirnya tiga persoalan -masalah  kewahyuan,  kenabian,  dan masalah  jihad-  di  atas,  disamping ia merupakan identitas misi Mahdiisme Ahmadiyah, juga merupakan salah  satu  faktor timbulnya  perselisihan  dan  permusuhan  yang  hebat  antar sesama ummat Islam. Sehingga tidak mustahil  dampak  negatif ini  dimanfaatkan  oleh Pemerintah Inggris untuk mengokohkan kekuasaannya di India.
Keterangan:
1. Syafi R. Batuah, Ahmadiyah Apa dan Mengapa, (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1985), hal. 21-22.
2. H.A.R. Gibb and J.H. Kramers, Eds., Shorter Encyclopaedia Islam, (Leiden E.J. Brill, 1947), hal. 310.
3. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 66.
4. S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan dalam Islam, vol. I, (Yogyakarta: PP. Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia, 1978), hal. 35-36.
5. Hamamatul-Busyra Ila Ahlil-Makkah wa Sulaha’i umil Qura. Sialkot: Al-Munsyi Ghulam Qadir al-Fasih, 1389 H. hal. 29-30.
6. Susmoyo Joyosugito, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Bukan Nabi Hakiki, (Pedoman Besar Ahmadiyah Lahore Indonesia, 1984), hal. 4.
7. Tim Dakwah PB GAI, Aqidah Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, (Bagian Tabligh dan Tarbiyah, 1984), hal. 9.
8. Muhammad Shadiq, H.A., Analisa tentang Khatam al-Nabiyyin (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1984), hal. 12.
9. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 195.
10. Hamamatul-Busyra Ila Ahlil-Makkah wa Sulaha’i umil Qura. Sialkot: Al-Munsyi Ghulam Qadir al-Fasih, 1389 H. hal. 313.
11. Al-Maududi, Mahiyal Qadiyaniyah, (Quwait: Darul-Qalam), hal. 32.
12. Al-Maududi, Mahiyal Qadiyaniyah, (Quwait: Darul-Qalam), hal. 115.
13. Al-Maududi, Mahiyal Qadiyaniyah, (Quwait: Darul-Qalam), hal. 116.
14. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 69-70.
15. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 81.
16. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore, Nawa-i Waqt Printers Ltd., 1389/1970), hal. 81.
Dikutip dari buku: Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, oleh: Drs. Muslih Fathoni, M.A., Edisi 1 Cetakan 1 (1994).
(ikhwan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar