PANDANGAN MUKTAZILAH TERHADAP ALQUR’AN
OLEH : DRS.HM.SAKTI RANGKUTI,MA
1.
A. Al-Ushul Al-Khamsah Dan Konsep Khalq Al-Quran Mu’tazilah
Mu’tazilah
erat kaitannya dengan ilmu kalam dan arti dari Ilmu Kalam sendiri menurut Dr.
Muzaffaruddin Nadvi, MA.,Ph.D adalah ilmu berfikir yang lahir pada saat
terjadinya percekcokan antara penganut Islam ortodoks dengan pengant Islam baru[1].
Sedangkan Syahrastani berkata bahwa ilmu ini dinamakan “kalam” karena masalah
perselisihan yang paling sering diperdebatkan di antara berbagai golongan
masyarakat Islam, yaitu masalah yang menyangkut firman Allah I. Atau ilmu yang
diciptakan untuk menghadapi filsafat Yunani, yang kemudian diberi nama
“mantiq’, karena kata “kalam” dan “mantiq” adalah sama.
Dr.
Musthafa Muhammad Hilmi dalam bukunya Manhaj Ulama al-Hadits wa al-Sunnah fi
Ushul al-Din menukil dari kitab Mafatih al-Ulum karangan
al-Khawarizmi menyebutkan delapan masalah penting yang menjadi perbincangan
Mu’tazilah; yaitu:
1.
Membantah
kalangan ad-Dahriyah yang mengatakan bahwa alam ini bersifat qadim[2]; maka Mu’tazilah menganggap bahwa huduts-nya
badan sebagai bukti bahwa alam ini ada yang membuat yaitu Allah I.
2.
Tanzih (penyucian)[3] kepada Allah I, sebagai bantahan kepada
kalangan Ahli Kitab; Yahudi dan Nasrani dan Majusi. Yahudi telah menyamakan
Allah I dengan makhluk-Nya, Nasrani menganggap bahwa Allah I itu tiga dalam
satu (trinitas) sedang Majusi mengatakan bahwa tuhan itu ada dua yaitu tuhan
cahaya dan tuhan kegelapan.
3.
Menetapkan
bahwa Allah I adalah zat yang Maha mengetahui, Maha menguasai, Maha hidup dan
bahwa Allah I adalah esa; sebagai bantahan kepada kelompok Mu’atthilah
yang menolak sifat-sifat Allah I.
4.
Perbincangan
tentang kalamullah; apakah ia makhluk ataukah tidak.
5.
Perbincangan
tentang Af’al al-Ibad apakah ia makhluk yang diciptakan oleh Allah I
atau seorang hamba.
6.
Hukum
terhadap orang yang meninggal dalam keadaan melakukan dosa-dosa besar; apakah
ia akan kekal di neraka ataukah ia akan mendapatkan rahmat Allah I lalu masuk
surga.
7.
Membuktikan
adanya kenabian secara umum dan kenabian Muhammad ` secara khusus; sebagai bantahan
terhadap Barahimah[4] yang meniadakan kenabian.
8.
Perbincangan
tentang Imamah (kepemimpinan) dan siapa yang pantas memangku jabatan
tersebut dan siapa yang tidak pantas.[5]
Dan di era modern ini atau tepatnya masa setelah runtuhnya khilafah Utsmaniyah,
perbincangan beralih kepada tema fiqih siyasi yaitu “adamu fashl
baina al-siyasah wa al-din” (tidak memisahkan antara politik dan agama).
Dan barangkali syaikh Musthafa Shabri[6] –syaikhul Islam terakhir pada masa khilafah
Utsmaniyah- adalah orang pertama yang memberikan perhatian terhadap masalah
tersebut dan menjadikan pemisahan antara agama dan politik ke dalam masalah
ilmu kalam.[7]
Dan
ada beberapa argumen-argumen yang digunakan kelompok Mu’tazilah untuk
membenarkan metode Ilmu Kalam mereka; yaitu:
1.
Ilmu
kalam itu baru muncul pada masa tabiut tabi’in dan ketika masa itu telah
sempurna pencetakan kitab-kitab sehingga ilmu kalam hanyalah bid’ah hasanah
selain itu ilmu kalam juga berguna untuk menghilangkan syubhat bagi orang yang
masih ragu dan menambahkan keyakinan bagi ahli tauhid.
2.
Dalil
akal sangat diperlukan dalam menjelaskan hakikat agama, karena metode yang
benar dalam mengenal Allah I dan rasul-Nya bersandar pada pengetahuan akal.
3.
Jika
pokok agama adalah ittiba’ bukan akal, hal itu telah menyelisihi
al-Quran, karena Allah I telah mencela perbuatan taqlid dan mengajak manusia
untuk mendebat orang-orang musyrik dengan dalil-dalil akal.
4.
Qadhi
Abdul Jabbar berpendapat, ketika khalifah Harun al-Rayid melarang untuk
berdebat dalam masalah agama bahkan memenjarakan ahlu kalam, raja as-Sundi
menulis satu surat yang menantang untuk beradu debat, maka al-Rasyid mengutus
satu qadhi yang tidak mahir dalam berdebat, karena kalah, ia membebaskan Ahlu
Kalam dari penjara dan memilih salah satu dari mereka untuk berdebat.[8]
1.
1.
Al-Ushul Al-Khamsah
Al-Ushul
al-Khamsah terdiri dari lima prinsip yang disebutkan secara urut oleh al-Qadhi
Abdul Jabbar; Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’du wa al-Wa’id, al-Manzilah baina
al-Manzilatain dan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Namun urutan ini belum
menjadi konsesus dan bila merujuk pada kronologi sejarah, maka al-Manzilah
baina al-Manzilatain ditempatkan pada posisi pertama, lima prinsip ini
kemudian disempurnakan oleh ulama-ulama Mu’tazilah seperti Abu Huzail
al-‘Allaf, Ja’far bin Harb, Qadhi Abdul Jabbar dan yang lainnya[9]. Walau demikian, semua tokoh Mu’tazilah
bersepakat bahwa barang siapa tidak mempercayai salah satu prinsip, atau
mengurangi atau menambahi kelima prinsip di atas, maka tidak layak digolongkan
sebagai Mu’tazilah.[10]
Al-Khayyath
al-Mu’tazili berkata: “Dan tidak ada seorang pun yang layak diberi label
I’tizal sehingga ia mengumpukan ushul al-khamsah; al-Tauhid, al-Adl,
al-Wa’du wa al-Wa’id, al-Manzilah baina al-Manzilatain dan Amar Ma’ruf
Nabi Mungkar dalam dirinya”[11].
Selanjutnya
kami paparkan penjelasan al-Ushul al-Khamsah tersebut dan kemudian kami
paparkan secara ringkas mazhab Ahlu al-Sunnah sehingga semakin jelas perbedaan
antara mazhab Ahlu al-Sunnah dengan mazhab Mu’tazilah.
1.
1. Al-Tauhid (tauhid)
Konsep
Khalq al-Quran versi Mu’tazilah ditempatkan dalam konteks pembahasan sifat-sifat
Allah swt yang dalam tradisi Mu’tazilah masalah sifat Allah masuk dalam prinsip
tauhid, yang diletakkan sebagai prinsip pertama dalam aqidah al-ushul
al-Khamsah. Dengan demikian masalah khalq al-Quran adalah sub bahasan dari ashlu
al-Tauhid.
Menurut
Mu’tazilah pengertian tauhid adalah mengingkari sifat-sifat Allah I karena
menetapkannya berarti menetapkan banyak zat yang qadim, itu artinya menyamakan
makhluk dengan khaliq dan menetapkan adanya banyak sang pencipta. Mu’tazilah
menta’wil sifat-sifat Allah I dengan mengatakan sifat Allah I adalah Dzat-Nya.
Sebagai contoh, Allah I‘Alim (Maha Mengetahui); maknanya ilmu Allah I
adalah Dzat-Nya, dan seterusnya. Di antara konsekueninya, mereka mengingkari ru’yatullah
di akhirat dan mengatakan bahwa al-Quran itu makhluk.[12]
Dr.
Musthafa Muhammad Hilmi menjelaskan makna tauhid menurut Mu’tazilah adalah
menetapkan keesaan zat Allah I sehingga mereka meniadakan sifat dengan anggapan
bahwa menetapkan sifat bisa membuat syirik, mereka mengingkari ru’yatullah
(melihat Allah I di akhirat) dan mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk.[13]
Syaikh
Safar Hawali juga menjelaskan bahwa makna tauhid menurut Mu’tazilah adalah
meniadakan sifat-sifat Allah I, mereka mengatakan: Allah I adalah zat yang Maha
Mengetahui, zat yang Maha Melihat atau Maha Melihat tetapi tidak memiliki sifat
ilmu atau Maha Mendengar tetapi tidak memiliki sifat mendengar dan mereka
mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk.[14]
Imam
al-Asy’ari mengatakan ketika menjelaskan makna al-Tauhid menurut Mu’tazilah:
“Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, bukan benda (jism), bukan
orang (syakhs) bukan jauhar, bukan pula aradh, tidak berlaku
pada-Nya, tidak mungkin mengambil tempat (ruang) tidak bisa disifati dengan
sifat-sifat yang ada pada makhluk yang menunjukkan ketidakazalian-Nya, tidak
dibatas, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak dapat dicapai panca
indra, tidak dapat dilihat mata kepala dan tidak bisa digambarkan akal fikiran.
Ia Maha Mengetahui, Berkuasa dan Hidup, tetapi tidak seperti orang yang
mengetahui, orang yang berkuasa dan orang yang hidup, hanya Ia sendiri yang
qadim, tidak ada yang menolong-Nya dalam menciptakan apa yang telah
diciptakan-Nya dan tidak membikin makhluk karena contoh yang telah ada terlebih
dahulu”.[15]
Dr.
Abdurrahim bin Shamayil al-Sullami dalam disertasinya yang berjudul Haqiqah
al-Tauhid baina Ahl al-Sunnah wa al-Mutakallimin telah melakukan studi
banding antara Ahl al-Sunnah dan Mu’tazilah dalam masalah Tauhid, Ahlu
al-Sunnah membagi Tauhid menjadi tiga yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid
Uluhiyah dan Tauhid Asma wa Shifat atau menjadi dua yaitu Tauhid
al-Ma’rifah wa al-Itsbat dan Tauhid al-Qasd wa al-Thalb sedangkan
Mu’tazilah membagi Tauhid menjadi tiga yaitu al-Ladzi la yatajaza’, al-Munfarid
bi al-Qadam dan al-Mutafarrid bi al-Shifat, pembagian Tauhid ini
disebutkan oleh al-Qadhi Abdul Jabbar dari gurunya Abu Ali dan Abu Hasyim.[16]
1.
2. Al-‘Adl (keadilan)
Golongan
Mu’tazilah menafsirkan keadilan tersebut sebagai berikut:
“Tuhan
tidak menghendaki keburukan, tidak mencipta perbuatan manusia; manusia bisa
mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya,
karena qodrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri mereka. Ia tidak
memerintah kecuali apa yang dikehendaki-Nya dan tidak melarang kecuali apa yang
dilarang-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan
tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya”[17]
Imam
Ibnu Abil Izz al-Hanafi berkata: “Mengenai al-‘Adl mereka menutupi
dibaliknya pengingkaran taqdir. Mereka mengatakan Allah I tidak menciptakan
keburukan dan tidak menghukum dengan adanya perbuatan jahat, karena jika
Allah I menciptakan kejahatan kemudian menyiksa mereka atas kejahatan mereka,
itu artinya Allah I Dhalim, padahal Allah I adil dan tidak Dhalim. Sebagai
konsekuensinya mereka menyatakan dalam kekuasaan Allah I terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan Allah I. Allah I menginginkan sesuatu tetapi hal yang tidak
diinginkan Allah I. Allah I menginginkan sesuatu tetapi hal itu tidak terjadi.
Juga konsekuensinya mensifati Allah I itu lemah, Maha Suci Allah I dari hal
itu.[18]
Syaikh
Safar Hawali mengatakan: “Makna ‘adl menurut Mu’tazilah bahwa Allah I
tidak menciptakan kejelekan dan tidak menginginkannya, Ia juga tidak
mentakdirkan maksiat kepada hamba, akan tetapi manusialah yang menciptakan amal
mereka dan melakukan sesuatu yang tidak diinginkan dan ditakdirkan oleh Allah
I.[19]
1.
3. Al-Wa’du wa al-Wa’id (janji dan ancaman)
Maknanya
bahwa orang yang berbuat dosa besar bila belum bertaubat sebelum meninggal,
pasti kekal di neraka dan tidak ada syafa’at baginya. Ibnu Taimiyah berkata:
“Di antara pokok ajaran Mu’tazilah berasma Khawarij adalah terlaksananya
ancaman di akhirat dan bahwasanya Allah I tidak menerima syafa’at bagi pelaku
dosa besar serta tak seorang pelaku dosa besar pun yang keluar dari
neraka”.[20]
Mereka
mengatakan bahwa jika Allah I mengancam hamba-Nya dengan suatu ancaman maka
Allah I wajib menyiksanya dan tidak boleh mengingkari ancaman-Nya karena Alllah
tidak mengingkari janji-Nya. Allah I tidak memberi maaf dan ampunan bagi orang
yang dkehendaki-Nya dan tidak pula mengampuni pelaku dosa besar yang tidak
betaubat.[21]
Syaikh
Safar Hawali mengatakan: “Maknanya bahwa Allah I wajib untuk mengazab pelaku
maksiat, tidak memaafkan mereka, tidak memberikan syafaat dan tidak
mengeluarkan mereka dari neraka.[22]
1.
4. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (kedudukan di antara dua
kedudukan)
Imam
Ibnu Abil Izz berkata: “Adapun al-Manzilah baina al-Manzilatain menurut
mereka adalah pelaku dosa besar keluar dari iman dan tidak masuk dalam
kekafiran”. [23]Maksudnya
mereka meyakini bahwa pelaku dosa besar adalah fasik dan berada di antara
kedudukan orang kafir dan orang beriman, akan tetapi mereka tidak mengkafirkan
dan menghalalkan darah mereka sebagaimana Khawarij.
1.
5. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Maknanya
adalah kewajiban untuk mendakwahkan aqidah mereka seperti tauhid, adil dan yang
lainnya, selain itu wajib memberontak dari pemimpin yang tidak sesuai dengan
mazhab mereka atau sesuai tetapi ia dhalim atau fasiq.[24]
Konsep
Khalq Al-Quran Mu’tazilah
Kelompok
Mu’tazilah melihat al-Qur’an sebagai suatu perkataan yang terdiri dari huruf
dan suara, artinya disamakan dengan perkataan yang biasa dikenal[25]. Perkataan menyatakan fikiran yang ada pada
dirinya, supaya diketahui orang lain. Kalau al-Qur’an terdiri dari kata-kata,
sedang kata-kata itu baru, maka al-Qur’an itu pun baru. Selain itu sifat kalam
al-Qur’an bukanlah sifat zat, tetapi adalah salah satu sifat perbuatan. Karena
itu al-Qur’an adalah makhluk. Artinya Tuhan mengadakan perkataan (kalam) pada Lauh
Mahfuz, atau Jibril atau utusan-Nya.[26]
Dalam
internal Mu’tazilah sendiri juga terdapat silang pendapat dalam mendefiisikan
makna al-Kalam apakah ia jism, ardh ataukah makhluq,
mereka terbagi menjadi tiga pendapat:
1.
Sebagian
mereka mengatakan bahwa kalamullah adalah jism saja
2.
Pendapat
al-Nadham dan pengikutnya; mereka berpendapat bahwa kalam makhluk adalah ardh,
dan bergerak, karena tidak sesuatu yang ardh kecuali pasti bergerak,
sedangkan kalam khaliq adalah jism, karerna jism itu terdiri dari
huruf dan suara yang bisa didengar, termasuk fi’il dan mahkluq Allah I,
sedangkan yang dilakukan manusia adalah membaca (al-Qira’ah) dan membaca adalah
bergerak dan tidak termasuk dalam al-Quran.
3.
Pendapat
Abu al-Huzail, Ja’far bin Harb, al-Askafi dan pengikutnya, mereka mengatakan
bahwa kalam adalah ardh dan makhluq.
Dari
penjelasan di atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa Mu’tazilah berselisih pendapat
apakah kalam itu ardh atau jism? Hanya saja mereka bersepakat bahwa kalam itu
adalah makhluq.
Dan
untuk membenarkan keyakinan khalq al-Quran, Mu’tazilah menafsirkan
ayat-ayat al-Quran yang mendukung pemahaman mereka bahwa al-Quran itu bukan kalamullah
dalam pengertinnya yang azali, seperti firman Allah I Qs. Al-Baqarah: 30.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي
الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Artinya:
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”[27]
Menurut
mereka pengertian ‘idz’ (ketika) di dalam firman itu menunjukkan suatu
waktu, yaitu waktu masa silam. Maka firman Allah I tersebut telah terjadi pada
suatu waktu tertentu. Setiap sesuatu yang terikat kepada waktu adalah suatu
‘kebaruan’. maka maksud firman Allah I itu bukan bersifat azali dari Allah I,
yakni al-Kalam, tetapi maknanya harus diartikan dengan pengertian yang
lain.
Dan
juga firman Allah I Qs. Hud: 1 dan al-Taubah: 6 yang menunjukkan bahwa al-Quran
itu tersusun dari ayat-ayat dan huruf-huruf yang bisa didengar, hal tersebut
menunjukkan “kebaruan” karena mau tidak mau susunan ayat-ayat dan sesuatu yang
bisa didengar adalah suatu yang baru.
Abu
al-Hudhail al-‘Allaf; salah seorang pemikir dari Mu’tazilah yang lahir dan
belajar di Bashrah kemudian pindah ke Baghdad, berpendapat bahwa Allah swt
menciptakan al-Quran di lauh al-Mahfudz yang masih berbentuk ‘ardh.
Kemudian dinampakkan melalui tiga tempat; di tempat dia dijaga, di tempat dia ditulis dan di
tempat dia dibaca dan didengar.[28]
Pendapat ini diperkuat oleh khalifah al-Makmun dengan menafsirkan surat
al-Buruj: 21-22:
بَلْ هُوَ قُرْآَنٌ مَجِيدٌ (21) فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ (22)
Artinya:
“Bahkan
dia adalah al-Quran yang mulia, yang tersimpan di Lauh al-Mahfudz”.
Bahwa
sesungguhnya perkataan Lauh yang melindungi al-Quran mengandung
pengertian “khalq” (temporal), sebab suatu benda tidaklah dilindungi
kecuali dengan sesuatu yang diciptakan.
Lebih
lanjut al-Qadhi Abd al-Jabbar, termasuk pentolan Mu’tazilah di abad akhir-akhir
mengatakan bahwa kalam adalah bagian dari perbuatan (af’al) Allah I yang
Dia ciptakan dalam jism ketika hendak mengadakan kontak dengan
makhluk-Nya, baik berupa perintah, larangan, janji maupun ancaman. Maka setiap
perbuatan Allah I tidak boleh dikatakan qadim, sebagaimana tidak boleh
mengklaim bahwa segala ni’mat dan ihsan Allah I yang senantiasa diberikan
kepada hamba-hamban-Nya adalah qadim. Dengan demikian al-Quran yang
merupakan kalamullah otomatis adalah makhluk, karena dia merupakan
bagian dari perbuatan-Nya yang selalu dilakukan sesuai dengan maslahat dan
kebutuhan.
Kata
al-Qadhi Abd al-Jabbar, “Jikalau dalam al-Quran terdapat perintah dan larangan
serta janji dan ancaman, maka sesungguhnya kedudukan perintah itu sendiri
senantiasa memerlukan objek yang diperintah. Sebagai contoh, ayat tentang
perintah shalat, tidak mungkin sudah ada semenjak azali, sebelum diciptakan
manusia, suatu perintah ditujukan kepada sesuatu yang tidak ada, maka dengan
demikian perintah Allah I bukanlah hal yang qadim.
Al-Qadhi
Abd al-Jabbar berkata ketika berbicara masalah pendapat-pendapat manusia
tentang al-Quran: “Adapun mazhab kami, bahwa al-Quran adalah kalamullah
dan wahyu-Nya, dan ia adalah makhluq dan muhdats (baru)”.[29]
Ibnu
Matwih mengatakan: “Guru-guru kami telah bersepakat semua bahwa al-Quran adalah
makhluq” dan al-Muqbili berkata ketika menyebutkan perbedaan pendapat dalam
masalah al-Kalam: “Para filosof meneliti kaifiyah kalam lalu mereka
berselisih pendapat sedangkan Mu’tazilah telah menetapkan secara mutlak tentang
kemakhlukan al-Quran”.[30]
Dari
penjelasan di atas dapat kita simpulkan tentang aqidah Mu’tazilah tentang
al-Quran yaitu al-Quran adalah makhluq.
[1]
Dr. Muzaffaruddin Nadvi, MA.,Ph.D, Muslim Thought and Its Source, (Pemikiran
Muslim dan Sumbernya), terj: Drs. Adang Affandi, (Bandung: PUSTAKA, 1984 M) ,
cet. Ke-1, hal. 6-7
[2]
Qadim berarti azali dan kekal, yang tidak bermula dan berakhir. Ada perbedaan
makna qadim antara ahli filsafat dengan ahli bahasa, ahli bahasa mendefinisikan
qadim sebagai sesuatu yang didahului meskipun baru, sedangkan ahli filsafat
mengatakan bahwa qadim adalah sesuatu yang tidak didahului artinya selalu
ada.lihat Muhammad bin Ali al-Husaini al-Jurjani al-Hanafi, al-Ta’rifaat,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), cet.ke-2, hal. 173 dan Abu Hilal
al-Askari, al-Furuq al-Lughawiyah, Tahqiq: Muhammad Basil Uyun al-Suud,
(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 2000 M), cet.ke-1, hal. 71
[3]
Yang dimaksud tanzih adalah menetapkan keesaan Allah swt dengan
menafikan qadim-Nya sifat-sifat-Nya. Karena dalam keyakinan Mu’tazilah, anggapan
tentang qadimnya sifat sama dengan berbilangnya zat yang qadim yang
dikategorikan sebagai perbuatan syirik. Maka konsep tanzih Mu’tazilah lahir
sebagai respon atas akidah Yahudi dan trinitasnya Nasrani.
[4]
Atau agama Hindu; nama Barahimah berasal dari kata Brahma salah satu sesembahan
dalam agama Hindu; agama ini muncul pada abad ke-8 SM. Dan Mu’tazilah termasuk
kelompok yang sangat keras menentang pendapat Hindu di atas, bahkan mereka
menyatakan bahwa kenabian itu sebuah kewajiban, al-Safaraini menyebutkan: “dan
yang benar bahwa pengutusan para nabi adalah boleh secara akal dan wajib secara
syariat” lihat al-Safaraini, Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah wa Sawathi’
al-Asrar al-Atsariyah sarh al-Durrah al-Mudhiyyah fi Aqidah al-Firqah
al-Mardhiyyah, (Damsyiq: Muasasah al-Khafiqin, 1982 M), cet. ke-2, juz II,
hal. 256
[5]
Dr. Musthafa Muhammad Hilmi, Manhaj Ulama al-Hadits wa al-Sunnah fi Ushul
al-Din, (Kairo: Dar Ibnu al-Jauzi, 2005), cet.ke-1, hal. 94 dan
al-Khawarizmi, Mafatih al-Ulum, (Mesir: Dar al-Muniriyah, 1342 H), hal. 17-18
[6]
Beliau lahir di Tuqad lalu hijrah ke Qaisiriyah untuk belajar, mulai
berkecimpung dalam masalah politik sejak diangkat sebagai wakil negara di
Anadhul pada tahun 1908 M lalu pada tahun 1923 M ia pergi ke Mesir dan terus
tinggal disana sampai beliau wafat pada tahun 1954 M.
[7]
Prof. Dr. Musthafa Hilmi telah mensyarah kitab syaikh Musthafa Shabri yang
berjudul: al-Nakir ala Munkiri al-Ni’mah min al-din wa al-khilafah wa
al-ummah yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: al-asrar
al-khafiyyah war al- ilgha’ al-khilafah al-utsmaniyyah. Kitab ini mendapat
apresiasi dari The King Faishal International Prize for Islamic Studies.
[8]
Dr. Musthafa Muhammad Hilmi, Qawaid al-Manhaj al-Salafi fi al-Fikri
al-islami, (kairo: Dar Ibnul Jauzi, 2005), cet. Ke-3, hal. 83-84
[9]
Abdul Latif bin Abdul Qadir al-Hifzi, Ta’tsir Mu’tazilah fi al-Khawarij wa
al-Syi’ah, (Jeddah: Dar al-Andalus al-Khadhra’, 2000 M), cet. ke-1, hal. 26
[10]
Al-Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad, Sarh Ushul al-Khamsah, tahqiq oleh: Dr.
Abdul Karim Utsman, (Kairo: Maktabah Wahbah,1996 M), cet. Ke-3, hal. 6
[11]
Abul Hasan Abdurrahim bin Muhammad al-Khayyath, al-Intishar wa al-Rad ala
Ibnu Rawandi al-Mulhid, (Kairo: Dar al-Arabiyah, 1993 M), cet. ke-2, hal.
126
[12]
Tim Ulin Nuha Ma’had Aly, Dirasatul Firaq, (Solo: Pustaka Arafah, tanpa
tahun), cet.ke-1, hal. 133
[13]
Dr. Musthafa Muhammad Hilmi, Qawaid al-Manhaj al-Salafi fi al-Fikri
al-islami, cet. Ke-3, hal. 140
[14]
Safar bin Abdurrahman al-Hawali, ushul al-firaq wa al-adyan wa al-mazahib
al-fikriyyah, (Riyadh: Majalah al-Bayan, 2010), cet. Ke-1, hal. 45
[15]
Ahmad Hanafi, Theology Islam, hal. 44
[16]
Dr. Abdurrahim bin Shamayil al-Sullami, Haqiqah al-Tauhid baina Ahl
al-Sunnah wa al-Mutakallimin, (Beirut: Dar al-Muallimah), hal 120 dan Dr.
Jabir Idris Ali Amir, Manhaj al-Salaf wa al-Mutakallimin fi Muwafaqah
al-‘Aql li al-Naql wa atsaru al-Manhajain fi al-Aqidah, (Riyadh: Adwa’
Salaf, 1998) cet. Ke-1, hal. 555
[17]
Ahmad Hanafi, Theology Islam, hal. 44
[18]
Ibnu Abil Izz, Syarah Aqidah al-Thahawiyah, (Kairo: Dar Al-Hadits, 1425
H), hal. 792
[19]
Safar bin Abdurrahman al-Hawali, ushul al-firaq wa al-adyan wa al-mazahib
al-fikriyyah, hal. 45
[20]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa: juz XIII. Hal. 358
[21]
Al-Mausu’ah al-Muyassarah: 1: 73
[22]
Safar bin Abdurrahman al-Hawali, ushul al-firaq wa al-adyan wa al-mazahib
al-fikriyyah, hal. 46
[23]
Ibnu Abil Izz, Syarah Aqidah al-Thahawiyah, hal. 102
[24]
Safar bin Abdurrahman al-Hawali, ushul al-firaq wa al-adyan wa al-mazahib
al-fikriyyah, hal. 46
[25]
Al-Qadhi Abdul jabbar, Sarh Ushul al-Khamsah, hal. 528
[26]
Ahmad Hanafi, Theology Islam, hal. 113
[27]
Surat Al-Baqarah (2: 30)
[28]
Jurnal ISLAMIA, edisi petama, hal. 39
[29]
Al-Qadhi Abd al-Jabbar, Sarh Ushul al-Khamsah, hal. 528
[30]
Awwad bin Abdullah al-Mu’tiq, Al-Mu’tazilah wa Ushuluhum al-Khamsah wa
Mauqif Ahlu al-Sunnah minha, hal. 118
,
|
|
|
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar