Minggu, 27 Januari 2013

KITAB JAMI' AL SHAHIH KARYA IMAM BUKHARI



BENARKAH HADITS-HADITS YANG TERDAPAT DALAM KITAB JAMI’ AL-SHAHIH KARYA IMAM BUKHARI TERMASUK KATAGORI HADITS SHAHIH

Editor : drs.HM.Sakti Rangkuti.MA.
Oleh    : Prof.DR.Muhibbin,MA.
”Telitilah kembali setiap hadits yang dinisbatkan pada Rasulullah SAW. Jangan asal riwayat Bukhari, lalu dikatakan shahih.”
REPUBLIKA-Sebagian besar umat Islam di seluruh dunia, yakin dan percaya bahwa kitab hadits Jami’ al-Shahih karya Imam Bukhari adalah sebuah kitab yang berisi kumpulan hadis-hadis paling sahih. Karena keyakinan itu pula, sebagian besar ulama pun turut meyakini dan menempatkannya pada urutan pertama kitab hadits sahih.

Benarkah demikian? ”Tidak semua hadits yang terdapat dalam kitab Jami’ al-Shahih karya Imam Bukhari itu benar-benar sahih. Terdapat beberapa hadis yang termasuk kategori lemah dan palsu,” kata Prof Dr H Muhibbin MA, guru besar dan pembantu Rektor I IAIN Walisongo, Semarang.
Menurutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukannya (hasilnya penelitian Muhibbin ini sudah dibukukan–Red), terdapat hadis yang bertentangan dengan Alquran maupun antarhadis di dalam kitab tersebut.
”Hadis palsunya bermacam-macam. Ada yang karena tidak sesuai atau bertentangan dengan Alquran, namun ada pula yang tidak sesuai dengan kondisi kekinian,” terang mantan dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo ini.
Kepada Syahruddin El-Fikri, wartawan Republika, Muhibbin mengungkapkan berbagai kelemahan hadits yang terdapat dalam kitab Jami’ al-Shahih tersebut. Berikut petikannya.
Benarkah hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Jami’ al-Shahih karya Imam Bukhari itu semuanya masuk kategori hadits sahih?

Tidak. Tidak semua hadis yang terdapat dalam kitab itu masuk dalam kategori sahih. Terdapat beberapa hadits palsu dan lemah (dlaif). Saya sudah mengungkapkan hal ini dalam disertasi doktoral saya yang sekarang sudah dibukukan.
Perlu diketahui, sebelumnya pengungkapan hadits palsu dan lemah dalam karya Imam Bukhari itu juga sudah pernah diungkapkan para pemikir dan peneliti hadits lainnya. Misalnya, Fazlurrahman (1919-1988 M), Abu Hasan al-Daruquthni (306-385 H), al-Sarkhasi (w 493 H/1098 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935 M), Ahmad Amin (w 1373 H/1945 M), dan Muhammad Ghazali (w 1416 H/1996 M).
Bisa dicontohkan, beberapa hadits palsu yang Anda temukan dalam kitab tersebut?
Misalnya, hadits palsu yang terdapat dalam kitab itu, setelah diteliti, ternyata ada yang tidak sesuai dengan fakta sejarah. Misalnya, tentang Isra Mi’raj. Di dalam kitab itu, disebutkan bahwa terjadinya Isra Mi’raj itu sebelum jadi Nabi. Faktanya, Isra Mi’raj itu setelah Rasulullah diutus menjadi Nabi.
Kemudian, ada pula hadits Nabi yang bertentangan dengan ayat Alquran. Contohnya, tentang seseorang yang meninggal dunia akan disiksa bila si mayit ditangisi oleh ahli warisnya. (Lihat Kitab Jenazah, bab ke-32, hadis ke 648/I–Red).
Ini kan bertentangan dengan ayat Alquran, bahwa seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain. (Lihat ayat Alquran surah al-Fathir ayat 18, Al-An’am ayat 164, Az-Zumar ayat 7, Al-Isra ayat 15, dan An-najm ayat 38–Red).
Dan, masih banyak lagi hadits yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ayat Alquran maupun hadits Nabi SAW.
Apa kriterianya sehingga ungkapan itu dikatakan benar-benar hadits Nabi, padahal menurut Anda, itu bukan hadits sahih?
Dalam penelitian yang kami lakukan, ada beberapa kriteria dalam menilai sebuah hadits itu dikatakan sahih atau tidak, mutawatir atau tidak, ahad, atau lainnya.
Dalam kitab Bukhari, beliau sendiri tidak memberikan keterangan perinci mengenai kriteria kesahihan hadits. Bukhari hanya mengatakan bahwa semua hadits yang ditulisnya dalam al-Jami’ al-Shahih itu sebagai hadits, dari seleksi sekitar 300 ribu hadits. Dan, satu-satunya yang dapat ditemukan dari Al-Bukhari adalah kriteria keharusan adanya pertemuan (al-Liqa`) antara satu perawi dengan perawi terdekatnya.
Menurut beberapa ahli hadits, seperti al-Naysaburi (w 405 H/1014 M), al-Maqdisi (w 507 H), al-Hazimi (w 584 H), dan lainnya, kriteria hadits sahih yang dipakai Bukhari adalah kesahihah yang disepakati, diriwayatkan oleh orang yang masyhur sebagai perawi hadits dan minimal dua orang perawi di kalangan sahabat yang tsiqah (adil dan kuat hafalan), serta lainnya.
Padahal, para ulama hadits lainnya menyusun sejumlah kriteria dalam menilai hadis sebuah dapat dikatakan sahih dan tidak, mulai dari segi sanad (tersambungnya para perawi hadits), matan (isi hadits), serta kualitas dan kuantitas para perawi hadits. Bagaimana tingkat hafalannya, keadilannya, suka berbohong atau tidak, dan lain sebagainya.
Karena itu, kami menilai, kriteria yang dirumuskan oleh al-Bukhari mengandung beberapa kelemahan, terutama bila diverifikasi terhadap kitab al-Jami’ al-Shahih itu sendiri.
Apa saja kelemahannya?
Kelemahan itu, antara lain, tentang minimal jumlah perawi hadits yang harus meriwayatkan hadits. Di dalam kitab tersebut, ditemukan cukup banyak hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi.
Begitu juga, dalam hal persambungan sanad hadits juga terdapat kelemahan. Di antaranya, seperti diakui sendiri oleh al-Bukhari, di dalamnya ada hadits yang muallaq, mursal, bahkan munqathi` (terputus).
Juga, ada perawi hadits yang tidak tsiqah, bahkan dituduh majhul (tidak diketahui identitasnya), dianggap kadzab (berbohong), dan lainnya.
Bisa disebutkan beberapa contoh perawi hadits yang diketahui tidak tsiqah atau lemah dalam Shahih Bukhari itu?
Misalnya, Asbath Abu al-Yasa` al-Bashri. Ia tidak diketahui identitasnya atau majhul, dan menyalahi riwayat orang-orang tsiqah.
Lalu, ada Ismal bin Mujalad, seorang perawi yang dlaif (lemah) dan tidak termasuk orang yang kuat hafalannya.
Kemudian, ada Hisyam bin Hajir, Ahmad bin Yazid bin Ibrahim Abu al-Hasan al-Harani, dan Salamah bin Raja’ sebagai perawi dlaif. Begitu juga, dengan Ubay bin Abbas, dikenal sebagai perawi yang tidak kuat hafalannya dan munkir al-Hadits.
Selain kedua contoh hadits yang ditengarai palsu tadi, apalagi contoh hadits yang diduga palsu dalam kitab al-Jami’ al-Shahih tersebut?
Selain ada hadits yang bertentangan dengan Alquran maupun hadits Nabi sendiri dan tidak sesuai dengan fakta sejarah, juga diragukan hadits yang banyak mengungkapkan tentang masa depan. Misalnya, tentang ungkapan, ‘Alaikum Bi sunnati wa sunnati khulafa`ur rasyidin (Ikutlah kalian akan sunahku dan sunah khulafa`ur rasyidin). Bagaimana mungkin Rasulullah SAW mengucapkan hadis ini, padahal saat itu belum ada khulafa`ur rasyidin. Khalifah yang empat itu baru ada setelah Rasulullah SAW wafat.
Fathurrahman, seorang peneliti hadits mengungkapkan, dirinya tidak mau sama sekali menerima hadits-hadits Nabi Saw yang menyatakan tentang peristiwa masa depan. Istilahnya seperti ramalan.
Saya pribadi, masalah ini masih bisa diterima. Sebab, memang ada yang sesuai dan ada pula yang tidak.

Dalam penelitian Anda, ada berapa banyak hadits yang tidak sahih dalam jumlahnya?

Secara spesifik, saya tidak menyebutkan berapa jumlah hadits palsu atau lemah di dalam kitab tersebut. Namun, al-Daruquthni menyatakan, terdapat sekitar 110 hadis palsu di dalam kitab tersebut dari sejumlah 6.000-an hadits. Muhammad al-Ghazali menyebutkan lebih banyak lagi.
Beberapa di antara hadits yang kami nilai lemah dan palsu, yakni tentang hadits masalah poligami, tentang kehidupan dalam rumah tangga, tentang pernikahan. Misalnya, di dalam hadits riwayat Bukhari disebutkan, Rasulullah SAW menikahi Maimunah pada saat berihram.
Ini bertentangan dengan hadits Nabi sendiri yang melarang melakukan pernikahan selama masa haji atau berihram. Kemudian, pernyataan Rasulullah menikahi Maimunah pada waktu ihram itu juga bertentangan dengan hadis yang ditulis al-Bukhari di dalamnya kitabnya itu, yang menyatakan Rasulullah menikahi Maimunah ketika usai bertahalul.
Dari hasil penelitian Anda, bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak semua hadits dalam Shahih Bukhari benar-benar sahih?
Ya. Tidak semuanya bisa dikatakan sahih. Sebab, Bukhari sendiri ada yang disebutkannya hadits mursal, hasan, dan lain sebagainya.
Ketidaklayakan disebut sebagai hadis sahih itu meliputi adanya pertentangan atau ketidaksesuaian dengan nas Alquran dan Sunnah Mutawatirah. Materi hadis bertentangan dengan keadaan dan Sirah Nabawiyah (sejarah hidup Nabi), bertentangan dengan fakta sejarah, adanya materi hadits yang mengandung prediksi atau ramalan dan bersifat politis, serta mengandung fanatisme kesukuan.

Lalu, bagaimana sikap umat untuk menggunakan hadits-hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari itu?
Saran saya, umat Islam hendaknya berhati-hati setiap akan menggunakan atau mengamalkan sebuah hadits Nabi. Sebab, sahih menurut perawi hadits A, belum tentu sahih menurut perawi hadits B. Demikian pula yang lainnya. Telitilah kembali sebelum menggunakan dan mengamalkannya.
Bagi para mubaligh, kami menyarankan, hendaknya tidak asal mengutip hadits. Jangan selalu mengatakan bahwa itu hadits Nabi. Padahal, sesungguhnya bukan. Rasul menyatakan, barang siapa yang berbohong atas namaku maka tempatnya di neraka. Man Kadzdzaba alayya muta’ammidan fal yatabawwa’ maq’adahu minan nar.
Telitilah kembali hadits-hadits yang ada sebelum diamalkan. Sudah benarkah itu hadits Nabi SAW. Jangan asal termuat dalam Shahih Bukhari, lalu diklaim sahih. Tanyakan pada yang lebih paham tentang hadits.
Top of Form
KOMENTAR
JUMLAH PENGUNJUNG
  • 95,775 Orang
Arsip
Artikel Terbaru
Blogroll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar