Sekilas
Perkembangan Tarekat Dan Tasawuf Di Indonsia (Supaya Kita Paham Bahwa Ulama
Ahlussunnah Adalah Kaum Sufi Sejati)
25 JANUARI 2013
OLEH : USTADZ.
DRS.HM.SAKTI RANGKUTI MA.
GURU AGAMA ISLAM SMAN 1 GALANG –DELI
SERDANG.
al-Imam al-Hafizh
Abdullah ibn Muhammad ibn Yusuf al-Syaibi al-Harari
Segala puji Allah Tuhan sekalian alam. Dia tidak menyerupai
apapun dari makhluk-Nya. Dia tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Dan
siapapun dari makhluk-Nya selalu membutuhkan kepada-Nya. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, Nabi pembawa wahyu dan kebenaran.
Dalam peta Indonesia, paling tidak ada tiga hal yang membuat
penyebaran agama Islam cukup unik untuk dikaji.
Pertama; Secara geografis wilayah nusantara sangat jauh dari
negara-negara Arab sebagai pusat munculnya dakwah Islam. Jaringan informasi
dari satu wilayah ke wilayah lain saat itu sangat membutuhkan waktu dan tenaga.
Namun demikian perkembangan Islam di Nusantara pada awal kedatangannya sangat
pesat, mungkin melebihi penyebaran ke wilayah barat dari bumi ini. Metodologi dakwah, kondisi wilayah dan masyarakat Indonesia,
materi-materi dakwah dan berbagai aspek lainnya dalam dakwah itu sendiri adalah
di antara hal yang perlu kita pelajari.
Kedua; “Tangan-tangan ahli” dalam membawa misi dakwah Islam saat
itu sangat terampil dan pleksibel. Padahal sejarah mencatat bahwa wilayah
Nusantara ketika itu diduduki berbagai kerajaan yang dianggap cukup kuat
memegang ortodoksi ajaran leluhur mereka. Dominasi ajaran Hindu dan Budha saat
itu, hingga keyakinan-keyakinan animisme cukup mengakar di berbagai tingkatan
masyarakat. Bagaimanakah olahan tangan-tangan terampil tersebut hingga
membuahkan hasil yang sangat menakjubkan?!
Ketiga; Persentuhan budaya yang sama sekali berbeda antara
budaya orang-orang wilayah Nusantara (Melayu) dengan umumnya orang-orang timur
tengah menghasilkan semacam budaya baru. Budaya baru ini tidak sangat cenderung
ke timur tengah juga tidak sangat cenderung kepada ortodoksi wilayah setempat.
Namun kelebihan yang ada pada budaya baru ini ialah bahwa nilai-nilai –terutama
akidah– ajaran Islam telah benar-benar berhasil ditanamkan oleh para
pendakwahnya.
• • •
Di wilayah Aceh, pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah
datang salah seorang keturunan Rasulullah, yang sekarang nama beliau diabadikan
dengan sebuah Institut Agam Islam Negeri (IAIN), Syaikh Nuruddin ar-Raniri.
Beliau bernama Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasan ibn Muhammad al-Raniri al-Qurasyi
al-Syafi’i. Sebelum ke nusantara beliau pernah belajar di Tarim Hadramaut Yaman
kepada para ulama terkemuka di sana. Salah satunya kepada al-Imam Abu Hafsh
‘Umar ibn ‘Abdullah Ba Syaiban al-Hadlrami. Ditangan ulama besar ini, al-Raniri
masuk ke wilayah tasawuf melalui tarekat al-Rifa’iyyah, hingga menjadi khalifah
dalam tarekat ini.
Tarekat al-Rifa’iyyah dikenal sebagai tarekat yang kuat memegang
teguh akidah Ahlussunnah. Para pemeluknya di dalam fikih dikenal sebagai
orang-orang yang konsisten memegang teguh madzhab asy-Syafi’i. Sementara dalam
akidah sangat kuat memegang teguh akidah Asy’ariyyah. Terhadap akidah hulûl dan
wahdah al-wujûd tarekat ini sama sekali tidak memberi ruang sedikitpun. Hampir
seluruh orang yang berada dalam tarekat al-Rifa’iyyah memerangi dua akidah ini.
Konsistensi ini mereka warisi dari perintis tarekat al-Rifa’iyyah sendiri;
yaitu al-Hasîb al-Nasîb as-Sayyid al-Imam Ahmad al-Rifa’i.
Ketika kesultanan Aceh dipegang oleh Iskandar Tsani, al-Raniri diangkat menjadi “Syaikh al-Islâm” bagi kesultanan tersebut. Ajaran Ahlussunnah yang sebelumnya sudah memiliki tempat di hati orang-orang Aceh menjadi bertambah kuat dan sangat dominan dalam perkembangan Islam di wilayah tersebut, juga wilayah Sumatera pada umumnya. Faham-faham akidah Syi’ah, terutama akidah hulûl dan ittihâd, yang sebelumnya sempat menyebar di wilayah tersebut menjadi semakin diasingkan. Beberapa karya yang mengandung faham dua akidah tersebut, juga para pemeluknya saat itu sudah tidak memiliki tempat. Bahkan beberapa kitab aliran hulûl dan ittihâd sempat dibakar di depan Masjid Baiturrahman.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa di bagian ujung sebelah barat Indonesia faham akidah Ahlussunnah dengan salah satu tarekat mu’tabarah sudah memiliki dominasi yang cukup besar dalam kaitannya dengan penyebaran Islam di wilayah Nusantara.
Ketika kesultanan Aceh dipegang oleh Iskandar Tsani, al-Raniri diangkat menjadi “Syaikh al-Islâm” bagi kesultanan tersebut. Ajaran Ahlussunnah yang sebelumnya sudah memiliki tempat di hati orang-orang Aceh menjadi bertambah kuat dan sangat dominan dalam perkembangan Islam di wilayah tersebut, juga wilayah Sumatera pada umumnya. Faham-faham akidah Syi’ah, terutama akidah hulûl dan ittihâd, yang sebelumnya sempat menyebar di wilayah tersebut menjadi semakin diasingkan. Beberapa karya yang mengandung faham dua akidah tersebut, juga para pemeluknya saat itu sudah tidak memiliki tempat. Bahkan beberapa kitab aliran hulûl dan ittihâd sempat dibakar di depan Masjid Baiturrahman.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa di bagian ujung sebelah barat Indonesia faham akidah Ahlussunnah dengan salah satu tarekat mu’tabarah sudah memiliki dominasi yang cukup besar dalam kaitannya dengan penyebaran Islam di wilayah Nusantara.
• • •
Di Palembang Sumatera juga pernah muncul seorang tokoh besar.
Tokoh ini cukup melegenda dan cukup dikenal di hampir seluruh daratan Melayu.
Dari tangannya lahir sebuah karya besar dalam bidang tasawuf berjudul Siyar al-Sâlikîn
Ilâ ‘Ibâdah Rabb al-‘Âlamîn. Kitab dalam bahasa Melayu ini memberikan
kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan tasawuf di wilayah Nusantara.
Dalam pembukaan kitab yang tersusun dari empat jilid tersebut penulisnya
mengatakan bahwa tujuan ditulisnya kitab dengan bahasa Melayu ini agar
orang-orang yang tidak dapat memahami bahasa Arab di wilayah Nusantara dan
sekitarnya dapat mengerti tasawuf, serta dapat mempraktekan ajaran-ajarannya
secara keseluruhan. Tokoh kita ini adalah Syaikh ‘Abd ash-Shamad al-Jawi
al-Palimbani yang hidup di sekitar akhir abad dua belas hijriah. Beliau adalah
murid dari Syaikh Muhammad Samman al-Madani; yang dikenal sebagai penjaga pintu
makam Rasulullah.
Kitab Siyar al-Sâlikin sebenarnya merupakan “terjemahan” dari
kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, dengan beberapa penyesuaian penjelasan. Hal ini
menunjukan bahwa tasawuf yang diemban oleh Syaikh ‘Abd ash-Shamad adalah
tasawuf yang telah dirumuskan oleh Imam al-Ghazali. Dan ini berarti bahwa
orientasi tasawuf Syaikh ‘Abd al-Shamad yang diajarkannya tersebut benar-benar
berlandaskan akidah Ahlussunnah. Karena, seperti yang sudah kita kenal, Imam
al-Ghazali adalah sosok yang sangat erat memegang teguh ajaran Asy’ariyyah
Syafi’iyyah.
Tentang sosok al-Ghazali, sudah lebih dari cukup untuk mengenal
kapasitasnya dengan hanya melihat karya-karya agungnya yang tersebar di hampir
seluruh lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun non formal di berbagai
pelosok Indonesia. Terutama bagi kalangan Nahdliyyin, al-Ghazali dengan
karyanya Ihyâ’ Ulûm al-Dîn adalah rujukan standar dalam menyelami tasawuf dan
tarekat. Secara “yuridis” hampir seluruh ajaran tasawuf terepresentasikan dalam
karya al-Ghazali ini. Bagi kalangan pondok pesantren, terutama pondok-pondok
yang mengajarkan kitab-kitab klasik (Salafiyyah), bila seorang santri sudah
masuk dalam mengkaji Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn berarti ia sudah berada di “kelas
tinggi”. Karena sebenarnya di lingkungan pesantren kitab-kitab yang dikaji
memiliki hirarki tersendiri. Dan untuk menaiki hirarki-hirarki tersebut
membutuhkan proses waktu yang cukup panjang, terlebih bila ditambah dengan
usaha mengaplikasikannya dalam tindakan-tindakan. Materi kitab yang dikaji dan
sejauh mana aplikasi hasil kajian tersebut dalam prilaku keseharian biasanya
menjadi tolak ukur untuk melihat “kelas-kelas” para santri tersebut.
• • •
Wali songo yang tidak pernah kita lupakan; Sunan Ampel, Sunan
Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Gresik, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan
Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati adalah sebagai tokoh-tokoh terkemuka dalam
sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Tokoh-tokoh melegenda ini hidup
di sekitar pertengahan abad sembilan hijriah. Artinya Islam sudah bercokol di
wilyah Nusantara ini sejak sekitar 600 tahun lalu, bahkan mungkin sebelum itu.
Sejarah mencatat bahwa para pendakwah yang datang ke Indonesia berasal dari
Gujarat India yang kebanyakan nenek moyang mereka adalah berasal dari
Hadlramaut Yaman. Negara Yaman saat itu, bahkan hingga sekarang, adalah
“gudang” al-Asyrâf atau al-Habâ’ib; ialah orang-orang yang memiliki garis
keturunan dari Rasulullah. Karena itu pula para wali songo yang tersebar di
wilayah Nusantara memiliki garis keturunan yang bersambung hingga Rasulullah.
Yaman adalah pusat kegiatan ilmiah yang telah melahirkan ratusan
bahkan ribuan ulama sebagai pewaris peninggalan Rasulullah. Kegiatan ilmiah di
Yaman memusat di Hadlramaut. Berbeda dengan Iran, Libanon, Siria, Yordania, dan
beberapa wilayah di daratan Syam, negara Yaman dianggap memiliki tradisi kuat
dalam memegang teguh ajaran Ahlussunnah. Mayoritas orang-orang Islam di negara
ini dalam fikih bermadzhab Syafi’i dan dalam akidah bermadzhab Asy’ari. Bahkan
hal ini diungkapkan dengan jelas oleh para para tokoh terkemuka Hadlramaut
sendiri dalam karya-karya mereka. Salah satunya as-Sayyid al-Imam ‘Abdullah ibn
‘Alawi al-Haddad, penulis ratib al-Haddad, dalam Risâlah al-Mu’âwanah
mengatakan bahwa seluruh keturunan as-Sâdah al-Husainiyyîn atau yang dikenal
dengan Al Abi ‘Alawi adalah orang-orang Asy’ariyyah dalam akidah dan Syafi’iyyah
dalam fikih. Dan ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah inilah yang disebarluaskan oleh
moyang keturunan Al Abi ‘Alawi tersebut, yaitu al-Imâm al-Muhâjir as-Sayyid
Ahmad ibn ‘Isa ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Imâm Ja’far ash-Shadiq. Dan ajaran
Asy’ariyyah Syafi’iyyah ini pula yang di kemudian hari di warisi dan ditanamkan
oleh wali songo di tanah Nusantara.
• • •
Suatu hari wali songo berkumpul membahas hukuman yang pantas
untuk dijatuhkan kepada Syaikh Siti Jenar. Orang terakhir disebut ini adalah
orang yang dianggap merusak tatanan akidah dan syari’ah. Ia membawa dan
menyebarkan akidah hulûl dan ittihâd dengan konsepnya yang dikenal dengan
“Manunggaling kawula gusti”. Konsep ajaran al-Hallaj tentang ittihâd dan hulûl
hendak dihidupkan oleh Syaikh Siti Jenar di kepulauan Jawa. Al-Hallaj dahulu di
Baghdad dihukum pancung dengan kesepakatan dan persetujuan para ulama, termasuk
dengan rekomendasi al-Muqtadir Billah; sebagai khalifah ketika itu. Kita tidak
perlu mendiskusikan adakah unsur politis yang melatarbelakangi hukuman pancung
terhadap al-Hallaj ini atau tidak?! Secara sederhana saja, sejarah telah
mencatatkan bahwa yang membawa al-Hallaj ke hadapan pedang kematian adalah
karena akidah hulûl dan ittihâd yang dituduhkan kepadanya.
Setelah perundingan yang cukup panjang, wali songo memutuskan
bahwa tidak ada hukuman yang setimpal bagi kesesatan Syaikh Siti Jenar kecuali
hukum bunuh, persis seperti yang telah dilakukan oleh para ulama di Baghdad
terhadap al-Hallaj. Di sini kita juga tidak perlu repot memperdebatkan apakah
latar belakang politis yang membawa Syaikh Siti Jenar kepada kematian?!
Terlebih dengan mencari kambing hitam dari para penguasa saat itu atau dari
para wali songo sendiri yang “katanya” merasa dikalahkan pengaruhnya oleh
Syaikh Siti Jenar. Pernyataan semacam ini jelas terlalu dibuat-buat, karena
sama dengan berarti menyampingkan nilai-nilai yang telah diajarkan dan
diperjuangkan wali songo itu sendiri. Juga dapat pula berarti menilai bahwa
keikhlasan-keikhlasan para wali songo tersebut sebagai sesuatu yang tidak
memiliki arti, atau istilah lain melihat mereka dengan pandangan su’uzhan
(berburuk sangka). Tentunya, jangan sampai kita terjebak di sini.
• • •
Pasca wali songo, pada permulaan abad ke tiga belas hijriah, di
salah satu kepulauan di wilayah Nusantara lahir sosok ulama besar. Di kemudian
hari tokoh kita ini sangat dihormati tidak hanya oleh orang-orang Indonesia dan
sekitarnya, tapi juga oleh orang-orang timur tengah, bahkan oleh dunia Islam
secara keseluruhan. Beliau menjadi guru besar di Masjid al-Haram dengan gelar
“Sayyid ‘Ulamâ’ al-Hijâz”, juga dengan gelar “Imâm ‘Ulamâ’ al-Haramain”.
Berbagai hasil karya yang lahir dari tangannya sangat populer, terutama di
kalangan pondok pesantren di Indonesia. Beberapa judul kitab, seperti Kâsyifah al-Sajâ,
Qâmi’ al-Thughyân, Nûr al-Zhalâm, Bahjah al-Wasâ’il, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq,
Nashâ’ih al-‘Ibâd, dan Kitab Tafsir al-Qur’an Marâh Labîd adalah sebagian kecil
dari hasil karyanya. Kitab-kitab ini dapat kita pastikan sangat akrab di
lingkungan pondok pesantren. Santri yang tidak mengenal kitab-kitab tersebut
patut dipertanyakan “kesantriannya”.
Tokoh kita ini tidak lain adalah Syaikh Nawawi al-Bantani.
Kampung Tanara, daerah pesisir pantai yang cukup gersang di sebelah barat pulau
Jawa adalah tanah kelahirannya. Beliau adalah keturunan ke-12 dari garis
keturunan yang bersambung kepada Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Cirebon. Dengan demikian dari silsilah ayahnya, garis keturunan Syaikh Nawawi
bersambung hingga Rasulullah.
Perjalanan ilmiah yang beliau lakukan telah menempanya menjadi seorang ulama besar. Di Mekah beliau berkumpul di “kampung Jawa” bersama para ulama besar yang juga berasal dari Nusantara, dan belajar kepada yang lebih senior di antara mereka. Di antaranya kepada Syaikh Khathib Sambas (dari Kalimantan) dan Syaikh ‘Abd al-Ghani (dari Bima NTB). Kepada para ulama Mekah terkemuka saat itu, Syaikh Nawawi belajar di antaranya kepada as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (mufti madzhab Syafi’i), as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Syaikh ‘Abd al-Hamid ad-Dagestani, dan lainnya.
Dari didikan tangan Syaikh Nawawi di kemudian hari bermunculan syaikh-syaikh lain yang sangat populer di Indonesia. Mereka tidak hanya sebagai tokoh ulama yang “pekerjaannya” bergelut dengan pengajian saja, tapi juga merupakan tokoh-tokoh terdepan bagi perjuangan kemerdekaan RI. Di antara mereka adalah; KH. Kholil Bangkalan (Madura), KH. Hasyim Asy’ari (pencetus gerakan sosial NU), KH. Asnawi (Caringin Banten), KH. Tubagus Ahmad Bakri (Purwakarta Jawa Barat), KH. Najihun (Tangerang), KH. Asnawi (Kudus) dan tokoh-tokoh lainnya.
Perjalanan ilmiah yang beliau lakukan telah menempanya menjadi seorang ulama besar. Di Mekah beliau berkumpul di “kampung Jawa” bersama para ulama besar yang juga berasal dari Nusantara, dan belajar kepada yang lebih senior di antara mereka. Di antaranya kepada Syaikh Khathib Sambas (dari Kalimantan) dan Syaikh ‘Abd al-Ghani (dari Bima NTB). Kepada para ulama Mekah terkemuka saat itu, Syaikh Nawawi belajar di antaranya kepada as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (mufti madzhab Syafi’i), as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Syaikh ‘Abd al-Hamid ad-Dagestani, dan lainnya.
Dari didikan tangan Syaikh Nawawi di kemudian hari bermunculan syaikh-syaikh lain yang sangat populer di Indonesia. Mereka tidak hanya sebagai tokoh ulama yang “pekerjaannya” bergelut dengan pengajian saja, tapi juga merupakan tokoh-tokoh terdepan bagi perjuangan kemerdekaan RI. Di antara mereka adalah; KH. Kholil Bangkalan (Madura), KH. Hasyim Asy’ari (pencetus gerakan sosial NU), KH. Asnawi (Caringin Banten), KH. Tubagus Ahmad Bakri (Purwakarta Jawa Barat), KH. Najihun (Tangerang), KH. Asnawi (Kudus) dan tokoh-tokoh lainnya.
Pada periode ini, ajaran Ahlussunnah; Asy’ariyyah Syafi’iyyah di
Indonesia menjadi sangat kuat. Demikian pula dengan penyebaran tasawuf yang
secara praktis berafiliasi kepada Imam al-Ghazali dan Imam al-Junaid
al-Baghdadi, saat itu sangat populer dan mengakar di masyarakat Indonesia.
Penyebaran tasawuf pada periode ini diwarnai dengan banyaknya tarekat-tarekat
yang “diburu” oleh berbagai lapisan masyarakat. Dominasi murid-murid Syaikh
Nawawi yang tersebar dari sebelah barat hingga sebelah timur pulau Jawa
memberikan pengaruh besar dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Ajaran-ajaran di luar Ahlussunnah, seperti faham “non madzhab” (al-Lâ
Madzhabiyyah) dan akidah hulûl atau ittihâd serta keyakinan sekte-sekte
sempalan Islam lainnya, memiliki ruang gerak yang sangat sempit sekali.
• • •
Di wilayah timur Nusantara ada kisah melegenda tentang seorang
ulama besar, tepatnya dari wilayah Makasar Sulawesi. Sosok ulama besar tersebut
tidak lain adalah Syaikh Yusuf al-Makasari. Agama Islam masuk ke wilayah ini
pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah. Dua kerajaan kembar; kerajaan Goa
dan kerajaan Talo yang dipimpin oleh dua orang kakak adik memiliki andil besar
dalam penyebaran dakwah Islam di wilayah tersebut. Saat itu banyak
kerajaan-kerajaan kecil yang menerima dengan lapang dada akan kebenaran
ajaran-ajaran Islam. Tentu perkembangan dakwah ini juga didukung oleh kondisi
geografis wilayah Sulawesi yang sangat strategis. Di samping sebagai tempat
persinggahan para pedagang yang mengarungi lautan, daerah Sulawesi sendiri saat
itu sebagai penghasil berbagai komuditas, terutama rempah-rempah dan hasil bumi
lainnya.
Di kemudian hari kelahiran Syaikh Yusuf menambah semarak
keilmuan, terutama ajaran tasawuf praktis yang cukup menjadi primadona
masyarakat Sulawesi saat itu. Syaikh Yusuf sendiri di samping seorang sufi
terkemuka, juga seorang alim besar multi disipliner yang menguasai berbagai
macam disiplin ilmu agama. Latar belakang pendidikan Syaikh Yusuf menjadikannya
sebagai sosok yang sangat kompeten dalam berbagai bidang. Tercatat bahwa beliau
tidak hanya belajar di daerahnya sendiri, tapi juga banyak melakukan perjalanan
(rihlah ‘ilmiyyah) ke berbagai kepulauan Nusantara, dan bahkan sempat beberapa tahun
tinggal di negara timur tengah hanya untuk memperdalam ilmu agama.
Perjalanan ilmiah Syaikh Yusuf di kepulauan Nusantara di antaranya ke Banten dan bertemu dengan Sultan ‘Abd al-Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa), yang merupakan putra mahkota kerajaan Banten saat itu. Dengan orang terakhir ini Syaikh Yusuf cukup akrab, bahkan dengannya bersama-sama memperdalam ilmu agama. Selain ke Banten, Syaikh Yusuf juga berkunjung ke Aceh dan bertemu dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Darinya, Syaikh Yusuf mendapatkan ijazah beberapa tarekat, di antaranya tarekat al-Qadiriyyah. Walaupun sebagian ahli sejarah mempertanyakan kebenaran adanya pertemuan antara Syaikh Yusuf dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri, namun hal penting yang dapat kita tarik sebagai benang merah ialah bahwa jaringan tarekat saat itu sudah benar-benar merambah ke berbagai kepulauan Nusantara. Dan bila benar bahwa Syaikh Yusuf pernah bertemu dengan Syaikh Nuruddin al-Raniri serta mengambil tarekat darinya, maka dapat dipastikan bahwa ajaran-ajaran yang disebarkan Syaikh Yusuf di bagian timur Nusantara adalah ajaran Ahlussunnah; dalam akidah madzhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan dalam fikih madzhab Imam Muhammad ibn Idris as-Syafi’i.
Kepastian bahwa Syaikh Yusuf seorang Sunni tulen juga dapat dilihat dari perjalanan ilmiah beliau yang dilakukan ke Negara Yaman. Di negara ini Syaikh Yusuf belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka saat itu. Di negara ini pula Syaikh Yusuf mendapatkan berbagai ijazah tarekat mu’tabarah. Di antaranya tarekat al-Naqsyabandiyyah, tarekat al-Syatariyyah, tarekat al-Sadah al-Ba’alawiyyah, tarekat al-Khalwatiyyah dan lainnya.
Perjalanan ilmiah Syaikh Yusuf di kepulauan Nusantara di antaranya ke Banten dan bertemu dengan Sultan ‘Abd al-Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa), yang merupakan putra mahkota kerajaan Banten saat itu. Dengan orang terakhir ini Syaikh Yusuf cukup akrab, bahkan dengannya bersama-sama memperdalam ilmu agama. Selain ke Banten, Syaikh Yusuf juga berkunjung ke Aceh dan bertemu dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Darinya, Syaikh Yusuf mendapatkan ijazah beberapa tarekat, di antaranya tarekat al-Qadiriyyah. Walaupun sebagian ahli sejarah mempertanyakan kebenaran adanya pertemuan antara Syaikh Yusuf dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri, namun hal penting yang dapat kita tarik sebagai benang merah ialah bahwa jaringan tarekat saat itu sudah benar-benar merambah ke berbagai kepulauan Nusantara. Dan bila benar bahwa Syaikh Yusuf pernah bertemu dengan Syaikh Nuruddin al-Raniri serta mengambil tarekat darinya, maka dapat dipastikan bahwa ajaran-ajaran yang disebarkan Syaikh Yusuf di bagian timur Nusantara adalah ajaran Ahlussunnah; dalam akidah madzhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan dalam fikih madzhab Imam Muhammad ibn Idris as-Syafi’i.
Kepastian bahwa Syaikh Yusuf seorang Sunni tulen juga dapat dilihat dari perjalanan ilmiah beliau yang dilakukan ke Negara Yaman. Di negara ini Syaikh Yusuf belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka saat itu. Di negara ini pula Syaikh Yusuf mendapatkan berbagai ijazah tarekat mu’tabarah. Di antaranya tarekat al-Naqsyabandiyyah, tarekat al-Syatariyyah, tarekat al-Sadah al-Ba’alawiyyah, tarekat al-Khalwatiyyah dan lainnya.
Latar belakang keilmuan Syaikh Yusuf ini menjadikan penyebaran
tasawuf di di wilayah Sulawesi benar-benar dilandaskan kepada akidah
Ahlussunnah. Ini dikuatkan pula dengan karya-karya yang ditulis Syaikh Yusuf
sendiri, bahwa orientasi karya-karya tersebut tidak lain adalah Syafi’iyyah
Asy’ariyyah. Kondisi ini sama sekali tidak memberikan ruang kepada akidah hulûl
atau ittihâd untuk masuk ke wilayah “kekuasaan” Syaikh Yusuf al-Makasari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar