Hukum
Membagikan Harta Waris Sebelum Meninggal Dunia
USTADZ: DRS.HM.SAKTI.RANGKUTI,MA
Pertanyaan :
Ust,
sekarang banyak orang tua yang membagi-bagi harta kekayaannya kapada
anak-anaknya sebelum dia meninggal, mereka beralasan supaya nanti sepeninggalnya
tidak terjadi perselisihan dalam pembagian harta waris yang menimbulkan
percekcokan dan putusnya silaturrahmi diantara mereka. Pertanyaan ana ustad,
bagimana syari’at Islam memandang hal ini?
Jawab :
Sebelum
menerangkan masalah di atas, terlebih dahulu harus dibedakan antara tiga jenis
harta :
1. Harta Pemberian
(Hibah) adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara suma-cuma pada masa
hidupnya.( Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, :
6/246)
2. Harta Warisan menurut pengertian
ulama faroidh adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit. (Sholeh Fauzan, at
Tahqiqat al Mardhiyah fi al Mabahits al Fardhiyah, Riyadh, Maktabah al Ma’arif,
hlm 24) Jadi harta yang pemiliknya masih hidup bukanlah harta warisan, sehingga
hukumnya berbeda dengan hukum harta warisan.
3. Harta Wasiat adalah
harta yang diwasiatkan seseorang sebelum meninggal dunia dan seseorang tersebut
baru berhak menerimanya setelah yang memberi wasiat meninggal dunia. (Abu Bakar
Al Husaini, Kifayah al Akhyar, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, hlm 454)
Ketiga istilah di atas, masing-masing mempunyai hukum
tersendiri, dan dengan dasar perbedaan tersebut, kita bisa mengklasifikasikan
masalah yang sedang dihadapi masyarakat sebagai berikut:
Masalah Pertama :
Jika
seorang bapak membagikan hartanya sebelum meninggal dunia, maka harus dirinci
terlebih dahulu :
Pertama : Jika pembagian harta tersebut dilakukan dalam keadaan sehat
wal afiyat, artinya tidak dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematian, maka
pembagian atau pemberian tersebut disebut Hibah ( harta pemberian ), bukan
pembagian harta warisan. Adapun hukumnya adalah boleh. ( Ibnu Rusydi, Bidayat
al Mujtahid wa Nihayah al Maqasid, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2/ 327 ).
Kedua : Adapun jika pembagiannya dilakukan dalam keadaan sakit berat
yang kemungkinan akan berakibat kematian, maka para ulama berbeda pendapat di
dalam menyikapinya :
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah termasuk katagori hibah, tetapi
sebagai wasiat, sehingga harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut :
1. Dia tidak boleh
berwasiat kepada ahli waris, seperti : anak, istri , saudara, karena mereka
sudah mendapatkan jatah dari harta warisan, sebagai yang tersebut dalam hadist
: “ tidak ada wasiat untuk ahli waris “ ( HR Ahmad dan Ashabu as-Sunan ).
Tetapi dibolehkan berwasiat kepada kerabat yang membutuhkan, maka dalam hal ini
dia mendapatkan dua manfaat, pertama : sebagai bantuan bagi yang membutuhkan,
kedua : sebagai sarana silaturahim.
2. Dia boleh berwasiat
kepada orang lain yang bukan kerabat dan keluarga selama itu membawa maslahat.
3. Wasiat tidak boleh
lebih dari sepertiga dari seluruh harta yang dimilikinya.
4. Wasiat ini berlaku
ketika pemberi wasiat sudah meninggal dunia.
Ada
sebagian ulama yang menyatakan kebolehan seseorang untuk membagikan hartanya
kepada anak-anaknya atau ahli warisnya dalam keadaan sakit, dan tetap disebut
hibah, bukan wasiat. Maka jika dia mengambil pendapat ini, maka dia harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan di bawah ini :
1. Pemberian ini sifatnya
mengikat, artinya harta yang dibagikan tersebut langsung menjadi hak
anak-anaknya atau ahli warisnya, tanpa menunggu kematian orang tuanya.
2. Sebaiknya dia
membagikan sebagian saja hartanya, tidak semuanya. Adapun hartanya yang tersisa
dibiarkan saja hingga dia meninggal dunia dan berlaku baginya hukum harta
warisan.
3. Semua ahli waris harus
mengetahui jatah masing-masing dari harta warisan menurut ketentuan syari’ah,
setelah itu dibolehkan bagi mereka untuk membagi harta pemberian orang tua
tersebut menurut kesepakatan bersama( tanpa ada unsur paksaan atau pekewuh)
Masalah Kedua :
Jika
seorang bapak membagikan hartanya kepada anak-anaknya dalam keadan sehat wal
afiat, sebagaimana telah diterangkan di atas, maka dibolehkan baginya untuk
membagi seluruh hartanya.
Apakah
pembagian tersebut harus sama besarnya antara satu anak dengan lainnya, atau
antara laki-laki dan perempuan, ataukah harus dibedakan antara satu dengan yang
lainnya ?
Para
ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa
semua anak harus disamakan, tidak boleh dibedakan antara satu dengan yang
lainnya. ( Ibnu Juzai, al Qawanin al Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits, 2005 ,hlm
: 295 ) Sedangkan ulama hanabilah ( para pengikut imam Ahmad ) menyatakan bahwa
pembagian harus disesuaikan dengan pembagian warisan yang telah ditentukan
dalam al Qur’an dan hadist.
Tetapi
pendapat yang lebih tepat adalah dirinci terlebih dahulu, yaitu sebagai berikut
:
Pertama : Jika tidak ada unsur yang membedakan antara mereka, seperti
semua anak masih kecil-kecil semua, sebaiknya disamakan, agar terjadi keadilan.
Dalilnya
adalah beberapa hadits di bawah ini :
1. Hadist Nu’man Bin
Basyir yang datang kepada nabi Muhammad shollahu ‘alaihi wa sallam, seraya
berkata : “ Ya Rasulullah, aku memberikan sesuatu ini kepada anakku. Kemudian
Rasulullah bertanya : “ Apakah semua anakmu kamu beri seperti itu “ ? “ Tidak
Ya Rasulullah “ : Jawab Nu’man. “ Kalau begitu cabut kembali pemberian tersebut
“ ! Kata Rasulullah. ( HR Bukhari dan Muslim )
2. “ Bertaqwalah
kepada Allah dan berbuatlah adil diantara anak-anak kalian “ ( HR Bukhari dan
Muslim )
3. “ Perlakukanlah
sama antara anak-anakmu, jika dibolehkan untuk membedakan tentunya aka akan
lebih memperhatikan perempuan. “ ( HR Said bin Mansur, dihasankan Ibnu Hajar )
( DR. Wahbah Az-Zuhaili, al Fiqh al-Islami, Damaskus, Dar al Fikr, 1989, Cet ke
3, Juz :5, hlm : 34-35)
Kedua : Jika ada hal yang
menuntut untuk dibedakan karena ada unsur maslahatnya, maka dibolehkan untuk
membedakan antara anak satu dengan yang lainnya, seperti anak yang satu sudah
menikah dan mempunyai tanggungan istri dan anak, sedangkan dia termasuk orang
yang membutuhkan bantuan, maka anak ini boleh diberikan jatah lebih banyak.
Apalagi anak yang lain masih kecil-kecil dan belum mempunyai banyak keperluan.
Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Abu bakar as-Siddiq terhadap anaknya
Aisyah ra, ketika memberinya harta yang lebih ( 20 wisq ) dari anak-anaknya
yang lain.
Sebagian
ulama menyatakan jika seorang ayah memberikan salah satu anaknya uang yang
cukup banyak, seperti membantunya di dalam membayarkan mahar pernikahannya,
atau membayarkan uang perkulihannya, maka seharusnya dia juga memberikan kepada
anak-anaknya yang lain dalam jumlah yang sama. Tetapi, jika sebagian dari
anaknya menderita cacat seperti buta, atau lumpuh kakinya, sehingga tidak bisa
bekerja dengan maksimal, maka dibolehkan bagi orang tua untuk memberinya lebih
dari anak-anaknya yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar