HUKUM PERKREDITAN
Oleh: Drs.H.M.Sakti
Rangkuti, MA
Macam-Macam Praktek Perkreditan
Diantara salah satu bentuk perniagaan
yang marak dijalankan di masyarakat ialah dengan jual-beli dengan cara kredit. Dahulu,
praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangat sederhana, sebagai konsekwensi
langsung dari kesederhanaan metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman
sekarang, kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami kemajuan dan
banyak perubahan.
Tidak pelak lagi, untuk dapat mengetahui
hukum berbagai hal yang dilakukan oleh masyarakat sekarang, kita harus
mengadakan study lebih mendalam untuk mengetahui tingkat kesamaan antara yang
ada dengan yang pernah diterapkan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Bisa saja, nama tetap sama, akan tepai kandungannya jauh berbeda,
sehingga hukumnyapun berbeda.
Adalah kesalahan besar bagi seorang
mujtahid ketika hendak berijtihad, hanya berpedoman kepada kesamaan nama, tanpa
memperhatikan adanya pergeseran atau perkembangan makna dan kandungannya.
Diantara jenis transaksi yang telah
mengalami perkembangan makna dan penerapannya adalah transaksi perkreditan. Dahulu,
transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu metode langsung antara
pemilik barang dengan konsumen. Akan tetapi di zaman sekarang, perkreditan
telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu metode tidak langsung, dengan
melibatkan pihak ketiga.
Dengan demikian pembeli
sebagai pihak pertama tidak hanya bertransaksi dengan pemilik barang,
akan tetapi ia bertransaksi dengan dua pihak yang berbeda:
Pihak kedua: Pemilik barang.
Pihak ketiga: Perusahaan pembiayaan atau
perkreditan atau perbankan. Perkreditan semacan ini biasa kita temukan pada
perkreditan rumah (KPR), atau kendaraan bermotor.
Pada kesempatan ini, saya mengajak para
pembaca untuk bersama-sama mengkaji hukum kedua jenis perkreditan ini.
Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan secara
langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan
yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku,
walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga
pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-,
yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’.
Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman Allah
Ta’ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً
فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang
menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah
satu bentuk hutang,
maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat
‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.
اشترى
رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan
pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau
kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai
jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi
dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan
adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer
bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.
أن رسول
الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر
قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد
الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله
عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita
tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al
‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya
penarikan zakat.
Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang
akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat.
Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat
Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor
onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan
rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan
pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan
harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).
Dalil keempat: Keumuman hadits salam
(jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan
syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di
muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika
menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian
dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam hanya bersabda:
من أسلف
فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه
“Barang siapa yang membeli dengan cara
memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan
yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan
juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa
hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’
menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan
suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk
dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
من بَاعَ
بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره
“Barang siapa yang menjual jual penjualan
dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga
yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat
At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang
dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah
larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang
menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian
seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan
dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Hukum Perkreditan Segitiga
Agar lebih mudah memahami hukum
perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang
perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor
dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom
motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang
diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi
formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang
jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran
tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit,
harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.
Setelah akad jual-beli ini selesai
ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka
pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank
atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan
menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan
pada perkreditan rumah, atau lainnya.
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini
menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan
cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi
dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT
Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang
intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban
membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi
pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima
cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian,
pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari
bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.
Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih
disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan
ketentuan tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan
dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah
digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan
benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan
akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya
dari akad perkreditan segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji dengan
seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua
penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama.
Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah
menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam
waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli
motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang
tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka
ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang
disebutkan dalam hadits berikut:
عن جابر
قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال:
هم سواء. رواه مسلم
Dari sahabat Jabir radhiallahu
‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba
(nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau
juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (HR. Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli
motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut.
Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia
beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya
sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi
miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya
langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian
di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka
perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas
diharamkan dalam syari’at.
عن ابن
عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا
يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه
“Dari sahabat Ibnu
‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka
janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas
berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan
makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan
hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berikut:
عن ابن
عمر قال: ابتعت زيتا في السوق، فلما استوجبته لنفسي لقيني رجل فأعطاني به ربحا
حسنا، فأردت أن أضرب على يده، فأخذ رجل من خلفي بذراعي، فالتفت فإذا زيد بن ثابت
فقال: لا تبعه حيث ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن رسول الله e نهى أن تباع السلع حيث تبتاع حتى يحوزها التجار إلى
رحالهم. رواه أبو داود والحاكم
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan:
Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai
membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut,
kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak
menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada
seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan
ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual
minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu,
karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual
kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut
dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu
dawud dan Al Hakim) ([3])
Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah
dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap
barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya
barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia
telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua
tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
قلت لابن
عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ
Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok
demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual
dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu
‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga
100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual,
sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya
kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang
pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di
penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan)
uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi
penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja,
(akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat kita
simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang
biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk
perniagaan riba.
Solusi
Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti
tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan
pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan
pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji
pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal
agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang
dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli
barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang. Tentu dengan memberinya
keuntungan yang layak.
Dan bila solusi pertama ini tidak dapat
diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk
bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala
demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan
dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat,
dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk
senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan
kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang
kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah
Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:
وَإِذْ
تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ
عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu
mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)
Dan hendaknya kita senantiasa yakin bahwa
barang siapa bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah dan meninggalkan
larangan, niscaya Allah akan memudahkan jalan keluar yang penuh dengan
keberkahan.
ومن يتق
الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari
arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)
Dahulu dinyatakan oleh para ulama:
من ترك
شيئا لله عوضه الله خيرا منه
“Barang siapa meninggalkan suatu hal
karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih
baik.”
Wallau Ta’ala a’alam bisshowab.
Footnote:
[1] ) Sebagaimana beilau jelaskan dalam
kitabnya I’lamul Muwaqqiin dan Hasyi’ah ‘ala Syarah Sunan Abi
Dawud.
[2] ) Sebagian showroom tidak mensyaratkan
pembayaran uang muka.
[3] ) Walaupun pada sanadnya ada Muhammad
bin Ishaq, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar
langsung hadits ini
dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab At
Tahqiq. Baca Nasbur Rayah 4/43 , dan At Tahqiq 2/181.
[4] ) Riwayat Bukhary dan Muslim.
[5] ) Fathul Bari, oleh Ibnu Hajar
Al Asqalany 4/348-349.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar