Al
Qur’an menurut Pandangan Muhammad Abduh
Editor : drs.HM.SAKTI RANGKUTI,MA.
16 Januari 2013
Tidak
jelas, apakah Al-Qur’an di waktu pewahyuannya memang ditujukan kepada umat
manusia atau hanya kepada orang-orang yang sebangsa dengan Nabi Muhammad. Sekarang
ini, umat Islam sepakat dan meyakini bahwa pesan Al-Qur’an bersifat universal.
Mahasiswa
Ilmu perbandingan agama kadang menyarankan agar orang seharusnya tidak
membandingkan posisi Al-Qur’an dalam Islam dengan posisi Injil dalam Kristen.
Al-Qur’an, yang berasal langsung dari Allah, menurut seorang mahasiswa Perbandingan Agama sama dengan Jesus, Anak Tuhan. Sebagaimana para Teolog Kristen menyimpulkan mengenai sifat ketidakterciptaan Kristus, demikian juga kolega Muslim mereka berpendapat tentang sifat ketidakterciptaan Al-Qur’an. Satu-satunya yang menentang pendapat ini dalam Islam adalah kaum Mu’tazilah ; yang berpendapat Al-Qur’an itu merupakan makhluk yang bersifat tidak Qadim.
Al-Qur’an, yang berasal langsung dari Allah, menurut seorang mahasiswa Perbandingan Agama sama dengan Jesus, Anak Tuhan. Sebagaimana para Teolog Kristen menyimpulkan mengenai sifat ketidakterciptaan Kristus, demikian juga kolega Muslim mereka berpendapat tentang sifat ketidakterciptaan Al-Qur’an. Satu-satunya yang menentang pendapat ini dalam Islam adalah kaum Mu’tazilah ; yang berpendapat Al-Qur’an itu merupakan makhluk yang bersifat tidak Qadim.
Firman
Allah yang diturunkan kepada RasulNya Muhammad ini dalam bahasa Arab yang
dimengerti oleh penerimanya. Kemudian disusun dan dibukukan menjadi beberapa
kitab pada masa Khalifah Utsman, dinamakan Mushaf Al-Imam. Perkembangan agama
Islam di banyak bagian dunia, dengan suku bangsa dan ras yang berbeda dari asal
turunnya Al-Qur’an, mengharuskan para ahli agama menyusun buku-buku tafsir
(terjemahan) tentang kandungan isi Al-Qur’an agar umat Islam dapat memahami
pesan-pesan didalamnya.
Kendati demikian, Al-Qur’an terjemahan tidak se-otoritatif Al-Qur’an dalam bahasa aslinya. Terjemahan Al-Qur’an, kendati diperbolehkan, seperti ditambahkan oleh Syeikh Syaltut, tidak bisa digunakan sebagai suatu “dasar” atau “sumber” doktrin fiqih Islam. Untuk tujuan-tujuan ibadah didalam shalat lima waktu sehari-hari, Syaltut bagaimanapun tetap membolehkan penggunaan Al-Qur an terjemahan.
Kendati demikian, Al-Qur’an terjemahan tidak se-otoritatif Al-Qur’an dalam bahasa aslinya. Terjemahan Al-Qur’an, kendati diperbolehkan, seperti ditambahkan oleh Syeikh Syaltut, tidak bisa digunakan sebagai suatu “dasar” atau “sumber” doktrin fiqih Islam. Untuk tujuan-tujuan ibadah didalam shalat lima waktu sehari-hari, Syaltut bagaimanapun tetap membolehkan penggunaan Al-Qur an terjemahan.
-
Pendapat Muhammad Abduh tentang Al-Qur’an.
Menurutnya, pada hari akhir nanti Allah tidak menanyai kita mengenai pendapat-pendapat para Mufassir dan tentang bagaimana mereka memahami Al-Qur’an, tetapi Ia akan menanyakan kepada kita tentang kitabNya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur kita.
Menurutnya, pada hari akhir nanti Allah tidak menanyai kita mengenai pendapat-pendapat para Mufassir dan tentang bagaimana mereka memahami Al-Qur’an, tetapi Ia akan menanyakan kepada kita tentang kitabNya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur kita.
Disini
Abduh ingin menjelaskan Al-Qur’an kepada masyarakat luas dengan maknanya yang
praktis, bukan hanya untuk para ulama profesional. Abduh pun ingin meyakinkan
para ulama bahwa mereka seharusnya membiarkan Al-Qur’an berbicara atas namanya
sendiri, bukan malah diperumit dengan penjelasan-penjelasan dan
keterangan-keterangan yang subtil.
Ia mencontohkan sebuah ayat Al-Qur’an : “Dia (Muhammad bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya, tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya ? Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya.”
Abduh menambahkan bahwa ayat-ayat ini membuktikan bahwa pesan Islam seharusnya disampaikan kepada setiap orang yang memiliki akal pikiran yang bersih dengan tak memandang posisi sosialnya.
Ia mencontohkan sebuah ayat Al-Qur’an : “Dia (Muhammad bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya, tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya ? Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya.”
Abduh menambahkan bahwa ayat-ayat ini membuktikan bahwa pesan Islam seharusnya disampaikan kepada setiap orang yang memiliki akal pikiran yang bersih dengan tak memandang posisi sosialnya.
Kepentingan
terbesar Muhammad Abduh membubuhkan akal pikiran manusia juga tampak dari
pembicaraanya terhadap istilah “furqan” yang ada didalam Al-Qur’an 3 (Ali
Imran) : 4 (3) : “Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia.
Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. Dia menurunkan al
Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya ; membenarkan kitab yang telah
diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. Sebelum (Al-Qur’an),
menjadi petunjuk bagi manusiadan Dia menurunkan Al Furqan.”
Kata “furqan”, yang jika dihubungkan dengan kata dasarnya “faraqa” bermakna “membedakan”. Tafsir-tafsir lebih tua menjelaskan kata itu sebagai “segala sesuatu yang menjadi pemisah dan pembeda antara kebenaran dan kepalsuan” atau “Kitab Hukum yang diwahyukan kepada Musa yang menjadi pembeda dan pemisah antara yang diperbolehkan dan yang dilarang.”
Kata “furqan”, yang jika dihubungkan dengan kata dasarnya “faraqa” bermakna “membedakan”. Tafsir-tafsir lebih tua menjelaskan kata itu sebagai “segala sesuatu yang menjadi pemisah dan pembeda antara kebenaran dan kepalsuan” atau “Kitab Hukum yang diwahyukan kepada Musa yang menjadi pembeda dan pemisah antara yang diperbolehkan dan yang dilarang.”
Tafsir
Jalalain menjelaskan :”kata itu disebut sesudah Taurat , Injil dan Al-Qur’an
sebagai suatu ekspresi umum yang bisa mencakup kitab-kitab wahyu lain yang
tidak disebutkan satu per satu didalam ayat-ayat tersebut.”
Az
Zamakhsyari menulis : “Jika engkau bertanya kepadaku apa yang dimaksud dengan
Al Furqan , saya jawab : “Itu adalah kategori kitab-kitab yang indah karena
kitab-kitab itu membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.”
Dalam
tafsir Al-Manar (ditulis oleh Rasyid Ridha) mengatakan ; “Furqan adalah akal
pikiran, lewat mana manusia mampu melihat antara kebenaran dan kepalsuan.”
Jika seseorang tidak pernah membaca tafsir-tafsir klasik, pernyataan diatas tampaknya bukan sesuatu yang luar biasa. Tetapi jika seseorang pernah membaca tafsir-tafsir klasik, tentu ia akan melihat pernyataan itu sangat sugestif, bahkan provokatif : Abduh tampaknya berminat mengganti wahyu dengan akal pikiran. Pandangan Abduh ini mempunyai implikasi bahwa jika seseorang ingin memgetahui mengapa ia seharusnya tidak membunuh, atau tidak meminta bunga modal, adalah cukup baginya menggunakan akal pikirannya, dan tidak perlu memeriksa teks kitab suci.
Dan dalam pandangan Abduh lagi, Al-Qur’an terutama bukanlah sumber hukum atau dogma Islam, atau suatu ajang kesempatan bagi para filolog untuk memamerkan kepintaran mereka, tetapi Al-Qur’an merupakan kitab darimana seharusnya umat Islam bisa merumuskan pemikiran-pemikiran mengenai dunia ini dan dunia yang akan datang.
Jika seseorang tidak pernah membaca tafsir-tafsir klasik, pernyataan diatas tampaknya bukan sesuatu yang luar biasa. Tetapi jika seseorang pernah membaca tafsir-tafsir klasik, tentu ia akan melihat pernyataan itu sangat sugestif, bahkan provokatif : Abduh tampaknya berminat mengganti wahyu dengan akal pikiran. Pandangan Abduh ini mempunyai implikasi bahwa jika seseorang ingin memgetahui mengapa ia seharusnya tidak membunuh, atau tidak meminta bunga modal, adalah cukup baginya menggunakan akal pikirannya, dan tidak perlu memeriksa teks kitab suci.
Dan dalam pandangan Abduh lagi, Al-Qur’an terutama bukanlah sumber hukum atau dogma Islam, atau suatu ajang kesempatan bagi para filolog untuk memamerkan kepintaran mereka, tetapi Al-Qur’an merupakan kitab darimana seharusnya umat Islam bisa merumuskan pemikiran-pemikiran mengenai dunia ini dan dunia yang akan datang.
Umat
Islam seringkali tidak menyadari bahwa merekalah yang dituju Allah didalam
Al-Qur’an, dan bukan hanya para Ulama mereka, apalagi orang-orang yang sudah
mati. Seseorang hampir bisa membandingkan seorang muslim yang sehari-hari
membaca dan melagukan Al-Qur’an, dengan seekor keledai yang membawa kitab-kitab
tanpa bisa memahami, atau mempercayai isinya.
Al-Qur’an
menurut Abduh bukan buku mengenai hukum, ilmu atau sejarah, tetapi firman Tuhan
: “Pengetahuan kami tentang Al-Qur’an adalah pengetahuan kami tentang Allah.”
-
AL QUR’AN DAN SEJARAH ALAM.
“Kami
telah kirimkan al-Kitab kepada manusia sebagai penjelas segala sesuatu”, dan
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun didalam al-Kitab.”
Az
Zamakhsari (ulama Mu’tazilah) dan beberapa mufassir lain mengasumsikan bahwa
yang dimaksud “kitab” disitu bukanlah Al-Qur’an seperti yang dikenal umat
manusia sekarang, tetapi ia adalah sebuah kitab yang ada di surga. Menurut
mereka, lembaran universal ilahiyah yang sempurna ada di surga.
Al-Qur’an dalam bentuknya yang ada di bumi hanyalah perwujudan dari “lembaran yang dipelihara secara baik” yang ada di surga tersebut, yang berisi segala sesuatu.
Al-Qur’an dalam bentuknya yang ada di bumi hanyalah perwujudan dari “lembaran yang dipelihara secara baik” yang ada di surga tersebut, yang berisi segala sesuatu.
Al-Qur’an
21 (Al-Anbiya) : (34) 33 : “Dan Dialah yang menciptakan malam dan siang,
matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar didalam garis
edarnya.”
Ayat ini sering digunakan untuk membuktikan kosmologi Copernican Al-Qur’an.
Banyak para Mufassir beranggapan Al-Qur’an memuat bermacam ilmu pengetahuan dan hukum, tak terkecuali sejarah mengenai keterkaitan dengan alam.
Ayat ini sering digunakan untuk membuktikan kosmologi Copernican Al-Qur’an.
Banyak para Mufassir beranggapan Al-Qur’an memuat bermacam ilmu pengetahuan dan hukum, tak terkecuali sejarah mengenai keterkaitan dengan alam.
Para
ulama generasi awal berpendapat bahwa kebesaran alam membuktikan adanya Tuhan
dan secara tidak langsung menyatakan sifat-sifatNya. Pendapat ini secara umum
diterima didalam agama-agama monoteistik, dan dikemukakan didalam banyak ayat
Al-Qur’an, sebagai contoh :
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman ?
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman ?
-
AL QUR’AN DAN FILOLOGI.
Suatu
kali khalifah Umar Ibn Khattab sangat marah kepada seorang sahabat yang
menjawab dengan “Allah Maha Tahu” (artinya kita tidak mengetahui) ketika ia
ditanya tentang makna QS. 2 : (268) 266 ;
“Apakah ada salah seorang diantara kamu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai ; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang ia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mangandung api, lalu terbakarlah. Demikian Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu supaya kamu memikirkannya” ?
“Apakah ada salah seorang diantara kamu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai ; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang ia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mangandung api, lalu terbakarlah. Demikian Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu supaya kamu memikirkannya” ?
Kemudian
Ibnu Abbas berpaling kepadanya dan memberikan penjelasan kepada Umar bawa ayat
ini merupakan perumpamaan dari ketidaktentuan perbuatan baik manusia. “Allah
terkadang mengirimkan kepada manusia berupa godaan setan, sehingga dengan
godaannya itu manusia berbuat dosa, yang menghapus semua perbuatan baiknya.
Penjelasan
ini bukanlah filologi, melainkan dogmatik. Hal ini tampaknya telah tersebar
luas ; kendati bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Mu’tazilah tentang
pentingnya keadilan Tuhan, yang banyak dibahas dalam tafsir Az Zamakhsyari,
salah seorang Ulama Mu’tazili.
Az
Zamakhsyari memiliki pandangan-pandangan teologi yang berbeda dalam berbagai
hal yang dianut oleh mayoritas ortodoks Islam.
Dogma tentang ketidakterciptaan (qadim)-nya Al-Qur’an merupakan perbedaan yang sangat terkenal antara Mu’tazilah dan kelompok ortodoks. Muslim ortodoks meyakini bahwa Al-Qur’an adalah tidak terciptakan (bukan makhluk). Mereka mengatakan, bahwa Al-Qur’an adalah bagian dari keabadian Allah dan tidak akan berubah ; sebuah keyakinan yang mirip dengan ajaran Kristen tentang Trinitas ; kesatuan Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh Kudus.
“Maha Besar Allah yang menciptakan Al-Qur’an” adalah kata pembuka dalam tafsir Az Zamakhsyari, jelas berlawanan dengan semua kalangan Muslim Ortodoks.
Dogma tentang ketidakterciptaan (qadim)-nya Al-Qur’an merupakan perbedaan yang sangat terkenal antara Mu’tazilah dan kelompok ortodoks. Muslim ortodoks meyakini bahwa Al-Qur’an adalah tidak terciptakan (bukan makhluk). Mereka mengatakan, bahwa Al-Qur’an adalah bagian dari keabadian Allah dan tidak akan berubah ; sebuah keyakinan yang mirip dengan ajaran Kristen tentang Trinitas ; kesatuan Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh Kudus.
“Maha Besar Allah yang menciptakan Al-Qur’an” adalah kata pembuka dalam tafsir Az Zamakhsyari, jelas berlawanan dengan semua kalangan Muslim Ortodoks.
*Syekh
Muhammad Abduh-nama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah-dilahirkan
didesa Mahallat Nashr Kabupaten Buhairah, Mesir, pada tahun 1849 M. Semula ia
bersikeras untuk tidak melanjutkan studinya, tetapi ia kembali belajar atas
dorongan pamannya, Syekh Darwish, yang banyak mempengaruhi kehidupan Abduh
sebelum bertemu dengan Jamaludin Al-Afghani. Setelah menyelesaikan studi
dibawah bimbingan pamannya, Abdul melanjutkan studi di Al-Azhar pada bulan
pebruari 1866. Tahun 1871, Jamaludin Al-Afghani tiba di Mesir. Ketika itu Abduh
masih Mahasiswa Al-Azhar menyambut kedatangannya. Ia selalu menjadi murid
kesayangan Al-Afghani. Al-Afghani pulalah yang mendorong Abduh aktif
dalam bidang sosial dan politik. Artikel-artikel pembaharuannya banyak dimuat
pada surat kabar Al-Ahram di kairo.
Nama : drs.HM.SAKTI . RANGKUTI,MA.
Tempat/Tgl.lahir : Pematang Siantar,30 Desember
1957
Jenis Kelamin : laki laki
Agama : Islam
No.HP. : 08126561211
Alamat :
1.Jln.Perintis Kemerdekaan Galang Kec,Galang
2.
Jln.pembangunan 1 SKIP Lubuk Pakam.
Pendidikan : a.SDN 1 Petumbukan Galang
.. b. PA 4 Thn
Alwashliyah Petumbukan.
c. PGA 6 Thn Alwashliyah
Petumbukan
d. Sarjana S.1. UISU Medan’
ana S.1. UISU Medan.
e.Sarjana S.2. IAIN Medan.
Pekerjaan : PNS.Guru Agama
Islam SMAN Galang.
Dan Ka.MTs.Alwashliyah Pulau Gambar.
Serdang Bedagai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar