Hukum Seputar Sumpah 1
Dipublikasi pada 25 Januari 2013
oleh : M.Sakti Rangkuti
Allah Ta’ala berfirman:
فَكَفَّارَتُهُ
إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
فَمَن لَّمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ
كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Maka kaffarat (melanggar) sumpah
itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan pertengahan
yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup
melakukannya, maka hendaknya dia berpuasa selama tiga hari. Itulah kaffarat
sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah
sumpah-sumpah kalian. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayatNya
agar kalian bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maidah: 89)
Yang dimaksud dengan makanan
pertengahan adalah makanan yang terbaik dan ada yang mengatakan yang
pertengahan mutunya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا
خَيْرًا مِنْهَا
فَلْيَأْتِهَا وَلْيُكَفِّرْ
عَنْ يَمِينِهِ
“Barangsiapa yang bersumpah kemudian
dia melihat selainnya lebih baik daripada apa yang dia bersumpah atasnya maka
hendaklah dia melakukan hal yang lain itu dan dia membayar kafarah atas
(pembatalan) sumpahnya.” (HR. Muslim no. 1649)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
وَاللَّهِ
لَأَنْ يَلِجَّ أَحَدُكُمْ بِيَمِينِهِ فِي أَهْلِهِ آثَمُ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ أَنْ
يُعْطِيَ كَفَّارَتَهُ
الَّتِي افْتَرَضَ
اللَّهُ عَلَيْهِ
“Demi Allah, sungguh, orang yang
berkeras hati untuk tetap melaksanakan sumpahnya, padahal sumpah tersebut dapat
membahayakan keluarganya, maka dosanya lebih besar di sisi Allah daripada dia
membayar kaffarah yang diwajibkan oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 6625 dan
Muslim no. 1655)
Penjelasan ringkas:
Di antara ibadah yang disyariatkan
oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya adalah bahwa ketika seorang muslim ingin
menekankan suatu perkara dengan menggunakan sumpah, maka hendaknya mereka
bersumpah dengan menggunakan nama-nama Allah Ta’ala. Dan syariat sumpah dengan
nama Allah ini telah ditunjukkan dalam Al-Qur`an, As-Sunnah, dan juga telah
disepakati oleh kaum muslimin.
Di antara dalilnya adalah hadits
Abdullah bin Umar secara marfu’:
مَنْ
كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang mau bersumpah maka
hendaknya dia bersumpah dengan nama Allah atau dia diam saja.” (HR. Al-Bukhari
no. 2482 dan Muslim no. 3105)
Catatan:
Termasuk bersumpah dengan nama Allah adalah bersumpah dengan menggunakan sifat Allah. Karenanya dibenarkan bersumpah dengan Al-Qur`an karena Al-Qur`an adalah firman Allah dan firman Allah merupakan sifat Allah. Ini adalah pendapat sahabat Abdullah bin Mas’ud, Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, Malik, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, dan selainnya.
Termasuk bersumpah dengan nama Allah adalah bersumpah dengan menggunakan sifat Allah. Karenanya dibenarkan bersumpah dengan Al-Qur`an karena Al-Qur`an adalah firman Allah dan firman Allah merupakan sifat Allah. Ini adalah pendapat sahabat Abdullah bin Mas’ud, Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, Malik, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, dan selainnya.
Adapun bersumpah dengan mushaf, jika
yang dia maksudkan adalah mushafnya (yang terdiri dari lembaran kertas dan
tinta) maka tidak boleh bersumpah dengannya, karena mushaf dalam artian ini
adalah makhluk. Tapi jika yang dia maksudkan adalah apa yang tertulis dalam
mushaf berupa ayat-ayat Al-Qur`an, maka ini sama hukumnya bersumpah dengan
Al-Qur`an. Ini adalah pendapat Qatadah, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, dan
selainnya.
Hukum Sumpah
Hukum sumpah berbeda-beda
disesuaikan dengan hukum masalah yang dia bersumpah untuknya. Karenanya hukum
sumpah ada lima:
1. Wajib. Jika sumpahnya bertujuan
untuk menyelamatkan atau menghindarkan dirinya atau muslim lainnya dari
kebinasaan.
2. Sunnah. Jika sumpahnya bertujuan
untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai atau untuk menghilangkan kedengkian
dari seseorang atau untuk menghindarkan kaum muslimin dari kejelekan.
3. Mubah. Misalnya dia bersumpah
untuk melakukan atau meninggalkan suatu amalan yang hukumnya mubah.
4. Makruh. Jika dia bersumpah untuk
melakukan hal yang makruh atau meninggalkan amalan yang sunnah. Misalnya sumpah
dalam jual beli karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits
Abu Hurairah:
الْحَلِفُ
مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ
“Sumpah itu memang bisa melariskan
dagangan akan tetapi menghapuskan berkahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1945)
5. Haram. Bersumpah untuk suatu
kedustaan atau dia berdusta dalam sumpahnya. Termasuk juga di dalamnya
bersumpah dengan selain nama dan sifat Allah, karena itu adalah kesyirikan.
Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda dalam
hadits Ibnu Umar:
مَنْ
حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang bersumpah dengan
menggunakan selain nama Allah maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan.” (HR.
Abu Daud no. 2829 dan At-Tirmizi no. 1455)
Termasuk di dalam kesyirikan ini
adalah bersumpah dengan menggunakan nama Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Dalam hal apakah ada kaffaratnya,
sumpah terbagi menjadi tiga jenis:
1. Sumpah yang tidak butuh kaffarat
jika dilanggar.
Yaitu sumpah yang diucapkan secara tidak sengaja, semisal dia mengatakan: Tidak demi Allah, betul demi Allah. Termasuk juga di dalamnya orang yang bersumpah atas sesuatu yang dia kira seperti yang dia pikirkan akan tetapi ternyata tidak demikian kenyataannya.
Yaitu sumpah yang diucapkan secara tidak sengaja, semisal dia mengatakan: Tidak demi Allah, betul demi Allah. Termasuk juga di dalamnya orang yang bersumpah atas sesuatu yang dia kira seperti yang dia pikirkan akan tetapi ternyata tidak demikian kenyataannya.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
“Allah tidak menghukum kalian
disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi
Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja.” (QS.
Al-Maidah: 89)
2. Sumpah yang tidak bisa ditebus
dengan kaffarat.
Yaitu sumpah dusta dimana dia bersumpah atas sesuatu padahal dia tahu bahwa itu adalah dusta. Misalnya dia mengatakan, “Demi Allah saya tidak melakukannya,” padahal dia telah melakukannya. Demikian pula sebaliknya. Termasuk di dalamnya bersumpah dengan menggunakan selain nama Allah. Karena sumpahnya tidak sah, maka tidak ada kewajiban kaffarat atasnya. Yang ada hanyalah bertaubat dari syirik asghar yang telah diperbuatnya dan mengucapkan ‘laa ilaha illallah’. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Yaitu sumpah dusta dimana dia bersumpah atas sesuatu padahal dia tahu bahwa itu adalah dusta. Misalnya dia mengatakan, “Demi Allah saya tidak melakukannya,” padahal dia telah melakukannya. Demikian pula sebaliknya. Termasuk di dalamnya bersumpah dengan menggunakan selain nama Allah. Karena sumpahnya tidak sah, maka tidak ada kewajiban kaffarat atasnya. Yang ada hanyalah bertaubat dari syirik asghar yang telah diperbuatnya dan mengucapkan ‘laa ilaha illallah’. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
حَلَفَ فَقَالَ فِي حَلِفِهِ وَاللَّاتِ وَالْعُزَّى فَلْيَقُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَمَنْ قَالَ
لِصَاحِبِهِ تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ
“Barangsiapa yang bersumpah dan
berkata dalam sumpahnya, “Demi Laata dan Uzza,” maka hendaknya dia mengatakan,
“Laa Ilaaha Illallaah.” Dan barangsiapa yang berkata kepada temannya, “Ayo kita
taruhan,” maka hendaknya dia bersedekah.” (HR. Al-Bukhari no. 4482)
3. Sumpah yang bisa ditebus dengan
kaffarat.
Yaitu dia bersumpah dengan menggunakan nama atau sifat Allah untuk sesuatu yang akan datang tapi ternyata kenyataan yang terjadi tidak demikian. Misalnya dia mengatakan dengan jujur, “Demi Allah aku akan melakukannya,” kemudian ternyata dia tidak jadi melakukannya. Atau sebaliknya dia mengatakan, “Demi Allah aku tidak akan melakukannya,” lalu di kemudian hari dia
melakukannya. Ibnu Qudamah dan Ibnu Al-Mundzir menukil kesepakatan ulama akan wajibnya membayar kaffarat atas sumpah jenis ini.
Yaitu dia bersumpah dengan menggunakan nama atau sifat Allah untuk sesuatu yang akan datang tapi ternyata kenyataan yang terjadi tidak demikian. Misalnya dia mengatakan dengan jujur, “Demi Allah aku akan melakukannya,” kemudian ternyata dia tidak jadi melakukannya. Atau sebaliknya dia mengatakan, “Demi Allah aku tidak akan melakukannya,” lalu di kemudian hari dia
melakukannya. Ibnu Qudamah dan Ibnu Al-Mundzir menukil kesepakatan ulama akan wajibnya membayar kaffarat atas sumpah jenis ini.
Istitsna` (pengecualian) dalam
Sumpah
Yang dimaksud dengan istitsna` di
sini adalah dia menambahkan kalimat ‘insya Allah’ pada sumpahnya.” Misalnya dia
mengatakan, “Demi Allah aku akan melakukannya insya Allah.” Jika dia membatalkan
sumpahnya yang mengandung istitsna` maka tidak ada kaffarat atasnya, karena
pada dasarnya istitsna` itu merupakan pemutus sumpahnya. Diriwayatkan dalam
sebuah hadits:
من
حلف وقال: إن شاء الله، فقد حنث
“Barangsiapa yang bersumpah dan dia
mengatakan dalam sumpahnya, “Insya Allah,” maka dia telah memutuskan
sumpahnya.”
Dalam hadits Ibnu Umar secara
marfu’:
مَنْ
حَلَفَ فَاسْتَثْنَى فَإِنْ شَاءَ مَضَى
وَإِنْ شَاءَ
تَرَكَ غَيْرَ حَنِثٍ
“Barangsiapa yang bersumpah tapi dia
melakukan istitsna`, maka jika dia mau maka dia boleh tetap melanjutkan
sumpahnya, dan jika dia mau maka dia boleh meninggalkan sumpahnya tanpa ada
dosa.” (HR. Abu Daud no. 2839 dan An-Nasai no. 3733 -dan ini adalah lafazhnya-)
Al-Qurthubi berkata, “Jika sumpah
telah sah diucapkan maka dia bisa diputuskan dengan membayar kaffarat atau
melakukan istitsna`.” Ini adalah mazhab para fuqaha` dan inilah pendapat yang
dinyatakan kuat oleh Ibnul Araby. Hanya saja Ibnul Araby mengatakan,
“Dipersyaratkan untuk keabsahan istitsna` ini adalah dia terlafazhkan dan
bersambung dengan sumpahnya dalam pengucapan.”
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata, “Jika ini (istitsna`) sah, maka dipersyaratkan pada istitsna` dia
harus bersambung dengan sumpahnya, tidak dipisahkan dari kalimat sumpahnya oleh
ucapan lain dan tidak juga diselingi oleh diam yang lamanya memungkinkan dia
berbicara saat itu. Adapun jika istitsna`nya terputus dari kalimat sumpahnya
akibat dia menarik nafas, atau suaranya habis, karena dia sakit, atau ada
gangguan tiba-tiba, atau karena bersin, atau sesuatu yang lain, maka semua itu
tidak membuat istitsna`nya tidak sah, akan tetapi hukumnya sah. Ini adalah
pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ats-Tsauri, Abu Ubaid, Ishaq, dan Ashhab
Ar-Ra’yi.”
Kemudian beliau berkata selanjutnya,
“Dipersyaratkan untuk keabsahan istitsna` dia harus mengucapkannya, tidak ada
manfaatnya melakukan istitsna` dengan hatinya. Ini adalah pendapat sejumlah
ulama, di antaranya: Al-Hasan, An-Nakhai, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auzai,
Al-Laits, Asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, Abu Hanifah, Ibnul Mundzir, dan kami
tidak mengetahui ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini.”
Mengganti sumpah dengan yang lain
Barangsiapa yang bersumpah untuk
melakukan sesuatu yang haram atau yang makruh atau yang mubah, kemudian dia menilai
ada amalan lain yang lebih baik darinya maka wajib atasnya untuk melakukan yang
lebih baik itu dan membatalkan sumpahnya dengan membayar kaffarat. Ini
berdasarkan hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.
Kaffarat Pembatalan Sumpah
Telah dijelaskan di atas sumpah
jenis bagaimana yang bisa ditebus dengan kaffarat. Adapun kaffaratnya maka
sebagaimana yang tersebut dalam surah Al-Maidah di atas:
1. Kaffarat pertama berisi 3 perkara
yang harus dipilih salah satunya: Memberikan makan 10 orang miskin, atau
memberikan pakaian 10 orang miskin, atau membebaskan seorang budak.
2. Jika dia tidak sanggup ketiganya
maka barulah dia beranjak ke kaffarat yang kedua, yaitu berpuasa selama 3 hari.
Berikut rinciannya:
a. Memberi makan 10 orang miskin.
Makanan yang diberikan sebanyak 1 sha (dua telapak tangan lelaki dewasa). Orang miskin di sini selain dari kerabat yang dia wajib memberikan nafkah kepadanya misalnya anaknya atau orang tuanya atau istrinya atau kerabat lain yang berada di bawah tanggungannya. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan selain keduanya. Tidak boleh memberikan makan kepada satu orang sebanyak 10 kali sebagaimana tidak boleh mengganti makanan dengan uang, karena semua ini bertentangan dengan nash ayat di atas.
Makanan yang diberikan sebanyak 1 sha (dua telapak tangan lelaki dewasa). Orang miskin di sini selain dari kerabat yang dia wajib memberikan nafkah kepadanya misalnya anaknya atau orang tuanya atau istrinya atau kerabat lain yang berada di bawah tanggungannya. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan selain keduanya. Tidak boleh memberikan makan kepada satu orang sebanyak 10 kali sebagaimana tidak boleh mengganti makanan dengan uang, karena semua ini bertentangan dengan nash ayat di atas.
Apakah boleh memberikannya kepada
orang miskin yang kafir? Ada silang pendapat di kalangan ulama.
b. Memberikan pakaian 10 orang
miskin.
Sama seperti di atas tidak boleh memberikan 10 baju kepada satu orang miskin atau mengganti baju dengan uang.
Sama seperti di atas tidak boleh memberikan 10 baju kepada satu orang miskin atau mengganti baju dengan uang.
Adapun ukuran bajunya, maka ada silang
pendapat di kalangan ulama. Hanya saja Ibnu Qudamah berkata, “Pakaian bagi
lelaki adalah satu pakaian yang bisa menutupi seluruh tubuhnya. Adapun bagi
wanita, maka ukuran minimalnya adalah pakaian yang mereka bisa pakai dalam
shalat.” Wallahu a’lam
c. Membebaskan budak.
Pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran dalam hal ini adalah, dipersyaratkan budaknya harus seorang muslim. Berdasarkan hadits Muawiyah bin Al-Hakam As-Sulami tentang ‘dimana Allah’, di dalamnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam membebaskan budak wanita Muawiyah setelah beliau menguji keislamanannya. Maka hadits ini menunjukkan bahwa semua kaffarat dosa yang sifatnya pembebasan budak, maka dipersyaratkan haruslah budak yang muslim.
Pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran dalam hal ini adalah, dipersyaratkan budaknya harus seorang muslim. Berdasarkan hadits Muawiyah bin Al-Hakam As-Sulami tentang ‘dimana Allah’, di dalamnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam membebaskan budak wanita Muawiyah setelah beliau menguji keislamanannya. Maka hadits ini menunjukkan bahwa semua kaffarat dosa yang sifatnya pembebasan budak, maka dipersyaratkan haruslah budak yang muslim.
d. Berpuasa 3 hari.
Dia tidak boleh berpuasa 3 hari kecuali jika dia sudah tidak sanggup melakukan salah satu dari ketiga kaffarat di atas.
Dia tidak boleh berpuasa 3 hari kecuali jika dia sudah tidak sanggup melakukan salah satu dari ketiga kaffarat di atas.
Apakah dipersyaratkan dalam
keabsahannya harus puasa 3 hari berturut-turut? Ada silang pendapat di kalangan
ulama, hanya saja tidak diragukan bahwa mengerjakannya secara berurut jauh
lebih utama.
Faidah:
1. Apakah boleh membayar kaffarat
sebelum sumpah dibatalkan? Banyak ulama yang membolehkannya, di antara mereka
adalah:
Dari kalangan sahabat ada Umar, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Salman Al-Farisi, Maslamah bin Makhlad radhiallahu anhum.
Dari kalangan tabi’in: Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Rabiah bin Abdirrahman, Abdurrahman Al-Auzai, dan selainnya.
Dari kalangan imam: Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Al-Mubarak, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, dan selainnya.
Dari kalangan sahabat ada Umar, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Salman Al-Farisi, Maslamah bin Makhlad radhiallahu anhum.
Dari kalangan tabi’in: Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Rabiah bin Abdirrahman, Abdurrahman Al-Auzai, dan selainnya.
Dari kalangan imam: Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Al-Mubarak, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, dan selainnya.
2. Jika dia meninggal sebelum sempat
membayar kaffarat maka diambil dari hartanya sebelum warisan dibagikan. Ini
adalah mazhab Asy-Syafi’i dan Abu Tsaur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar